TS
aquila42
Minimum Essential Force TNI Tahap 2 (2015-2019)
Jika Australia hendak menyerang Indonesia, mungkin RAAF bisa
menembus wilayah udara Indonesia untuk membom Jakarta. Namun
bombardir itu tidak banyak mempengaruhi kekuatan militer
Indonesia. Begitu pula dengan Angkatan Laut Australia dapat
menembus perairan Indonesia dan mendarat di garis pantai. Namun
setelah tiba di garis pantai, apa yang bisa mereka lakukan ?. Tidak
banyak, karena jumlah pasukan Indonesia yang besar menjadi
keunggulan Indonesia. Jika skenarionya dibalik Indonesia yang
menyerang ke Australia, maka Indonesia belum memiliki kekuatan
untuk itu. Konsep realistis Indonesia di renstra 1 dengan
keterbatasan ini adalah, membentuk militer yang bersifat self
defence. Berperang di wilayah sendiri, untuk mengusir agresor atau
mengawasi flash point.
Saat ini belum semua alutsista TNI AD mengalami modernisasi.
Dengan kondisi tersebut, dapat kita lihat Angkatan Darat
memperkuat pasukan yang bersifat mobile, yang bisa digerakkan ke
wilayah manapun dalam waktu cepat. Target ini dimasukkan dalam
Rencana Strategis 1 (Renstra 1 :2010-2014) dengan munculnya
pembelian MBT Leopard 2, IFV Marder, MLRS Astros II, Meriam Caesar
155 mm, ATGM NLAW, kendaraan taktis, hingga helikopter serang
Apache AH-64 E. Semua yang dibeli bersifat mobile, dalam artian
dapat digerakkan dengan cepat diangkut melalui kapal permukaan
maupun pesawat angkut Hercules.
Untuk meningkatkan mobilitas pasukan mobile, Indonesia
menambah pesawat angkut dengan membeli Hercules eks RAAF
Australia. Begitu pula dengan persenjataan dan kemampuan prajurit
Kostrad, terus ditingkatkan. Jangan heran, alutsista baru TNI AD,
biasanya diserahkan kepada Kostrad. Hal ini karena pasukan Kostrad
yang bisa digerakkan kemanapun di wilayah tanah air. Mereka tidak
punya wilayah. Wilayah yang mereka tempati berada di bawah
kendali Panglima Kodam.
Konsep renstra 1 Angkatan Darat, menyerupai target yang dikejar
oleh TNI AU. Mereka menyiapkan fighter dan pesawat tempur yang
bisa bergerak cepat, bertarung secara sengit di wilayah manapun di
Indonesia. Angkatan Udara harus tampil prima, di tengah minimnya
kemampuan arhanud dan pertahanan wilayah Indonesia. Untuk itu,
Skuadron Sukhoi telah dilengkapi rudal berbagai jenis, dari air-to-air,
air-to-ground, hingga rudal penghancur radar.
Pada renstra 1, pesawat tempur sukhoi TNI AU telah genap satu
skuadron (16 pesawat). Mereka juga mendapatkan tambahan satu
skuadron (16 pesawat) pesawat super tucano untuk tempur taktis
“close air support”, intai serta serangan anti-gerilya. Ada lagi 30
pesawat F-16 block 25/32 retrofit eks AS, serta pesawat latih T-50 i
dari Korea Selatan yang bisa digungsikan sebagai air support, serta
UAV Heron komposit untuk pengawasan.
Di renstra 1, kekuatan Angkatan Laut ditujukan untuk bisa
menghadapi ancaman aktual di beberapa flash point. Fokus utama
untuk renstra 1 adalah ancaman di wilayah Ambalat.
TNI AL telah memperkuat armada kapal selam mereka. Angkatan
Laut juga membangun kekuatan strategis untuk kapal permukaan
dengan memasang rudal yakhont 300 km di kapal Van Speijk Class.
Menggabungkan sistem rudal Rusia dengan Kapal Nato patut
dibanggakan. Jika pada uji pertama rudal yakhont overshoot
terhadap sasaran, maka pada uji kedua telah mengenai sasaran.
Betapa kuatnya daya hancur rudal yakhont, dalam hitungan detik
kapal sasaran tembak langsung tenggelam. Ujicoba ketiga nanti
seharusnya ditujukan terhadap sasaran bergerak dengan jangkauan
250-300km, untuk mengetahui apakah rudal yakhot frigate van
speijk mampu men-tracking terus menerus sasaran yang bergerak.
Ujicoba penembakan jarak jauh ini memerlukan helikopter OTHT
yang sedang disipakan TNI AL.
Kemampuan TNI AL memasang rudal yakhont di kapal sistem Nato,
merupakan modal besar bagi TNI AL dan harus terus
mengembangkannya secara maksimal. Bayangkan saja, kapal-kapal
tua Indonesia menjadi disegani jika proyek rudal yakhont bisa
sukses menghantam sasaran yang bergerak.
Marinir mendapatkan tambahan 17 Tank BMP-3F. Marinir masih
membutuhkan 95 tank sejenis BMP, yakni 81 unit tipe BMP-3F, 10
unit tipe BMP-3FK, dan 4 unit tipe BREM-L
Untuk modernisasi, TNI AL juga memesan 2 PKR Sigma ke Belanda
serta membeli 3 light frigate Nakhoda Ragam Class dari Inggris.
Sementara untuk urusan kuantitas, TNI AL membangun kapal-kapal
kecil dengan kemampuan serang rudal. Diharapkan pada tahun 2013
ini KCR-60 pertama pesanan TNI AL sudah bisa diluncurkan plus
dengan kemampuan serang rudal. Adapun untuk Marinir, pasukan ini
mendapatkan tambahan 17 Tank BMP-3F. Marinir membutuhkan 95
tank sejenis BMP, yakni 81 unit tipe BMP-3F, 10 unit tipe BMP-3FK,
dan 4 unit tipe BREM-L dan akan terpenuhi secara bertahap.
Budget Renstra 2010-2014 untuk modernisasi Alutsista TNI,
dianggarkan Rp 156 triliun, dengan Base Line Rp 99 triliun dan On–
Top Rp 57 triliun. Alhasil alutsista yang datang pada renstra 1 cukup
membanggakan. 50 % dari budget tersebut, untuk pengembanagn
dan modernisasi alutsista Angkatan Darat.
Bagaimana dengan Renstra II tahun 2015-2019 ?.
Pemerintah Indonesia membagi tiga tahapan Rencana Strategis
(Renstra) dalam pembangunan Minimum Essential Force (MEF) untuk
membentuk kekuatan pertahanan yang memadai. Fokus dari MEF ini
adalah menitikberatkan pembangunan dan modernisasi alutsista
beserta teknologinya, untuk menghadapi ancaman aktual di
beberapa flash point. Diantaranya, permasalahan perbatasan wilayah
negara, terorisme, separatisme, konflik horisontal/komunal,
pengelolaan pulau kecil terluar, serta turut serta dalam bantuan
bencana.
Renstra II merupakan titik krusial yang bila dilalui dengan benar,
akan membuat postur pertahanan Indonesia mandiri dan semakin
berwibawa. Namun tantangan di renstra II ini sangat berat.
Untuk urusan Angkatan laut, saat ini Kementerian Pertahanan sedang
menggarap proyek kapal selam Changbogo dengan Korea Selatan.
Ditargetkan pada tahun 2015, kapal selam ketiga akan dibangun di
PT PAL Surabaya, Jawa Timur. Begitu pula dengan kapal perang
Perusak Kawal Rudal Sigma Belanda yang diharapkan bisa dibangun
di Indonesia, menjadi program Korvet nasional atau Frigate Nasional.
Untuk Angkatan Udara, Kemenhan juga mempunyai proyek
pembuatan fighter IFX/KFX dengan Korea Selatan, yang diharapkan
prototype-nya selesai tahun 2015. Sementara Angkatan Darat sedang
mengembangkan Tank Medium Pindad bekerjasama dengan Turki.
Sementara di bidang peroketan, Indonesia sedang mengembangkan
Roket Lapan, Rhan serta C-705.
Kalau proyek itu terealisasi, maka Indonesia bolehlah berbangga hati
karena telah move-on. Tapi jika tidak berhasil, berarti kemampuan
negeri ini baru sebatas membeli alutsista, dan akan semakin
tertinggal dari negara-negara “satu lechting”, seperti; India, Pakistan,
Iran, Turki, China, Korea Selatan, bahkan Korea Utara.
Pekerjaan rumah lainnya bagi pertahanan Indonesia adalah
mengintegrasikan berbagai alutsista, di tengah kebijakan pengadaan
alutsista yang menganut azas, perimbangan sumber dari negara
barat dan Rusia. Perimbangan pengadaan alutssita dari dari negara
barat dan Rusia ini, sebenarnya bisa dikatakan membuat pusing
kepala. Bayangkan saja, anda membeli dua alat berteknologi
canggih dari luar negeri yang mana anda tidak bisa membuatnya.
Setelah anda beli, kedua alat itu harus anda integrasikan. Tentu ini
tantangan yang berat dan perlu dikaji kembali. TNI harus memiliki
platform yang jelas bagi sistem pertahanan laut, darat dan udara,
untuk bisa diintegrasikan.
Pada renstra 2 akan ada pembentukan dan penempatan pasukan di
beberapa wilayah strategis, seperti Divisi III Marinir di Sorong Papua.
Sebanyak 15.000 pasukan marinir akan ditempatkan secara
bertahap, untuk mendukung keamanan dan pertahanan di komando
wilayah laut timur. Angkatan Laut juga membangun Pangkalan Kapal
Selam baru di Palu, Sulawesi Tengah.
Sementara Angkatan Darat terus mengembangkan pasukan di bawah
Kodam XII Tanjungpura yang berbatasan dengan Malaysia. Antara
lain, Denzipur-6/SD di Anjungan menjadi Yonzipur di Mempawah,
kemudian validasi Yonarmed 16/105 menjadi Yonarmed 16/Komposit
di Ngabang, Kabupaten Landak serta pengembangan Denkav-2
Pontianak menjadi Yonkav. Kodam XII TPR bermarkas di Kabupaten
Kubu Raya membawahi provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah.
Pertahanan Udara jarak Menengah
Tensi konflik di Laut China Selatan terus meningkat. Kabar terakhir,
Pemerintah Filipina melaporkan China telah menyimpan balok-balok
beton di Karang Scarborough. Filipina tidak bisa berbuat banyak.
Konflik antara China dengan Filipina di Scarborough serta China
dengan Jepang di Pulau Senkaku, diperkirakan akan terus meningkat.
Jika India dan China telah membangun kapal induk, tentu sangat
wajar jika Indonesia memiliki destroyer atau the real frigate yang
memiliki kemampuan pertahanan dan persenjataan yang baik.
Indonesia harus berpikir out of the box dan jangan menyamakan
alutsistanya dengan negara-negara kecil. Negara besar harus
memiliki pertahanan yang kuat tapi teduh. Sekali-kali Indonesia-lah
yang mengambil inisiatif dan angkatan bersenjata lain yang
mengikuti. Keberadaan Destroyer akan menjadi lompatan bagi TNI
AL sekaligus pelindung bagi armada laut Indonesia. Moto “di Laut
Kita Jaya”, akan kembali dengan keberadaan destroyer ini. Operasi
destroyer ini akan dijaga oleh kapal selam kilo class/ amur class
yang sudah ditawarkan oleh Rusia untuk Indonesia.
Malaysia berencana membeli rudal anti kapal permukaan Brahmos,
untuk melengkapi arsenal fighter Sukhoi mereka. Katakanlah jika
pecah konflik di Ambalat, elemen mana yang akan melindungi
armada laut Indonesia ?. Rudal itu bisa ditembakkan dari jarak jauh
dan pesawat penyerang pun langsung menghilang. Serangan ini sulit
diantisipasi oleh Fighter Indonesia, karena akan terlambat untuk
mengantisipasinya.
Kehadiran distroyer di Angkatan Laut sekaligus penggentar bagi
pihak asing yang mencoba-coba merebut wilayah Indonesia. Sudah
waktunya pula bagi Australia untuk mengubah cara pikir mereka,
bahwa Indonesia adalah negara lemah yang kekuatan militernya di
bawah mereka. Dari proyeksi pertahanan Amerika Serikat atas
kekuatan China, maka Indonesia yang lebih membutuhkan destroyer
dibanding Australia, untuk menstabilkan Laut China Selatan.
Pengadaan destroyer ini dapat disertakan dengan pembelian
Helikopter Serang Apache AH-64E. Kalau AS mengijinkan Indonesia
menggunakan Apache AH-64E, maka sangat wajar jika Indonesia
meminta pembelian Destroyer. Indonesia harus ikut berperan aktif
dalam pengamanan Laut China Selatan. Keberadaan Destroyer harus
dikaitkan dengan pengamanan Laut China Selatan.
Diagram first and second island chains of China tembus hingga ke
Indonesia
Pihak TNI pernah meninjau destroyer milik AS. Chuck hagel juga
kabarnya sempat menawarkan kapal perang kepada Indonesia, saat
kontrak pengadaan Helikopter Serang Apache AH-64E.
Hal lain yang menjadi sorotan dari pertahanan Indonesia adalah tidak
adanya pertahanan anti-udara jarak menengah. Kasus rencana
serangan AS ke Suriah, menunjukkan betapa pentingnya sistem
pertahanan jarak menengah sepeti S-300. Vladimir Putin saja
mengakui sistem pertahanan S-300 menjadi faktor yang strategis
bagi posisi pertahanan Suriah. Tidak heran, Iran pun mati-matian
ingin mendapatkan sistem pertahanan anti-udara S-300 family.
Di jaman modern sekarang ini, peperangan dilakukan dari jarak jauh.
Jika sebuah negara tidak memiliki pertahahan udara yang memadai,
maka harus bersiap-siap untuk di-bully oleh lawan.
Kondisi SAM Indonesia saat ini memang memprihatinkan, karena
mengandalkan S-60 retrofit, Bofors, Grom dan RBS-70 yang sudah
tua. Ada pembelian startreak serta oerlikon skyshield, namun itu pun
untuk pertahanan jarak pendek.
Usulan pengadaan pertahanan udara jarak menegah, sebenarnya
sempat dilontarkan oleh Arhanud, karena situasi modern, sangat
membutuhkan pertahanan menengah. Namun siapakah nantinya
memegang sistem pertahanan udara jarak menengah-jauh ini masih
dilematis. Apakah di tangan Arhanud TNI AD atau di tangan TNI AU
yang memang memiliki tugas pertahaan wilayah.
Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin sempat menyinggung
tentang perlunya rudal jarak menengah. Semoga yang dimaksud
Wamenhan bukan Astros II yang dipasang amunisi peluru kendali.
Sistem anti-udara S-300 family buatan Rusia patut dijadikan
kandidat. Konflik di Suriah menunjukkan S-300 merupakan senjata
deteren bagi pihak lawan.
Untuk sistem rudal sejak dulu Indonesia telah dekat dengan Uni-
Soviet/Rusia. Jika pada tahun 1960-an TNI memiliki rudal antikapal
permukaan KS-1 Komet dan rudal anti-udara jarak pendek, kini TNI
memiliki Yakhont dan seharusnya rudal anti-udara jarak menengah.
Tujuan dari sistem senjata anti-udara jarak menengah-jauh ini, tidak
lain untuk objek vital nasional yang bersifat strategis.
Untuk unsur pasukan, Kualitas dan jumlah personel pertahanan:
Kostrad, Marinir, Paskhas terus ditingkatkan diselaraskan dengan
keberadaan komponen Cadangan Pertahanan. Tidak kalah penting
adalah meningkatan kemampuan industri militer dalam negeri
seperti: LAPAN, Pindad, PT PAL, PT DI, BPPT, PT Dahana dan
sebagainya. Diharapkan pada renstra 2, tank medium Pindad telah
menemukan bentuknya. Begitu pula dengan kapal selam Changbogo
yang sudah diproduksi di dalam negeri, Roket Rhan, C-705 anti-kapal
serta prototype IFX.
http://garudamiliter.blogspot.com/2013/09/minimum-essential-force-tni-tahap-2.html?m=1
menembus wilayah udara Indonesia untuk membom Jakarta. Namun
bombardir itu tidak banyak mempengaruhi kekuatan militer
Indonesia. Begitu pula dengan Angkatan Laut Australia dapat
menembus perairan Indonesia dan mendarat di garis pantai. Namun
setelah tiba di garis pantai, apa yang bisa mereka lakukan ?. Tidak
banyak, karena jumlah pasukan Indonesia yang besar menjadi
keunggulan Indonesia. Jika skenarionya dibalik Indonesia yang
menyerang ke Australia, maka Indonesia belum memiliki kekuatan
untuk itu. Konsep realistis Indonesia di renstra 1 dengan
keterbatasan ini adalah, membentuk militer yang bersifat self
defence. Berperang di wilayah sendiri, untuk mengusir agresor atau
mengawasi flash point.
Saat ini belum semua alutsista TNI AD mengalami modernisasi.
Dengan kondisi tersebut, dapat kita lihat Angkatan Darat
memperkuat pasukan yang bersifat mobile, yang bisa digerakkan ke
wilayah manapun dalam waktu cepat. Target ini dimasukkan dalam
Rencana Strategis 1 (Renstra 1 :2010-2014) dengan munculnya
pembelian MBT Leopard 2, IFV Marder, MLRS Astros II, Meriam Caesar
155 mm, ATGM NLAW, kendaraan taktis, hingga helikopter serang
Apache AH-64 E. Semua yang dibeli bersifat mobile, dalam artian
dapat digerakkan dengan cepat diangkut melalui kapal permukaan
maupun pesawat angkut Hercules.
Untuk meningkatkan mobilitas pasukan mobile, Indonesia
menambah pesawat angkut dengan membeli Hercules eks RAAF
Australia. Begitu pula dengan persenjataan dan kemampuan prajurit
Kostrad, terus ditingkatkan. Jangan heran, alutsista baru TNI AD,
biasanya diserahkan kepada Kostrad. Hal ini karena pasukan Kostrad
yang bisa digerakkan kemanapun di wilayah tanah air. Mereka tidak
punya wilayah. Wilayah yang mereka tempati berada di bawah
kendali Panglima Kodam.
Konsep renstra 1 Angkatan Darat, menyerupai target yang dikejar
oleh TNI AU. Mereka menyiapkan fighter dan pesawat tempur yang
bisa bergerak cepat, bertarung secara sengit di wilayah manapun di
Indonesia. Angkatan Udara harus tampil prima, di tengah minimnya
kemampuan arhanud dan pertahanan wilayah Indonesia. Untuk itu,
Skuadron Sukhoi telah dilengkapi rudal berbagai jenis, dari air-to-air,
air-to-ground, hingga rudal penghancur radar.
Pada renstra 1, pesawat tempur sukhoi TNI AU telah genap satu
skuadron (16 pesawat). Mereka juga mendapatkan tambahan satu
skuadron (16 pesawat) pesawat super tucano untuk tempur taktis
“close air support”, intai serta serangan anti-gerilya. Ada lagi 30
pesawat F-16 block 25/32 retrofit eks AS, serta pesawat latih T-50 i
dari Korea Selatan yang bisa digungsikan sebagai air support, serta
UAV Heron komposit untuk pengawasan.
Di renstra 1, kekuatan Angkatan Laut ditujukan untuk bisa
menghadapi ancaman aktual di beberapa flash point. Fokus utama
untuk renstra 1 adalah ancaman di wilayah Ambalat.
TNI AL telah memperkuat armada kapal selam mereka. Angkatan
Laut juga membangun kekuatan strategis untuk kapal permukaan
dengan memasang rudal yakhont 300 km di kapal Van Speijk Class.
Menggabungkan sistem rudal Rusia dengan Kapal Nato patut
dibanggakan. Jika pada uji pertama rudal yakhont overshoot
terhadap sasaran, maka pada uji kedua telah mengenai sasaran.
Betapa kuatnya daya hancur rudal yakhont, dalam hitungan detik
kapal sasaran tembak langsung tenggelam. Ujicoba ketiga nanti
seharusnya ditujukan terhadap sasaran bergerak dengan jangkauan
250-300km, untuk mengetahui apakah rudal yakhot frigate van
speijk mampu men-tracking terus menerus sasaran yang bergerak.
Ujicoba penembakan jarak jauh ini memerlukan helikopter OTHT
yang sedang disipakan TNI AL.
Kemampuan TNI AL memasang rudal yakhont di kapal sistem Nato,
merupakan modal besar bagi TNI AL dan harus terus
mengembangkannya secara maksimal. Bayangkan saja, kapal-kapal
tua Indonesia menjadi disegani jika proyek rudal yakhont bisa
sukses menghantam sasaran yang bergerak.
Marinir mendapatkan tambahan 17 Tank BMP-3F. Marinir masih
membutuhkan 95 tank sejenis BMP, yakni 81 unit tipe BMP-3F, 10
unit tipe BMP-3FK, dan 4 unit tipe BREM-L
Untuk modernisasi, TNI AL juga memesan 2 PKR Sigma ke Belanda
serta membeli 3 light frigate Nakhoda Ragam Class dari Inggris.
Sementara untuk urusan kuantitas, TNI AL membangun kapal-kapal
kecil dengan kemampuan serang rudal. Diharapkan pada tahun 2013
ini KCR-60 pertama pesanan TNI AL sudah bisa diluncurkan plus
dengan kemampuan serang rudal. Adapun untuk Marinir, pasukan ini
mendapatkan tambahan 17 Tank BMP-3F. Marinir membutuhkan 95
tank sejenis BMP, yakni 81 unit tipe BMP-3F, 10 unit tipe BMP-3FK,
dan 4 unit tipe BREM-L dan akan terpenuhi secara bertahap.
Budget Renstra 2010-2014 untuk modernisasi Alutsista TNI,
dianggarkan Rp 156 triliun, dengan Base Line Rp 99 triliun dan On–
Top Rp 57 triliun. Alhasil alutsista yang datang pada renstra 1 cukup
membanggakan. 50 % dari budget tersebut, untuk pengembanagn
dan modernisasi alutsista Angkatan Darat.
Bagaimana dengan Renstra II tahun 2015-2019 ?.
Pemerintah Indonesia membagi tiga tahapan Rencana Strategis
(Renstra) dalam pembangunan Minimum Essential Force (MEF) untuk
membentuk kekuatan pertahanan yang memadai. Fokus dari MEF ini
adalah menitikberatkan pembangunan dan modernisasi alutsista
beserta teknologinya, untuk menghadapi ancaman aktual di
beberapa flash point. Diantaranya, permasalahan perbatasan wilayah
negara, terorisme, separatisme, konflik horisontal/komunal,
pengelolaan pulau kecil terluar, serta turut serta dalam bantuan
bencana.
Renstra II merupakan titik krusial yang bila dilalui dengan benar,
akan membuat postur pertahanan Indonesia mandiri dan semakin
berwibawa. Namun tantangan di renstra II ini sangat berat.
Untuk urusan Angkatan laut, saat ini Kementerian Pertahanan sedang
menggarap proyek kapal selam Changbogo dengan Korea Selatan.
Ditargetkan pada tahun 2015, kapal selam ketiga akan dibangun di
PT PAL Surabaya, Jawa Timur. Begitu pula dengan kapal perang
Perusak Kawal Rudal Sigma Belanda yang diharapkan bisa dibangun
di Indonesia, menjadi program Korvet nasional atau Frigate Nasional.
Untuk Angkatan Udara, Kemenhan juga mempunyai proyek
pembuatan fighter IFX/KFX dengan Korea Selatan, yang diharapkan
prototype-nya selesai tahun 2015. Sementara Angkatan Darat sedang
mengembangkan Tank Medium Pindad bekerjasama dengan Turki.
Sementara di bidang peroketan, Indonesia sedang mengembangkan
Roket Lapan, Rhan serta C-705.
Kalau proyek itu terealisasi, maka Indonesia bolehlah berbangga hati
karena telah move-on. Tapi jika tidak berhasil, berarti kemampuan
negeri ini baru sebatas membeli alutsista, dan akan semakin
tertinggal dari negara-negara “satu lechting”, seperti; India, Pakistan,
Iran, Turki, China, Korea Selatan, bahkan Korea Utara.
Pekerjaan rumah lainnya bagi pertahanan Indonesia adalah
mengintegrasikan berbagai alutsista, di tengah kebijakan pengadaan
alutsista yang menganut azas, perimbangan sumber dari negara
barat dan Rusia. Perimbangan pengadaan alutssita dari dari negara
barat dan Rusia ini, sebenarnya bisa dikatakan membuat pusing
kepala. Bayangkan saja, anda membeli dua alat berteknologi
canggih dari luar negeri yang mana anda tidak bisa membuatnya.
Setelah anda beli, kedua alat itu harus anda integrasikan. Tentu ini
tantangan yang berat dan perlu dikaji kembali. TNI harus memiliki
platform yang jelas bagi sistem pertahanan laut, darat dan udara,
untuk bisa diintegrasikan.
Pada renstra 2 akan ada pembentukan dan penempatan pasukan di
beberapa wilayah strategis, seperti Divisi III Marinir di Sorong Papua.
Sebanyak 15.000 pasukan marinir akan ditempatkan secara
bertahap, untuk mendukung keamanan dan pertahanan di komando
wilayah laut timur. Angkatan Laut juga membangun Pangkalan Kapal
Selam baru di Palu, Sulawesi Tengah.
Sementara Angkatan Darat terus mengembangkan pasukan di bawah
Kodam XII Tanjungpura yang berbatasan dengan Malaysia. Antara
lain, Denzipur-6/SD di Anjungan menjadi Yonzipur di Mempawah,
kemudian validasi Yonarmed 16/105 menjadi Yonarmed 16/Komposit
di Ngabang, Kabupaten Landak serta pengembangan Denkav-2
Pontianak menjadi Yonkav. Kodam XII TPR bermarkas di Kabupaten
Kubu Raya membawahi provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan
Tengah.
Pertahanan Udara jarak Menengah
Tensi konflik di Laut China Selatan terus meningkat. Kabar terakhir,
Pemerintah Filipina melaporkan China telah menyimpan balok-balok
beton di Karang Scarborough. Filipina tidak bisa berbuat banyak.
Konflik antara China dengan Filipina di Scarborough serta China
dengan Jepang di Pulau Senkaku, diperkirakan akan terus meningkat.
Jika India dan China telah membangun kapal induk, tentu sangat
wajar jika Indonesia memiliki destroyer atau the real frigate yang
memiliki kemampuan pertahanan dan persenjataan yang baik.
Indonesia harus berpikir out of the box dan jangan menyamakan
alutsistanya dengan negara-negara kecil. Negara besar harus
memiliki pertahanan yang kuat tapi teduh. Sekali-kali Indonesia-lah
yang mengambil inisiatif dan angkatan bersenjata lain yang
mengikuti. Keberadaan Destroyer akan menjadi lompatan bagi TNI
AL sekaligus pelindung bagi armada laut Indonesia. Moto “di Laut
Kita Jaya”, akan kembali dengan keberadaan destroyer ini. Operasi
destroyer ini akan dijaga oleh kapal selam kilo class/ amur class
yang sudah ditawarkan oleh Rusia untuk Indonesia.
Malaysia berencana membeli rudal anti kapal permukaan Brahmos,
untuk melengkapi arsenal fighter Sukhoi mereka. Katakanlah jika
pecah konflik di Ambalat, elemen mana yang akan melindungi
armada laut Indonesia ?. Rudal itu bisa ditembakkan dari jarak jauh
dan pesawat penyerang pun langsung menghilang. Serangan ini sulit
diantisipasi oleh Fighter Indonesia, karena akan terlambat untuk
mengantisipasinya.
Kehadiran distroyer di Angkatan Laut sekaligus penggentar bagi
pihak asing yang mencoba-coba merebut wilayah Indonesia. Sudah
waktunya pula bagi Australia untuk mengubah cara pikir mereka,
bahwa Indonesia adalah negara lemah yang kekuatan militernya di
bawah mereka. Dari proyeksi pertahanan Amerika Serikat atas
kekuatan China, maka Indonesia yang lebih membutuhkan destroyer
dibanding Australia, untuk menstabilkan Laut China Selatan.
Pengadaan destroyer ini dapat disertakan dengan pembelian
Helikopter Serang Apache AH-64E. Kalau AS mengijinkan Indonesia
menggunakan Apache AH-64E, maka sangat wajar jika Indonesia
meminta pembelian Destroyer. Indonesia harus ikut berperan aktif
dalam pengamanan Laut China Selatan. Keberadaan Destroyer harus
dikaitkan dengan pengamanan Laut China Selatan.
Diagram first and second island chains of China tembus hingga ke
Indonesia
Pihak TNI pernah meninjau destroyer milik AS. Chuck hagel juga
kabarnya sempat menawarkan kapal perang kepada Indonesia, saat
kontrak pengadaan Helikopter Serang Apache AH-64E.
Hal lain yang menjadi sorotan dari pertahanan Indonesia adalah tidak
adanya pertahanan anti-udara jarak menengah. Kasus rencana
serangan AS ke Suriah, menunjukkan betapa pentingnya sistem
pertahanan jarak menengah sepeti S-300. Vladimir Putin saja
mengakui sistem pertahanan S-300 menjadi faktor yang strategis
bagi posisi pertahanan Suriah. Tidak heran, Iran pun mati-matian
ingin mendapatkan sistem pertahanan anti-udara S-300 family.
Di jaman modern sekarang ini, peperangan dilakukan dari jarak jauh.
Jika sebuah negara tidak memiliki pertahahan udara yang memadai,
maka harus bersiap-siap untuk di-bully oleh lawan.
Kondisi SAM Indonesia saat ini memang memprihatinkan, karena
mengandalkan S-60 retrofit, Bofors, Grom dan RBS-70 yang sudah
tua. Ada pembelian startreak serta oerlikon skyshield, namun itu pun
untuk pertahanan jarak pendek.
Usulan pengadaan pertahanan udara jarak menegah, sebenarnya
sempat dilontarkan oleh Arhanud, karena situasi modern, sangat
membutuhkan pertahanan menengah. Namun siapakah nantinya
memegang sistem pertahanan udara jarak menengah-jauh ini masih
dilematis. Apakah di tangan Arhanud TNI AD atau di tangan TNI AU
yang memang memiliki tugas pertahaan wilayah.
Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin sempat menyinggung
tentang perlunya rudal jarak menengah. Semoga yang dimaksud
Wamenhan bukan Astros II yang dipasang amunisi peluru kendali.
Sistem anti-udara S-300 family buatan Rusia patut dijadikan
kandidat. Konflik di Suriah menunjukkan S-300 merupakan senjata
deteren bagi pihak lawan.
Untuk sistem rudal sejak dulu Indonesia telah dekat dengan Uni-
Soviet/Rusia. Jika pada tahun 1960-an TNI memiliki rudal antikapal
permukaan KS-1 Komet dan rudal anti-udara jarak pendek, kini TNI
memiliki Yakhont dan seharusnya rudal anti-udara jarak menengah.
Tujuan dari sistem senjata anti-udara jarak menengah-jauh ini, tidak
lain untuk objek vital nasional yang bersifat strategis.
Untuk unsur pasukan, Kualitas dan jumlah personel pertahanan:
Kostrad, Marinir, Paskhas terus ditingkatkan diselaraskan dengan
keberadaan komponen Cadangan Pertahanan. Tidak kalah penting
adalah meningkatan kemampuan industri militer dalam negeri
seperti: LAPAN, Pindad, PT PAL, PT DI, BPPT, PT Dahana dan
sebagainya. Diharapkan pada renstra 2, tank medium Pindad telah
menemukan bentuknya. Begitu pula dengan kapal selam Changbogo
yang sudah diproduksi di dalam negeri, Roket Rhan, C-705 anti-kapal
serta prototype IFX.
http://garudamiliter.blogspot.com/2013/09/minimum-essential-force-tni-tahap-2.html?m=1
0
16.5K
53
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan