- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
APA FUNGSI SEKOLAH KALAU ADA BIMBEL...


TS
andrinusa
APA FUNGSI SEKOLAH KALAU ADA BIMBEL...
Sebagai warga biasa, saya merasa trenyuh dengan apa yang dialami oleh para pelajar Indonesia belakangan ini. Bagaimana tidak, biaya sekolah yang makin mahal (ini alasan yang salah, karena yang nyari uang orang tuanya), kurikulum yang gonta-ganti, ujian yang mengerikan, dan setelah lulus terancam jadi pengangguran.
Mahalnya biaya sekolah, masih belum diiringi dengan peningkatan kualitas. Di kota besar sebagian siswa – tentunya yang punya uang untuk membayar — yang sudah berjam-jam belajar disekolah, masih harus menunda kepulangan karena harus mengikuti bimbingan belajar ini dan itu. Setidaknya banyak siswa dan orang tua siswa belum merasa tenang jika tidak mencari tambahan penjelasan atau pendalaman materi, lewat bimbingan belajar atau kursus tambahan.
Belum lagi longgarnya regulasi pemerintah tidak disia-siakan oleh pebisnis dengan menawarkan ‘sekolah standar internasional’ yang disambut haru-biru oleh para orang tua yang menginginkan cerahnya masa depan anak-anak mereka. Tentunya biaya yang mahal hanya terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan ‘dolar’.
Sekolah standar internasional, bimbingan belajar, kursus, seolah menjadi monumen belum menjadinya sekolah kita menjadi rumah di negerinya sendiri. Dari satu kacamata dapat ditarik kesimpulan: kualitas sekolah kita belum mampu menjawab kebutuhan siswa, sehingga tanpa kursus atau bimbel maka siswa kuatir tidak lulus ujian nasional.
Soal kurikulum yang sudah diterapkan barangkali sudah tak terhitung jumlahnya, yang dipakai di jaman saya adalah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Belakangan para siswa merasa ketakutan tidak lulus ujian nasional. Guru-guru sebenarnya juga demikian, karena akan dinilai tidak mampu mengampu proses pembelajaran. Saya sendiri heran, mengapa nilai ujian nasional dijadikan satu-satunya indikator kelulusan ? Lantas apa artinya sekian tahun proses belajar ?! Sekedar mengejar selembar Ijasah kah ?!
Pendapat pribadi saya, dalam proses belajar mengajar, subyeknya adalah guru dan siswa, obyeknya adalah materi yang dipelajari, dan medianya adalah metode dan sarana yang dipakai. Kesemuanya terhubung dan saling mempengaruhi dan itu berarti proses belajar tadi merupakan suatu sistem. Apakah itu yang dimaksud dengan sistem pendidikan ?! Apakah itu guna dari pendidikan ?! Entahlah.
Namun saya hampir yakin, tanpa selembar ijasah seluruh proses belajar bertahun-tahun akan sia-sia. Pintu masuk ke jenjang pendidikan (formal) yang lebih tinggi, atau jenjang karier akan tertutup untuk manusia-manusia tanpa lembaran ini. Padahal ketika belajar di jenjang lebih tinggi, atau ketika bekerja, lembar tersebut ‘sudah tidak mempunyai fungsi lagi’.
Pendidikan, suatu bentuk upaya yang saya harapkan mampu membuat seseorang – khususnya (sebagai) siswa – untuk mampu mengenal dirinya, memahami realitas dunianya. Mampu membuat orang liat, elastis dalam menghadapi perubahan. Mampu membuat orang lapang, terbuka akan hal-hal baru. Sesuatu yang membuat ilmuwan tidak frustrasi dan menjadi gila ketika hipotesanya dinyatakan salah oleh hasil percobaannya sendiri. Sesuatu yang mampu membangun karakter yang menghargai proses, memuja kebenaran.
Demikian juga, ketika siswa nilainya dibawah standar kelulusan ujian nasional, jangan hanya siswa yang disalahkan. Barangkali gurunya juga salah, kurang menyiapkan diri sebagai pengampu proses belajar. Gurunya juga belum tentu sepenuhnya salah, barangkali salah satu sebab ketidaksiapannya karena alasan klasik : gaji rendah, yang rapat urusannya dengan urusan perut. Barang kali juga karena sarana sekolah yang kurang memadai, misalnya jumlah buku-buku pelajaran yang tidak mencukupi jika dibanding jumlah siswa. Ketimpangan antar daerah menyebabkan standar guru misalnya di daerah Irian Jaya jauh tertinggal dari rekan guru yang ada di Jakarta. Memang ada upaya standarisasi mutu guru lewat sertifikasi, namun jika proses sertifikasinya sendiri tidak standar, apa yang bisa diharapkan. Bisa jadi di satu daerah seorang guru benar-benar harus berjuang untuk memperoleh sertifikasi, sementara guru lain cukup menjalani formalitas yang penting bisa memenuhi syarat administrasi : amplop. Bukan rahasia lagi, korupsi adalah satu mata pelajaran yang tidak ada di kurikulum namun diajarkan lewat praktek dalam dunia pendidikan kita.
Jika dunia pendidikan sudah begitu, artinya semacam ada doktrin “ngapain susah-susah, pakai amplop saja beres” maka yang terjadi adalah budaya tidak menghargai proses. Menghargai proses adalah bagian dari nilai hidup. Jika siswa hidup tanpa menghargai nilai hidup, masih lumayan jika yang terlahir adalah bentuk ‘kurang ajar’ terhadap guru. Jika saya guru yang diejek, dari getir yang saya terima setidaknya menjadi signal yang menunjukkan kegagalan proses belajar, sebelum ‘deadline’ – sebelum siswa tersebut lulus. Artinya masih ada waktu untuk membenahi, untuk memperbaiki sikap siswa tersebut. Maka mengeluarkan siswa, apalagi tanpa ada peringatan, teguran, dan jelas tanpa ada upaya untuk merehabilitasi kepribadian siswanya, maka saya mempertanyakan apa fungdi sesungguhnya dari sekolah itu ? Mengeluarkan selembar kertas yang disebut ijasah kah ?!
Entahlah .. sepertinya untuk menjawabnya aku harus kembali sekolah !
Mahalnya biaya sekolah, masih belum diiringi dengan peningkatan kualitas. Di kota besar sebagian siswa – tentunya yang punya uang untuk membayar — yang sudah berjam-jam belajar disekolah, masih harus menunda kepulangan karena harus mengikuti bimbingan belajar ini dan itu. Setidaknya banyak siswa dan orang tua siswa belum merasa tenang jika tidak mencari tambahan penjelasan atau pendalaman materi, lewat bimbingan belajar atau kursus tambahan.
Belum lagi longgarnya regulasi pemerintah tidak disia-siakan oleh pebisnis dengan menawarkan ‘sekolah standar internasional’ yang disambut haru-biru oleh para orang tua yang menginginkan cerahnya masa depan anak-anak mereka. Tentunya biaya yang mahal hanya terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan ‘dolar’.
Sekolah standar internasional, bimbingan belajar, kursus, seolah menjadi monumen belum menjadinya sekolah kita menjadi rumah di negerinya sendiri. Dari satu kacamata dapat ditarik kesimpulan: kualitas sekolah kita belum mampu menjawab kebutuhan siswa, sehingga tanpa kursus atau bimbel maka siswa kuatir tidak lulus ujian nasional.
Soal kurikulum yang sudah diterapkan barangkali sudah tak terhitung jumlahnya, yang dipakai di jaman saya adalah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Belakangan para siswa merasa ketakutan tidak lulus ujian nasional. Guru-guru sebenarnya juga demikian, karena akan dinilai tidak mampu mengampu proses pembelajaran. Saya sendiri heran, mengapa nilai ujian nasional dijadikan satu-satunya indikator kelulusan ? Lantas apa artinya sekian tahun proses belajar ?! Sekedar mengejar selembar Ijasah kah ?!
Pendapat pribadi saya, dalam proses belajar mengajar, subyeknya adalah guru dan siswa, obyeknya adalah materi yang dipelajari, dan medianya adalah metode dan sarana yang dipakai. Kesemuanya terhubung dan saling mempengaruhi dan itu berarti proses belajar tadi merupakan suatu sistem. Apakah itu yang dimaksud dengan sistem pendidikan ?! Apakah itu guna dari pendidikan ?! Entahlah.
Namun saya hampir yakin, tanpa selembar ijasah seluruh proses belajar bertahun-tahun akan sia-sia. Pintu masuk ke jenjang pendidikan (formal) yang lebih tinggi, atau jenjang karier akan tertutup untuk manusia-manusia tanpa lembaran ini. Padahal ketika belajar di jenjang lebih tinggi, atau ketika bekerja, lembar tersebut ‘sudah tidak mempunyai fungsi lagi’.
Pendidikan, suatu bentuk upaya yang saya harapkan mampu membuat seseorang – khususnya (sebagai) siswa – untuk mampu mengenal dirinya, memahami realitas dunianya. Mampu membuat orang liat, elastis dalam menghadapi perubahan. Mampu membuat orang lapang, terbuka akan hal-hal baru. Sesuatu yang membuat ilmuwan tidak frustrasi dan menjadi gila ketika hipotesanya dinyatakan salah oleh hasil percobaannya sendiri. Sesuatu yang mampu membangun karakter yang menghargai proses, memuja kebenaran.
Demikian juga, ketika siswa nilainya dibawah standar kelulusan ujian nasional, jangan hanya siswa yang disalahkan. Barangkali gurunya juga salah, kurang menyiapkan diri sebagai pengampu proses belajar. Gurunya juga belum tentu sepenuhnya salah, barangkali salah satu sebab ketidaksiapannya karena alasan klasik : gaji rendah, yang rapat urusannya dengan urusan perut. Barang kali juga karena sarana sekolah yang kurang memadai, misalnya jumlah buku-buku pelajaran yang tidak mencukupi jika dibanding jumlah siswa. Ketimpangan antar daerah menyebabkan standar guru misalnya di daerah Irian Jaya jauh tertinggal dari rekan guru yang ada di Jakarta. Memang ada upaya standarisasi mutu guru lewat sertifikasi, namun jika proses sertifikasinya sendiri tidak standar, apa yang bisa diharapkan. Bisa jadi di satu daerah seorang guru benar-benar harus berjuang untuk memperoleh sertifikasi, sementara guru lain cukup menjalani formalitas yang penting bisa memenuhi syarat administrasi : amplop. Bukan rahasia lagi, korupsi adalah satu mata pelajaran yang tidak ada di kurikulum namun diajarkan lewat praktek dalam dunia pendidikan kita.
Jika dunia pendidikan sudah begitu, artinya semacam ada doktrin “ngapain susah-susah, pakai amplop saja beres” maka yang terjadi adalah budaya tidak menghargai proses. Menghargai proses adalah bagian dari nilai hidup. Jika siswa hidup tanpa menghargai nilai hidup, masih lumayan jika yang terlahir adalah bentuk ‘kurang ajar’ terhadap guru. Jika saya guru yang diejek, dari getir yang saya terima setidaknya menjadi signal yang menunjukkan kegagalan proses belajar, sebelum ‘deadline’ – sebelum siswa tersebut lulus. Artinya masih ada waktu untuk membenahi, untuk memperbaiki sikap siswa tersebut. Maka mengeluarkan siswa, apalagi tanpa ada peringatan, teguran, dan jelas tanpa ada upaya untuk merehabilitasi kepribadian siswanya, maka saya mempertanyakan apa fungdi sesungguhnya dari sekolah itu ? Mengeluarkan selembar kertas yang disebut ijasah kah ?!
Entahlah .. sepertinya untuk menjawabnya aku harus kembali sekolah !
0
2.5K
23


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan