- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Pesona Jokowi Redupkan Konvensi Demokrat


TS
battencourt
Pesona Jokowi Redupkan Konvensi Demokrat
Bismilah & Gak Repost Tentunya gan...
Spoiler for Repost:
Joko Widodo
Indonesian Politician
Joko Widodo, better known by his nickname Jokowi, is an Indonesian politician and the current Governor of Jakarta. He was previously the Mayor of Surakarta.
Born:June 21, 1961 (age 52), Surakarta, Indonesia
Spouse: Iriana Joko Widodo
Education: Gadjah Mada University (1985)
Party: Indonesian Democratic Party – Struggle
Children: Kahiyang Ayu, Kaesang Pangarep, Gibran Rakabuming Raka
Indonesian Politician
Joko Widodo, better known by his nickname Jokowi, is an Indonesian politician and the current Governor of Jakarta. He was previously the Mayor of Surakarta.
Born:June 21, 1961 (age 52), Surakarta, Indonesia
Spouse: Iriana Joko Widodo
Education: Gadjah Mada University (1985)
Party: Indonesian Democratic Party – Struggle
Children: Kahiyang Ayu, Kaesang Pangarep, Gibran Rakabuming Raka
Quote:
Sebagian besar perhatian publik kini lebih tertuju kepada sosok Jokowi yang digadang-gadang menjadi calon pemimpin nasional bersamaan dengan terus meroketnya elektabilitas tokoh baru ini sebagai kandidat Presiden 2014. Jokowi tidak saja digadang oleh kalangan internal PDI perjuangan yang menjadi rumah politiknya, tetapi juga semakin dieluk-elukkan sebagian besar masyarakat yang berlatar belakang sangat majemuk.
Jokowi telah menjadi harapan baru dan calon pemimpin alternatif yang mewakili aspirasi perubahan di Republik tercinta ini. Gegap gempita politik yang tersedot oleh pesona Jokowi setidaknya terlihat dalam momentum Rakernas PDI Perjuangan kali, dimana dukungan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk tampil menjadi Capres kian tak terbendung yang juga memperoleh sinyal positif dari Megawati Soekarno Putri.
Tertus disebutnya Nama Jokowi oleh Megawati dalam forum Rakernas PDI Perjuangan serta dipilihnya mantan Walikota Solo ini sebagai pembaca naskah dedication of life Soekarno menjadi simbol politik yang semakin terang benderang bahwa Pencapresan tokoh ini tinggal menunggu momentum yang paling tepat. Begitu bangganya Megawati terhadap prestasi, dedikasi dan loyalitas Jokowi tampaknya membuat sang Ketua Umum PDI Perjuangan sudah siap dan ikhlas menyerahkan tiket Capresnya untuk dipakai oleh kader terbaiknya di 2014.
Megawati dan PDI Perjuangan tampaknya sedang menyiapkan waktu paling tepat untuk mengumumkan kader terbaiknya menjadi Capres 2014 sambil terus mengamati trend elektabilitas Jokowi dan gelombang besar dukungan publik untuk beberapa bulan terkahir. Jika elektabilitasnya terus naik dan dukungan publik terus menggelinding, diprediksikan PDI Perjuangan segera mendekalarsikan Jokowi sebagai Capres definitif di awal tahun 2014 demi mendulang kemenangan dalam Pemilu legislatif.
Untuk bisa mencalonkan Jokowi sebagai kandidat Presiden PDI Perjuangan memang harus berjuang ekstra keras agar mampu memenuhu syarat 20 % perolehan kursi di DPRRI atau 25 % suara syah. Dengan memenuhi syarat Pencapresan inilah PDI Perjuangan akan memiliki daya tawar politik yang sangat tinggi karena mampu mengantar Capres terbaiknya untuk bertarung dalam Pilpres tahun depan.
Kondisi seperti itulah yang membuat sebagian elit politik yang berniat tampil menjadi Capres perhatiannya semakin terfokus pada Jokowi yang elektabilitasnya diprediksi semakin meroket. Karenanya menjadi wajar jika ada sebagian elit politik yang merasa gerah, panik, kawatir dan bahkan terancam sehingga berusaha membendung Jokowi agar tidak tampil menjadi Capres melalui PDI Perjuangan.
Upaya membendung laju Jokowi setidaknya secara terang-terangan disampaikan oleh kubu politik Partai Gerindra yang memberi warning kepada Gubernur DKI Jakarta untuk tidak lupa dengan janjinya untuk memimpin Ibukota negara ini sampai tahun 2017. Para elit Gerindra juga mengingatkan kepada PDI Perjuangan agar tidak Mencapreskan Jokowi karena adanya kontrak politik yang dibuat antara Megawati dan Prabowo— dimana pada tahun 2009 Partai Gerindra telah mendukung Megawati sebagai Capres sehingga di tahun 2014 ‘gantian’ PDI Perjuangan yang wajib mendukung Prabowo menjadi Capres.
Terlepas dari kontroversi kontrak politik tersebut yang lebih substansial adalah mulai adanya upaya dan gerakan politik yang berusaha membendung tampilnya Jokowi sebagai Capres tahun depan, baik melalui intervensi kedalam partainya maupun gerakan untuk memrusak citra agar elektabilitas tokoh ini dapat kembali melorot secara drastis sehingga pada saatnya tidak layak untuk tampil menjadi Capres.
Gerakan politik untuk meredam dan menghadang laju Jokowi juga muncul dari arena Konvensi Demokrat yang sejak awal sesungguhnya telah sangat terpesona oleh figur Gubernur DKI Jakarta ini. Setelah Jokowi menolak ikut Konvensi Demokrat, maka segala energi lebih diarahkan untuk mengejar dan menandingi elektabilitas kader terbaik PDI Perjuangan ini.
Ambisi menandingi dan bahkan mengungguli elektabilitas Jokowi telah dinyatakan oleh Ketua Umum Harian DPP Partai Demokrat bahwa pemenang konvensi Demokrat nantinya akan bisa melampaui tingkat keterpilihan Gubernur DKI Jakarta sebagai kandidat Capres. Pernyataan senada juga dinyatakan oleh peserta Konvensi dan sekaligus ipar SBY, Pramono Edi Wibowo yang sangat optimis dirinya bisa menyamai dan menyalip elektabilitas Jokowi.
Berdasarkan sentimen politik itu, maka mata kompetitor dalam Pilpres tahun 2014 lebih terfokus dan mengarah kepada sosok Jokowi yang kini memiliki daya pesona politik yang sangat memikat dan menggetarkan jagad perpolitikan nasional. Terus melejitnya elektabilitas Jokowi sebagaimana ditemukan oleh berbagai lembaga survei menjadi sebab bahwa tokoh ini sangat diwaspadai oleh lawan-lawan politiknya karena pesonanya telah mampu ‘menyihir’ mata publik sehingga lebih melirik kepada dirinya dengan menemapatkkannya sebagai harapan baru mayoritas rakyat Indonesia.
Besarnya daya tarik dan pesona Jokowi tampaknya akan menjadi magnet yang memiliki daya pikat yang semakin lama semakin kuat dan meluas. Karena besarnya pesona Jokowi saat ini maka panggung politik berupa Konvensi Partai Demokrat yang semula diprediksi akan bertebaran bintang serta geliatnya sangat menggetarkan ternyata semangat serta ‘auara’ politiknya tidak seperti yang diharapkan.
Panggung Konvensi Demokrat bahkan kini terlihat lesu ketika sejumlah tokoh politik, teruma JK dan Mahfud MD menolak mengikuti ajang pencarian Capres 2014. Pesimisme publik juga muncul ketika komite Konvensi mengumumkan 11 peserta yang mayoritas elektabilitasnya masih rendah serta pelaksanaan konvensi akan berlangsung ’semi terbuka’ sehingga dicurigai akan syarat rekayasadan manipulasi politik yang sangat subyektif.
Tampilnya Dahlan Iskan dan Anis Baswedan sebagai peserta konvensi tampaknya sulit memompa optimisme publik karena menganggap 2 tokoh ini akan keberatan memikul beban citra Partai Demokrat yang terus tersandung berbagai kasus korupsi. Pelaksanaan Konvensi juga dinilai akan mubazir manakala kepentingan nepotisme yang akhirnya dimenangkan dan apalagi Partai Demokrat tidak mampu memenuhi syarat pengajuan Capres secara mandiri mengingat elektabilitas partai besutan SBY telah jatuh dibawah 10% seperti dirilis oleh banyak lembaga survei.
Berdasarkan kenyataan itu, maka pesona Jokowi yang semakin menggetarkan dan memikat simpati publik sehingga panggung besar berupa Konvensi Demokrat menjadi semakin sepi perhatian karena sejak awal tidak bisa meyakinkan dan membangkitkan optimisme publik. Dalam kondisi demikian, pesona Jokowi semakin ‘meredupkan’ Konvensi Demokrat yang sesungguhnya lebih dijadikan ajang kontestasi politik demi menandingi serta meruntuhkan dominasi elektabilitas mantan Walikota Solo ini sebagai kandidat Capres.
Besarnya ambisi Konvensi Demokrat untuk menyalip dan menumbangkan elektabilitas Jokowi masuk akal mengingat sejarah Partai Demokrat dan PDI Perjuangan selama ini selalu berhadap-hadapan, baik dalam kontestasi politik diberbagai Pemilukada maupun dalam Pilpres. Kedua partai ini juga telah menempatkan dirinya secara kontradiktif, dimana PDI Perjuangan sebagai partai oposisi dan Partai Demokrat adalah partai penguasa.
Besarnya daya pesona Jokowi memang telah diakui oleh lawan-lawan politiknya sehingga dibutuhkan strategi yang lebih jitu untuk bisa mengejar elektabilitas tokoh ini menjelang Pemilu 2014. Namun demikian, upaya menandingi dan menyalip elektabilitas Jokowi harus tetap dilakukan secara cerdas, fair dan simpatik karena publik terus memantau jika ada penjegalan dan ‘penzaliman’ politik yang tidak demokratis terhadap tokoh baru ini justru akan semakin menaikkan militansi serta tsunami dukungan politik yang akhirnya sulit terbendung untuk bertahta di RI 1.
Jokowi telah menjadi harapan baru dan calon pemimpin alternatif yang mewakili aspirasi perubahan di Republik tercinta ini. Gegap gempita politik yang tersedot oleh pesona Jokowi setidaknya terlihat dalam momentum Rakernas PDI Perjuangan kali, dimana dukungan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk tampil menjadi Capres kian tak terbendung yang juga memperoleh sinyal positif dari Megawati Soekarno Putri.
Tertus disebutnya Nama Jokowi oleh Megawati dalam forum Rakernas PDI Perjuangan serta dipilihnya mantan Walikota Solo ini sebagai pembaca naskah dedication of life Soekarno menjadi simbol politik yang semakin terang benderang bahwa Pencapresan tokoh ini tinggal menunggu momentum yang paling tepat. Begitu bangganya Megawati terhadap prestasi, dedikasi dan loyalitas Jokowi tampaknya membuat sang Ketua Umum PDI Perjuangan sudah siap dan ikhlas menyerahkan tiket Capresnya untuk dipakai oleh kader terbaiknya di 2014.
Megawati dan PDI Perjuangan tampaknya sedang menyiapkan waktu paling tepat untuk mengumumkan kader terbaiknya menjadi Capres 2014 sambil terus mengamati trend elektabilitas Jokowi dan gelombang besar dukungan publik untuk beberapa bulan terkahir. Jika elektabilitasnya terus naik dan dukungan publik terus menggelinding, diprediksikan PDI Perjuangan segera mendekalarsikan Jokowi sebagai Capres definitif di awal tahun 2014 demi mendulang kemenangan dalam Pemilu legislatif.
Untuk bisa mencalonkan Jokowi sebagai kandidat Presiden PDI Perjuangan memang harus berjuang ekstra keras agar mampu memenuhu syarat 20 % perolehan kursi di DPRRI atau 25 % suara syah. Dengan memenuhi syarat Pencapresan inilah PDI Perjuangan akan memiliki daya tawar politik yang sangat tinggi karena mampu mengantar Capres terbaiknya untuk bertarung dalam Pilpres tahun depan.
Kondisi seperti itulah yang membuat sebagian elit politik yang berniat tampil menjadi Capres perhatiannya semakin terfokus pada Jokowi yang elektabilitasnya diprediksi semakin meroket. Karenanya menjadi wajar jika ada sebagian elit politik yang merasa gerah, panik, kawatir dan bahkan terancam sehingga berusaha membendung Jokowi agar tidak tampil menjadi Capres melalui PDI Perjuangan.
Upaya membendung laju Jokowi setidaknya secara terang-terangan disampaikan oleh kubu politik Partai Gerindra yang memberi warning kepada Gubernur DKI Jakarta untuk tidak lupa dengan janjinya untuk memimpin Ibukota negara ini sampai tahun 2017. Para elit Gerindra juga mengingatkan kepada PDI Perjuangan agar tidak Mencapreskan Jokowi karena adanya kontrak politik yang dibuat antara Megawati dan Prabowo— dimana pada tahun 2009 Partai Gerindra telah mendukung Megawati sebagai Capres sehingga di tahun 2014 ‘gantian’ PDI Perjuangan yang wajib mendukung Prabowo menjadi Capres.
Terlepas dari kontroversi kontrak politik tersebut yang lebih substansial adalah mulai adanya upaya dan gerakan politik yang berusaha membendung tampilnya Jokowi sebagai Capres tahun depan, baik melalui intervensi kedalam partainya maupun gerakan untuk memrusak citra agar elektabilitas tokoh ini dapat kembali melorot secara drastis sehingga pada saatnya tidak layak untuk tampil menjadi Capres.
Gerakan politik untuk meredam dan menghadang laju Jokowi juga muncul dari arena Konvensi Demokrat yang sejak awal sesungguhnya telah sangat terpesona oleh figur Gubernur DKI Jakarta ini. Setelah Jokowi menolak ikut Konvensi Demokrat, maka segala energi lebih diarahkan untuk mengejar dan menandingi elektabilitas kader terbaik PDI Perjuangan ini.
Ambisi menandingi dan bahkan mengungguli elektabilitas Jokowi telah dinyatakan oleh Ketua Umum Harian DPP Partai Demokrat bahwa pemenang konvensi Demokrat nantinya akan bisa melampaui tingkat keterpilihan Gubernur DKI Jakarta sebagai kandidat Capres. Pernyataan senada juga dinyatakan oleh peserta Konvensi dan sekaligus ipar SBY, Pramono Edi Wibowo yang sangat optimis dirinya bisa menyamai dan menyalip elektabilitas Jokowi.
Berdasarkan sentimen politik itu, maka mata kompetitor dalam Pilpres tahun 2014 lebih terfokus dan mengarah kepada sosok Jokowi yang kini memiliki daya pesona politik yang sangat memikat dan menggetarkan jagad perpolitikan nasional. Terus melejitnya elektabilitas Jokowi sebagaimana ditemukan oleh berbagai lembaga survei menjadi sebab bahwa tokoh ini sangat diwaspadai oleh lawan-lawan politiknya karena pesonanya telah mampu ‘menyihir’ mata publik sehingga lebih melirik kepada dirinya dengan menemapatkkannya sebagai harapan baru mayoritas rakyat Indonesia.
Besarnya daya tarik dan pesona Jokowi tampaknya akan menjadi magnet yang memiliki daya pikat yang semakin lama semakin kuat dan meluas. Karena besarnya pesona Jokowi saat ini maka panggung politik berupa Konvensi Partai Demokrat yang semula diprediksi akan bertebaran bintang serta geliatnya sangat menggetarkan ternyata semangat serta ‘auara’ politiknya tidak seperti yang diharapkan.
Panggung Konvensi Demokrat bahkan kini terlihat lesu ketika sejumlah tokoh politik, teruma JK dan Mahfud MD menolak mengikuti ajang pencarian Capres 2014. Pesimisme publik juga muncul ketika komite Konvensi mengumumkan 11 peserta yang mayoritas elektabilitasnya masih rendah serta pelaksanaan konvensi akan berlangsung ’semi terbuka’ sehingga dicurigai akan syarat rekayasadan manipulasi politik yang sangat subyektif.
Tampilnya Dahlan Iskan dan Anis Baswedan sebagai peserta konvensi tampaknya sulit memompa optimisme publik karena menganggap 2 tokoh ini akan keberatan memikul beban citra Partai Demokrat yang terus tersandung berbagai kasus korupsi. Pelaksanaan Konvensi juga dinilai akan mubazir manakala kepentingan nepotisme yang akhirnya dimenangkan dan apalagi Partai Demokrat tidak mampu memenuhi syarat pengajuan Capres secara mandiri mengingat elektabilitas partai besutan SBY telah jatuh dibawah 10% seperti dirilis oleh banyak lembaga survei.
Berdasarkan kenyataan itu, maka pesona Jokowi yang semakin menggetarkan dan memikat simpati publik sehingga panggung besar berupa Konvensi Demokrat menjadi semakin sepi perhatian karena sejak awal tidak bisa meyakinkan dan membangkitkan optimisme publik. Dalam kondisi demikian, pesona Jokowi semakin ‘meredupkan’ Konvensi Demokrat yang sesungguhnya lebih dijadikan ajang kontestasi politik demi menandingi serta meruntuhkan dominasi elektabilitas mantan Walikota Solo ini sebagai kandidat Capres.
Besarnya ambisi Konvensi Demokrat untuk menyalip dan menumbangkan elektabilitas Jokowi masuk akal mengingat sejarah Partai Demokrat dan PDI Perjuangan selama ini selalu berhadap-hadapan, baik dalam kontestasi politik diberbagai Pemilukada maupun dalam Pilpres. Kedua partai ini juga telah menempatkan dirinya secara kontradiktif, dimana PDI Perjuangan sebagai partai oposisi dan Partai Demokrat adalah partai penguasa.
Besarnya daya pesona Jokowi memang telah diakui oleh lawan-lawan politiknya sehingga dibutuhkan strategi yang lebih jitu untuk bisa mengejar elektabilitas tokoh ini menjelang Pemilu 2014. Namun demikian, upaya menandingi dan menyalip elektabilitas Jokowi harus tetap dilakukan secara cerdas, fair dan simpatik karena publik terus memantau jika ada penjegalan dan ‘penzaliman’ politik yang tidak demokratis terhadap tokoh baru ini justru akan semakin menaikkan militansi serta tsunami dukungan politik yang akhirnya sulit terbendung untuk bertahta di RI 1.
Spoiler for Sumber:
Diubah oleh battencourt 07-09-2013 10:20
0
4.1K
Kutip
14
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan