- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
BUDAYA MAKAN PINANG (MENGINANG)


TS
f45ca
BUDAYA MAKAN PINANG (MENGINANG)
Pinang atau dalam bahasa Latin di sebut Areca
Catechu L, sudah tidak asing lagi bagi penduduk
Indonesia. Pinang yang berasal dari Malaka (Malaysia)
telah masuk ke Indonesia pada masa sebelum Masehi.
Ada sumber yang mengatakan Pinang masuk pada
abad ke 6 sebelum Masehi namun ada pula sumber
yang mengatakan pada abad ke 4 sebelum Masehi
Pinang sudah ada di Papua.
Pinang adalah jenis tanaman palma yang dalam
bahasa Hindi buah ini disebut supari, dan pan-supari
untuk menyebut sirih-pinang. Bahasa Malayalam
menamakannya adakka atau adekka, sedang dalam
bahasa Sri Lanka dikenal sebagai puuuuikiuivak.
Masyarakat Thai menamakannya mak, dan orang
Cina menyebutnya pin-lang. Pinang merupakan
lambang keturunan orang yang baik budi pekerti,
jujur, serta memiliki derajat tinggi. Bersedia
melakukan suatu pekerjaan dengan hati terbuka dan
bersungguh-sungguh. Makna ini ditarik dari sifat
pohon pinang yang tinggi lurus ke atas serta
mempunyai buah yang lebat dalam setandan.
Pinang dalam kaitannya dengan budaya indonesia
adalah kebiasaan orang indonesia untuk "menginang".
Dalam menginang, campuran wajibnya adalah kapur,
sirih dan gambir, adapula yang memberinya dengan
tambahan sedikit tembakau. Dengan racikan yang pas
maka menginang akan membuat bibir merah
merekah. Selain membuat bibir merah, secara medis
menginang juga membuat gigi menjadi kuat, dan
menimbulkan efek kecanduan seperti halnya pada
rokok.
Menginang di lakukan hanya dengan mencampurkan
racikan-racikan tadi, mengunyahnya dan
"jrennnnggg!!!" keluarlah warna bibir yang merah
merekah. Bagi para lansia, terkadang sulit mengunyah
Pinang biasanya di tumbuk halus dulu dengan lesung
sebelum di konsumsi. Hampir sama dengan rokok dan
cemilan, menginang pun biasa di lakukan kapan saja
pagi siang sore malam menginang adalah kenikmatan
yang menimbulkan sensasi luar biasa di lidah para
pecintanya.
Budaya makan Pinang telah merasuk ke Indonesia di
berbagai wilayah dari Sumatra, Jawa, Kalimantan
hingga Papua. Namun karena efek yang di timbulkan
setelah makan Pinang berupa air liur yang terlihat
merah dan jorok di tambah lagi dengan kehadiran
rokok dan cemilan, maka budaya makan Pinang ini
kian lama kian terkikis. Dan parahnya lagi di Papua
sekarang sedang marak papan-papan pengumuman
yang melarang orang untuk menginang di tempat
umum dengan alasan jorok tadi dengan tulisan
"dilarang makan Pinang" maka semakin tersingkir lah
budaya ini terkikis zaman. bahkan di bandara pun kita
akan melihat larangan menginang tsb. Apa yang salah
dengan Pinang, kebiasaan ini sudah ada sejak zaman
dulu sebelum rokok tenar. Namun kenapa orang lebih
menyingkirkan pinang yang baik untuk kesehatan
dari pada rokok yang jelas-jelas membahayakan
kesehatan. kenapa orang-orang bisa menyediakan
smoking area namun tidak menyisakan area untuk
menginang. Larangan menginang di papua ini
membuat orang-orang yang suka menginang harus
tersingkir ke pedalaman. Stigma jelek terhadap
menginang yang menganggap menginang adalah
kebiasaan buruk, budaya terbelakang, dan tidak
modern membuat pertentangan banyak pihak di
papua.
Menginang sama halnya dengan kita mengkonsumsi
rokok, kopi atau teh, menimbulkan efek yang luar
biasa bagi penikmatnya, tidak heran di Papua anak-
anak usia 5 tahun pun sudah bisa menginang.
meskipun untuk di wilayah-wilayah Indonesia lain
seperti Kalimantan, Sumatra, Jawa, menginang
biasanya hanya di lakukan oleh orang-orang lansia.
Selain efek kenikmatan tsb, menginang juga punya
banyak fungsi lain di dalam budaya kita. Zaman
dahulu, menginang bisa di gunakan sebagai
penghormatan terhadap seseorang, sehingga apabila
bertamu dan di suguhi bahan-bahan menginang maka
haruslah di makan. Menginang juga bisa di gunakan
sebagai mas kimpoi, ada pula yang hanya sekedar
sebagai pengantar bicara, sebagai pengikat hubungan
sebelum menikah (bertunangan) ataupun sebagai
obat-obatan tradisional. tidak heran, orang Indonesia
zaman dulu sangat menyukai Pinang dan
menganggap Pinang sesuatu yang sangat istimewa.
Pinang tidak akan bisa di gunakan untuk menginang
apabila tidak di tambah dengan kapur, sirih dan
Gambir..kenapa demikian, mari kita simak,
bagaimana sih filosofi menginang itu sebenarnya.
-Sirih
adalah tanaman tropis, tumbuh di Madagaskar, Timur
Afrika, dan Hindia Barat. Sirih yang terdapat di
Semenanjung Malaysia ada empat jenis, yaitu sirih
Melayu, sirih Cina, sirih Keling, dan sirih Udang.
Dalam bahasa Indonesia, dikenal berbagai nama jenis
sirih seperti sirih Carang, Be, Bed, Siyeh, Sih, Camai,
Kerekap, Serasa, Cabe, Jambi, Kengyek, dan Kerak.
Sirih, konon melambangkan sifat rendah hati,
memberi, serta senantiasa memuliakan orang lain.
Makna ini ditafsirkan dari cara tumbuh sirih yang
memanjat pada para-para, batang pohon sakat atau
batang pohon api-api tanpa merusakkan batang atau
apapun tempat ia hidup. Dalam istilah biologi disebut
simbiosis komensalisme. Daun sirih yang lebat dan
rimbun memberi keteduhan di sekitarnya.
-Kapur
Diperoleh dari hasil pemrosesan cangkang kerang
atau pembakaran batu kapur. Secara fisik, warnanya
putih bersih, tetapi reaksi kimianya bisa
menghancurkan. Kapur melambangkan hati yang
putih bersih serta tulus, tetapi jika keadaan memaksa,
ia akan berubah menjadi lebih agresif dan marah.
-Gambir
Gambir juga adalah tumbuhan yang terdapat di Asia
Tenggara, termasuk dalam keluarga Rubiaceae.
Daunnya berbentuk bujur telur atau lonjong, dan
permukaannya licin. Bunga gambir berwarna kelabu.
Gambir juga dimanfaatkan sebagai obat, antara lain
untuk mencuci luka bakar dan kudis, mencegah
penyakit diare dan disentri, serta sebagai pelembap
dan menyembuhkan luka di kerongkongan. Gambir
memiliki rasa sedikit pahit, melambangkan keteguhan
hati. Makna ini diperoleh dari warna daun gambir
yang kekuning-kuningan serta memerlukan suatu
pemrosesan tertentu untuk memperoleh sarinya,
sebelum bisa dimakan. Dimaknai bahwa jika
mencita-citakan sesuatu, kita harus sabar melakukan
proses untuk mencapainya.
Dengan memakan serangkai pinang sirih dan kapur
ini, merupakan simbol dari harapan untuk menjadi
manusia yang selalu rendah hati dan meneduhkan
layaknya sirih. Hati bersih, tulus tapi agresif seperti
kapur. Jujur, lurus hati dan bersungguh-sungguh
layaknya pohon pinang. Dan jika ditambah gambir
berarti sabar dan hati yang teguh bak sang gambir.
kesemuanya harus di racik menjadi satu kesatuan
yang pas,harus benar benar di campur dengan tepat
untuk menghasilkan citarasa yang enak.
Untuk melestarikan budaya makan pinang dan
melawan aturan larangan makan pinang di papua
maka beberapa pelaku seni tradisi serta masyarakat
kampung di Papua Barat mencoba mengulang
kembali teknik lukis masa lalu tersebut dengan
berkarya menggunakan ludah pinang. Karya-karya
ini dituangkan pada tembok, kulit kayu, kain, kertas,
dan balok kayu. Seorang seniman patung asal Papua
Barat, Yesaya Mayor dari Sanggar Seni Budaya
Koranu Fyak, Raja Ampat, juga telah mencoba
menggunakan ludah pinang untuk berbagai bentuk
motif di atas kulit kayu, kertas, dan daun lontar.
Lanjar Jiwo, seorang perupa dari Sorong, bersama-
sama dengan masyarakat suku Maybrat di
pegunungan Tamrau telah menorehkan ludah pinang
sebagai pewarna alami pada patung-patung Karwar
buatannya. Sedangkan masyarakat kampung Waifoi
dan Warimak, Distrik Teluk Mayalibit, Kabupaten
Raja Ampat mencoba meludah pinang di atas kertas
dan kain.
Berbeda dengan pemuda papua yang sedang berjuang
mempertahankan budaya menginang, Di Kalimantan
dan sumatra justru kebiasaan menginang ini sudah
sangat sulit di temukan, terkikis oleh kedatangan
berbagai jenis rokok, kopi dan cemilan-cemilan lain.
Sebagai salah satu pemuda Indonesia, meskipun kita
tidak menginang, mari kita jaga agar menginang bisa
menjadi cagar budaya para nenek moyang kita yang
bisa kita lestarikan dan di jaga, tidak harus di jauhi
dan dimusuhi. Kita bisa banyak belajar dari filosofi
menginang, karena itu kebudayaan harus tetap di
lestarikan walaupun menurut kita zaman nya sudah
tidak lagi sesuai di mata anak seusia kita, namun
budaya adalah warisan leluhur yang sudah di titipkan
pada kita sehingga harus tetap di jaga. Jauhkan stigma
jelek terhadap menginang seperti halnya di Papua
yang menganggap menginang itu jorok, tidak
modern dan terbelakang. Seperti merokok yang di
sediakan smoking area, maka menginang pun bisa di
sediakan tuang khusus juga kan.
Mari kita pertahankan budaya ini, mari Bung rebut
kembali...
Sumber :
- riauheritage.org
-avinaninasia.wordpress.com/2011 -xa.yimg.com/kq/
groups
- http://www.sungaikuantan.com/2010
Catechu L, sudah tidak asing lagi bagi penduduk
Indonesia. Pinang yang berasal dari Malaka (Malaysia)
telah masuk ke Indonesia pada masa sebelum Masehi.
Ada sumber yang mengatakan Pinang masuk pada
abad ke 6 sebelum Masehi namun ada pula sumber
yang mengatakan pada abad ke 4 sebelum Masehi
Pinang sudah ada di Papua.
Pinang adalah jenis tanaman palma yang dalam
bahasa Hindi buah ini disebut supari, dan pan-supari
untuk menyebut sirih-pinang. Bahasa Malayalam
menamakannya adakka atau adekka, sedang dalam
bahasa Sri Lanka dikenal sebagai puuuuikiuivak.
Masyarakat Thai menamakannya mak, dan orang
Cina menyebutnya pin-lang. Pinang merupakan
lambang keturunan orang yang baik budi pekerti,
jujur, serta memiliki derajat tinggi. Bersedia
melakukan suatu pekerjaan dengan hati terbuka dan
bersungguh-sungguh. Makna ini ditarik dari sifat
pohon pinang yang tinggi lurus ke atas serta
mempunyai buah yang lebat dalam setandan.
Pinang dalam kaitannya dengan budaya indonesia
adalah kebiasaan orang indonesia untuk "menginang".
Dalam menginang, campuran wajibnya adalah kapur,
sirih dan gambir, adapula yang memberinya dengan
tambahan sedikit tembakau. Dengan racikan yang pas
maka menginang akan membuat bibir merah
merekah. Selain membuat bibir merah, secara medis
menginang juga membuat gigi menjadi kuat, dan
menimbulkan efek kecanduan seperti halnya pada
rokok.
Menginang di lakukan hanya dengan mencampurkan
racikan-racikan tadi, mengunyahnya dan
"jrennnnggg!!!" keluarlah warna bibir yang merah
merekah. Bagi para lansia, terkadang sulit mengunyah
Pinang biasanya di tumbuk halus dulu dengan lesung
sebelum di konsumsi. Hampir sama dengan rokok dan
cemilan, menginang pun biasa di lakukan kapan saja
pagi siang sore malam menginang adalah kenikmatan
yang menimbulkan sensasi luar biasa di lidah para
pecintanya.
Budaya makan Pinang telah merasuk ke Indonesia di
berbagai wilayah dari Sumatra, Jawa, Kalimantan
hingga Papua. Namun karena efek yang di timbulkan
setelah makan Pinang berupa air liur yang terlihat
merah dan jorok di tambah lagi dengan kehadiran
rokok dan cemilan, maka budaya makan Pinang ini
kian lama kian terkikis. Dan parahnya lagi di Papua
sekarang sedang marak papan-papan pengumuman
yang melarang orang untuk menginang di tempat
umum dengan alasan jorok tadi dengan tulisan
"dilarang makan Pinang" maka semakin tersingkir lah
budaya ini terkikis zaman. bahkan di bandara pun kita
akan melihat larangan menginang tsb. Apa yang salah
dengan Pinang, kebiasaan ini sudah ada sejak zaman
dulu sebelum rokok tenar. Namun kenapa orang lebih
menyingkirkan pinang yang baik untuk kesehatan
dari pada rokok yang jelas-jelas membahayakan
kesehatan. kenapa orang-orang bisa menyediakan
smoking area namun tidak menyisakan area untuk
menginang. Larangan menginang di papua ini
membuat orang-orang yang suka menginang harus
tersingkir ke pedalaman. Stigma jelek terhadap
menginang yang menganggap menginang adalah
kebiasaan buruk, budaya terbelakang, dan tidak
modern membuat pertentangan banyak pihak di
papua.
Menginang sama halnya dengan kita mengkonsumsi
rokok, kopi atau teh, menimbulkan efek yang luar
biasa bagi penikmatnya, tidak heran di Papua anak-
anak usia 5 tahun pun sudah bisa menginang.
meskipun untuk di wilayah-wilayah Indonesia lain
seperti Kalimantan, Sumatra, Jawa, menginang
biasanya hanya di lakukan oleh orang-orang lansia.
Selain efek kenikmatan tsb, menginang juga punya
banyak fungsi lain di dalam budaya kita. Zaman
dahulu, menginang bisa di gunakan sebagai
penghormatan terhadap seseorang, sehingga apabila
bertamu dan di suguhi bahan-bahan menginang maka
haruslah di makan. Menginang juga bisa di gunakan
sebagai mas kimpoi, ada pula yang hanya sekedar
sebagai pengantar bicara, sebagai pengikat hubungan
sebelum menikah (bertunangan) ataupun sebagai
obat-obatan tradisional. tidak heran, orang Indonesia
zaman dulu sangat menyukai Pinang dan
menganggap Pinang sesuatu yang sangat istimewa.
Pinang tidak akan bisa di gunakan untuk menginang
apabila tidak di tambah dengan kapur, sirih dan
Gambir..kenapa demikian, mari kita simak,
bagaimana sih filosofi menginang itu sebenarnya.
-Sirih
adalah tanaman tropis, tumbuh di Madagaskar, Timur
Afrika, dan Hindia Barat. Sirih yang terdapat di
Semenanjung Malaysia ada empat jenis, yaitu sirih
Melayu, sirih Cina, sirih Keling, dan sirih Udang.
Dalam bahasa Indonesia, dikenal berbagai nama jenis
sirih seperti sirih Carang, Be, Bed, Siyeh, Sih, Camai,
Kerekap, Serasa, Cabe, Jambi, Kengyek, dan Kerak.
Sirih, konon melambangkan sifat rendah hati,
memberi, serta senantiasa memuliakan orang lain.
Makna ini ditafsirkan dari cara tumbuh sirih yang
memanjat pada para-para, batang pohon sakat atau
batang pohon api-api tanpa merusakkan batang atau
apapun tempat ia hidup. Dalam istilah biologi disebut
simbiosis komensalisme. Daun sirih yang lebat dan
rimbun memberi keteduhan di sekitarnya.
-Kapur
Diperoleh dari hasil pemrosesan cangkang kerang
atau pembakaran batu kapur. Secara fisik, warnanya
putih bersih, tetapi reaksi kimianya bisa
menghancurkan. Kapur melambangkan hati yang
putih bersih serta tulus, tetapi jika keadaan memaksa,
ia akan berubah menjadi lebih agresif dan marah.
-Gambir
Gambir juga adalah tumbuhan yang terdapat di Asia
Tenggara, termasuk dalam keluarga Rubiaceae.
Daunnya berbentuk bujur telur atau lonjong, dan
permukaannya licin. Bunga gambir berwarna kelabu.
Gambir juga dimanfaatkan sebagai obat, antara lain
untuk mencuci luka bakar dan kudis, mencegah
penyakit diare dan disentri, serta sebagai pelembap
dan menyembuhkan luka di kerongkongan. Gambir
memiliki rasa sedikit pahit, melambangkan keteguhan
hati. Makna ini diperoleh dari warna daun gambir
yang kekuning-kuningan serta memerlukan suatu
pemrosesan tertentu untuk memperoleh sarinya,
sebelum bisa dimakan. Dimaknai bahwa jika
mencita-citakan sesuatu, kita harus sabar melakukan
proses untuk mencapainya.
Dengan memakan serangkai pinang sirih dan kapur
ini, merupakan simbol dari harapan untuk menjadi
manusia yang selalu rendah hati dan meneduhkan
layaknya sirih. Hati bersih, tulus tapi agresif seperti
kapur. Jujur, lurus hati dan bersungguh-sungguh
layaknya pohon pinang. Dan jika ditambah gambir
berarti sabar dan hati yang teguh bak sang gambir.
kesemuanya harus di racik menjadi satu kesatuan
yang pas,harus benar benar di campur dengan tepat
untuk menghasilkan citarasa yang enak.
Untuk melestarikan budaya makan pinang dan
melawan aturan larangan makan pinang di papua
maka beberapa pelaku seni tradisi serta masyarakat
kampung di Papua Barat mencoba mengulang
kembali teknik lukis masa lalu tersebut dengan
berkarya menggunakan ludah pinang. Karya-karya
ini dituangkan pada tembok, kulit kayu, kain, kertas,
dan balok kayu. Seorang seniman patung asal Papua
Barat, Yesaya Mayor dari Sanggar Seni Budaya
Koranu Fyak, Raja Ampat, juga telah mencoba
menggunakan ludah pinang untuk berbagai bentuk
motif di atas kulit kayu, kertas, dan daun lontar.
Lanjar Jiwo, seorang perupa dari Sorong, bersama-
sama dengan masyarakat suku Maybrat di
pegunungan Tamrau telah menorehkan ludah pinang
sebagai pewarna alami pada patung-patung Karwar
buatannya. Sedangkan masyarakat kampung Waifoi
dan Warimak, Distrik Teluk Mayalibit, Kabupaten
Raja Ampat mencoba meludah pinang di atas kertas
dan kain.
Berbeda dengan pemuda papua yang sedang berjuang
mempertahankan budaya menginang, Di Kalimantan
dan sumatra justru kebiasaan menginang ini sudah
sangat sulit di temukan, terkikis oleh kedatangan
berbagai jenis rokok, kopi dan cemilan-cemilan lain.
Sebagai salah satu pemuda Indonesia, meskipun kita
tidak menginang, mari kita jaga agar menginang bisa
menjadi cagar budaya para nenek moyang kita yang
bisa kita lestarikan dan di jaga, tidak harus di jauhi
dan dimusuhi. Kita bisa banyak belajar dari filosofi
menginang, karena itu kebudayaan harus tetap di
lestarikan walaupun menurut kita zaman nya sudah
tidak lagi sesuai di mata anak seusia kita, namun
budaya adalah warisan leluhur yang sudah di titipkan
pada kita sehingga harus tetap di jaga. Jauhkan stigma
jelek terhadap menginang seperti halnya di Papua
yang menganggap menginang itu jorok, tidak
modern dan terbelakang. Seperti merokok yang di
sediakan smoking area, maka menginang pun bisa di
sediakan tuang khusus juga kan.
Mari kita pertahankan budaya ini, mari Bung rebut
kembali...
Sumber :
- riauheritage.org
-avinaninasia.wordpress.com/2011 -xa.yimg.com/kq/
groups
- http://www.sungaikuantan.com/2010
0
2.9K
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan