[Seperti Ahok] Mengenang seabad Yap Thiam Hien, pejuang HAM dan Hukum Indonesia
TS
SatrioPininggit
[Seperti Ahok] Mengenang seabad Yap Thiam Hien, pejuang HAM dan Hukum Indonesia
Sebelumnya:
Quote:
Selamat Merayakan tahun baru Imlek 2015 bagi yang merayakan.
Sin Cun Kiong Hie
Ditengah image masyarakat tentang warga keturunan Tionghoa yang dianggap sebagai warga non-pribumi dan minoritas, Indonesia justru dikejutkan dengan munculnya warga Tionghoa yang menjadi idola baru rakyat Indonesia, Ahok a.k.a Basuki Tjahaya Purnama. Sejak masih di daerah hingga sekarang, wagub DKI keturunan Tionghoa ini dikenal selalu tegas, konsisten, dan tidak pernah takut melawan kepentingan politik penguasa demi membela kepentingan rakyat. Hal itulah yang membuat dia kini dikagumi banyak orang.
Karakter Ahok tersebut mengingatkan kita bahwa dulu kita juga pernah memiliki seorang tokoh keturunan Tionghoa lain yang juga selalu konsisten dalam membela rakyat yang tertindas. Orang itu, Yap Thiam Hien.
Siapakah Yap Thiam Hien?
Yap Thiam Hien (lahir di Koeta Radja, Aceh, 25 Mei 1913 – meninggal di Brusel, Belgia, 25 April 1989 pada umur 75 tahun) adalah seorang pengacara Indonesia keturunan Tionghoa. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Spoiler for Sekilas penghargaan Yap Thiam Hien:
Penghargaan Yap Thiam Hien (bahasa Inggris: Yap Thiam Hien Award) adalah sebuah penghargaan yang diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia kepada orang-orang yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Nama penghargaan ini diambil dari nama pengacara Indonesia keturunan Tionghoa dan pejuang hak asasi manusia Yap Thiam Hien. Penghargaan ini umumnya diberikan setiap tahun pada tanggal 10 Desember sejak tahun 1992. Namum karena alasan kurangnya dana, Yayasan meniadakan pemberian penghargaan untuk tahun 2005. (namun dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya - TS)
Dan inilah perjalanan hidup beliau dalam memperjuangkan HAM...
Seabad Pendekar HAM Yap Thiam Hien
Spoiler for Bag 1 - Seabad Pendekar HAM Yap Thiam Hien:
Yap Hong Gie, di depan foto sang ayah mendiang Yap Thiam Hien (Foto: Damar , KBR68H)
KBR68H - “Hukum harus ditegakkan sekalipun langit runtuh”. Prinsip ini yang dipegang pengacara Yap Thiam Hien. Semasa hidupnya ia dikenal sebagai sosok pengacara yang gigih melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Yap dikenal sebagai sosok antikomunis. Namun ia teguh membela Wakil Perdana Menteri, Soebandrio yang dituding mendukung PKI. Seabad kelahiran pembela hak asasi manusia itu, KBR68H menemui keluarga dan tokoh yang pernah dekat dengannya.
Sabtu, awal Juni lalu, pelataran Gereja Kristen Indonesia (GKI) Samanhudi, Jakarta Pusat dipadati seratusan orang. Mereka bukan hendak mengikuti kebaktian, tetapi untuk mengenang pejuang hak asasi manusia, Yap Thiam Hien yang wafat karena pendarahan aorta di Brussel, Belgia 25 April, 24 tahun silam.
Di antara mereka, anak pertama Yap Thiam Hien, Yap Hong Gie dan Yap Hong Ay tampak duduk di kursi panjang paling depan. Mereka tampak serius menyimak materi yang disampaikan empat narasumber tentang sepak-terjang sang ayah membela hak azasi manusia. Diantaranya adalah Todung Mulya Lubis dan Siti Musdah Mulia.
“Membela semua kelompok yang mengalami ketidakadilan dari penguasa atau mereka yang mendapatkan perilaku yang zalim dari masyarakat. Saya membaca luar biasa orang seperti pak Yap. Kata pak Yap yang paling indah adalah keadilan itu harus ditegakan, meski langit runtuh. Ini kan tidak gampang,” kata Musdah.
Bagi Yap, Gereja Samanhudi bukanlah tempat asing. Karena dia salah satu pendiri rumah ibadah tersebut. Menurut Yap Hong Ay, ayahnya kerap memberikan ceramah mengenai hukum dan hak asasi manusia kepada jemaat di sana. “Kita itu tidak boleh takut untuk membela kebenaran. Bila kita merasa itu benar, kita harus perjuangkan, kita harus vocal, jangan diamkan. Karena kalau kita diamkan, kita dosa. Tetapi, kadang-kadang juga ayah saya merasa bahwa kebenaran itu tidak berada di area abu-abu. Kebenaran itu putih atau hitam. Tidak ada kompromi. Namun, di situ ayah saya, kami merasa benturan. Karena kebenaran itu belum tentu baik, baik belum tentu benar. Jadi, ayah saya merasa bahwa kalau benar perjuangkan,” jelas Yap.
Pertalian Yap dengan Gereja bermula pada 1931. Saat itu, Yap menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas Belanda (AMS) dan indekos di rumah pemeluk Kristen Protestan, Hermann Jopp dan isterinya Nell O’Brien di Jalan Magelang, Yogyakarta.
Baru pada 1938, Yap resmi menganut Kristen Protestan dan merelakan dirinya dibaptis di Gereja Patekoan, Jakarta Barat.
Spoiler for Bag 2 - Kritik Orde Baru:
Yap Thiam Hien (Foto: Langkahawal-its.blogspot.com)
Pasca Gerakan 30 September 1965, Rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto memberangus para anggota sampai simpatisannya. Banyak pula, pihak yang tak mengetahui apa-apa lantas dituding komunis dan dipenjarakan tanpa proses peradilan. Di tengah situasi itu, Yap mulai gerah. Ia juga kesal kepada kalangan gereja yang hanya diam melihat pelanggaran HAM terhadap tahanan politik.
Kritik Yap terhadap Rezim Orba tak pernah berhenti. Akibatnya, ia sempat ditahan tanpa proses pengadilan pasca kerusuhan Malapetaka 15 Januari 1974 pecah di Jakarta. Kembali anak Yap, Yap Hong Ay mengenang. ”Satu yang dia sedih adalah, dia di sini kan pendiri. Dia itu penatua, salah satu pemimpin di sini. Tetapai, waktu ayah saya ditangkap, mereka tidak mengunjungi dia di penjara. Mereka takut. Waktu dia lepas dari penjara, ayah saya menghimbau mereka untuk membantu, mengunjungi tahanan politik. Karena itu ayah saya bentrok dengan majelis di sini. Ayah saya keluar, sejak tahun 70-an dia tidak punya Gereja. Dia sedih karena tidak punya tempat beribadah. Tetapi, dia tidak masuk Gereja lain. Kemudian, dia berkutbah di penjara kepada napi-napi.”
Setelah menghirup udara bebas, Yap berjuang sendiri membela sejumlah tahanan politik terdakwa Gerakan 30 September, seperti Asep Suryaman, Oei Tjoe Tat dan Letnan Kolonel Latif pada 1975-1978. “Kadang dia frustasi, sedih, merasa ditinggalkan. (Mengapa?) Dia pejuang sendiri, tidak ada pengikut. Kerabat banyak, tetapi yang berani ikut berjuang dengan dia tidak banyak,” imbuh Yap Hong Ay.
Yap juga pernah dicemooh saat menyampaikan kritik kepada Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Dalam pidatonya di hadapan ribuan peserta Kongres Baperki VII di Semarang, Jawa Tengah pada 1960, Yap menuding Ketua Baperki, Siauw Giok Tjan telah membelokan organisasi berdasarkan ideologi Partai Komunis Indonesia. Karenanya, Yap memutuskan untuk ke luar dari kepengurusan Baperki.
“Ke luar sebagai anggota tidak. Tetapi ayah saya protes terhadap kebijakan Ketua Baperki. Bahwa Baperki itu bergeser dari kitahnya, lebih banyak berpolitik yang mendukung PKI. Ini membahayakan, karena Baperki itu membawa nama masyarakat Thionghoa di Indonesia. Protes itu tidak berhasil. Waktu kongres tahun 1960, ayah saya membuat surat yang keras kepada ketua yang mengubah anggaran dasar dan rumah tangga untuk bisa leluasa berpolitik. Kemudian, ayah saya keluar dari pengurus.”
Sikap Yap yang tanpa kompromi, membuat sejumlah pemimpin Baperki saat itu khawatir. Oleh sebab itu, mereka mendesak Ketua Siauw Giok Tjan untuk menggeser Yap dari kursi Wakil Ketua Baperki. Mereka menilai, Yap tidak mendukung demokrasi terpimpin Soekarno pada 1957.
Baginya sistem seperti itu dapat merusak demokrasi dan melahirkan pemimpin yang diktator.
Spoiler for Bag 3 - Ditahan Rezim Orde Baru:
Yap Thiam Hien (Foto: Langkahawal-its.blogspot.com)
Demontrasi mahasiswa pada 15 Januari 1974 di Jakarta pecah menjadi kerusuhan. Suara senapan otomatis berdentam membelah kota. Puluhan ribu manusia lari tunggang langgang mencari tempat berlindung. Sementara, ratusan lainnya menjarah toko-toko dan merusak bangunan di kawasan Roxy, Cempaka Putih, Pasar Senen dan lain sebagainya.
Akibatnya, sejumlah orang tewas dan ratusan orang ditahan. Diantara mereka adalah Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia kala itu, Hariman Siregar dan pengacara sekaligus aktivis HAM, Yap Thiam Hien. Peristiwa itu disebut sebagai Malapetaka Lima Belas Januari atau Malari.
Saat ditemui di rumahnya, Hariman Siregar menjelaskan, peristiwa Malari bermula dari penolakan mahasiswa terhadap investasi asing. Saat itu, mahasiswa menolak rencana kunjungan Ketua Kelompok Antarpemerintah bagi Indonesia atau IGGI, Johannes Pieter Pronk memberikan utang kepada Indonesia.
IGGI adalah sebuah kelompok internasional yang didirikan pada 1967, diprakarsai oleh Amerika Serikat untuk mengkoordinasikan dana bantuan multilateral kepada Indonesia. “Malari itu kritik terhadap strategi pembangunan. Persis seperti sekarang, jadi strategi pembangunan kita ini hanya untuk orang kaya. Sisanya cuma jadi pekerja. Jadi sampai kapanpun jurang kaya miskin akan semakin melebar dan itu akan membawa kerusuhan. Terjadi benar. Marah betul Soeharto. Jadi, waktu itu Soeharto itu menganggap pertumbuhan itu sudah kredonya, itu kata sucinya. Kalau ada pertumbuhan akan terjadi kemajuan, modern. Kita bilang tidak akan begitu, strategi pembangunan yang mengejar pertumbuhan itu terbukti di mana-mana hanya bikin kaya miskin,” jelas Hariman.
Setelah kedatangan Pronk, mahasiswa meningkatkan gelombang protes dan menggelar diskusi soal “Untung Rugi Modal Asing” di Balai Budaya Jakarta. Menurut advokat yang kala itu juga menjadi aktivis mahasiswa Universitas Indonesia, Todung Mulya Lubis, Yap Thiam Hien turut hadir dalam diskusi tersebut. Karenanya, pria Thionghoa kelahiran Peunayong, Kutaraja, Aceh 25 Mei 1913 itu masuk dalam daftar penangkapan orang yang diteken Presiden Soeharto saat itu. Ia dituding melakukan makar. “Dia selalu hadir memberikan advice hukum kepada aktivis mahasiswa. Karena dia terlalu dekat dengan aktivis mahasiswa ya sudah dia dianggap ikut dalam gerakan itu.”
Hariman menyangkal tuduhan tersebut. Menurut dia, pemerintah hanya mencari kambing hitam kerusuhan yang terjadi satu hari setelah kehadiran Perdana Menteri Jepang, Tanaka di Jakarta pada 14 Januari 1974. “Lucunya peristiwa Malari itu, itu kan pemerintah marah sekali. Dan waktu itu rezim sangat otoriter. Jadi, siapa saja yang pro ditangkap. Jadi, pak YAP sebenanrnya ditangkap karena mendatangi Kopkamtib. Membela, sebenarnya anak-anak ini, kita-kita ini tidak salah, mengapa ditahan. (Yap) Ditangkap sekalian,” katanya.
Penangkapan itu dilakukan tentara enam hari setelah kerusuhan terjadi. Yap ditangkap di rumahnya di daerah Grogol, Jakarta Barat atas perintah perwira di Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban , Mayor Jenderal E.Y. Kanter.
Ia dibawa ke Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat.
Spoiler for Bag 4 - Bela Tapol:
Hariman Siregar bekas Ketua Dewan Mahasiswa UI yang pernah dibela advokat Yap Thiam Hien saat Kasus Malari (Foto: Damar, KBR68H)
Hariman yang juga ditangkap, bertemu dengan Yap pada Juni 1974 di sel. Sebelumnya, dia mengaku ditahan di Pusat Interogasi Khusus yang terletak di Kebayoran Lama.
“Jadi kita masuk RTM bulan Juni. Pak Yap sudah ditahan lebih dulu. Di situlah saya melihat pak YAP. Orangtua, ubanan, kurus dan biasalah setelan orang Cina, kaos singlet. Dia selalu semangat tinggi. Sering mengucapkan Haliluya. Dan menyemangati bahwa kita jangan takut, bahwa perjuangan selalu begitu. Itulah kesan pertama kali pak Yap itu,”
Di sana, Yap ditahan di Blok 3 bersama tahanan politik yang dituding terlibat Gerakan 30 September 1965. Sementara Hariman dikurung di Blok 5. Menurut Hariman, selama ditahan hampir satu tahun, Yap tidak pernah mengeluh. Yap kerap memberikan kursus hukum kepada tahanan politik lain di penjara.
“Pak Yap bikin kursus sama PKI-PKI. Jadi mengurus yang lain, bukan ngurusin diri kita. Jadi kita masuk, di dalam sudah penuh PKI. Kita tidak tahu persis, sebelum kita dijadikan tahanan. Ya Allah, penderitaan kita ini tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Mereka itu bodoh-bodoh di dalam, yang hanya dituduh PKI. Jadi, boro-boro kita mikirin diri kita, saya juga begitu. Kita mikirin mereka. Pak Yap, langsung bilang, rezim ini tidak benar. Makanya, bedanya orang yang care itu dia tidak mikirkan dirinya. Tidak cengeng,” kenang Hariman.
Salah satu materi yang diberikan dan diingat Hariman adalah soal tata cara persidangan. Kata dia, menirukan Yap, terdakwa tidak boleh dituntut sebelum kesaksian, seperti yang kerap dilakukan peradilan Orde Baru kala itu. “Dia mengajarkan kepada kita, anak-anak Malari yang diadili dan kepada PKI yang mau diadili. Supaya hukum acara peradilan itu terdakwa diperiksa belakangan, saksi lebih dulu. Dulu sebelum pak Yap mengajari itu, kita, khususnya PKI-PKI itu takut. Waktu itu yang diperiksa dulu itu terdakwa, terdakwa ngomong, lalu saksinya memberat-beratkan. Kata pak Yap itu salah. Dakwaan itu, jaksa mesti bawa saksi-saksi memperkuat dakwaannya, baru dintanykan kepada terdakwa terakhir, itu benar atau tidak.”
Melalui kursus itu, tahanan politik kembali bersemangat untuk menatap persidangan rezim represif Orde Baru. Kenang Hariman Siregar. “Kamu jangan takut. Kamu jangan mau ngaku. Dipukulin, laporin. Jadi PKI-PKI itu senang ada orang yang simpati, ada orang yang mau dengerin. (Sambil minum teh) Mereka senang, merasa semangatnya ada karena ada kita-kita.”
Putra Yap Thiam Hien, Yap Hong Gie membenarkan. “Ayah saya juga bantu, setiap tersangka itu sebelum diinterogasi atau disidang. Melatih tanya jawabnya bagaimana. Kalau tidak salah bang Hariman dan siapa lagi gitu..”
Itu bukan kali pertama, Yap membela tahanan politik. Pada 1 Oktober 1966, Yap pernah membela Wakil Perdana Menteri, Soebandrio di Mahkamah Militer luar biasa. Soebandrio di hadapkan ke persidangan karena dituding terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Meski antikomunis, Yap membela Soebandrio dengan gigih. “Advokat itu punya kode etik, siapapun musuh, lawan, musuh, kaya atau tidak punya uang itu harus dibela. Dari segi hukum waktu itu pemerintah membutuhkan pembela-pembela tapol ini, salah-satunya Soebandrio. Ayah saya diminta dengan beberapa pengacara lain dan menyetujui untuk membelanya,” jelas Yap.
Salah satu wartawan yang saat itu meliput persidangan Soebandrio, Aristides Katoppo mencoba mengingat peristiwa 47 tahun silam itu. “Waktu itu, sebagian kan menganggap (persidangan) itu sandiwara doank. Saya kira Yap tahu itu, tetapi dia tetap bersikap, itu tantangannya buat pemerintah. Dia mengungkap segala argumen-argumennya. Pada saat itu, hukum itu dirudapaksa oleh penguasa. Dan itu karena sikap yang konsisten dari Yap. Tetapi saya kira, Yap sadar dia bakal kalah.”
Soebandrio kemudian divonis hukum mati dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa pada Desember 1966. Namun, putusan itu tidak menyurutkan langkah Yap untuk membela tahanan politik lain, seperti Abdul Latief dan Oei Tjoe Tat. Bukan mengejar kemenangan, tetapi untuk kebenaran.
Editor: Taufik Wijaya
Perjuangan Yap Thiam Hien, Ahok, dan juga tokoh warga Tionghoa lain seperti Kwik Kian Gie yang tak kenal henti memberikan sumbangan pikiran dan tenaga bagi negeri ini memaksa kita untuk meredefinisikan kembali arti kata 'pribumi'. Bukankah mereka yang dianggap sebagai warga pendatang namun memberikan sumbangsih banyak bagi bangsa ini lebih pantas disebut sebagai pribumi, dibandingkan dengan mereka yang disebut pribumi namun merusak bangsa ini dengan korupsi?
Semoga trit ini bisa membuka mata kita tentang peran warga Tionghoa di Indonesia dan membuka mata kita juga bahwa mereka bukanlah orang asing di negeri ini. Mereka juga, orang Indonesia