- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
MUST READ! Sisi Lain Catatan Mengenai Prabowo Subianto.


TS
neo.liberal
MUST READ! Sisi Lain Catatan Mengenai Prabowo Subianto.
Quote:
buat agan2 yang seperti nya sudah termakan oleh pencitraan PS, via Facebook, Twitter, Koran, Tv, dan media2 lain nya..
yuk kita baca sisi lain nya PS.. agar jangan sampai di tahun 2014 nanti kita menyerahkan negara kita ke tangan yang salah.
yuk kita baca sisi lain nya PS.. agar jangan sampai di tahun 2014 nanti kita menyerahkan negara kita ke tangan yang salah.
Quote:
Sahabat, mari pikirkan dg akal sehat, mungkinkah seseorang yg tdk bersalah ihklas dan rela dihukum tanpa perlawanan sama sekali ?
Jika bukan prabowo subianto sbg dalang kerusuhan,mengapa dia tak pernah bisa menjawab siapa biang kerusuhan 12 mei 1998 itu ?
Jika bukan prabowo subianto sbg biang kerusuhan dg tujuan merebut kekuasaan dari soeharto, mengapa tiba2 saja Titiek Soeharto menceraikan dirinya ?
Dan bahkan seluruh keluarga soeharto memusuhi dan membencinya.
Bukankah dia menantunya dan keluarganya soeharto ?
Jika bukan prabowo subianto sbg dalang kerusuhan,mengapa dia tak pernah bisa menjawab siapa biang kerusuhan 12 mei 1998 itu ?
Jika bukan prabowo subianto sbg biang kerusuhan dg tujuan merebut kekuasaan dari soeharto, mengapa tiba2 saja Titiek Soeharto menceraikan dirinya ?
Dan bahkan seluruh keluarga soeharto memusuhi dan membencinya.
Bukankah dia menantunya dan keluarganya soeharto ?
Quote:
Iring-Iringan Awan Kelabu di Atas Prabowo
Quote:
.jpg)
Spoiler for bag 1:
INDONESIA2014 - Prabowo Subianto nampaknya sengaja membangun kesan bahwa ia adalah pemimpin yang berani, tegas dan kuat. Brand image ini akan bisa memenangkan hati banyak calon pemilih, sekaligus menjustifikasi banyak kasus hak asasi manusia di masa lalu.
Prabowo Subianto Menyesal Tak Lakukan Kudeta.
Berita ini sempat mengejutkan banyak orang ketika dilaporkan sejumlah media, 18 Desember yang lalu.
Ini bukan kabar burung. Prabowo Subianto memang mengeluarkan penyesalan itu dalam acara kuliah umum yang diselenggarakan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) di hotel mewah Four Seasons, Jakarta. Di depan ratusan peserta, Prabowo berkata: “Saya Letnan Jenderal mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat yang hampir kudeta. Menyesal juga saya nggak jadi kudeta.”
Tentu saja pernyataan itu tak disampaikannya secara sungguh-sungguh. Hadirin di gedung itupun tertawa mendengarnya. Tapi, kata siapa, itu tak mengandung kebenaran?
Mereka yang mengikuti politik Indonesia, tentu langsung teringat pada apa yang terjadi di awal pemerintahan reformasi 1998. Ketika itu sebagai Pangkostrad yang membawahi ribuan prajurit, Prabowo memang diisukan akan melakukan kudeta segera sesudah Soeharto jatuh digantikan BJ Habibie.
Sampai saat ini ada banyak versi beredar. Yang pasti Habibie memang memberhentikannya sebagai Pangksotrad. Sejak itu karier militer Prabowo – yang semula sangat cemerlang - terus menurun, sampai akhirnya ia dipensiunkan dini pada tahun yang sama.
Tak bisa dihindari kelakar Prabowo itu berlanjut pada penjelasan. Keesokan harinya, Sekjen Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Ahmad Muzani, merasa harus meluruskan pernyataan itu.
Sebagaimana dikutip detik..com, Muzani menyatakan: ”Soal menyesal tak kudeta itu hanya bercandaan saja, karena situasi 1998 beliau didorong banyak pihak untuk kudeta, kemudian beliau tidak melakukan itu. Sekarang orang-orang bilang, coba kalau waktu itu kudeta. ”
Muzani juga menuturkan bahwa sebenarnya ada alasan kuat bagi Prabowo untuk melakukan kudeta. Hanya saja, kata Muzani lagi, sebagai prajurit yang berpegang teguh pada UUD 1945 dan Sapta Marga, pimpinan Gerindra itu memilih tak melakukan perebutan kekuasaan, karena “hasil kudeta pada akhirnya akan dikudeta juga.”
Pembicaraan tentang masa lalu Prabowo nampaknya memang belum akan berhenti. Namun, kisah hidupnya akan terus diulang bukan sekadar lantaran kebenaran sejarah. Setidaknya saat ini, segenap ucapan dan tindakan Prabowo mudah menarik perhatian karena bukankah ia adalah salah satu calon terkuat untuk menjadi Presiden Indonesia 2014?
Prabowo Subianto Menyesal Tak Lakukan Kudeta.
Berita ini sempat mengejutkan banyak orang ketika dilaporkan sejumlah media, 18 Desember yang lalu.
Ini bukan kabar burung. Prabowo Subianto memang mengeluarkan penyesalan itu dalam acara kuliah umum yang diselenggarakan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) di hotel mewah Four Seasons, Jakarta. Di depan ratusan peserta, Prabowo berkata: “Saya Letnan Jenderal mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat yang hampir kudeta. Menyesal juga saya nggak jadi kudeta.”
Tentu saja pernyataan itu tak disampaikannya secara sungguh-sungguh. Hadirin di gedung itupun tertawa mendengarnya. Tapi, kata siapa, itu tak mengandung kebenaran?
Mereka yang mengikuti politik Indonesia, tentu langsung teringat pada apa yang terjadi di awal pemerintahan reformasi 1998. Ketika itu sebagai Pangkostrad yang membawahi ribuan prajurit, Prabowo memang diisukan akan melakukan kudeta segera sesudah Soeharto jatuh digantikan BJ Habibie.
Sampai saat ini ada banyak versi beredar. Yang pasti Habibie memang memberhentikannya sebagai Pangksotrad. Sejak itu karier militer Prabowo – yang semula sangat cemerlang - terus menurun, sampai akhirnya ia dipensiunkan dini pada tahun yang sama.
Tak bisa dihindari kelakar Prabowo itu berlanjut pada penjelasan. Keesokan harinya, Sekjen Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Ahmad Muzani, merasa harus meluruskan pernyataan itu.
Sebagaimana dikutip detik..com, Muzani menyatakan: ”Soal menyesal tak kudeta itu hanya bercandaan saja, karena situasi 1998 beliau didorong banyak pihak untuk kudeta, kemudian beliau tidak melakukan itu. Sekarang orang-orang bilang, coba kalau waktu itu kudeta. ”
Muzani juga menuturkan bahwa sebenarnya ada alasan kuat bagi Prabowo untuk melakukan kudeta. Hanya saja, kata Muzani lagi, sebagai prajurit yang berpegang teguh pada UUD 1945 dan Sapta Marga, pimpinan Gerindra itu memilih tak melakukan perebutan kekuasaan, karena “hasil kudeta pada akhirnya akan dikudeta juga.”
Pembicaraan tentang masa lalu Prabowo nampaknya memang belum akan berhenti. Namun, kisah hidupnya akan terus diulang bukan sekadar lantaran kebenaran sejarah. Setidaknya saat ini, segenap ucapan dan tindakan Prabowo mudah menarik perhatian karena bukankah ia adalah salah satu calon terkuat untuk menjadi Presiden Indonesia 2014?
Spoiler for bag 2:
‘Indonesia Butuh Orang Kuat’
Berbagai jajak pendapat saat ini menunjukkan nama Prabowo cukup kuat di mata pemilih.
Memang jalan masih terjal, antara lain karena peraturan pemilihan mensyaratkan bahwa partai yang mengajukan nama calon harus memperoleh setidaknya 20 persen kursi DPR. Pada pemilu 2009, Gerindra hanya memperoleh 4,6 persen suara. Karena itu, agar Prabowo maju, Gerindra hampir pasti harus berkoalisi dengan partai-partai lain.
Namun itu bukan soal yang khas dialami Gerindra. Calon-calon lainpun menghadapi masalah serupa. Karena itu, bila popularitas Prabowo terus meningkat, sangat mungkin ia akan dipinang oleh partai-partai yang bersedia bergabung.
Saat ini berbagai jajak pendapat menunjukkan dukungan terhadap Prabowo sangat signifikan. Survei SSS menempatkan Prabowo sebagai capres terpopuler dengan angka 28 persen.
Seper ti dikatakan analis politik Universitas Indonesia Nur Iman Subono, Prabowo memang punya banyak nilai jual. “Dia nampak sebagai pemimpin yang bisa tegas, tidak seperti presiden sebelumnya yang sama-sama jenderal tapi sering nampak ragu-ragu,” kata Nur Iman.
“ Dia juga berhasil membangun citra sebagai pemimpin yang pro ekonomi rakyat, nasionalis, bersih dari korupsi dan berani melawan para pemodal besar atau dominasi modal asing,” tambah Nur Iman.
Soal pencitraan ini memang terus digenjot oleh Prabowo dan Gerindra. Ia terlihat sebagai tokoh yang paling sering memanfaatkan hari-hari besar – dari hari Ibu, Natal, Idul Fitri, hari Pendidikan Nasional – untuk menyapa rakyat Indonesia melalui iklan-iklan televisi yang mampu menjangkau jutaan penonton. Rangkaian iklan itupun dirancang oleh perusahaan periklanan transnasional terkemuka.
Lebih dari itu, Prabowo juga membangun basis akar rumputnya dengan menjadi Ketua Umum organisasi-organisasi besar seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) serta Asosiasi Pedagang Pasar di Seluruh Indonesia. Pada 2009 lalu, pencalonan Prabowo juga mendapat dukungan dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia.
Gerindra sendiri mengembangkan anakanak organisasi yang menjangkau berbagai segmen penduduk: kaum muda, perempuan, umat Islam, umat Kristen, dan lainnya. Prabowo serius mendidik para kadernya. Ia membangun kompleks pelatihan di lahan seluas 4,8 hektar di daerah Bukit Hambalang, untuk menggembleng kader-kader mudanya dengan gaya pendidikan militer.
Prabowo mengakui bahwa ia kepalang sudah mendapat brand image tertentu. “Kalau mendengar nama Prabowo, orang akan ingat tentara, lalu Komandan Kopassus, lalu kudeta,” ujarnya di acara SSS tersebut.
Namun nampaknya itu tidak diucapkannya dengan nada penyesalan. Faktanya, Prabowo memang berusaha membangun imej sebagai seorang pemimpin militer yang keras dan tegas.
Terakhir, kesan itu ia tampilkan saat diundang berceramah di Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Nanyang Technological University, Singapura, Agustus lalu. Dalam ceramah di sekolah prestisius itu, Prabowo menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang ‘berani dan kuat’.
Pernyataan itu sempat menuai banyak tanggapan. Ketika Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto juga diundang bicara di tempat yang sama pada bulan Desember, ia dengan spesifik menyatakan bahwa Indonesia tidak membutuhkan “orang kuat yang mengintervensi dan mendominasi berbagai aspek kehidupan.”
“Indonesia,” kata Djoko, “membutuhkan pemerintahan efektif dengan civil society yang kuat…”
Berbagai jajak pendapat saat ini menunjukkan nama Prabowo cukup kuat di mata pemilih.
Memang jalan masih terjal, antara lain karena peraturan pemilihan mensyaratkan bahwa partai yang mengajukan nama calon harus memperoleh setidaknya 20 persen kursi DPR. Pada pemilu 2009, Gerindra hanya memperoleh 4,6 persen suara. Karena itu, agar Prabowo maju, Gerindra hampir pasti harus berkoalisi dengan partai-partai lain.
Namun itu bukan soal yang khas dialami Gerindra. Calon-calon lainpun menghadapi masalah serupa. Karena itu, bila popularitas Prabowo terus meningkat, sangat mungkin ia akan dipinang oleh partai-partai yang bersedia bergabung.
Saat ini berbagai jajak pendapat menunjukkan dukungan terhadap Prabowo sangat signifikan. Survei SSS menempatkan Prabowo sebagai capres terpopuler dengan angka 28 persen.
Seper ti dikatakan analis politik Universitas Indonesia Nur Iman Subono, Prabowo memang punya banyak nilai jual. “Dia nampak sebagai pemimpin yang bisa tegas, tidak seperti presiden sebelumnya yang sama-sama jenderal tapi sering nampak ragu-ragu,” kata Nur Iman.
“ Dia juga berhasil membangun citra sebagai pemimpin yang pro ekonomi rakyat, nasionalis, bersih dari korupsi dan berani melawan para pemodal besar atau dominasi modal asing,” tambah Nur Iman.
Soal pencitraan ini memang terus digenjot oleh Prabowo dan Gerindra. Ia terlihat sebagai tokoh yang paling sering memanfaatkan hari-hari besar – dari hari Ibu, Natal, Idul Fitri, hari Pendidikan Nasional – untuk menyapa rakyat Indonesia melalui iklan-iklan televisi yang mampu menjangkau jutaan penonton. Rangkaian iklan itupun dirancang oleh perusahaan periklanan transnasional terkemuka.
Lebih dari itu, Prabowo juga membangun basis akar rumputnya dengan menjadi Ketua Umum organisasi-organisasi besar seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) serta Asosiasi Pedagang Pasar di Seluruh Indonesia. Pada 2009 lalu, pencalonan Prabowo juga mendapat dukungan dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia.
Gerindra sendiri mengembangkan anakanak organisasi yang menjangkau berbagai segmen penduduk: kaum muda, perempuan, umat Islam, umat Kristen, dan lainnya. Prabowo serius mendidik para kadernya. Ia membangun kompleks pelatihan di lahan seluas 4,8 hektar di daerah Bukit Hambalang, untuk menggembleng kader-kader mudanya dengan gaya pendidikan militer.
Prabowo mengakui bahwa ia kepalang sudah mendapat brand image tertentu. “Kalau mendengar nama Prabowo, orang akan ingat tentara, lalu Komandan Kopassus, lalu kudeta,” ujarnya di acara SSS tersebut.
Namun nampaknya itu tidak diucapkannya dengan nada penyesalan. Faktanya, Prabowo memang berusaha membangun imej sebagai seorang pemimpin militer yang keras dan tegas.
Terakhir, kesan itu ia tampilkan saat diundang berceramah di Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Nanyang Technological University, Singapura, Agustus lalu. Dalam ceramah di sekolah prestisius itu, Prabowo menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin yang ‘berani dan kuat’.
Pernyataan itu sempat menuai banyak tanggapan. Ketika Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto juga diundang bicara di tempat yang sama pada bulan Desember, ia dengan spesifik menyatakan bahwa Indonesia tidak membutuhkan “orang kuat yang mengintervensi dan mendominasi berbagai aspek kehidupan.”
“Indonesia,” kata Djoko, “membutuhkan pemerintahan efektif dengan civil society yang kuat…”
Spoiler for bag 4:
Masa Lalu yang Kelam
Perdebatan tentang ‘pemimpin yang kuat’ pada dasarnya adalah perbedaan perspektif. Hanya saja bagi Prabowo dan Gerindra, sangat mungkin argumen ini penting dalam rangka menjustifikasi masa lalu Prabowo yang selalu terbuka untuk dipersoalkan di masa ini.
Terlepas dari segenap nial jualnya sekarang, sepanjang kampanye nanti kubu Prabowo memang harus selalu siap menjelaskan pertanyaan atau cercaan tentang apa yang pernah dilakukan sang jenderal.
Salah satu noda hitam dalam sejarah Prabowo yang akan terus menghantui karier politiknya adalah rangkaian penculikan para aktivis mahasiswa dan kelompok-kelompok pro demokrasi yang berlangsung di masa-masa menjelang jatuhnya Soeharto, yang sampai diselesaikan.
Rangkaian pencul ikan ini diketahui berlangsung setidaknya tiga tahap: menjelang pemilu Mei 1997, dua bulan menjelang sidang MPR pada Maret 1998, dan terakhir menjelang tumbangnya Soeharto pada Mei 1998.
Ketika itu Soeharto marah dengan gelombang perlawanan kelompok-kelompok pro demokrasi yang semakin berani dan menguat menentang kekuasaan sang raja. Tanpa terbayangkan olehnya, kepemimpinan otoriter yang ia kira sudah berhasil dibangun dengan kokoh dalam dua dekade, secara bertahap ditantang oleh berbagai kelompok masyarakat sipil.
Pertumbuhan perlawanan terhadap Soeharto ketika itu memang menggetarkan: dari pembentukan Aliansi Jurnalis Independen yang melawan pembredelan Tempo, tumbuhnya kekuatan Megawati di PDI yang di puncaki dengan kasus kerusuhan 27 Juli 1996 di markas PDI Jakarta, menguatnya suara- suara oposisi dengan para ikonnya (seperti Amien Rais di Muhammadiyah dan Abdurrahman Wahid di NU), Majelis Reboan, terbentuknya Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakar ta , dukungan terhadap Timor Timur serta berkembangnya berbagai organisasi bentukan mahasiswa yang dicap radikal, seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD) atau Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Dalam konteks i tulah upaya untuk menghantam balik kekuatan pro demokrasi berusaha dilakukan sejak menjelang Pemilu 1997 yang mengantarkan Soeharto kembali menjadi Presiden untuk ke enam kalinya.
Buat rezim Orde Baru yang otoriter, modus menghilangkan orang memang bukan barang baru. Taktik menculik mahasiswa sudah dilakukan di masa-masa sebelumnya. Pada 1978, menjelang Sidang Umum MPR Kopkamtib melancarkan Operasi Kilat untuk menangkapi para aktivis dan ketua dewan mahasiswa, yang kemudian dilepaskan ketika suasana politik mereda.
Kali ini, penculikan bisa saja berulang tanpa persoalan, kalau saja peristiwa penggulingan Soeharto tak terjadi. Masalahnya, kali ini, sang raja jatuh dan semua kejahatan itu terpampang di muka umum.
Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang dibentuk di era Reformasi, dalam tiga aksi penculikan itu, 23 orang hilang atau sempat hilang dengan kondisi berbeda-beda. Ada sembilan orang yang dilepaskan penculik dan berbicara terbuka tentang nasib mereka selama penculikan. Tapi 13 orang lainnya dinyatakan hilang sampai sekarang sementara satu aktivis ditemukan meninggal (Leonardus Gilang).
Berdasarkan pengakuan para saksi, mereka disiksa para penculik. Itu terentang dari teror psikologis sampai teror fisik: dari dipukuli, disetrum (bahkan di bagian alat kelamin), ditelanjangi, dibenamkan ke dalam bak mandi, dibaringkan di atas balok es. Para korban juga bersaksi bahwa penculikan dilakukan dengan cara sistematis dan profesional. Selama diculik mereka terus diinterogasi tentang keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan anti pemerintah.
Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Waluya Jati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto dan Andi Arief. Mereka semua adalah korban dari penculikan menjelang dan sesudah Sidang MPR 1998 yang mengukuhkan Soeharto. Yang menghilang sebelum pemilu 1997 dan menjelang Mei 1998 tak pernah ditemukan dalam keadaan hidup.
Di mana peran Prabowo? Itulah salah satu hal yang tidak pernah tuntas dijelaskan.
Saat itu, Prabowo adalah pimpinan pasukan elit Kopassus (Komando Pasukan Khusus), sementara tim yang diketahui sebagai pelaku penculikan berdasarkan penyelidikan internal TNI adalah Tim Mawar yang merupakan tim kecil di dalam Kopassus.
Segera sesudah Soeharto jatuh, TNI memang melakukan serangkaian langkah: membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP), penyelidikan kasus serta pada akhirnya Mahkamah Militer untuk mengadili para pelaku.
Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota Tim Mawar ke pengadilan Mahmakah Militer pada April 1999. Tim itu terdiri dari seorang perwira menengah, Mayor Bambang Kristiono, yang memimpin sepuluh anggotanya – tujuh berpangkat kapten, tiga bintara.
Pengadilan memutuskan memecat dan menahan Komandan Tim Mawar , Mayor Bambang Kristiono, beserta empat anggota lainnya. Enam anggota Mawar lainnya dihukum penjara tapi tidak dikenai sanksi pemecatan sebagai anggota TNI.
Bagi banyak pihak, apa yang berlangsung di Mahkamah Militer itu jauh dari memuaskan. Para hakim misalnya begitu saja mempercayai pernyataan Bambang Kristiono bahwa penculikan itu dilakukan atas inisiatifnya sebagai komandan Tim Mawar yang terpanggil hati nuraninya melihat kelakuan para aktivis yang menurut penilaiannya bisa membahayakan kepentingan nasional.
Menurut Bambang, penculikan ia lakukan dalam rangka mendata aktivis radikal. Ia tak pernah menjelaskan siapa yang memberi perintah awal penculikan, apalagi penyiksaan.
Dengan menerima pengakuan Bambang, pengadilan tidak mengusut lebih jauh keterlibatan perwira lebih tinggi. Pengadilan juga tidak memeriksa tuduhan terjadinya penyiksaan dan penganiayaan terhadap korban penculikan, apalagi mempersoalkan 13 nama yang masih hilang. Tim Mawar, dengan kata lain, hanya bertanggungjawab atas menghilangnya sembilan aktivis yang diculik menjelang SU MPR 1998, tapi tidak yang lain.
Mahkamah Militer, dalam hal ini, tidak pernah mengeluarkan kesimpulan terkait Prabowo. Yang menyatakan Prabowo bertanggungjawab adalah Dewan Kehomatan Perwira – yang antara lain dianggotai Susilo Bambang Yudhoyono –yang pada Agustus 1998 mengeluarkan kesimpulan bahwa Prabowo bersalah dalam kasus penculikan yang dilakukan Tim Mawar.
DKP menyatakan bahwa Prabowo telah salah menafsirkan perintah dan direkomendasikan untuk dikenakan sanksi atau dihadapkan ke pengadilan militer. Sejarah mencatat, Prabowo rekomendasi itulah, Panglima ABRI Wiranto memutuskan memberhentikan Prabowo dari dinas kemiliterannya.
Prabowo sendiri mengakui bahwa apa yang dilakukan Tim Mawar ada di bawah tanggungjawabnya. Namun ia menyangkal bahwa perintah datang atas inisiatifnya dan ia sekadar melakukan perintah atasan. Ia juga menyatakan tak tahu menahu dengan perkara orang-orang hilang di luar sembilan aktivis yang akhirnya dikembalikan.
Menurut Prabowo, ia mengaku bersalah karena tidak berhati-hati dan percaya saja dengan laporan mereka yang ditugaskan menjalankan operasi serta tidak pernah mengunjungi sel-sel di mana para korban ditahan. Menurutnya, ia tidak pernah memerintahkan penyiksaan. Sampai saat ini, ia tidak pernah mau mengungkapkan secara terbuka siapa atasan yang memerintahkan ia melakukan penculikan.
Baik Mahkamah Militer maupun temuan DKP memang menyisakan banyak pertanyaan. Karena itulah, rangkaian penculikan tersebut tetap menjadi agenda yang hidup sampai saat ini.
Antara Oktober 2005 sampai Oktober 2006, Komnas HAM melakukan penyelidikan kembali yang melahirkan rekomendasi kepada Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik. Dalam rekomendasi itu dikatakan, telah didapat bukti permulaan yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kasus pengilangan secara paksa itu.
Tiga tahun kemudian, pada September 2009, Panitia Khusus Penghilangan Orang secara Paksa (pansus Orang Hilang) di DPR memberi rekomendasi pada presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc tentang penculikan aktivis 1997/1998. Pansus juga merekomendasikan agar pemerintah kembali menyelidiki hilangnya 13 aktivis yang sampai saat ini memang tak pernah ditemukan.
Namun sampai saat ini, baik rekomendasi Komnas HAM maupun rekomendasi Pansus DPR tak pernah ditindaklanjuti. Pada Mei 2011, kementerian Polhukam memang pernah membentuk tim untuk menuntaskan kasuskasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tapi belakangan, kiprah tim ini tak pernah terdengar.
Segenap ketidakpastian ini tentu saja menyebabkan banyak pihak percaya bahwa apa yang terjadi merupakan bagian dari sebuah kotak pandora: aksi besar yang melibatkan banyak pihak yang mungkin sampai saat ini masih berada di lingkar kekuasaan.
Soal Bambang Kristiono misalnya, ia dan kawan-kawannya diduga memang sengaja ‘pasang badan’ bersedia dipersalahkan dengan jaminan bahwa apa yang mereka lakukan terhadap 13 aktivis yang hilang – dan kemungkinan besar sudah tewas dibunuh - tidak dikutak-katik dalam pengadilan. Karena itulah, Bambang dan kawankawan hanya dihukum karena ‘menghilangkan kemerdekaan’, bukan penculikan apalagi penyiksaan dan pembunuhan.
Prabowo tidak disidik lebih jauh karena bila dilakukan, diduga itu akan membawa nama-nama besar lainnya yang seharusnya juga bertanggungjawab, seperti Jenderal Feisal Tanjung yang ketika itu menjabat sebagai Panglima ABRI dan Jenderal Hartono yang ketika itu menjabat sebagai KSAD.
Karena itulah pemberhentiannya adalah sebuah jalan keluar yang paling bisa diterima. Prabowo sendiri menerima pemberhentiannya karena mengaku bersalah. Ia kemudian pindah ke Yordania, menjadi pengusaha di sana, sebelum bertahun kemudian baru kembali ke Indonesia.
Sebagai catatan, para prajurit yang semula dipecat berhasil naik banding sehingga mereka tetap bisa menjalankan karier kemiliteran mereka. Beberapa di antara mereka bahkan menjadi Dandim di berbagai daerah. Yang benar-benar dipecat hanya Bambang. Yang lain terbebas dari hukum pemecatan dan hukuman penjaranya pun dikurangi.
Perdebatan tentang ‘pemimpin yang kuat’ pada dasarnya adalah perbedaan perspektif. Hanya saja bagi Prabowo dan Gerindra, sangat mungkin argumen ini penting dalam rangka menjustifikasi masa lalu Prabowo yang selalu terbuka untuk dipersoalkan di masa ini.
Terlepas dari segenap nial jualnya sekarang, sepanjang kampanye nanti kubu Prabowo memang harus selalu siap menjelaskan pertanyaan atau cercaan tentang apa yang pernah dilakukan sang jenderal.
Salah satu noda hitam dalam sejarah Prabowo yang akan terus menghantui karier politiknya adalah rangkaian penculikan para aktivis mahasiswa dan kelompok-kelompok pro demokrasi yang berlangsung di masa-masa menjelang jatuhnya Soeharto, yang sampai diselesaikan.
Rangkaian pencul ikan ini diketahui berlangsung setidaknya tiga tahap: menjelang pemilu Mei 1997, dua bulan menjelang sidang MPR pada Maret 1998, dan terakhir menjelang tumbangnya Soeharto pada Mei 1998.
Ketika itu Soeharto marah dengan gelombang perlawanan kelompok-kelompok pro demokrasi yang semakin berani dan menguat menentang kekuasaan sang raja. Tanpa terbayangkan olehnya, kepemimpinan otoriter yang ia kira sudah berhasil dibangun dengan kokoh dalam dua dekade, secara bertahap ditantang oleh berbagai kelompok masyarakat sipil.
Pertumbuhan perlawanan terhadap Soeharto ketika itu memang menggetarkan: dari pembentukan Aliansi Jurnalis Independen yang melawan pembredelan Tempo, tumbuhnya kekuatan Megawati di PDI yang di puncaki dengan kasus kerusuhan 27 Juli 1996 di markas PDI Jakarta, menguatnya suara- suara oposisi dengan para ikonnya (seperti Amien Rais di Muhammadiyah dan Abdurrahman Wahid di NU), Majelis Reboan, terbentuknya Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakar ta , dukungan terhadap Timor Timur serta berkembangnya berbagai organisasi bentukan mahasiswa yang dicap radikal, seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD) atau Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Dalam konteks i tulah upaya untuk menghantam balik kekuatan pro demokrasi berusaha dilakukan sejak menjelang Pemilu 1997 yang mengantarkan Soeharto kembali menjadi Presiden untuk ke enam kalinya.
Buat rezim Orde Baru yang otoriter, modus menghilangkan orang memang bukan barang baru. Taktik menculik mahasiswa sudah dilakukan di masa-masa sebelumnya. Pada 1978, menjelang Sidang Umum MPR Kopkamtib melancarkan Operasi Kilat untuk menangkapi para aktivis dan ketua dewan mahasiswa, yang kemudian dilepaskan ketika suasana politik mereda.
Kali ini, penculikan bisa saja berulang tanpa persoalan, kalau saja peristiwa penggulingan Soeharto tak terjadi. Masalahnya, kali ini, sang raja jatuh dan semua kejahatan itu terpampang di muka umum.
Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang dibentuk di era Reformasi, dalam tiga aksi penculikan itu, 23 orang hilang atau sempat hilang dengan kondisi berbeda-beda. Ada sembilan orang yang dilepaskan penculik dan berbicara terbuka tentang nasib mereka selama penculikan. Tapi 13 orang lainnya dinyatakan hilang sampai sekarang sementara satu aktivis ditemukan meninggal (Leonardus Gilang).
Berdasarkan pengakuan para saksi, mereka disiksa para penculik. Itu terentang dari teror psikologis sampai teror fisik: dari dipukuli, disetrum (bahkan di bagian alat kelamin), ditelanjangi, dibenamkan ke dalam bak mandi, dibaringkan di atas balok es. Para korban juga bersaksi bahwa penculikan dilakukan dengan cara sistematis dan profesional. Selama diculik mereka terus diinterogasi tentang keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan anti pemerintah.
Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Waluya Jati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto dan Andi Arief. Mereka semua adalah korban dari penculikan menjelang dan sesudah Sidang MPR 1998 yang mengukuhkan Soeharto. Yang menghilang sebelum pemilu 1997 dan menjelang Mei 1998 tak pernah ditemukan dalam keadaan hidup.
Di mana peran Prabowo? Itulah salah satu hal yang tidak pernah tuntas dijelaskan.
Saat itu, Prabowo adalah pimpinan pasukan elit Kopassus (Komando Pasukan Khusus), sementara tim yang diketahui sebagai pelaku penculikan berdasarkan penyelidikan internal TNI adalah Tim Mawar yang merupakan tim kecil di dalam Kopassus.
Segera sesudah Soeharto jatuh, TNI memang melakukan serangkaian langkah: membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP), penyelidikan kasus serta pada akhirnya Mahkamah Militer untuk mengadili para pelaku.
Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota Tim Mawar ke pengadilan Mahmakah Militer pada April 1999. Tim itu terdiri dari seorang perwira menengah, Mayor Bambang Kristiono, yang memimpin sepuluh anggotanya – tujuh berpangkat kapten, tiga bintara.
Pengadilan memutuskan memecat dan menahan Komandan Tim Mawar , Mayor Bambang Kristiono, beserta empat anggota lainnya. Enam anggota Mawar lainnya dihukum penjara tapi tidak dikenai sanksi pemecatan sebagai anggota TNI.
Bagi banyak pihak, apa yang berlangsung di Mahkamah Militer itu jauh dari memuaskan. Para hakim misalnya begitu saja mempercayai pernyataan Bambang Kristiono bahwa penculikan itu dilakukan atas inisiatifnya sebagai komandan Tim Mawar yang terpanggil hati nuraninya melihat kelakuan para aktivis yang menurut penilaiannya bisa membahayakan kepentingan nasional.
Menurut Bambang, penculikan ia lakukan dalam rangka mendata aktivis radikal. Ia tak pernah menjelaskan siapa yang memberi perintah awal penculikan, apalagi penyiksaan.
Dengan menerima pengakuan Bambang, pengadilan tidak mengusut lebih jauh keterlibatan perwira lebih tinggi. Pengadilan juga tidak memeriksa tuduhan terjadinya penyiksaan dan penganiayaan terhadap korban penculikan, apalagi mempersoalkan 13 nama yang masih hilang. Tim Mawar, dengan kata lain, hanya bertanggungjawab atas menghilangnya sembilan aktivis yang diculik menjelang SU MPR 1998, tapi tidak yang lain.
Mahkamah Militer, dalam hal ini, tidak pernah mengeluarkan kesimpulan terkait Prabowo. Yang menyatakan Prabowo bertanggungjawab adalah Dewan Kehomatan Perwira – yang antara lain dianggotai Susilo Bambang Yudhoyono –yang pada Agustus 1998 mengeluarkan kesimpulan bahwa Prabowo bersalah dalam kasus penculikan yang dilakukan Tim Mawar.
DKP menyatakan bahwa Prabowo telah salah menafsirkan perintah dan direkomendasikan untuk dikenakan sanksi atau dihadapkan ke pengadilan militer. Sejarah mencatat, Prabowo rekomendasi itulah, Panglima ABRI Wiranto memutuskan memberhentikan Prabowo dari dinas kemiliterannya.
Prabowo sendiri mengakui bahwa apa yang dilakukan Tim Mawar ada di bawah tanggungjawabnya. Namun ia menyangkal bahwa perintah datang atas inisiatifnya dan ia sekadar melakukan perintah atasan. Ia juga menyatakan tak tahu menahu dengan perkara orang-orang hilang di luar sembilan aktivis yang akhirnya dikembalikan.
Menurut Prabowo, ia mengaku bersalah karena tidak berhati-hati dan percaya saja dengan laporan mereka yang ditugaskan menjalankan operasi serta tidak pernah mengunjungi sel-sel di mana para korban ditahan. Menurutnya, ia tidak pernah memerintahkan penyiksaan. Sampai saat ini, ia tidak pernah mau mengungkapkan secara terbuka siapa atasan yang memerintahkan ia melakukan penculikan.
Baik Mahkamah Militer maupun temuan DKP memang menyisakan banyak pertanyaan. Karena itulah, rangkaian penculikan tersebut tetap menjadi agenda yang hidup sampai saat ini.
Antara Oktober 2005 sampai Oktober 2006, Komnas HAM melakukan penyelidikan kembali yang melahirkan rekomendasi kepada Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik. Dalam rekomendasi itu dikatakan, telah didapat bukti permulaan yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kasus pengilangan secara paksa itu.
Tiga tahun kemudian, pada September 2009, Panitia Khusus Penghilangan Orang secara Paksa (pansus Orang Hilang) di DPR memberi rekomendasi pada presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc tentang penculikan aktivis 1997/1998. Pansus juga merekomendasikan agar pemerintah kembali menyelidiki hilangnya 13 aktivis yang sampai saat ini memang tak pernah ditemukan.
Namun sampai saat ini, baik rekomendasi Komnas HAM maupun rekomendasi Pansus DPR tak pernah ditindaklanjuti. Pada Mei 2011, kementerian Polhukam memang pernah membentuk tim untuk menuntaskan kasuskasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Tapi belakangan, kiprah tim ini tak pernah terdengar.
Segenap ketidakpastian ini tentu saja menyebabkan banyak pihak percaya bahwa apa yang terjadi merupakan bagian dari sebuah kotak pandora: aksi besar yang melibatkan banyak pihak yang mungkin sampai saat ini masih berada di lingkar kekuasaan.
Soal Bambang Kristiono misalnya, ia dan kawan-kawannya diduga memang sengaja ‘pasang badan’ bersedia dipersalahkan dengan jaminan bahwa apa yang mereka lakukan terhadap 13 aktivis yang hilang – dan kemungkinan besar sudah tewas dibunuh - tidak dikutak-katik dalam pengadilan. Karena itulah, Bambang dan kawankawan hanya dihukum karena ‘menghilangkan kemerdekaan’, bukan penculikan apalagi penyiksaan dan pembunuhan.
Prabowo tidak disidik lebih jauh karena bila dilakukan, diduga itu akan membawa nama-nama besar lainnya yang seharusnya juga bertanggungjawab, seperti Jenderal Feisal Tanjung yang ketika itu menjabat sebagai Panglima ABRI dan Jenderal Hartono yang ketika itu menjabat sebagai KSAD.
Karena itulah pemberhentiannya adalah sebuah jalan keluar yang paling bisa diterima. Prabowo sendiri menerima pemberhentiannya karena mengaku bersalah. Ia kemudian pindah ke Yordania, menjadi pengusaha di sana, sebelum bertahun kemudian baru kembali ke Indonesia.
Sebagai catatan, para prajurit yang semula dipecat berhasil naik banding sehingga mereka tetap bisa menjalankan karier kemiliteran mereka. Beberapa di antara mereka bahkan menjadi Dandim di berbagai daerah. Yang benar-benar dipecat hanya Bambang. Yang lain terbebas dari hukum pemecatan dan hukuman penjaranya pun dikurangi.
Sumber
lanjut di bawah
Diubah oleh neo.liberal 13-08-2013 07:14
0
26.6K
Kutip
126
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan