- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Raup Puluhan Juta dari "Lampu Antik" Stoples
TS
rzph
Raup Puluhan Juta dari "Lampu Antik" Stoples
KASKUSER BIJAK SELALU MENINGALKAN JEJAK
KOMENG
+
BAGI YANG ISO BISA LEMPAR
KEMAREN " ANE BUAT TS TENTANG TIPS MEMULAI USAHA TANPA MODAL ATAU MODAL MINIM
INI NIH SALAH SATU ORANG YANG MENGABUNGKAN AKAL + BISNIS
Quote:
Hiasan rumah bernuansa klasik kini tengah diminati. Berbekal sedikit kreativitas dan kerja keras, Tri Yuniawan Putranto (32) memanfaatkan tren tersebut sebagai peluang usaha. Ia kemudian membuat lampu-lampu antik menawan yang murah sekaligus ramah lingkungan karena terbuat dari stoples dan botol kaca bekas yang tadinya dibuang begitu saja.
Awalnya, Tri mendapat ide membuat lampu antik ketika bekerja membuat kerajinan besi pada 2002. Ide mengembangkan usaha ini juga bertolak dari sulitnya memperoleh pekerjaan. Lulusan Diploma III Manajemen ASMI Santa Maria Yogyakarta ini terpaksa bekerja kasar di perusahaan swasta milik saudaranya karena kesulitan mencari pekerjaan.
Hanya bertahan setahun, perusahaan itu gulung tikar. Tri kembali jadi penganggur. Baru saja menikah dan harus memenuhi kebutuhan keluarga memaksanya untuk segera mencari pekerjaan baru.
Beruntung Tri dan istrinya masih diizinkan tinggal bersama di rumah keluarga sang istri di Dusun Srandu, Banjarharjo, Kalibawang, Kulon Progo, DIY. Ketergantungan ini yang membuat Tri mendapat ilham untuk menjalankan usahanya sendiri.
Tri iseng menempa logam kuningan untuk dibuat sebagai kerajinan. Dia pun teringat dengan gagasannya untuk membuat lampu antik. Ia segera memburu stoples kaca bekas di pasar-pasar tradisional dan membeli lembaran logam kuningan.
Satu stoples dibeli seharga Rp 2.500-Rp 15.000, tergantung dari ukuran diameter. Logam kuningan ukuran 120 sentimeter x 36 sentimeter dengan ketebalan 0,3 milimeter dibeli seharga Rp 65.000 per lembar.
Stoples berbentuk bulat dengan diameter 10-15 sentimeter itu dicuci hingga bersih. Setelah itu, lembar kuningan dipotong dengan panjang yang pas dengan keliling mulut stoples.
”Kuningan itu saya bikin menjadi tempat lampu. Setelah diukur tepat, kuningan saya tempa dengan pahat untuk menimbulkan motif bulat atau garis-garis,” katanya.
Tri juga mendesain penyangga lampu sekaligus tatakannya, juga dari bahan kuningan. Butuh waktu lebih dari satu minggu untuk menciptakan lampu antik pertamanya. Sebagian besar dari waktu itu digunakan Tri untuk melubangi kaca stoples sebagai tempat pengait kap lampu. Pelubangan harus dilakukan hati-hati agar kaca tidak pecah.
Setelah menciptakan beberapa model lampu antik, Tri tetap menghadapi kendala modal yang tipis. Namun, agar produknya dikenal, dia berani mengikuti pameran kerajinan yang digelar di Kulon Progo sekitar tahun 2004. Respons pengunjung pameran terhadap kerajinan lampu antik cukup tinggi.
”Seusai pameran, order pembuatan lampu antik terus mengalir. Pelan-pelan usaha saya mulai jalan,” ujar ayah satu anak ini. Mengikuti pameran dengan menyajikan produk contoh yang baik menjadi modal kesuksesan usahanya.
Untuk mendukung proses produksi, Tri merekrut lima tenaga kerja. Dua di antaranya adalah teman-temannya sendiri. Sisanya adalah pemuda Dusun Srandu yang menganggur. Pembuatan lampu antik awalnya dilakukan di halaman rumah. Tri belum mampu mendirikan studio kerja sendiri.
Tantangan baru muncul
Tenggat yang terbatas dari pemesan membuat Tri tidak bisa lama-lama membuat lampu antik. Ia harus mencari cara untuk melubangi stoples secepat mungkin tanpa memecahkan kaca. Padahal, proses inilah yang paling makan waktu.
”Saya akhirnya memakai bor listrik yang diberi mata intan. Mahal, tapi hasilnya rapi. Dulu satu dari tiga stoples pasti pecah saat dilubangi. Sekarang risiko bisa diperkecil menjadi satu banding sepuluh,” katanya.
Inovasi lain ialah memodifikasi pompa air menjadi mesin penggerinda untuk menghaluskan permukaan stoples. Agar tidak pecah saat tergerus penggerinda, tepian stoples atau botol kaca ditutup selotip.
Sesungguhnya tidak ada tuntutan kesempurnaan pada lampu antik. Kaca retak, logam penyok, atau warna kusam justru akan meningkatkan nilai antik dari lampu itu. Harga jual lampu justru bisa terdongkrak.
Tri berhasil mengejar tenggat produksi. Kini ia mampu memproduksi 2-3 lampu antik tempel per hari. Untuk lampu gantung, ia bisa memproduksi 1-2 buah per hari. Dalam satu bulan, Tri mampu memproduksi 100 lampu antik.
Harga lampu-lampu ”stoples” karya Tri bervariasi, mulai dari Rp 150.000 sampai Rp 1,5 juta, tergantung dari kerumitan desain. Omzet yang didapat Rp 15 juta-Rp 30 juta per bulan.
Untuk memperkaya ide desain, Tri rajin mengunjungi pasar-pasar tradisional, seperti Pasar Klithikan dan Beringharjo di Yogyakarta. Ia juga kerap bertukar ide dengan pembuat kerajinan tradisional lain saat menghadiri pameran.
Beberapa tahun pertama, Tri hanya memasarkan lampu buatannya di toko-toko lokal, seperti di Mirota Batik dan berbagai galeri seni di Yogyakarta. Belakangan produknya mulai dilirik para eksportir untuk dipasarkan di Eropa dan Asia.
Luasnya pemasaran ini berdampak pada jumlah pemesanan. Akhir tahun lalu Tri mendapat pesanan 1.000 lampu dari luar negeri. Tri sampai merekrut puluhan tenaga kerja dari sekitar Banjarharjo. Setiap tenaga kerja diupah Rp 35.000-Rp 50.000 per hari.
”Saya cukup senang karena memberi kesibukan kepada pemuda-pemuda desa yang menganggur. Beberapa di antara mereka bahkan juga terinspirasi menekuni dunia wiraswasta sebagai sumber penghidupan meskipun mereka berada di jalur yang berbeda,” kata Tri yang akrab disapa Iput ini.
Perjalanan bisnis lampu antik Tri masih panjang. Sebagian hasil usaha sudah diinvestasikan Tri menjadi studio kerja berukuran sekitar 4 meter x 4 meter. Agar usahanya lebih maju, ia tak segan mengajukan kredit bank hingga Rp 100 juta.
Tri juga mulai melayani pembuatan lampu antik dengan desain khusus sesuai dengan keinginan pemesan. Tidak ada batasan order yang dikenakan karena bagi Tri kepuasan pelanggan adalah segalanya.
Dengan sistem semacam ini, Tri juga tidak khawatir tersaingi produk-produk tiruan atau impor seiring dengan mulai berlakunya sistem perdagangan bebas dengan China. Menurut dia, produk kerajinan tradisional buatan tangan tak mudah ditiru pabrik sehingga akan selalu mendapat tempat di hati konsumen. ”Saya tak takut dengan serbuan produk China atau India. Kualitas produk bikinan mereka tak akan bisa menyamai produk buatan saya,” ujar Tri percaya diri.
Lampu antik buatan Tri tidak hanya mengangkat nama produk kerajinan dalam negeri atau menciptakan lapangan kerja. Namun, lebih dari itu, Tri juga berperan dalam upaya mencegah pemanasan global karena sesungguhnya produk yang ia hasilkan adalah hasil daur ulang dari sampah yang tadinya terbuang percuma
Awalnya, Tri mendapat ide membuat lampu antik ketika bekerja membuat kerajinan besi pada 2002. Ide mengembangkan usaha ini juga bertolak dari sulitnya memperoleh pekerjaan. Lulusan Diploma III Manajemen ASMI Santa Maria Yogyakarta ini terpaksa bekerja kasar di perusahaan swasta milik saudaranya karena kesulitan mencari pekerjaan.
Hanya bertahan setahun, perusahaan itu gulung tikar. Tri kembali jadi penganggur. Baru saja menikah dan harus memenuhi kebutuhan keluarga memaksanya untuk segera mencari pekerjaan baru.
Beruntung Tri dan istrinya masih diizinkan tinggal bersama di rumah keluarga sang istri di Dusun Srandu, Banjarharjo, Kalibawang, Kulon Progo, DIY. Ketergantungan ini yang membuat Tri mendapat ilham untuk menjalankan usahanya sendiri.
Tri iseng menempa logam kuningan untuk dibuat sebagai kerajinan. Dia pun teringat dengan gagasannya untuk membuat lampu antik. Ia segera memburu stoples kaca bekas di pasar-pasar tradisional dan membeli lembaran logam kuningan.
Satu stoples dibeli seharga Rp 2.500-Rp 15.000, tergantung dari ukuran diameter. Logam kuningan ukuran 120 sentimeter x 36 sentimeter dengan ketebalan 0,3 milimeter dibeli seharga Rp 65.000 per lembar.
Stoples berbentuk bulat dengan diameter 10-15 sentimeter itu dicuci hingga bersih. Setelah itu, lembar kuningan dipotong dengan panjang yang pas dengan keliling mulut stoples.
”Kuningan itu saya bikin menjadi tempat lampu. Setelah diukur tepat, kuningan saya tempa dengan pahat untuk menimbulkan motif bulat atau garis-garis,” katanya.
Tri juga mendesain penyangga lampu sekaligus tatakannya, juga dari bahan kuningan. Butuh waktu lebih dari satu minggu untuk menciptakan lampu antik pertamanya. Sebagian besar dari waktu itu digunakan Tri untuk melubangi kaca stoples sebagai tempat pengait kap lampu. Pelubangan harus dilakukan hati-hati agar kaca tidak pecah.
Setelah menciptakan beberapa model lampu antik, Tri tetap menghadapi kendala modal yang tipis. Namun, agar produknya dikenal, dia berani mengikuti pameran kerajinan yang digelar di Kulon Progo sekitar tahun 2004. Respons pengunjung pameran terhadap kerajinan lampu antik cukup tinggi.
”Seusai pameran, order pembuatan lampu antik terus mengalir. Pelan-pelan usaha saya mulai jalan,” ujar ayah satu anak ini. Mengikuti pameran dengan menyajikan produk contoh yang baik menjadi modal kesuksesan usahanya.
Untuk mendukung proses produksi, Tri merekrut lima tenaga kerja. Dua di antaranya adalah teman-temannya sendiri. Sisanya adalah pemuda Dusun Srandu yang menganggur. Pembuatan lampu antik awalnya dilakukan di halaman rumah. Tri belum mampu mendirikan studio kerja sendiri.
Tantangan baru muncul
Tenggat yang terbatas dari pemesan membuat Tri tidak bisa lama-lama membuat lampu antik. Ia harus mencari cara untuk melubangi stoples secepat mungkin tanpa memecahkan kaca. Padahal, proses inilah yang paling makan waktu.
”Saya akhirnya memakai bor listrik yang diberi mata intan. Mahal, tapi hasilnya rapi. Dulu satu dari tiga stoples pasti pecah saat dilubangi. Sekarang risiko bisa diperkecil menjadi satu banding sepuluh,” katanya.
Inovasi lain ialah memodifikasi pompa air menjadi mesin penggerinda untuk menghaluskan permukaan stoples. Agar tidak pecah saat tergerus penggerinda, tepian stoples atau botol kaca ditutup selotip.
Sesungguhnya tidak ada tuntutan kesempurnaan pada lampu antik. Kaca retak, logam penyok, atau warna kusam justru akan meningkatkan nilai antik dari lampu itu. Harga jual lampu justru bisa terdongkrak.
Tri berhasil mengejar tenggat produksi. Kini ia mampu memproduksi 2-3 lampu antik tempel per hari. Untuk lampu gantung, ia bisa memproduksi 1-2 buah per hari. Dalam satu bulan, Tri mampu memproduksi 100 lampu antik.
Harga lampu-lampu ”stoples” karya Tri bervariasi, mulai dari Rp 150.000 sampai Rp 1,5 juta, tergantung dari kerumitan desain. Omzet yang didapat Rp 15 juta-Rp 30 juta per bulan.
Untuk memperkaya ide desain, Tri rajin mengunjungi pasar-pasar tradisional, seperti Pasar Klithikan dan Beringharjo di Yogyakarta. Ia juga kerap bertukar ide dengan pembuat kerajinan tradisional lain saat menghadiri pameran.
Beberapa tahun pertama, Tri hanya memasarkan lampu buatannya di toko-toko lokal, seperti di Mirota Batik dan berbagai galeri seni di Yogyakarta. Belakangan produknya mulai dilirik para eksportir untuk dipasarkan di Eropa dan Asia.
Luasnya pemasaran ini berdampak pada jumlah pemesanan. Akhir tahun lalu Tri mendapat pesanan 1.000 lampu dari luar negeri. Tri sampai merekrut puluhan tenaga kerja dari sekitar Banjarharjo. Setiap tenaga kerja diupah Rp 35.000-Rp 50.000 per hari.
”Saya cukup senang karena memberi kesibukan kepada pemuda-pemuda desa yang menganggur. Beberapa di antara mereka bahkan juga terinspirasi menekuni dunia wiraswasta sebagai sumber penghidupan meskipun mereka berada di jalur yang berbeda,” kata Tri yang akrab disapa Iput ini.
Perjalanan bisnis lampu antik Tri masih panjang. Sebagian hasil usaha sudah diinvestasikan Tri menjadi studio kerja berukuran sekitar 4 meter x 4 meter. Agar usahanya lebih maju, ia tak segan mengajukan kredit bank hingga Rp 100 juta.
Tri juga mulai melayani pembuatan lampu antik dengan desain khusus sesuai dengan keinginan pemesan. Tidak ada batasan order yang dikenakan karena bagi Tri kepuasan pelanggan adalah segalanya.
Dengan sistem semacam ini, Tri juga tidak khawatir tersaingi produk-produk tiruan atau impor seiring dengan mulai berlakunya sistem perdagangan bebas dengan China. Menurut dia, produk kerajinan tradisional buatan tangan tak mudah ditiru pabrik sehingga akan selalu mendapat tempat di hati konsumen. ”Saya tak takut dengan serbuan produk China atau India. Kualitas produk bikinan mereka tak akan bisa menyamai produk buatan saya,” ujar Tri percaya diri.
Lampu antik buatan Tri tidak hanya mengangkat nama produk kerajinan dalam negeri atau menciptakan lapangan kerja. Namun, lebih dari itu, Tri juga berperan dalam upaya mencegah pemanasan global karena sesungguhnya produk yang ia hasilkan adalah hasil daur ulang dari sampah yang tadinya terbuang percuma
SUMBER
Spoiler for SINI GAN:
http://jejak-langkah-bisnis.blogspot.com/2010/03/raup-puluhan-juta-dari-lampu-antik.html
PESAN DARI TS
JANGAN RAGU MENGEXPOSE IDE " KREATIF AGAN " SELAMA APA YANG AGAN LAKUIN ITU BERDAMPAK POSITIF
KEEP SPIRIT
AND
NEVER GIVE UP
Diubah oleh rzph 11-08-2013 22:42
nona212 memberi reputasi
1
2.5K
Kutip
21
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan