- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Yuk.. Mengenal Masjid Kebon Jeruk Jakarta Barat!


TS
SkyChild
Yuk.. Mengenal Masjid Kebon Jeruk Jakarta Barat!
Quote:


Spoiler for No Repsol:
Quote:
Kali ini ane pengen banget ngebahas sesuatu berbau Sejarah Batavia alias Jakarta kita tercinta nih gan 
Kalau agan orang Jakarte atau minimal pernah ke Jakarte, pasti tau dong ama Masjid yang satu ini
Yup, inilah Masjid Kebon Jeruk yang berlokasi di Jakarta Barat. Orang biasa menyebutnya Masjid Kebon Jeruk karena lokasinya emang disekitar jalan-jalan Kebon Jeruk, Tamansari, Jakarta barat. Letak Masjid ini persis disisi Jalan Hayam Wuruk, yang kita kenal sebagai salah satu kawasan Chinatown (Pecinan) terpadat di Jakarta
Kalo diliat dari segi bangunannya sih keknya biasa-biasa aja gan, hampir nggak keliatan ada uniknya selain bangunannya yang mengadopsi gaya tua. Tapi ketika kita mencoba flashback kearah kapan Masjid ini dibangun, maka kita akan menemukan keunikannya yang sangat luar biasa
Orang yang demen baca kitab (wesyeh) Sejarah, pasti tau kalau Masjid ini dibangun oleh salah satu orang penting Tiongkok, yaitu Kapten Chau Tsien Wu yang dateng ke Indonesia bersama dengan istrinya, yaitu Fatimah Wu. Jangan salah gan, beliau ini dateng ke Indonesia nggak cuman sekedar dateng & bangun masjid doang. Beliau ini juga dikenal sebagai salah satu penyebar agama Islam yang cukup masyhur disekitar Betawi.
Masjid ini dibangun pada tahun 1718 M ketika Kapten Chau berkunjung ke Batavia & akhirnya memutuskan untuk menetap disana. Tak hanya itu, bahkan Kapten Chau mengajak pula seluruh keluarganya untuk hijrah ke negeri indah yang disebut Nusantara ini, kemudian memutuskan untuk menjadi warga Nusantara. Sebenernya Masjid ini berdiri diatas tanah yang tadinya dibangun Surau gan, tapi karena Suraunya dah hampir tewas, maka Beliau pugar & akhirnya berdirilah sebuah Masjid yang baik dan makmur.

Kalau agan orang Jakarte atau minimal pernah ke Jakarte, pasti tau dong ama Masjid yang satu ini

Yup, inilah Masjid Kebon Jeruk yang berlokasi di Jakarta Barat. Orang biasa menyebutnya Masjid Kebon Jeruk karena lokasinya emang disekitar jalan-jalan Kebon Jeruk, Tamansari, Jakarta barat. Letak Masjid ini persis disisi Jalan Hayam Wuruk, yang kita kenal sebagai salah satu kawasan Chinatown (Pecinan) terpadat di Jakarta

Kalo diliat dari segi bangunannya sih keknya biasa-biasa aja gan, hampir nggak keliatan ada uniknya selain bangunannya yang mengadopsi gaya tua. Tapi ketika kita mencoba flashback kearah kapan Masjid ini dibangun, maka kita akan menemukan keunikannya yang sangat luar biasa

Orang yang demen baca kitab (wesyeh) Sejarah, pasti tau kalau Masjid ini dibangun oleh salah satu orang penting Tiongkok, yaitu Kapten Chau Tsien Wu yang dateng ke Indonesia bersama dengan istrinya, yaitu Fatimah Wu. Jangan salah gan, beliau ini dateng ke Indonesia nggak cuman sekedar dateng & bangun masjid doang. Beliau ini juga dikenal sebagai salah satu penyebar agama Islam yang cukup masyhur disekitar Betawi.
Masjid ini dibangun pada tahun 1718 M ketika Kapten Chau berkunjung ke Batavia & akhirnya memutuskan untuk menetap disana. Tak hanya itu, bahkan Kapten Chau mengajak pula seluruh keluarganya untuk hijrah ke negeri indah yang disebut Nusantara ini, kemudian memutuskan untuk menjadi warga Nusantara. Sebenernya Masjid ini berdiri diatas tanah yang tadinya dibangun Surau gan, tapi karena Suraunya dah hampir tewas, maka Beliau pugar & akhirnya berdirilah sebuah Masjid yang baik dan makmur.
Quote:
Ada sedikit kisah memilukan dari sejarah gan 
(CATATAN: Semoga nggak pernah terulang lagi untuk selamanya, aamiin)..

(CATATAN: Semoga nggak pernah terulang lagi untuk selamanya, aamiin)..
Spoiler for Sejarah Berdarah:
Quote:
Masjid ini menjadi saksi bisu pembantaian etnis China pada tahun 1740, yang para ahli sejarah menyebutnya sebagai Lembaran Paling Hitam dalam sejarah Jakarta.
Setidaknya data kontemporer menyebutkan ada 10ribuan pria, wanita, & anak-anak (bahkan termasuk Janin yang dihilangkan nyawanya) penduduk Nusantara yang datang dari China yang dibantai oleh VOC secara membabi buta. Kasus pembantaian terhadap etnis Cina itu berkali-kali lipat lebih dahsyat dari kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan Solo. Bahkan penyebutan nama "Kali Angke" (dalam Mandarin berarti: Sungai Merah) itu berasal dari kenangan bahwa kali yang berdekatan dengan Glodok ini pada saat itu telah memerah karena darah.
Awal mula konflik adalah berasal dari VOC yang merasa bahwa bisnisnya tersaingi oleh pendatang China yang jumlahnya kurang lebih 80ribu jiwa, dan banyak di antara mereka yang bekerja di pabrik-pabrik gula yang masa itu merupakan penghasil dibidang perkebunan terbesar di Jakarta. Beberapa saat setelah itu, tiba-tiba harga gula di pasaran internasional menurun drastis akibat membludaknya gula Malabar (India). Pabrik-pabrik gula di Batavia pada bangkrut, sehingga banyak warga Cina yang menjadi penganggur dan gelandangan.
Sejak saat itu bergabunglah beberapa pengangguran tersebut untuk bergabung dengan rumah usaha milik pribumi, dan disamping itu munculah juga beberapa usaha menengah yang didirikan oleh orang-orang China pendatang (yang saat itu jumlahnya hampir sepadan atau bahwa hampir melebihi jumlah Pribumi & Belanda). Usaha-usaha itu cukup ramai menampung banyak pekerja dari China.
Hal ini menimbulkan kecemburuan & kedengkian dari pihak VOC, dimana badan-badan usaha mereka jadi kurang ramai. Maka mulailah beberapa isu digelontorkan dikalangan masyarakat, mulai dari isu kriminal dari bangsa pendatang (yang jumlahnya saat itu membludak), sampai isu diskriminasi pada kaum pribumi oleh para pekerja China.
Tak hanya sampai disitu, dari yang awalnya urusan duit, merembet ke ras, dan sekarang ke Agama. Agan yang sering baca buku sejarah Jakarta pasti tau kalau masa itu Mayoritas Pendatang dari China adalah kaum Muslimin. Iya.. mereka adalah Orang Islam. Dan VOC memanfaatkan hal ini untuk menekan angka pertumbuhan mereka karena budaya Islam yang cukup jauh kaitannya dengan budaya Pagan Pribumi, walaupun hal ini mendapat tentangan dari orang-orang Pribumi sesama orang Muslim.
Kemudian, VOC buat peraturan untuk membatasi kedatangan warga Cina. Mereka yang tinggal di Batavia harus memiliki izin tinggal, berusaha atau berdagang. Tapi, bagi para pejabat VOC hal ini dijadikan kesempatan untuk melakukan pungli. Belum puas dengan peraturan itu, VOC mengeluarkan peraturan lebih berat. Warga Cina, baik yang sudah memiliki surat izin tinggal maupun belum, tapi tak memiliki pekerjaan, harus ditangkap. Warga Cina terguncang, mereka terpaksa tinggal di rumah-rumah dan menutup toko-toko.
Seringkali Pemuda-pemudanya dipukuli tanpa sebab jelas, bahkan kasus pembunuhan warga China sama sekali tak diusut dengan tuntas oleh pemerintah Belanda. Kasusnya sebenernya panjang gan, tapi singkat kata, dari diskriminasi sosial oleh Belanda itu munculah beberapa orang China yang memberanikan diri melawan Belanda. Dan kurang suksesnya perlawanan ini mengakibatkan munculnya alasan bagi pemerintah Hindia-Belanda untuk menggenosid warga China Muslim ini.
Kejadiannya hampir mirip dengan tragedi WTC di era kontemporer ini.
Karna ada segelintir orang yang merasa ditindas, akhirnya memberanikan diri memerangi Amerika di negara asalnya langsung, dan korban jiwa dalam peristiwa itu dijadikan alasan Amerika untuk memberangus habis-habisan beberapa negara yang dicurigai memiliki kaitan dengan pelaku terror.
Suasana kota sangat kalut. Para prajurit VOC, bahkan kelasi-kelasi yang kapalnya bersandar di Bandar Sunda Kalapa, diminta untuk melakukan pembersihan etnis. Mereka merampok, membakar dan menjarah toko-toko.
Serta tanpa mengenal malu, kesempatan itu digunakan oleh para tentara kelasi itu yang sedang birahi untuk memuaskan hasratnya secara gratis dengan merudapaksa wanita-wanita Cina. Begitu biadabnya pembantaian itu, hingga para pasien termasuk bayi-bayi yang berada di RS Cina (letaknya dulu kira-kira di depan Stasion KA Beos), juga dibunuh. Orang-orang Cina di penjara bawah tanah di Balaikota (stadhuis) yang berjumlah 500 orang, semuanya juga dibunuh.
Untuk menggambarkan dasyatnya peristiwa tersebut, Willard A Hanna dalam buku "Hikayat Jakarta" menulis: "Tiba-tiba secara tidak terduga, seketika itu juga terdengar jeritan ketakutan bergema di seluruh kota, dan terjadilah pemandangan yang paling memilukan dan perampokan di segala sudut kota."
Banyak diantara warga Tionghoa ini yang mendatangi Masjid Kebon Jeruk dan berlindung di Masjid ini. Warga-warga Pribumi Muslim pun berduyun-duyun ikut mempersenjatai & membantu melindungi mereka dari kekejaman VOC. Ketika peristiwa menakutkan ini terjadi, perkampungan Tionghoa berada kira-kira di sebelah utara Glodok, di Kalibesar. Kemudian VOC membangun perkampungan baru untuk mereka sedikit di luar tembok kota, yang kini dikenal dengan nama Glodok.
Disana juga mereka membangun angkatan perlawanan untuk mereduksi aksi kekerasan oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Dibantu oleh sebagian kaum Pribumi, mereka pun memberanikan perlawanan dengan Belanda. Walaupun tak cukup berhasil, namun setidaknya perlawanan ini membuahkan sedikit hasil karena Pemerintah Pusat belanda melihatnya sebagai tindakan sepihak Gubernur Belanda.
Ada beberapa orang yang ditangkap. Kala itu, yang menjadi kapten Cina adalah Nie Hoe Kong. Dia dituduh menjadi aktor intelektual dan dianggap bertanggung jawab dalam peristiwa itu. Dia dijebloskan ke penjara pada 18 Oktober 1740 oleh gubernur jenderal Adrian Valckenier (1737-1741).
Setelah melalui persidangan yang melelahkan, bertele-tele dan dipolitisir, Nie Hoen Kong divonis 25 tahun penjara dan diasingkan ke Srilangka. Setelah mengajukan keberatan, kapten Cina ini akhirnya dibuang ke Maluku. Rumahnya, di sekitar Kalibesar, ditembaki dengan meriam, dan ia pun dipenjara selama 5 tahun di benteng Robijn.
Pada 12 Pebruari 1745 dia diangkut sebagai tawanan ke Maluku disertai beberapa orang keluarganya dengan kapal De Palas. Setelah beberapa lama ditahan di tempat pembuangan, dari hari ke hari kesehatannya makin menurun. Dia meninggal pada 25 Desember 1746 dalam usia muda, yaitu 36 tahun.
Setelah peristiwa pembantaian warga Cina, gubernur jenderal Valckenier digantikan oleh mantan panglimanya, Baron van Imhoff. Kediamannya itu kini dikenal sebagai toko merah. Memang diperkirakan di sekitar tempat itulah terjadi pembantaian di luar perikemanusiaan.
Semenjak itu muncul pula beberapa aturan absurd yang melarang etnis Tionghoa untuk memeluk Islam, karena Pemerintah Belanda percaya bahwa agama ini yang membuat orang-orang China pendatang berani melakukan perlawanan.
Dan bagi yang nekat beragama Islam dan ketahuan, maka ia dipaksa antara kembali ke Negara asalnya yang sudah dikuasai oleh pemerintahan Dinasty Chin dan terkenal bertangan besi, atau memeluk agama lain selain Islam. Akhirnya mau tak mau beberapa orang dengan terpaksa melepas identitas keislamannya, setidaknya hal ini dilakukan mereka didepan publik saja, walaupun dirumahnya mereka masih menjalankan Ibadah orang Islam.
Walau begitu, tumbuh kembang anak-anak mereka pada akhirnya tetap diawasi ketat oleh Pemerintah hindia Belanda. Jika ketahuan mereka dididik tentang Islam, atau minimal memakai nama Islam, maka bisa jadi masalah besar. Hal ini berjalan selama bertahun-tahun, hingga akhirnya mayoritas etnis China Muslim kala itu berubah 180 derajat menjadi hampir tak ada, kecuali sebagian kecil.
Setidaknya data kontemporer menyebutkan ada 10ribuan pria, wanita, & anak-anak (bahkan termasuk Janin yang dihilangkan nyawanya) penduduk Nusantara yang datang dari China yang dibantai oleh VOC secara membabi buta. Kasus pembantaian terhadap etnis Cina itu berkali-kali lipat lebih dahsyat dari kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan Solo. Bahkan penyebutan nama "Kali Angke" (dalam Mandarin berarti: Sungai Merah) itu berasal dari kenangan bahwa kali yang berdekatan dengan Glodok ini pada saat itu telah memerah karena darah.
Awal mula konflik adalah berasal dari VOC yang merasa bahwa bisnisnya tersaingi oleh pendatang China yang jumlahnya kurang lebih 80ribu jiwa, dan banyak di antara mereka yang bekerja di pabrik-pabrik gula yang masa itu merupakan penghasil dibidang perkebunan terbesar di Jakarta. Beberapa saat setelah itu, tiba-tiba harga gula di pasaran internasional menurun drastis akibat membludaknya gula Malabar (India). Pabrik-pabrik gula di Batavia pada bangkrut, sehingga banyak warga Cina yang menjadi penganggur dan gelandangan.
Sejak saat itu bergabunglah beberapa pengangguran tersebut untuk bergabung dengan rumah usaha milik pribumi, dan disamping itu munculah juga beberapa usaha menengah yang didirikan oleh orang-orang China pendatang (yang saat itu jumlahnya hampir sepadan atau bahwa hampir melebihi jumlah Pribumi & Belanda). Usaha-usaha itu cukup ramai menampung banyak pekerja dari China.
Hal ini menimbulkan kecemburuan & kedengkian dari pihak VOC, dimana badan-badan usaha mereka jadi kurang ramai. Maka mulailah beberapa isu digelontorkan dikalangan masyarakat, mulai dari isu kriminal dari bangsa pendatang (yang jumlahnya saat itu membludak), sampai isu diskriminasi pada kaum pribumi oleh para pekerja China.
Tak hanya sampai disitu, dari yang awalnya urusan duit, merembet ke ras, dan sekarang ke Agama. Agan yang sering baca buku sejarah Jakarta pasti tau kalau masa itu Mayoritas Pendatang dari China adalah kaum Muslimin. Iya.. mereka adalah Orang Islam. Dan VOC memanfaatkan hal ini untuk menekan angka pertumbuhan mereka karena budaya Islam yang cukup jauh kaitannya dengan budaya Pagan Pribumi, walaupun hal ini mendapat tentangan dari orang-orang Pribumi sesama orang Muslim.
Kemudian, VOC buat peraturan untuk membatasi kedatangan warga Cina. Mereka yang tinggal di Batavia harus memiliki izin tinggal, berusaha atau berdagang. Tapi, bagi para pejabat VOC hal ini dijadikan kesempatan untuk melakukan pungli. Belum puas dengan peraturan itu, VOC mengeluarkan peraturan lebih berat. Warga Cina, baik yang sudah memiliki surat izin tinggal maupun belum, tapi tak memiliki pekerjaan, harus ditangkap. Warga Cina terguncang, mereka terpaksa tinggal di rumah-rumah dan menutup toko-toko.
Seringkali Pemuda-pemudanya dipukuli tanpa sebab jelas, bahkan kasus pembunuhan warga China sama sekali tak diusut dengan tuntas oleh pemerintah Belanda. Kasusnya sebenernya panjang gan, tapi singkat kata, dari diskriminasi sosial oleh Belanda itu munculah beberapa orang China yang memberanikan diri melawan Belanda. Dan kurang suksesnya perlawanan ini mengakibatkan munculnya alasan bagi pemerintah Hindia-Belanda untuk menggenosid warga China Muslim ini.
Kejadiannya hampir mirip dengan tragedi WTC di era kontemporer ini.
Karna ada segelintir orang yang merasa ditindas, akhirnya memberanikan diri memerangi Amerika di negara asalnya langsung, dan korban jiwa dalam peristiwa itu dijadikan alasan Amerika untuk memberangus habis-habisan beberapa negara yang dicurigai memiliki kaitan dengan pelaku terror.
Suasana kota sangat kalut. Para prajurit VOC, bahkan kelasi-kelasi yang kapalnya bersandar di Bandar Sunda Kalapa, diminta untuk melakukan pembersihan etnis. Mereka merampok, membakar dan menjarah toko-toko.
Serta tanpa mengenal malu, kesempatan itu digunakan oleh para tentara kelasi itu yang sedang birahi untuk memuaskan hasratnya secara gratis dengan merudapaksa wanita-wanita Cina. Begitu biadabnya pembantaian itu, hingga para pasien termasuk bayi-bayi yang berada di RS Cina (letaknya dulu kira-kira di depan Stasion KA Beos), juga dibunuh. Orang-orang Cina di penjara bawah tanah di Balaikota (stadhuis) yang berjumlah 500 orang, semuanya juga dibunuh.
Untuk menggambarkan dasyatnya peristiwa tersebut, Willard A Hanna dalam buku "Hikayat Jakarta" menulis: "Tiba-tiba secara tidak terduga, seketika itu juga terdengar jeritan ketakutan bergema di seluruh kota, dan terjadilah pemandangan yang paling memilukan dan perampokan di segala sudut kota."
Banyak diantara warga Tionghoa ini yang mendatangi Masjid Kebon Jeruk dan berlindung di Masjid ini. Warga-warga Pribumi Muslim pun berduyun-duyun ikut mempersenjatai & membantu melindungi mereka dari kekejaman VOC. Ketika peristiwa menakutkan ini terjadi, perkampungan Tionghoa berada kira-kira di sebelah utara Glodok, di Kalibesar. Kemudian VOC membangun perkampungan baru untuk mereka sedikit di luar tembok kota, yang kini dikenal dengan nama Glodok.
Disana juga mereka membangun angkatan perlawanan untuk mereduksi aksi kekerasan oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Dibantu oleh sebagian kaum Pribumi, mereka pun memberanikan perlawanan dengan Belanda. Walaupun tak cukup berhasil, namun setidaknya perlawanan ini membuahkan sedikit hasil karena Pemerintah Pusat belanda melihatnya sebagai tindakan sepihak Gubernur Belanda.
Ada beberapa orang yang ditangkap. Kala itu, yang menjadi kapten Cina adalah Nie Hoe Kong. Dia dituduh menjadi aktor intelektual dan dianggap bertanggung jawab dalam peristiwa itu. Dia dijebloskan ke penjara pada 18 Oktober 1740 oleh gubernur jenderal Adrian Valckenier (1737-1741).
Setelah melalui persidangan yang melelahkan, bertele-tele dan dipolitisir, Nie Hoen Kong divonis 25 tahun penjara dan diasingkan ke Srilangka. Setelah mengajukan keberatan, kapten Cina ini akhirnya dibuang ke Maluku. Rumahnya, di sekitar Kalibesar, ditembaki dengan meriam, dan ia pun dipenjara selama 5 tahun di benteng Robijn.
Pada 12 Pebruari 1745 dia diangkut sebagai tawanan ke Maluku disertai beberapa orang keluarganya dengan kapal De Palas. Setelah beberapa lama ditahan di tempat pembuangan, dari hari ke hari kesehatannya makin menurun. Dia meninggal pada 25 Desember 1746 dalam usia muda, yaitu 36 tahun.
Setelah peristiwa pembantaian warga Cina, gubernur jenderal Valckenier digantikan oleh mantan panglimanya, Baron van Imhoff. Kediamannya itu kini dikenal sebagai toko merah. Memang diperkirakan di sekitar tempat itulah terjadi pembantaian di luar perikemanusiaan.
Semenjak itu muncul pula beberapa aturan absurd yang melarang etnis Tionghoa untuk memeluk Islam, karena Pemerintah Belanda percaya bahwa agama ini yang membuat orang-orang China pendatang berani melakukan perlawanan.
Dan bagi yang nekat beragama Islam dan ketahuan, maka ia dipaksa antara kembali ke Negara asalnya yang sudah dikuasai oleh pemerintahan Dinasty Chin dan terkenal bertangan besi, atau memeluk agama lain selain Islam. Akhirnya mau tak mau beberapa orang dengan terpaksa melepas identitas keislamannya, setidaknya hal ini dilakukan mereka didepan publik saja, walaupun dirumahnya mereka masih menjalankan Ibadah orang Islam.
Walau begitu, tumbuh kembang anak-anak mereka pada akhirnya tetap diawasi ketat oleh Pemerintah hindia Belanda. Jika ketahuan mereka dididik tentang Islam, atau minimal memakai nama Islam, maka bisa jadi masalah besar. Hal ini berjalan selama bertahun-tahun, hingga akhirnya mayoritas etnis China Muslim kala itu berubah 180 derajat menjadi hampir tak ada, kecuali sebagian kecil.
Quote:
Saat ini Masjid Kebon Jeruk yang menjadi saksi banyak sejarah besar Jakarta era abad 16 ini, oleh Dinas Kebudayaan dan Permusiuman DKI Jakarta dilestarikan sebagai salah satu cagar budaya gan 
Secara Administratif Kebon Jeruk terletak di Jalan Hayam Wuruk No.85, Kelurahan Taman Sari,Kecamatan Tamansari,Kotamadia Jakarta Barat, Propinsi DKI Jakarta. Masjid berbatasan dengan perkantoran di sebelah utara,Jalan Kebon Jeruk dan perkantoran disebelah selatan, di timur merupakan penduduk, dan sebelah baratnya Jalan Hayam Wuruk dan kali.
Masjid Kebon Jeruk merupakan masjid pertama di Kawasan perdagangan Glodok dan sekitarnya. Masjid ini pemah mendapat sertifikat penghargaan sadar pemugaran pada tahun 1993. Selain itu masjid Kebon Jeruk telah ditetapkan sebagai bangunan bersejarah dengan Surat Keputusan Gubemur DKI No. Gb.11/l/72 tertanggal 10 Januari 1972.
Masjid Kebon Jeruk telah mengalami empat kali pemugaran:
1.Tahun 1950 masjid diperluas pada semua sisinya. Sisi barat diperluas sampai batas pagar Jalan Hayam Wuruk.
2.Pada tahun 1974 masjid dipugar kembali dengan dana bantuan Gubemur DKI Jakarta dengan kegiatan memperbaiki bagian yang rusak.
3.Untuk yang ke tiga kali masjid dipugar oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta pada tahun 1983/1984-1985/1986.
4.Pada tahun 1998 Masjid Kebon Jeruk dipugar kembali untuk yang keempat kali oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.
Kalau agan-agan berminat main kesana, jangan lupa sempatkan diri untuk menelisik sejarahnya juga ya, biar wawasannya bertambah

Secara Administratif Kebon Jeruk terletak di Jalan Hayam Wuruk No.85, Kelurahan Taman Sari,Kecamatan Tamansari,Kotamadia Jakarta Barat, Propinsi DKI Jakarta. Masjid berbatasan dengan perkantoran di sebelah utara,Jalan Kebon Jeruk dan perkantoran disebelah selatan, di timur merupakan penduduk, dan sebelah baratnya Jalan Hayam Wuruk dan kali.
Masjid Kebon Jeruk merupakan masjid pertama di Kawasan perdagangan Glodok dan sekitarnya. Masjid ini pemah mendapat sertifikat penghargaan sadar pemugaran pada tahun 1993. Selain itu masjid Kebon Jeruk telah ditetapkan sebagai bangunan bersejarah dengan Surat Keputusan Gubemur DKI No. Gb.11/l/72 tertanggal 10 Januari 1972.
Masjid Kebon Jeruk telah mengalami empat kali pemugaran:
1.Tahun 1950 masjid diperluas pada semua sisinya. Sisi barat diperluas sampai batas pagar Jalan Hayam Wuruk.
2.Pada tahun 1974 masjid dipugar kembali dengan dana bantuan Gubemur DKI Jakarta dengan kegiatan memperbaiki bagian yang rusak.
3.Untuk yang ke tiga kali masjid dipugar oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta pada tahun 1983/1984-1985/1986.
4.Pada tahun 1998 Masjid Kebon Jeruk dipugar kembali untuk yang keempat kali oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.
Kalau agan-agan berminat main kesana, jangan lupa sempatkan diri untuk menelisik sejarahnya juga ya, biar wawasannya bertambah

Quote:


Spoiler for Wujud Masjid:
Quote:

Masjid Kebon jeruk Lama
Quote:

Quote:

Quote:

Quote:

Quote:
Link terkait:
- Kemenag.go.id
- Blog Resmi Pengurus Masjid
- Wikimapia
- Link lain yang jumlah banyaknya & Tentunya buku Sejarah.
- Kemenag.go.id
- Blog Resmi Pengurus Masjid
- Wikimapia
- Link lain yang jumlah banyaknya & Tentunya buku Sejarah.
Quote:
Terimakasih buat agan-agan sekalian yang udah meluangkan waktunya buat menyimak, semoga Tuhan memberkati anda-anda sekalian 
Salam dari TS.

Salam dari TS.
Diubah oleh SkyChild 06-08-2013 05:52
0
3.6K
Kutip
15
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan