- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[DILEMA] Sisi Lain Kehidupan di Jakarta Jelang Lebaran
TS
anjroid
[DILEMA] Sisi Lain Kehidupan di Jakarta Jelang Lebaran
Seorang chief executive officer (CEO) sebuah perusahaan asing yang sehari-hari, kemana pun dia pergi di Jakarta selalu diantar sopir pribadi, pekan lalu menggunakan taksi ke tempatnya bekerja. Ketika mengunjungi tetangganya di pemukiman Pondok Indah, sang CEO, terpaksa berjalan kaki.
Penyebabnya, tiga sopir pribadi yang bekerja untuk keluarga dan perusahaannya, minta izin lebih awal untuk pulang kampung alias mudik. Sementara dia sendiri tidak terbiasa mengemudi dan di pemukiman elit Pondok Indah, tidak ada ojek atau kendaraan umum yang menghubungkan rumah antar warga.
Inilah salah satu sisi kehidupan Jakarta dan warganya yang luput dari perhatian banyak orang. Kehidupan orang Jakarta yang mirip seperti ini, setiap tahun selalu terjadi manakala hari raya Lebaran akan tiba.
Sisi lainnya, lalu lintas kota Jakarta, dalam beberapa hari mendatang, diperkirakan bakal lengang. Tidak ada kemacetan. Yang membuat lalu lintas lancar adalah mudiknya jutaan warga ibukota ke berbagai tempat di luar Jakarta. Sebab banyak di antara mereka membawa kendaraan pribadi. Mulai dari roda dua (sepeda motor) sampai dengan mobil (roda empat).
Di atas kertas dan di sisi lain, momen mudik jutaan warga Jakarta berikut kendaraan mereka, membahagiakan bagi sebagian warga ibukota yang tidak meninggalkan Jakarta. Sebab dengan lengangnya seluruh jalan ibukota, mengemudi sendiri, menjadi begitu mudah. Saat Jakarta lengang, seorang CEO yang punya mobil mewah, bisa menikmati kendaraan pribadinya, yang selama ini hanya "dinikmati" oleh sang pengemudi.
Tapi di sisi lain, yang menyisakan masalah, tidak hanya mudiknya para sopir, Melainkan para pembantu rumah tangga. Mudiknya para pembantu rumah tangga, menimbulkan persoalan tersendiri. Apakah itu tukang masak, tukang seterika, tukang sapu sampai dengan tukang kebun, lebih menciptakan ketidak nyamanan para majikan.
Bagi warga yang sudah sangat biasa, tergantung dan bergantung penuh pada peran pembantu rumah tangga, libur Lebaran bagaikan sebuah malapetaka. Dengan tidak hadirnya pembantu rumah tangga, nyonya rumah otomatis harus mengerjakan semua pekerjaan yang biasanya dikerjakan para pembantu.
Majikan yang punya rumah besar, rumah mewah, jika tak punya pembantu dan sopir, tak bisa luput dari "Malapetaka Lebaran". Suami, misalnya, yang terbiasa makan masakan rumah, jika tidak punya pasangan yang bisa memasak sesuai selera pribadi, bakal "tersiksa". Anak-anak mereka yang tidak terbiasa mandiri, pun akan demikian.
Keluarga seperti ini, kalau untuk makan, biasanya akan mengandalkan masakan restoran ataupun delivery. Keluarga seperti ini untuk kebersihan rumah, cukup dengan menyapu dan membersihkan yang penting-penting saja. Bisa juga, keluarga kategori seperti ini mengungsi ke hotel atau sekaligus libur ke luar kota maupun lua negeri. Tidak ada data resmi yang menyebutkan tentang berapa rumah tangga di Jakarta yang punya "jago masak" pribadi.
Hanya saja untuk mengukur atau mengira-mengira jumlahnya takaran tersebut, tidak sulit. Cara mengukurnya bisa melihat pemandangan yang ada di berbagai restoran. Baik yang ada di mall, hotel atau rumah-rumah makan.
Jika di waktu lebaran, lalu lintas Jakarta sedang lengang, tapi di sisi lain, kemacetan terjadi di tempat-tempat makan, Warga Jakarta akan menyerbu dan memacetkan pusat-pusat makanan pada saat makan siang atau makan malam.
Mengerjakan pekerjaan pembantu seperti memasak, menyapu dan membersihkan rumah, sebetulnya bukanlah pekerjaan yang sulit. Tetapi semuanya menjadi serba sulit, sebab selama setahun penuh sudah terbiasa hidup sebagai "keluarga kerajaan".
Yang menambah parah situasi seperti ini adalah memiliki pembantu rumah tangga termasuk sopir, seolah-olah merupakan sebuah kebutuhan. Rumah tangga tanpa pembantu dan sopir pribadi seakan belum memenuhi persyaratan sebagai warga DKI yang sesungguhnya.
Padahal di kota-kota besar di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Jepang dan Australia, kebutuhan pembantu dan sopir, tidak mutlak. Selain budaya seperti itu tidak menjadi sebuah life style, mempekerjakan pembantu dan sopir, juga sama dengan mempekerjakan karyawan di sebuah perusahaan.
Hak-hak pembantu dan sopir di negara maju yang disebutkan di atas sama dengan karyawan di sebuah perusahaan raksasa manapun. Pembantu dan sopir, bukanlah budak atau jongos yang dalam pengertian, bisa disuruh mengerjakan semua pekerjaan kasar.
Gaji untuk sopir dan pembantu rumah tangga, relatif sangat mahal. Peraturan yang mengatur hak-hak tenaga kerja, cukup ketat. Sehingga majikan tidak seenaknya menetapkan gaji untuk pembantu dan sopir pribadi. Pembantu dan sopir bisa mengatakan "tidak" kepada majikan, ketika haknya sebagai manusia biasa dilanggar. Majikan tidak bisa seenaknya memaki apalagi memecat pembantu dan sopir.
Tetapi hal semacam ini bisa terjadi di negara-negara maju, karena seseorang yang menjadi pembantu dan sopir, di sisi lain, wajib memenuhi persyaratan sesuai pekerjaan. Pembantu rumah tangga dan sopir merupakan sebuah profesi. Orang menjadi pembantu dan sopir, bukan karena terpaksa. Tetapi karena pilihan.
Mudiknya para pembantu rumah tangga dan sopir pribadi, sejatinya bisa dijadikan momen untuk refleksi. Jika direnungkan secara serius, akan timbul sebuah kesadaran, sejatinya pembantu rumah tangga dan sopir pribadi di Jakarta (Indonesia) selama setahun banyak yang terlanjur atau sengaja ditempatkan pada posisi paling rendah. Mereka diperintah, diatur semaunya oleh sang majikan. Tidak sedikit ada yang mengalami nasib buruk. Dipecat, dizolimi, diperlakukan layaknya bukan manusia biasa.
Para majikan baru menyadari betapa besar peran mereka, ketika libur panjang seperti hari Lebaran tiba. Karena kesadaran itu, tidak jarang ada majikan yang selama setahun terus bersikap otoriter, menjelang Lebaran, terpaksa mengemis dan memohon. "Jangan lama-lama di kampung yah...." kata seorang majikan yang tidak mau berterus terang bahwa dia sebetulnya sedang mengemis kepada pembantu atau sopirnya.
Para majikan mengemis dan memohon, sebab di sisi lain mereka dihantui oleh pertanyaan, apakah pembantu dan sopir yang mudik untuk lebaran, masih akan kembali? Soalnya, tidak jarang, mudik tahunan Lebaran itu juga sekaligus dimanfaatkan oleh pembantu dan sopir untuk pamit selama-lamanya.
Mereka pamit dengan berbagai alasan. Ada yang disebabkan oleh ketidak puasan, tapi ada juga yang sesuai dengan rencana. Karena sudah berhasil mengumpulkan modal bagi usaha kecil-kecilan di kampung halaman, pembantu atau sopir memilih untuk terus menetap di kampung saja.
Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa majikan, pembantu dan sopir, semuanya sama: manusia juga. Hanya garis tangan yang membedakan. Oleh karena itu menjelang Lebaran, sebagai sesama manusia, mari kita saling memaafkan serta bersilaturahmi: Selamat Hari Raya Idhul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
[url]http://nasional.inilah..com/read/detail/2017238/sisi-lain-kehidupan-di-jakarta-jelang-lebaran#.Uf8LoKx5Hak[/url]
Ane heran tergantung banget y orang kita sm yg namanya pembantu/sopir
Penyebabnya, tiga sopir pribadi yang bekerja untuk keluarga dan perusahaannya, minta izin lebih awal untuk pulang kampung alias mudik. Sementara dia sendiri tidak terbiasa mengemudi dan di pemukiman elit Pondok Indah, tidak ada ojek atau kendaraan umum yang menghubungkan rumah antar warga.
Inilah salah satu sisi kehidupan Jakarta dan warganya yang luput dari perhatian banyak orang. Kehidupan orang Jakarta yang mirip seperti ini, setiap tahun selalu terjadi manakala hari raya Lebaran akan tiba.
Sisi lainnya, lalu lintas kota Jakarta, dalam beberapa hari mendatang, diperkirakan bakal lengang. Tidak ada kemacetan. Yang membuat lalu lintas lancar adalah mudiknya jutaan warga ibukota ke berbagai tempat di luar Jakarta. Sebab banyak di antara mereka membawa kendaraan pribadi. Mulai dari roda dua (sepeda motor) sampai dengan mobil (roda empat).
Di atas kertas dan di sisi lain, momen mudik jutaan warga Jakarta berikut kendaraan mereka, membahagiakan bagi sebagian warga ibukota yang tidak meninggalkan Jakarta. Sebab dengan lengangnya seluruh jalan ibukota, mengemudi sendiri, menjadi begitu mudah. Saat Jakarta lengang, seorang CEO yang punya mobil mewah, bisa menikmati kendaraan pribadinya, yang selama ini hanya "dinikmati" oleh sang pengemudi.
Tapi di sisi lain, yang menyisakan masalah, tidak hanya mudiknya para sopir, Melainkan para pembantu rumah tangga. Mudiknya para pembantu rumah tangga, menimbulkan persoalan tersendiri. Apakah itu tukang masak, tukang seterika, tukang sapu sampai dengan tukang kebun, lebih menciptakan ketidak nyamanan para majikan.
Bagi warga yang sudah sangat biasa, tergantung dan bergantung penuh pada peran pembantu rumah tangga, libur Lebaran bagaikan sebuah malapetaka. Dengan tidak hadirnya pembantu rumah tangga, nyonya rumah otomatis harus mengerjakan semua pekerjaan yang biasanya dikerjakan para pembantu.
Majikan yang punya rumah besar, rumah mewah, jika tak punya pembantu dan sopir, tak bisa luput dari "Malapetaka Lebaran". Suami, misalnya, yang terbiasa makan masakan rumah, jika tidak punya pasangan yang bisa memasak sesuai selera pribadi, bakal "tersiksa". Anak-anak mereka yang tidak terbiasa mandiri, pun akan demikian.
Keluarga seperti ini, kalau untuk makan, biasanya akan mengandalkan masakan restoran ataupun delivery. Keluarga seperti ini untuk kebersihan rumah, cukup dengan menyapu dan membersihkan yang penting-penting saja. Bisa juga, keluarga kategori seperti ini mengungsi ke hotel atau sekaligus libur ke luar kota maupun lua negeri. Tidak ada data resmi yang menyebutkan tentang berapa rumah tangga di Jakarta yang punya "jago masak" pribadi.
Hanya saja untuk mengukur atau mengira-mengira jumlahnya takaran tersebut, tidak sulit. Cara mengukurnya bisa melihat pemandangan yang ada di berbagai restoran. Baik yang ada di mall, hotel atau rumah-rumah makan.
Jika di waktu lebaran, lalu lintas Jakarta sedang lengang, tapi di sisi lain, kemacetan terjadi di tempat-tempat makan, Warga Jakarta akan menyerbu dan memacetkan pusat-pusat makanan pada saat makan siang atau makan malam.
Mengerjakan pekerjaan pembantu seperti memasak, menyapu dan membersihkan rumah, sebetulnya bukanlah pekerjaan yang sulit. Tetapi semuanya menjadi serba sulit, sebab selama setahun penuh sudah terbiasa hidup sebagai "keluarga kerajaan".
Yang menambah parah situasi seperti ini adalah memiliki pembantu rumah tangga termasuk sopir, seolah-olah merupakan sebuah kebutuhan. Rumah tangga tanpa pembantu dan sopir pribadi seakan belum memenuhi persyaratan sebagai warga DKI yang sesungguhnya.
Padahal di kota-kota besar di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Jepang dan Australia, kebutuhan pembantu dan sopir, tidak mutlak. Selain budaya seperti itu tidak menjadi sebuah life style, mempekerjakan pembantu dan sopir, juga sama dengan mempekerjakan karyawan di sebuah perusahaan.
Hak-hak pembantu dan sopir di negara maju yang disebutkan di atas sama dengan karyawan di sebuah perusahaan raksasa manapun. Pembantu dan sopir, bukanlah budak atau jongos yang dalam pengertian, bisa disuruh mengerjakan semua pekerjaan kasar.
Gaji untuk sopir dan pembantu rumah tangga, relatif sangat mahal. Peraturan yang mengatur hak-hak tenaga kerja, cukup ketat. Sehingga majikan tidak seenaknya menetapkan gaji untuk pembantu dan sopir pribadi. Pembantu dan sopir bisa mengatakan "tidak" kepada majikan, ketika haknya sebagai manusia biasa dilanggar. Majikan tidak bisa seenaknya memaki apalagi memecat pembantu dan sopir.
Tetapi hal semacam ini bisa terjadi di negara-negara maju, karena seseorang yang menjadi pembantu dan sopir, di sisi lain, wajib memenuhi persyaratan sesuai pekerjaan. Pembantu rumah tangga dan sopir merupakan sebuah profesi. Orang menjadi pembantu dan sopir, bukan karena terpaksa. Tetapi karena pilihan.
Mudiknya para pembantu rumah tangga dan sopir pribadi, sejatinya bisa dijadikan momen untuk refleksi. Jika direnungkan secara serius, akan timbul sebuah kesadaran, sejatinya pembantu rumah tangga dan sopir pribadi di Jakarta (Indonesia) selama setahun banyak yang terlanjur atau sengaja ditempatkan pada posisi paling rendah. Mereka diperintah, diatur semaunya oleh sang majikan. Tidak sedikit ada yang mengalami nasib buruk. Dipecat, dizolimi, diperlakukan layaknya bukan manusia biasa.
Para majikan baru menyadari betapa besar peran mereka, ketika libur panjang seperti hari Lebaran tiba. Karena kesadaran itu, tidak jarang ada majikan yang selama setahun terus bersikap otoriter, menjelang Lebaran, terpaksa mengemis dan memohon. "Jangan lama-lama di kampung yah...." kata seorang majikan yang tidak mau berterus terang bahwa dia sebetulnya sedang mengemis kepada pembantu atau sopirnya.
Para majikan mengemis dan memohon, sebab di sisi lain mereka dihantui oleh pertanyaan, apakah pembantu dan sopir yang mudik untuk lebaran, masih akan kembali? Soalnya, tidak jarang, mudik tahunan Lebaran itu juga sekaligus dimanfaatkan oleh pembantu dan sopir untuk pamit selama-lamanya.
Mereka pamit dengan berbagai alasan. Ada yang disebabkan oleh ketidak puasan, tapi ada juga yang sesuai dengan rencana. Karena sudah berhasil mengumpulkan modal bagi usaha kecil-kecilan di kampung halaman, pembantu atau sopir memilih untuk terus menetap di kampung saja.
Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa majikan, pembantu dan sopir, semuanya sama: manusia juga. Hanya garis tangan yang membedakan. Oleh karena itu menjelang Lebaran, sebagai sesama manusia, mari kita saling memaafkan serta bersilaturahmi: Selamat Hari Raya Idhul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
[url]http://nasional.inilah..com/read/detail/2017238/sisi-lain-kehidupan-di-jakarta-jelang-lebaran#.Uf8LoKx5Hak[/url]
Ane heran tergantung banget y orang kita sm yg namanya pembantu/sopir
0
2.7K
24
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan