SELAMAT DATANG DI THREAD ANE GAN
Semoga Senang dan Meningkatkan Pengetahuan!
Kali ini ane mau ngebahas soal pandangan waniat Jepang soal pernikahan. Mengapa wanita Jepang?
Alasan pertama, karena mereka cantik-cantik, putih, mulus.
Kedua, sesama bangsa bangsa Asia.
Ketiga, negerinya terkenal dengan kemajuan IPTEKnya.
Keempat, ane sendiri pernah dekat dengan salah satu wanita asli Jepangnya hehe...
Jika agan berminat untuk menikahi wanita Jepang maka sebaiknya pikir-pikir dulu tentang beberapa fakta ihwal pernikahan dan wanita di Jepang itu seperti apa. Inilah beberapa alasan mengapa banyak wanita Jepang yang tidak terlalu terpaku pada pernikahan.
Quote:
Spoiler for 1. Lebih Milih Karier:
Usia harapan hidup di Jepang sangat tinggi (bisa mencapai 85 tahun). Artinya, setelah pensiun sebagai karyawan pada usia 65 tahun, orang tua Jepang masih harus menjalani hidup sekitar 15-20 tahun dengan menikmati hidup sebagai pensiunan dengan biaya dari pemerintah. Lama-lama, jumlah pensiunan membengkak, jumlah anggaran pemerintah kian terbatas. Walhasil, jumlah tunjangan pensiunan makin turun.
Lalu, orang-orang tua itu hidup di panti jompo, sementara anak-anak mereka menikmati kesuksesan. Para wanita bertanya: lalu untuk apa punya anak? Pertanyaan berikut sudah bisa ditebak. Untuk apa menikah?
Pertanyaan tersebut menemukan jawaban berikut: para wanita ogah menikah, enggan punya anak. Mereka memilih karier.Itulah yang terjadi di Jepang saat ini. Para wanita lebih senang menghabiskan waktu di kantor, membangun karier, dan hidup mandiri.
Lama-lama, jumlah wanita lajang makin meningkat. Dampak ikutannya, jumlah bayi yang lahir semakin berkurang.Datanglah ke Tokyo. Sangat jarang kita menemukan wanita hamil atau bayi di tempat-tempat keramaian. Sebagian besar pemandangan adalah para wanita mandiri, yang modis, dan tidak takut ke McD atau resto tengah malam, seorang diri.Gejala itu mendorong struktur usia penduduk Jepang makin tua. Anak-anak masa depan Jepang makin berkurang jumlahnya. Seperti piramida terbalik.
Setiap tahun, ada saja taman kanak-kanak yang tutup karena kekurangan siswa. Sebaliknya, panti jompo–yang banyak mempekerjakan warga Indonesia dan Filipina–semakin bertambah jumlahnya.
Pemerintah yang risau mendorong para wanita untuk menikah dan punya anak. Stasiun TV didorong untuk menayangkan berita-berita tentang nikmatnya membangun keluarga. Satu keluarga beranak 10 merupakan berita besar bagi TV Jepang.Sambil imbauan itu belum memperlihatkan hasil, toko-toko anjing, toko pakaian anjing, dan tempat penyewaan anjing seperti Dogy Park di jalan menuju Gunung Fuji tumbuh subur. Bahkan banyak sekolah khusus untuk anjing.
Spoiler for 2. Perubahan Pola Fikir:
Pendidikan Perempuan Jepang, yang umumnya memiliki pendidikan yang bagus, memandang menikah sebagai sesuatu yang tidak harus segera dilakukan. Bahkan,banyak perempuan Jepang lebih memilih untuk hidup melajang hingga umur yang tidak muda lagi (30-40 tahun) daripada segera menikah.Sistem pendidikan Jepang yang berlaku saat ini didasarkan atas Undang-Undang Pendidikan Sekolah (1947) dan diciptakan sebagai sistem yang terintegrasikan dan memberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan dari tingkat Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar (6 tahun), Sekolah Lanjutan Pertama (3 tahun) dan Sekolah Lanjutan Atas (3 tahun) disusul dengan akademi atau universitas.
Spoiler for 3. Terlalu Permisif:
Para orang tua di Jepang sekarang sudah lebih demokrasi, dengan membiarkan anak-anaknya memilih sesuatu berdasarkan kesukaaan atau bakatnya. Anak-anak tidak lagi diatur oleh orang tuanya apalagi ketika mereka mulai beranjak dewasa. Banyak dari mereka yang lebih mengejar cita-cita dan menempuh pendidikan setinggi-tingginya daripada menikah. Seorang wanita yang menikah pada usia lebih dari 24 tahun, tidak lagi dianggap sebagai hal yang aneh oleh masyarakat Jepang. Hal ini menjadikan wanita Jepang lebih mementingkan pendidikan dan pekerjaan dan menjadi enggan untuk menikah. Selain enggan menikah, perempuan Jepang juga enggan memiliki anak. Bahkan, ada kecenderungan saat ini bahwa perempuan-perempuan Jepang yang masih lajang lebih memilih untuk memelihara anjing daripada memiliki anak.
Memiliki anak di Jepang adalah sebuah keputusan yang menuntut konsekuensi ekonomi yang tidak ringan. Biaya untuk mengurus anak sangat mahal, dan membutuhkan investasi dalam hal pendidikan dan kesehatan yang tidak murah. Setelah melahirkan, gaji mereka–bahkan yang bekerja di bank–tidak cukup untuk membayar baby sitter. Boleh dititip ke tempat penitipan bayi tapi setelah usianya diatas dua tahun. Ditambah lagi dengan adanya kecenderungan bahwa anak-anak yang telah sukses di Jepang justru menelentarkan orang tuanya ketika memasuki usia senja, sehingga memunculkan persepsi untuk apa berlelah-lelah memelihara anak kalau nantinya setelah sukses mereka tidak memperhatikan kita. Usia harapan hidup di Jepang sangat tinggi, termasuk salah satu yang tertinggi di dunia. Usia harapan hidup bahkan di atas 80 tahun. Artinya, setelah pensiun sebagai karyawan pada usia 65 tahun, orang tua Jepang masih harus menjalani hidup sekitar 15 tahun dengan menikmati hidup sebagai pensiunan atas biaya pemerintah. Kemudian, jumlah pensiunan membengkak, jumlah anggaran pemerintah kianter batas. Dampaknya, jumlah tunjangan pensiunan makin turun. Hal ini menyebabkan para wanita tidak berkeinginan untuk menikah dan punya anak, sehingga memilih untuk berkarir.
Mereka lebih senang untuk menghabiskan waktu di kantor dan hidupmandiri.Konsekuensi dari hal ini sangat jelas, angka kelahiran di Jepang sangat rendah. Kalau sudah seperti ini pertumbuhan penduduk bisa negatif (berkurang) dan gejala itu mendorong struktur usia penduduk Jepang makin tua. Anak-anak masa depan Jepang makin berkurang jumlahnya. Seperti piramida terbalik. Selain itu, struktur penduduk yang kian didominasi oleh kelompok usia tua akan menambah beban anggaran pemerintah untuk memberikan jaminan sosial kepada penduduk usia tua, yang tak lagi produktif secara ekonomi. Tidak heran kalau pemerintah Jepang saat ini tak henti-hentinya menghimbau rakyatnya untuk menikah dan memiliki anak. Stasiun TVdidorong untuk menayangkan berita-berita tentang nikmatnya membangun keluarga.Satu keluarga beranak 10 merupakan berita besar bagi TV Jepang.
Spoiler for 4. Tuntutan Ekonomi Tinggi:
Rata-rata gadis Jepang menuntut calon suaminya untuk memenuhi segala kebutuhan ekonominya dengan biaya selangit (paling tidak bagi orang2 di Indonesia). Kata teman ane yang asli Jepang, mereka minta USD50.000/ tahunnya atau sekitar Rp 450 juta setahun gan, atau sekitar Rp 38 jutaan sebulan. Itu baru untuk si gadis yang mau dinikahi gan, belum untuk biaya2 yang lain kayak listrik, telepon, jajan cilok, biaya untuk ngurus anak, dll. Busyet penghasilan kita mesti berapa perbulan ya? ajje gile..
Oia gan, selain itu di teman saya itu juga bilang ada persyaratan lainnya yakni si cowok harus bisa bahasa Jepang, bersedia tinggal di Jepang, dan satu lagi ane lupa hehe. Sok agan-agan yang mau nambahin
Gimana gan masih berminat mempersunting wanita Jepun?