pelajarmalasAvatar border
TS
pelajarmalas
Pentas Liverpool: Good, Bad, Ugly ! Wajib baca gan untuk menyadarkan kita semua !
Ane bener - bener tertampar gan gimana nggak? lihat kan bagaimana menggilanya para fans liverpool di Indonesia?. Dan kebetulan ane juga fansnya gan tapi ga terlalu fanatik. Tapi akhirnya ane nyadar gan disatu sisi klub - klub eropa belakangan mulai sering mampir ke Asia tenggara ternyata ada alasan tersendiri gan.. Pokoknya wajib baca gan.. sorry ane newbi jadi ga ngerti bener cara nulis thread yang bagus.

Pokoknya Indonesia disini kembali cuma jadi lahan duitnya para branded asing gan..



Pentas Liverpool: Good, Bad, Ugly
Sumber : DItulis oleh Yuswohady.com


Liverpool malam ini memukau puluhan ribuan Liverpudlian di Senayan. Gelora Bung Karno pun berubah warna dari merah putih menjadi merah menyala. “Indonesia Raya” tersingkir oleh “You’ll Never Walk Alone”, chant kebanggaan The Reds. Gerrard layaknya dewa dielu-elukan para fans (terus terang saya iri kenapa pemimpin negeri ini tak ada yang dielu-elukan rakyatnya layaknya Steven Gerrard dielu-ulukan Liverpudlian). Itulah kehebatan global brand bernama: Liverpool FC.

Liverpool adalah salah satu the most admired brand di dunia yang memiliki komunitas konsumen (para Liverpudlian di seantero jagad) yang fanatik abis. Mereka sudah menjadi brand evangelist (pembela merek fanatik) yang tak hanya sekedar nonton dan mengoleksi jersey/merchandise The Reds, tapi juga mengajak teman, tetangga, teteh-aa’, suami-istri, anak, siapapun untuk mengagumi klub yang bermarkas di Anfield ini.

Jumlah mereka sekarang mencapai 240 juta di seluruh dunia, di mana 16 juta di antaranya ada di Indonesia. Wow, Indonesia adalah pasar yang luar biasa bagi Liverpool. Di Asia Indonesia hanya kalah dari Cina dengan fans mencapai 60 juta. Jutaan fans inilah yang memutarkan uang dan menghasilkan pundi-pundi triliunan rupiah bagi Liverpool.

Ekspansi Asia
Karena alasan pasar itulah Liverpool hadir di Jakarta. Yup, “there ain’t no such thing as a free lunch”. Jangan keliru. Mereka hadir bukan agar persepakbolaan Indonesia maju. Bukan pula untuk memberikan latih-tanding agar tim Garuda tak kalah melulu. Mereka hadir tak beda dengan Lady Gaga atau Beyonce yang menggelar konser di sini. Mereka hadir untuk meraup pasar Indonesia yang sedang ranum-ranumnya.

Jonathan Kane, International Business Development Director, Liverpool beberapa waktu lalu mengatakan di Bangkok bahwa Asia merupakan pilar bagi pendapatan Liverpool. Asia merupakan sumber pendapatan kunci dari lisensi penyiaran televisi dan media, iklan/sponsorship, dan tentu dari tiket pertandingan karena kini makin banyak kelas menengah Asia yang berlibur ke Inggris untuk nonton bola.

Liverpool sangat serius menggarap pasar Asia karena sekitar setengah pendapatan Liverpool (tahun lalu sekitar $300 juta) saat ini didapatkan di luar Inggris dimana sebagian besar di peroleh dari pasar Asia. Sponsor-sponsor besarnya mulai dari Standard Chartered, Chevrolet and Carlsberg menggunakan Liverpool sebagai senjata untuk melakukan penetrasi ke pasar Asia termasuk tentu Indonesia.

Ekspansi Liverpool (dan klub-klub Eropa lain seperti Manchaster United, Juventus, atau Real Madrid) ke Asia bukanlah hal aneh mengingat Eropa dan Amerika sekarang masih didera krisis (Upss!!! kota Detroit yang menjadi pusat otomotif AS bangkrut karena terlilit hutang). Ketika sumber pendapatan di Eropa terancam, wajar saja kalau klub-klub tersebut lari ke Asia yang memang kini sedang menggeliat.

Secara agresif mereka menggaet mitra-mitra sponsor lokal; mempeluas basis penonton TV bola, dan menumbuh-suburkan komunitas-komunitas fans di seluruh pelosok Asia termasuk Indonesia. Tujuannya jelas: agar hak siaran, sponsorship, dan merchandise mereka laku keras di Indonesia. Makin laku keras dagangan mereka, makin keras pula devisa kita melayang.

Tuan Rumah
Karena itu, kedatangan Liverpool (dan Chelsea, dan Arsenal, dan Juventus, dan klub Eropa lain yang nanti bakal ke Jakarta) sesungguhnya menyimpan keprihatinan. Prihatin melihat kenyataan bahwa dominasi merek global di bumi pertiwi telah meluas kemana-mana, termasuk untuk urusan sepak bola. Dan yang menyedihkan, di tengah dominasi itu kita hanya sekedar menjadi pasar empuk bagi mereka.

Bulan Mei lalu saya menggelar event Indonesia Brand Forum (IBF) untuk mengingatkan kita semua mengenai pentingnya merek lokal membangun kemampuan dan daya saing agar bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Ide itu muncul ketika saya melihat kenyataan bahwa dominasi merek-merek global di pasar Indonesia sudah merasuk hingga ke tulang sumsum.

Di situ saya contohkan, di industri telekomunikasi misalnya, kini hampir semua merek di industri ini adalah milik asing (kecuali Telkom). Di industri perbankan setali tiga uang, gelombang pembelian bank-bank lokal oleh bank-bank asing berlangsung begitu massif sehingga praktis bank-bank swasta besar kita kini dimiliki asing (untung BNI, BRI, dan Bank Mandiri masih kita miliki).

Tak hanya itu, di hampir di semua industri kita, mulai otomotif, farmasi, toiletris, kosmetik, ritel, fashion, elektronik rumah tangga, gadget, film, konser musik, restoran siap saji, hingga makanan/minuman, kini pasarnya dikuasai oleh merek-merek asing. Mau bukti? Coba Anda ke kamar mandi atau ke dapur, berapa banyak merek lokal yang Anda temui di situ? Ujungnya bisa ditebak: Indonesia hanya menjadi pasar, tanpa pernah bisa menjadi pemain diperhitungkan di negeri sendiri.

Good, Bad, Ugly
Dengan sedikit backround di atas, tujuan saya menulis kolom ini sesungguhnya cuma satu, yaitu ingin curhat terkait kedatangan Liverpool di Jakarta. Saya pengin menumpahkan perasaan saya yang campur-aduk antara senang (“good”), galau (“bad”), dan sangat sedih (“ugly”).

Good, senang, karena saya mendapatkan tontonan kelas dunia dari seniman-seniman bola sekelas Gerrard, Suares, atau Downing yang pasti tidak saya dapatkan dari tim lokal manapun di negeri ini.

Bad, galau, karena kedatangan Liverpool, Arsenal, Real Madrid, dan klub Eropa mana lagi nanti, merupakan momentum kebangkitan merek-merek sepak bola global mendulang emas di bumi pertiwi. Kita hanya menjadi pasar empuk, dengan risiko fatal tiap tahun devisa kita terangkut ke Eropa.

Ugly, sedih sekali, karena ketika suatu ketika pasar sepak bola kita betul-betul dikuasai merek-merek asing, maka barangkali persepakbolaan nasional akan kian kerdil. Penonton makin sepi karena loyalitas dan fanatisme anak negeri sudah diberikan kepada klub global. Begitu juga kompetisi/turnamen di dalam negeri kian sepi karena dana sponsorship perusahaan-perusahaan nasional kian terhisap oleh klub-klub ternama global.

Saya takut kalau nantinya lagu “Garuda di Dadaku” tak pernah lagi nyaring berkumandang di Gelora Bung Karno seperti yang kita temukan saat timnas ditekuk Arsenal 0-7 akhir pekan lalu.
0
5K
48
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan