Kaskus

Entertainment

mo130311Avatar border
TS
mo130311
Jamkesmas: Fakta di Lapangan
Jamkesmas: Fakta di Lapangan

Saat berkunjung ke suatu desa dimana terdapat pasien penderita kusta, saya melewati perjalanan menyusuri sawah. Saya perhatikan sekeliling, jarak antar rumah yang sempit, kotoran binatang ayam, kambing dan kuda dimana-mana, anak-anak berkeliaran bermain diluar tanpa menggunakan alas kaki. Sesampainya dirumah pasien, alas untuk lantai tidak terpasang, bahkan ada beberapa rumah yang langsung beralaskan tanah dan papan. Jamban di dalam rumah juga tidak tersedia. Ternyata untuk bertemu dengan pasien tersebut juga tidak semudah yang dibayangkan, pasien kabur dan menyembunyikan diri ke dalam kamar. “ Ya dok, ini anaknya merasa minder, merasa seperti penyakit yang dikutuk, tidak mau ketemu dokter, biasanya cuma ke orang pinter di desa aja (dukun).“ ujar Ibu angkat pasien ke saya.

Begitu juga saat diadakan penyuluhan dalam rangka memberikan materi PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat), mengenai pentingnya mencuci tangan menggunakan sabun. Kesadaran mencuci tangan menggunakan air yang mengalir tidak ada. Kandang kambing bisa ditemukan di depan rumah, jarak antara rumah dengan septik tank yang hanya sekitar 5 meter (normalnya 10 meter).

Saya juga datang ke suatu desa karena ditemukannya kasus bayi meninggal akibat infeksi (Sepsis), disebabkan tali pusar yang diberi jamu-jamuan tradisonal dan dioleskan terus menerus oleh ibunya.

Remaja dan dewasa yang berani merokok dimana-mana, bahkan merokok di depan poli puskesmas dengan tenangnya. Pasien datang ke IGD tengah malam hanya karena anak mereka demam dan batuk, pilek padahal kejadian baru 6 jam sebelum berkunjung. Atau pasien lemas, gatal-gatal, pusing, yang meminta dengan sendirinya untuk disuntik padahal tidak ada indikasi. Belum lagi mengenai pasien datang ke puskesmas dengan gejala psikosomatik (dalam hal ini pasien hanya berpura-pura sakit) karena ada permasalahan di desa setempat atau antar keluarga. Jadi pasien datang dengan diantar mobil dan berpura-pura terjadi penurunan kesadaran. Setelah diperiksa ternyata tidak ada kelainan.

Ya, seperti itulah sedikit pengalaman saya bekerja di Puskesmas perawatan di salah satu wilayah Lombok. Saya diberikan pengabdian untuk berkerja disini selama satu tahun kedepan. Begitu banyak pengalaman kesehatan dan masalah kesehatan yang dengan “real” nya saya temukan. Fakta dilapangan yang benar-benar jauh dari kenyataan sebenarnya dari sebuah tujuan yang telah tersusun rapi. Memberikan suatu jaminan kesehatan bukan rencana mudah, tidak semudah kita membalikkan tangan, kadang dengan tujuan yang bagus belum tentu pelaksanaannya bagus juga. Salah satu contohnya adalah program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) untuk keluarga tidak mampu secara ekonomi. (baca: miskin)

Dari sedikit pengalaman saya tersebut, yang perlu di garis bawahi adalah semua pasien tersebut mendapatkan kartu Jamkesmas. Tapi, apakah hal ini dapat menjamin kesehatan mereka sedangkan perilaku dan lingkungan sekitar mereka sendiri tidak menunjang hal tersebut. Dengan pengetahuan mereka yang rendah mengenai pendidikan apalagi kesehatan? Apakah mereka bisa menjaga kesehatan mereka?

Jamkesmas, yang diberikan untuk keluarga tidak mampu secara ekonomi apakah benar pemanfaatannya sudah berjalan baik? Begitu banyak keluarga tidak mampu dengan pendidikan rendah hanya memanfaatkan kartu ini, mereka berpikir kartu jamkesmas ini seperti sebuah “voucher gratis” yang jika tidak dimanfaatkan begitu sayang karena pengurusannya-pun yang lumayan susah (harus melapor ke kepala desa, dan diadakan peninjauan rumah). Sehingga tertanam dipikiran mereka “tidak masalah sakit, toh ada jamkesmas ini”.

Apakah layak orang-orang diberikan sebuah jaminan yang sebenarnya bersifat hanya memanjakan mereka, padahal pola hidup mereka lah yang tidak tepat? Hampir 85 persen penyakit yang mereka dapatkan karena pola hidup yang tidak bersih. Mereka bisa datang dengan membawa rokok ke puskesmas dan dengan tenangnya berobat. Saat pulang, langsung membawa obat secara cuma2. Namun, kebiasaan sehari-hari tidak dirubah. Di biarkan rumah tanpa ventilasi, sanitasi yang buruk, jarak antara jamban dan tempat makan yang berdekatan. Bahkan ketika berkunjung ke IGD puskesmas pun mereka biarkan anak-anak kecil masuk ke dalam puskesmas tanpa menggunakan sandal. Ketika dilarang atau dijelaskan pun mereka tidak mengerti, menganggap hal tersebut mengganggu kunjungan mereka untuk melihat keluarganya yang sakit.

Belum lagi mengenai pelayanan dan penyediaan obat-obatan pada pasien jamkesmas, yang pada faktanya ketersediaan obat itu sendiri bisa memakan waktu yang lama di puskesmas. Padahal dana yang dikeluarkan pemerintah untuk pengadaan jamkesmas bisa mencapai Rp 34,5 Trilliun, namun tetap saja tidak menjamin pemberian layanan yang cepat dan tepat. Penerimaan dana jamkesmas juga tidak jelas mengarah ke masyarakat golongan seperti apa, kadang yang menerima bisa membawa kendaraan motor atau mobil untuk datang ke puskesmas. Penyelewangan dana banyak ditemukan di beberapa daerah, sampai bernilai miliaran rupiah untuk uang yang diselewengkan. Sungguh mengerikan ketika sebuah jaminan kesehatan dijadikan alat politisasi menarik simpati warga miskin tanpa memperhatikan pelaksanaan sesungguhnya dilapangan.

Jumlah dokter atau tenaga medis di puskesmas juga sangat kurang, tidak sebanding dengan jumlah pasien yang berkunjung. Satu dokter untuk poli bisa memegang pasien lebih dari 50 orang dalam waktu kurang lebih dua jam. Belum lagi karena status yang merupakan puskesmas perawatan, di mana di IGD bisa mencapai 80-100 pasien per harinya, namun pasien dengan status “truly emergency” tidak lebih dari setengahnya. Melihat beban kerja seperti itu, sebagai petugas medis saya merasakan kesulitan untuk memberikan konsultasi, informasi dan edukasi kepada pasien.

Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan lini pertama di masyarakat, mulai bergeser fungsinya yang harusnya mengedepankan preventif dan promotif mulai bergeser hanya mementingkan kuratif saja.

Lalu, bagaimana solusinya?

Saya berpikir tidak layak jika pemerintah hanya berpikir untuk memberikan pengobatan cuma-cuma kepada keluarga-keluarga miskin. Mereka rata rata memiliki riwayat pendidikan yang kurang sekali, bahkan hampir 85 % mereka tidak bersekolah. Bagaimana bisa dengan pendidikan kurang bisa mengetahui masalah kesehatan dengan baik?

Peran preventif dan promotif harus kembali digalakkan, sediakan lebih banyak kader-kader disetiap desa, berikan mereka hak dan kewajiban yang layak. Promotif – preventif jauh lebih bermanfaat dibandingkan hanya mengandalkan kuratif. Jika ada program kesehatan yang lebih mementingkan kuratif saya bisa menjamin bahwa program tersebut butuh dana (c0st) besar, butuh obat-obatan, alat-alat, dan tenaga medis lebih banyak. Dengan ruang lingkup pedesaan atau daerah yang masih tertinggal, edukasi dan pencegahan tentu lebih penting untuk mereka. Berapa banyak dari mereka yang masih percaya dengan istilah “orang pintar” (dukun), padahal untuk berobat ketempat tersebut mereka mengeluarkan uang ratusan ribu atau dibayar dengan beras. Puskesmas? Mereka tidak dikenakan biaya dengan adanya kartu jamkesmas.

Semoga dengan adanya SJSN yang merupakan bentuk baru dari jaminan kesehatan dapat terealisasikan dengan baik dilapangan. Dan bisa menutupi kesalahan atau kekurangan dari program-program jaminan kesehatan sebelumnya.
0
1.7K
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan