- Beranda
- Komunitas
- Female
- Kids & Parenting
Tunda Potong Tali Pusat Sehatkan Bayi?


TS
noviaputrii
Tunda Potong Tali Pusat Sehatkan Bayi?

Quote:
Menunda memotong tali pusat hingga lebih dari 3 menit ternyata baik untuk kesehatan bayi. Kadar zat besi dalam darah bayi akan lebih baik bila tali pusat diputuskan kemudian. Ini akan mencegah bayi menderita anemia di kemudian hari.Umumnya, tali pusat akan langsung dipotong begitu bayi lahir. Ini justru membuat bayi berisiko kekurangan zat besi.
“Membiarkan tali pusat terhubung selama beberapa menit akan memungkinkn darah dalam tali pindah ke tubuh bayi,” tulis Daily Mail, Rabu, 10 Juli 2013. Sebagian besar bayi akan dipotong tali pusatnya kurang dari satu menit setelah ia lahir.
Namun, pemotongan yang terlalu cepat dinilai akan mengurangi jumlah darah yang mengalir dari ibu ke bayi. Dan, hal ini akan juga mempengaruhi kadar zat besi dalam darah bayi. Di sisi lain, penundaan pemotongan juga bisa menimbulkan risiko penyakit kuning. Sementara itu, WHO merekomendasikan tali pusat bayi segera diikat (setelah dipotong) dalam waktu 1 hingga 3 menit.
Pada tahun 2007, sebuah pedoman tentang pemotongan tali pusat diluncurkan. Di situ tertuang, segera memotong tali pusat adalah pilihan terbaik. Namun, ini masih menjadi perdebatan yang panjang hingga saat ini.
Penelitian terbaru yang melibatkan 3.911 perempuan dan bayi mereka menunjukkan pemotongan tali pusat yang tidak disegerakan tidak memiliki bahaya terhadap pendarahan ibu dan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah bayi. Intinya, kesehatan bayi akan tetap terjaga.
Bahkan, penundaan pemotongan tali pusat membuat bayi memiliki kadar hemoglobin yang lebih tinggi pada satu atau dua hari setelah kelahiran. Dan, sangat kecil kemungkinannya untuk kekurangan zat besi hingga usia 3-6 bulan. Ditambah lagi, berat badan bayi akan lebih besar.
“Ini menjadi bukti bahwa penundaan pemotongan tali pusat akan meningkatkan tingkat konsentrasi hemoglobin di masa awal kehidupan bayi sehingga cadangan zat besi dalam darah bayi menjadi lebih banyak,” ujar Dr. Philippa Middleton dari Universitas Adelaide, Australia. Oleh sebab itu, secara tidak langsung, bayi akan terhindar dari anemia di kemudian hari.
“Membiarkan tali pusat terhubung selama beberapa menit akan memungkinkn darah dalam tali pindah ke tubuh bayi,” tulis Daily Mail, Rabu, 10 Juli 2013. Sebagian besar bayi akan dipotong tali pusatnya kurang dari satu menit setelah ia lahir.
Namun, pemotongan yang terlalu cepat dinilai akan mengurangi jumlah darah yang mengalir dari ibu ke bayi. Dan, hal ini akan juga mempengaruhi kadar zat besi dalam darah bayi. Di sisi lain, penundaan pemotongan juga bisa menimbulkan risiko penyakit kuning. Sementara itu, WHO merekomendasikan tali pusat bayi segera diikat (setelah dipotong) dalam waktu 1 hingga 3 menit.
Pada tahun 2007, sebuah pedoman tentang pemotongan tali pusat diluncurkan. Di situ tertuang, segera memotong tali pusat adalah pilihan terbaik. Namun, ini masih menjadi perdebatan yang panjang hingga saat ini.
Penelitian terbaru yang melibatkan 3.911 perempuan dan bayi mereka menunjukkan pemotongan tali pusat yang tidak disegerakan tidak memiliki bahaya terhadap pendarahan ibu dan kurangnya kadar hemoglobin dalam darah bayi. Intinya, kesehatan bayi akan tetap terjaga.
Bahkan, penundaan pemotongan tali pusat membuat bayi memiliki kadar hemoglobin yang lebih tinggi pada satu atau dua hari setelah kelahiran. Dan, sangat kecil kemungkinannya untuk kekurangan zat besi hingga usia 3-6 bulan. Ditambah lagi, berat badan bayi akan lebih besar.
“Ini menjadi bukti bahwa penundaan pemotongan tali pusat akan meningkatkan tingkat konsentrasi hemoglobin di masa awal kehidupan bayi sehingga cadangan zat besi dalam darah bayi menjadi lebih banyak,” ujar Dr. Philippa Middleton dari Universitas Adelaide, Australia. Oleh sebab itu, secara tidak langsung, bayi akan terhindar dari anemia di kemudian hari.
sumber: TEMPO
bagaimana menurut para ahli disini? apakah penelitian ini benar adanya atau memang masih butuh diteliti lebih lanjut? yuk sharing

Awas, IQ Anak 'Jongkok' Gara-gara Anemia
Quote:
Anda memiliki anak dengan permukaan lidah halus tanpa papil (bintik-bintik) atau kuku jari tangannya pecah-pecah dan berbentuk seperti sendok? Waspadalah, kondisi seperti itu merupakan gejala anemia defisiensi besi. Apalagi jika wajahnya tampak pucat, kondisi tubuhnya lemah dan mudah lelah, komplit sudah gejala anemia kekurangan zat besi yang menyerang tubuhnya.
“Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai,” kata Profesor Djajadiman Gatot, dokter spesialis anak, dalam seminar bertajuk "Action for Iron Deficiency Anemia" di Jakarta dua pekan lalu. Ketua Satuan Tugas Anemia Defisiensi Besi, Ikatan Dokter Anak Indonesia ini meminta agar masalah anemia tak dianggap enteng. Bila kondisi seperti itu dialami seorang anak sampai lebih dari dua tahun, maka akan membuat kecerdasannya berkurang atau malah ber-IQ jongkok. “Jangan berharap IQ mereka lebih dari 100, paling tinggi 90-an,” kata Djajadiman, “Pagi diajari, sore lupa!”
Menilik efek buruk anemia defisiensi besi yang begitu banyak, maka pemberian zat besi kepada yang membutuhkan harus secepatnya. Jika terlambat dan komplikasi sudah muncul, Djajadiman mengingatkan, bukan mustahil kekurangan zat besi tersebut akan lama sembuh atau malah tak bisa lagi diobati.
Angka kejadian anemia defisiensi besi pada anak di tanah air terbilang tinggi. Survei Kesehatan Rumah Tangga 2001 menunjukkan angka kejadian pada anak bawah lima tahun (balita) mencapai 47 persen. Sementara, Asian Development Bank memperkirakan ada 22 juta anak di Indonesia yang terkena anemia, yang menyebabkan hilangnya angka IQ sebesar 5-15 poin. Prestasi mereka di sekolah pun buruk.
Kekurangan zat besi pada anak bisa disebabkan oleh sejumlah faktor. Antara lain, asupan makanannya memang kurang mengandung zat besi, pertumbuhan saat bayi dan remaja berlangsung cepat, atau lantaran di ususnya bersarang cacing tambang.
Menurut Soedjatmiko, Ketua Divisi Tumbuh Kembang Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, makanan yang banyak mengandung besi terutama berasal dari protein hewani, seperti daging, ikan, dan hati. Cuma, dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak yang semestinya membutuhkan zat besi tinggi dari daging merah atau hati justru dikalahkan oleh orang tuanya. “Biasanya, saat makan, bapaknya yang mendapat jatah daging atau hati lebih besar, sedangkan anak-anaknya mendapat keratan yang lebih kecil,” katanya.
Untuk menambal kekurangan zat besi pada anak-anak, Direktorat Bina Gizi Kementerian Kesehatan, membuat terobosan dengan meluncurkan program Taburia pada Januari lalu. Ini adalah makanan berbentuk serbuk yang sudah diperkaya dengan zat gizi. “Taburia mengandung 12 vitamin dan empat mineral penting, yakni yodium, seng, selenium, dan zat besi,” kata Ivonne Kusumaningtyas dari Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan.
Selain praktis, serbuk penuh gizi ini tidak mengubah rasa, aroma, dan bentuk makanan utama yang dikonsumsi balita, seperti nasi atau bubur. Namun, Taburia tak boleh dicampur dengan sup, teh, atau susu karena akan menggumpal. Pencampuran dengan makanan panas juga harus dihindari karena merusak lemak yang melapisi zat besi.
Setelah diujicobakan di Jakarta Utara dan dinilai sukses meningkatkan kadar zat besi bagi balita setempat, kini penggunaan Taburia diperluas ke enam provinsi yang menjadi lokasi proyek NICE (Nutrition Improvement through Community Empowerment) atau Perbaikan Gizi Melalui Pemberdayaan Masyarakat). Masing-masing adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Jika balita yang mengonsumsi Taburia mengalami susah buang air besar dan tinja berwarna hitam karena kandungan zat besi, orang tua tak perlu khawatir. Efek samping itu, kata Ivonne, bisa diatasi dengan minum air putih lebih banyak.
“Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai,” kata Profesor Djajadiman Gatot, dokter spesialis anak, dalam seminar bertajuk "Action for Iron Deficiency Anemia" di Jakarta dua pekan lalu. Ketua Satuan Tugas Anemia Defisiensi Besi, Ikatan Dokter Anak Indonesia ini meminta agar masalah anemia tak dianggap enteng. Bila kondisi seperti itu dialami seorang anak sampai lebih dari dua tahun, maka akan membuat kecerdasannya berkurang atau malah ber-IQ jongkok. “Jangan berharap IQ mereka lebih dari 100, paling tinggi 90-an,” kata Djajadiman, “Pagi diajari, sore lupa!”
Menilik efek buruk anemia defisiensi besi yang begitu banyak, maka pemberian zat besi kepada yang membutuhkan harus secepatnya. Jika terlambat dan komplikasi sudah muncul, Djajadiman mengingatkan, bukan mustahil kekurangan zat besi tersebut akan lama sembuh atau malah tak bisa lagi diobati.
Angka kejadian anemia defisiensi besi pada anak di tanah air terbilang tinggi. Survei Kesehatan Rumah Tangga 2001 menunjukkan angka kejadian pada anak bawah lima tahun (balita) mencapai 47 persen. Sementara, Asian Development Bank memperkirakan ada 22 juta anak di Indonesia yang terkena anemia, yang menyebabkan hilangnya angka IQ sebesar 5-15 poin. Prestasi mereka di sekolah pun buruk.
Kekurangan zat besi pada anak bisa disebabkan oleh sejumlah faktor. Antara lain, asupan makanannya memang kurang mengandung zat besi, pertumbuhan saat bayi dan remaja berlangsung cepat, atau lantaran di ususnya bersarang cacing tambang.
Menurut Soedjatmiko, Ketua Divisi Tumbuh Kembang Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, makanan yang banyak mengandung besi terutama berasal dari protein hewani, seperti daging, ikan, dan hati. Cuma, dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak yang semestinya membutuhkan zat besi tinggi dari daging merah atau hati justru dikalahkan oleh orang tuanya. “Biasanya, saat makan, bapaknya yang mendapat jatah daging atau hati lebih besar, sedangkan anak-anaknya mendapat keratan yang lebih kecil,” katanya.
Untuk menambal kekurangan zat besi pada anak-anak, Direktorat Bina Gizi Kementerian Kesehatan, membuat terobosan dengan meluncurkan program Taburia pada Januari lalu. Ini adalah makanan berbentuk serbuk yang sudah diperkaya dengan zat gizi. “Taburia mengandung 12 vitamin dan empat mineral penting, yakni yodium, seng, selenium, dan zat besi,” kata Ivonne Kusumaningtyas dari Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Kementerian Kesehatan.
Selain praktis, serbuk penuh gizi ini tidak mengubah rasa, aroma, dan bentuk makanan utama yang dikonsumsi balita, seperti nasi atau bubur. Namun, Taburia tak boleh dicampur dengan sup, teh, atau susu karena akan menggumpal. Pencampuran dengan makanan panas juga harus dihindari karena merusak lemak yang melapisi zat besi.
Setelah diujicobakan di Jakarta Utara dan dinilai sukses meningkatkan kadar zat besi bagi balita setempat, kini penggunaan Taburia diperluas ke enam provinsi yang menjadi lokasi proyek NICE (Nutrition Improvement through Community Empowerment) atau Perbaikan Gizi Melalui Pemberdayaan Masyarakat). Masing-masing adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Jika balita yang mengonsumsi Taburia mengalami susah buang air besar dan tinja berwarna hitam karena kandungan zat besi, orang tua tak perlu khawatir. Efek samping itu, kata Ivonne, bisa diatasi dengan minum air putih lebih banyak.
sumber: TEMPO
0
2.2K
Kutip
20
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan