- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
FAKTA ANAK 4L4Y DI ACARA MUSIC DAHS**T
TS
isallowprofile
FAKTA ANAK 4L4Y DI ACARA MUSIC DAHS**T
Quote:
Alay adalah sebuah istilah yang merujuk pada sebuah fenomena perilaku remaja di Indonesia."Alay" merupakan singkatan dari "anak layangan"atau "anak lebay". Istilah ini merupakan stereotipe yang menggambarkan gaya hidup norak atau kampungan. Selain itu, alay merujuk pada gaya yang dianggap berlebihan dan selalu berusaha menarik perhatian. Seseorang yang dikategorikan alay umumnya memiliki perilaku unik dalam hal bahasa dan gaya hidup. Dalam gaya bahasa, terutama bahasa tulis, alay merujuk pada kesenangan remaja menggabungkan huruf besar-huruf kecil, menggabungkan huruf dengan angka dan simbol, atau menyingkat secara berlebihan. Dalam gaya bicara, mereka berbicara dengan intonasi dan gaya yang berlebihan.Di Filipina terdapat fenomena yang mirip, sering disebut sebagai Jejemon. Alay merupakan sekelompok minoritas yang mempunyai karakterisitik unik di mana penampilan dan bahasa yang mereka gunakan terkadang menyilaukan mata dan menyakitkan telinga bagi mayoritas yang tidak terbiasa bersosialisasi dengannya. Biasanya para Alayers (panggilan para Alay) mempunyai trend busana tersendiri yang dapat menyebar cepat layaknya wabah virus dikalangan para Alayers yang lain, sehingga menciptakan satu keseragaman bentuk yang sedikit tidak lazim.
Spoiler for Sumber :
Quote:
1. Anak alay ada yang kordinir.
Tim sorak yang setiap hari mangkal di acara musik Dahsyat, RCTI ternyata memiliki struktur koordinasi yang rapi. Para remaja yang berusia belasan hingga dua puluhan awal itu dikoordinasi oleh seorang wanita yang disebut ‘mami’.
Mami ini berfungsi sebagai koordinator lapangan alias korlap. Sejumlah 60 anak alay setiap hari pada pukul enam pagi berkumpul di depan studio Dahsyat, RCTI. Sebelum masuk studio, anak alay di briefing dulu oleh sang korlap tentang penampilan dan ke-alay-an yang harus mereka lakukan selama acara berlangsung.
“Kalau briefeing ada yang nggak rame kita kasih tahu. Cara pakaian yang rapi dan harus pakai sepatu. Mereka harus dandan juga, kan masuk tivi” kata Rini Pillar, salah satu korlap anak alay kepada Tempo pada 29 Mei 2013.
Pillar, begitu sapaan akrabnya, bersama tiga orang korlap lainnya yakni Sofi dan Ony serta Atun, membawahi anak alay untuk bekerja menjadi tim sorak di Dahsyat. Para korlap ini bertugas mengumpulkan massa anak alay dari berbagai daerah. Mereka berdatangan dari lokasi sekitar jakarta, Tangerang, Bogor dan Bandung serta luar jawa seperti Medan dan Padang.
Ketiga korlap itu memiliki satu bos, yakni Harsono Wahyudi. Harsono bertindak sebagai penyalur anak alay ke stasiun televisi. “Kita memang menyewa Harsono untuk ngumpulin penonton” kata Opa Yahya, produser acara Dahsyat. Menurut keterangan Harsono yang menaungi usaha jasa Kapur Barus Agency, dirinya di sewa oleh tim Dahsyat semenjak awal disiarkan pada tahun 2008.
“Saya sudah lima tahun kerja di Dahsyat” kata Harsono Wahyudi. Jauh sebelum berkarir sebagai bos anak alay, lelaki asal cirebon ini dulunya adalah kru acara komedi Patrio. Merasa banyak belajar tentang manajemen acara televisi, ia akhirnya keluar dari pabrik tempatnya bekerja untuk merintis usaha setor tim sorak alay ke berbagai acara televisi.
Spoiler for Sumber:
Spoiler for Siapa itu Harsono ??:
Harsono bukan nama asing bagi produser stasiun televisi maupun para penonton bayaran dan juga beberapa pelawak. Sebelum menjadi koordinator penonton bayaran, Harsono masuk ke dalam tim kelompok lawak Patrio yang digawangi Eko, Parto dan Akri.
Saat itu 2003, Harsono telah banyak belajar mengikuti persiapan pertunjukan Ngelaba oleh Patrio di TPI (sekarang MNC TV). Ilmu yang diperolehnya tersebut lantas dikembangkan dan memulai pekerjaan sebagai pengumpul tim sorak televisi, atau yang dikenal dengan istilah tim alay. Usahanya yang bergerak di bidang jasa itu dinamainya Kapur Barus Agency dan beralamat di Jalan Kemanggisan Raya RT 06 RW 10. "Saya sudah lama menggeluti usaha seperti ini," kata Harsono, Rabu, 29 Mei 2013.
Sebelumnya, Harsono pernah bekerja sebagai pekerja teknis di pabrik kawasan Pulogadung, Jakarta. Namun, setelah merintis pekerjaan sebagai pengumpul tim sorak televisi, Harsono merasa nyaman dan ingin tetap konsisten. "Ya, kalau mau terjun ke dunia beginian enggak boleh satu kaki, harus dua kaki, nyemplung sekalian," katanya.
Kini Harsono terikat pekerjaan dengan acara Dahsyat semenjak 2009. Tiap harinya, ia harus menyediakan 60 orang tim sorak yang terdiri dari anak muda. "Mereka harus mau ramai dan penampilannya oke. Karena ini acara musik," katanya. "Sebelum memulai syuting, kita briefing dulu bagaimana caranya supaya ramai. Bagaimana nanggepin lawakan pembawa acara dan bersorak ketika artis datang. Mereka ya saya ajarin dulu," katanya.
Ketika disinggung soal bayaran, pria asal Cirebon ini hanya tersenyum simpul. Awalnya ia tak mau mengatakan dengan jelas berapa peruntungan yang diperolehnya tiap bulan. Namun, kemudian ia nyeletuk. "Ya, hitung saja deh tiga kalinya UMK (Upah Minimum Kota). Lumayan daripada orang kantoran," katanya tertawa.
Spoiler for Penampakan:
Menurut dia, bayaran sejumlah itu hanya untuk acara Dahsyat. Namun, Harsono juga bisa dapat pesanan tim sorak dari acara televisi lain seperti TVRI, Trans TV, ANTV dan MNC. Ia pun juga mengaku pernah diminta menyediakan tim sorak untuk acara pertemuan partai Golkar dan PAN.
Tak lama, Harsono dikerubungi anak-anak alay yang baru saja bubar usai syuting Dahsyat. Puluhan remaja itu mendatangi kemudian menyalami serta mencium tangan Harsono.
Quote:
Quote:
2. Ternyata mereka ada kelas2nya juga...
Jakarta - Penonton televisi pastinya sudah tidak asing dengan pemandangan anak-anak yang bertingkah heboh atau menyerukan yel-yel di acara-acara musik ataupun talkshow, yang biasa disebut anak alay. Ternyata, para penonton ini juga memiliki klasifikasi yang berbeda-beda di setiap penampilannya.
Menurut Eni, salah seorang penonton bayaran, perbedaan kelas menjadi salah satu hal yang tidak menyenangkan dalam pekerja penonton bayaran. “Enggak enaknya ada kelasnya, ada kelas A, itu untuk baris satu dua, sisanya kelas biasa,” kata penonton bayaran yang sering muncul di acara Ranking Satu ini.
Kelas A atau yang biasa disebut dengan kolongan cantik ini biasanya melalui casting dan juga harus memenuhi beberapa persyaratan khusus dari para koordinator di lapangan. “Bedanya kolingan cantik itu tingginya sekitar 165-an (cm) lebih, cantiknya nggak tau deh liatnya darimana, kalo mereka mungkin bisa dandan ya dan style bisa bagus,” katanya menjelaskan.
Selain itu warna kulit juga menjadi satu keharusan penilaian bagi kolingan cantik. “Harus putih, itu pertama ya. Orang cantik enggak putih juga kurang. Pokonya cantik tinggi putih. Kalo nggak ya stak,” tambahnya lagi. Perbedaan ini tentu bukan hanya perbedaan letak duduk, tapi juga besar dan kecilnya pemasukan.
“Bayarannya beda. Dua kali lipat dari kita (yang biasa),” katanya lagi. Hitungan kasarnya, jika seorang penonton bayaran kelas biasa mendapat bayaran Rp 50 ribu, maka untuk kolingan cantik bisa mendapatkan Rp 100 ribu per acara.
Meski berbeda penghasilan, Eni mengaku tetap senang dengan pekerjaannya yang sekarang ini. “Kita kerja kadang agak-agak mengalah, aku sih nikmatin jadi banyak enaknya,” katanya. Selama ini, saat berada di kelas biasa, Eni harus puas hanya bisa tampil dari baris belakang para penonton bayaran di televisi.
Saat baru-baru menjadi penonton bayaran, Eni pernah salah pilih tempat duduk. Seharusnya, tempat tersebut untuk mereka yang kelas A atau kolingan cantik. Eni mengaku sempat tersinggung ketika diusir. Tapi dia akhirnya mengerti pekerjaan tersebut memang ada kelasnya.
“Pernah enggak tau, gue main duduk aja, di paling depan, terus diamarahin. Tapi ke sini sini udah baik. Ya harus professional juga kitanya,” kata perempuan yang sekarang berada di bawah manajemen Elly Suhari ini.
Jakarta - Penonton televisi pastinya sudah tidak asing dengan pemandangan anak-anak yang bertingkah heboh atau menyerukan yel-yel di acara-acara musik ataupun talkshow, yang biasa disebut anak alay. Ternyata, para penonton ini juga memiliki klasifikasi yang berbeda-beda di setiap penampilannya.
Menurut Eni, salah seorang penonton bayaran, perbedaan kelas menjadi salah satu hal yang tidak menyenangkan dalam pekerja penonton bayaran. “Enggak enaknya ada kelasnya, ada kelas A, itu untuk baris satu dua, sisanya kelas biasa,” kata penonton bayaran yang sering muncul di acara Ranking Satu ini.
Kelas A atau yang biasa disebut dengan kolongan cantik ini biasanya melalui casting dan juga harus memenuhi beberapa persyaratan khusus dari para koordinator di lapangan. “Bedanya kolingan cantik itu tingginya sekitar 165-an (cm) lebih, cantiknya nggak tau deh liatnya darimana, kalo mereka mungkin bisa dandan ya dan style bisa bagus,” katanya menjelaskan.
Selain itu warna kulit juga menjadi satu keharusan penilaian bagi kolingan cantik. “Harus putih, itu pertama ya. Orang cantik enggak putih juga kurang. Pokonya cantik tinggi putih. Kalo nggak ya stak,” tambahnya lagi. Perbedaan ini tentu bukan hanya perbedaan letak duduk, tapi juga besar dan kecilnya pemasukan.
“Bayarannya beda. Dua kali lipat dari kita (yang biasa),” katanya lagi. Hitungan kasarnya, jika seorang penonton bayaran kelas biasa mendapat bayaran Rp 50 ribu, maka untuk kolingan cantik bisa mendapatkan Rp 100 ribu per acara.
Meski berbeda penghasilan, Eni mengaku tetap senang dengan pekerjaannya yang sekarang ini. “Kita kerja kadang agak-agak mengalah, aku sih nikmatin jadi banyak enaknya,” katanya. Selama ini, saat berada di kelas biasa, Eni harus puas hanya bisa tampil dari baris belakang para penonton bayaran di televisi.
Saat baru-baru menjadi penonton bayaran, Eni pernah salah pilih tempat duduk. Seharusnya, tempat tersebut untuk mereka yang kelas A atau kolingan cantik. Eni mengaku sempat tersinggung ketika diusir. Tapi dia akhirnya mengerti pekerjaan tersebut memang ada kelasnya.
“Pernah enggak tau, gue main duduk aja, di paling depan, terus diamarahin. Tapi ke sini sini udah baik. Ya harus professional juga kitanya,” kata perempuan yang sekarang berada di bawah manajemen Elly Suhari ini.
Spoiler for sumber:
Quote:
3. Tarif jasa anak alay ??
Jakarta: Sudah menjadi rahasia umum anak alay yang sering muncul di sebuah acara televisi adalah penonton bayaran. Hampir semua anak alay, dari korlap hingga sang bos penyalur anak alay, menjadikan pekerjaan itu sebagai mata pencaharian utama. Beberapa dari mereka rela merantau dari luar pulau hanya untuk bekerja sebagai anak alay.
Lantas, berapa sebenarnya tarif menyewa jasa mereka? “Kalau ngisi di acara hitungannya per episode, biasanya Rp 35 ribu dikali berapa penonton. Jumlah itu di potong untuk agensi dan jatuh ke anak buah sekitar Rp 30 ribu. Itu yang tanpa melalui korlap, kalau melalui korlap jatuhnya Rp 27 ribu,” kata Harsono Wahyudi, pemilik Kapur Barus Agensi penyalur anak alay ke berbagai stasiun televisi kala ditemui di studi 6 RCTI, Kamis, 30 Mei 2013.
Untuk mendapatkan jatah mengisi acara televisi, nyatanya Harsono perlu bernegosiasi dengan produser acara yang bersangkutan. Tawar-menawar terjadi tentang berapa bayaran, jenis acaranya siaran langsung atau tapping serta dipekerjakan untuk berapa episode. Setelah harga cocok, Harsono akan setor anak buah.
Harsono memiliki anak buah langsung yang siap bekerja sebagai anak alay. Jika permintan banyak ia bisa meminta jatah anak alay dari koordinator lapangan. Koordinator lapangan ini bertugas mengumpulkan anak alay dari berbagai daerah. Tentunya, ada kriteria khusus untuk menjadi anak alay, yakni harus berpenampilan menarik dan mau bertingkah anah serta ramai. Sebelum syuting, anak-anak alay diberikan pengarahan terlebih dahulu. Tidak hanya soal sikap dan tata laku yang mesti mereka tampilkan, tapi juga penampilan.
Tidak hanya di acara televisi, ternyata jasa mereka juga digunakan untuk meramaiakan acara sebuah partai. “Mas Eko-- Eko Patrio-- terakhir kemarin minta diisetor sehari 1.000 di acara buat menghadiri acara partainya mas Eko. Itu pas bulan puasa tahun lalu. Seribu orang itu selama tiga hari,” kata Harsono.
Pekerjaan setor anak alay di luar acara televisi lebih menguntungkan lantaran bayaran cash dan dapat jatah makan. Untuk di stasiun televisi, tidak semua menyediakan makan bagi mereka. Uang yang diterima cukup untuk pengganti transportasi dan makan. Namun jika seorang anak alay mendapat pekerjaan di beberapa acara dalam sehari, mereka bisa mengumpulkan uang Rp 100 ribu.
Harsono pernah menerima tawaran setor massa ke sebuah acara launching album seorang penyanyi. Pekerjaan Harsono sehari-hari diakui pria asal Cirebon itu membutuhkan totalitas. Sebelum terjun ke profesi penyetor anak alay, Harsono terlibat kru di acara televisi Ngelaba. Sejak itu ia belajar banyak tentang seluk beluk acara televisi.
Jakarta: Sudah menjadi rahasia umum anak alay yang sering muncul di sebuah acara televisi adalah penonton bayaran. Hampir semua anak alay, dari korlap hingga sang bos penyalur anak alay, menjadikan pekerjaan itu sebagai mata pencaharian utama. Beberapa dari mereka rela merantau dari luar pulau hanya untuk bekerja sebagai anak alay.
Lantas, berapa sebenarnya tarif menyewa jasa mereka? “Kalau ngisi di acara hitungannya per episode, biasanya Rp 35 ribu dikali berapa penonton. Jumlah itu di potong untuk agensi dan jatuh ke anak buah sekitar Rp 30 ribu. Itu yang tanpa melalui korlap, kalau melalui korlap jatuhnya Rp 27 ribu,” kata Harsono Wahyudi, pemilik Kapur Barus Agensi penyalur anak alay ke berbagai stasiun televisi kala ditemui di studi 6 RCTI, Kamis, 30 Mei 2013.
Untuk mendapatkan jatah mengisi acara televisi, nyatanya Harsono perlu bernegosiasi dengan produser acara yang bersangkutan. Tawar-menawar terjadi tentang berapa bayaran, jenis acaranya siaran langsung atau tapping serta dipekerjakan untuk berapa episode. Setelah harga cocok, Harsono akan setor anak buah.
Harsono memiliki anak buah langsung yang siap bekerja sebagai anak alay. Jika permintan banyak ia bisa meminta jatah anak alay dari koordinator lapangan. Koordinator lapangan ini bertugas mengumpulkan anak alay dari berbagai daerah. Tentunya, ada kriteria khusus untuk menjadi anak alay, yakni harus berpenampilan menarik dan mau bertingkah anah serta ramai. Sebelum syuting, anak-anak alay diberikan pengarahan terlebih dahulu. Tidak hanya soal sikap dan tata laku yang mesti mereka tampilkan, tapi juga penampilan.
Tidak hanya di acara televisi, ternyata jasa mereka juga digunakan untuk meramaiakan acara sebuah partai. “Mas Eko-- Eko Patrio-- terakhir kemarin minta diisetor sehari 1.000 di acara buat menghadiri acara partainya mas Eko. Itu pas bulan puasa tahun lalu. Seribu orang itu selama tiga hari,” kata Harsono.
Pekerjaan setor anak alay di luar acara televisi lebih menguntungkan lantaran bayaran cash dan dapat jatah makan. Untuk di stasiun televisi, tidak semua menyediakan makan bagi mereka. Uang yang diterima cukup untuk pengganti transportasi dan makan. Namun jika seorang anak alay mendapat pekerjaan di beberapa acara dalam sehari, mereka bisa mengumpulkan uang Rp 100 ribu.
Harsono pernah menerima tawaran setor massa ke sebuah acara launching album seorang penyanyi. Pekerjaan Harsono sehari-hari diakui pria asal Cirebon itu membutuhkan totalitas. Sebelum terjun ke profesi penyetor anak alay, Harsono terlibat kru di acara televisi Ngelaba. Sejak itu ia belajar banyak tentang seluk beluk acara televisi.
Spoiler for sumber:
Spoiler for boleh dong:
Spoiler for tolong jangan di lempar:
Spoiler for bantu:
Diubah oleh isallowprofile 11-07-2013 05:14
0
15.8K
Kutip
212
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan