- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Gampang-gampang Susah Urus Label Halal


TS
boeladiegh
Gampang-gampang Susah Urus Label Halal
Quote:
Meski tidak diwajibkan, namun label halal pada sebuah produk sudah menjadi tuntutan pasar. Konsumen, terutama muslim, lebih memilih produk berlabel halal. Sementara itu, bagi pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM), persoalan label halal ini menjadi kendala tersendiri.
Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang sejelas–jelasnya mengenai sebuah produk, terutama produk pangan di pasaran, baik produk UKM maupun pabrikan.
Sudah menjadi ‘keharusnya’, informasi halal dicantumkan pada setiap produk. Namun dalam praktiknya, hak konsumen tersebut tidak bisa selalu dipenuhi, terlebih untuk produk–produk yang diproduksi oleh UKM. “Saat ini, mayoritas produk berlabel halal merupakan produksi perusahaan besar,” kata Sudaryatmo.
Dari sisi regulasi, karena belum ada undang–undang yang mewajibkan pencantuman label halal, maka ‘aturan’ itu masih bersifat voluntary atau sukarela. Artinya, untuk menyertifikasi halal produk ini tidak ada paksaan dari pemerintah maupun LPPOM MUI, murni dari keinginan pelaku usaha.
Kepala Bidang Auditing Dr. Ir. Hj. Mulyorini R. Hilwan, M.Sc. mengatakan, karena tidak ada unsur paksaan, maka keinginan pelaku usaha yang aware terhadap produk yang diproduksinya, dapat mendaftar ke LPPOM MUI. Meskipun sifatnya sukarela, bukan berarti ada pengecualian bagi UKM.
Ditambahkan Sudaryatmo, jika menilik dari sisi konsumen, ketika konsumen dihadapkan pada dua produk di mana salah satunya berlabel halal, maka produk berlabel halal memiliki nilai lebih di mata konsumen. Adanya pencantuman label halal ini juga menjadi garansi bagi konsumen, khususnya muslim, untuk tidak khawatir terhadap makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Dikutip dari bisnisjabar.com, Agus Hermawan, salah satu pelaku UKM makanan olahan di Bandung mengatakan sertifikat halal sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing produknya. Menurutnya, saat ini konsumen sudah lebih pintar dan jeli memilih produk makanan, sehingga persaingan di tingkat produsen, khususnya usaha skala kecil kian ketat. “Sertifikat halal membantu kami mendapatkan kepercayaan konsumen,” jelas Agus.
Pria yang memiliki usaha pembuatan keripik ini mengatakan bahwa biaya sertifikat halal sebesar Rp 1 juta yang dibebankan kepadanya cukup memberatkan. “Selain mahal, juga prosesnya lama,” keluh Agus.
Sudaryatmo meyakini, meski persentase produk UKM yang tidak berlabel halal lebih banyak, bukan berarti mereka tidak mau mencantumkannya. Ia mengatakan, YLKI kerap mendapatkan keluhan dari pengusaha UKM khususnya dari daerah yang ingin mengurus sertifikat halal.
Para pelaku UKM itu mengeluhkan prosesnya yang rumit dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. “Apalagi pelaku UKM juga harus menanggung biaya transportasi (tiket pesawat)dan penginapan tim LPPOM MUI,” lanjutnya.
Seorang pengusaha kerupuk ikan di Kabupaten Tanjung Bale Karimun, Kepulauan Riau, kepada halalmui.org, mengeluhkan sulitnya mengurus sertifikat halal. Ia harus pergi ke Batam untuk mendaftar ke LPPOM MUI Kepri, kemudian harus mendatangkan dua orang auditor dari Batam ke Tanjung Bale Karimun untuk memeriksa produknya. Selain sulit dan lama, cara ini juga memerlukan biaya yang sangat mahal. Apalagi usahanya termasuk masih kecil.
Selama ini persepsi pelaku UKM mengenai proses sertifikasi halal adalah rumit dan mahal. Sudaryatmo menjelaskan, YLKI yang kerap menerima keluhan pun menyarankan agar adanya skema khusus untuk pelaku UKM supaya proses dan biayanya lebih ringan.
Sementara Mulyorini menilai persepsi tersebut karena kekurangtahuan pelaku usaha. Padahal diakuinya, pihak LPPOM MUI tidak mempersulit. LPPOM MUI menurut Mulyorini tidak menetapkan biaya yang mahal.
Untuk biaya, LPPOM MUI menetapkan biaya sebesar Rp 0 sampai Rp 2,5 juta untuk sertifikat halal tingkat UKM. Jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut tergantung beberapa variabel, di antaranya jumlah produk dan kekompleksitasan produk itu sendiri. “Biaya tersebut lebih murah dari sertifikat ISO,” tambahnya.
Biaya tersebut dibayar di muka, dan sudah temasuk biaya sertifikat, biaya pendaftaran, dan honor tim audit. “Kalau ada UKM dari daerah, biaya transportasi, penginapan, dan lain–lain ditanggung oleh pengusaha yang bersangkutan,” kata Mulyorini dengan alasan lembaganya tidak menerima dana dari negara.
Bahkan, UKM juga tidak ada keharusan pelaku usaha untuk datang ke Jakarta untuk ke LPPOM MUI pusat. “Pengurusan juga bisa dilakukan di LPPOM MUI provinsi di 33 provinsi, jadi pelaku usaha yang terdapat di daerah tidak perlu jauh–jauh ke Jakarta,” jelas Mulyorini.
Namun, khusus untuk UKM yang pemasarannya nasional/internasional, akan mengekspor atau meng–upgrade produknya, harus mengurus ke LPPOM MUI pusat di Jakarta. Khusus untuk produk yang kompleks dan waralaba/restoran, diharuskan mengurus sertifikasi halal ke LPPOM MUI pusat.
Di lain pihak, Tri Kismiati yang merupakan pebisnis makanan olahan, mengaku tidak menemui kesulitan dalam mendapatkan sertifikasi halal. Ia memperoleh kemudahan karena usaha pembuatan keripiknya berada di bawah binaan dinas koperasi pemerintah kota Bogor. “Menjadi binaan dinas banyak untungnya, selain kemudahan dalam berpromosi, juga gampang mengurus sertifikat halal,” kata Tri.
Hal senada juga disampaikan Yanti Rusdianti produsen olahan cokelat. “Walaupun hanya UKM, sertifikat halal harus dicantumkan. Untuk itu, jangan ragu daftarkan ke dinas koperasi agar pengurusan sertifikasi cepat dan mudah,” jelas Yanti.
Prosedur Standar
Sebagai lembaga yang berhak menerbitkan sertifikasi halal, LPPOM MUI telah memiliki prosedur standar yang sama dalam mengatur proses sertifikasi halal, tidak ada perbedaan untuk UKM maupun pelaku besar.
Prosedur ini tidak bisa ditawar–tawar lagi. Namun, dari segi biaya, pelaku UKM dibebankan tarif yang lebih rendah dibandingkan pelaku usaha besar. “Kalau pelaku usaha besar kan memang kapasitas produksi dan volume penjualannya banyak, kalau pelaku UKM pasti berpikir untuk mengeluarkan dana membuat sertifikasi halal,” tegas Sudaryatmo.
Langkah–langkah untuk melakukan sertifikasi ialah dengan mendaftar ke LPPOM MUI. Pelaku usaha harus membeberkan informasi secara transparan mengenai produk yang akan disertifikasi, mulai dari bahan baku yang digunakan, cara pembuatan, tenaga kerja, sampai lokasi pembuatan produk. “Jika informasi awal dirasa sudah layak, selanjutnya dilakukan pemeriksaan (audit) untuk mengonfirmasi kebenaran informasi awal yang telah diberikan,” jelas Mulyorini.
Proses audit dilakukan oleh tim, sedikitnya dua orang. Auditor ini fungsinya sebagai saksi dari ulama dalam mencari fakta dan data di lapangan. Selain itu, jumlah auditor yang lebih dari satu juga bertujuan untuk meminimalisir kesalahan pengambilan maupun pengerjaan.
Jumlah tim audit ini tergantung dari banyaknya lokasi perusahaan/UKM dan jumlah produk yang akan disertifikasi. Jika jumlah produknya kompleks, tentunya akan membutuhkan tim yang tidak sedikit.
“Jika produknya hanya satu atau dua, tim audit dapat menyelesaikan dalam waktu yang singkat, paling cepat satu hari dengan 8 jam kerja,” kata Mulyorini.
Selanjutnya, hasil pemeriksaan tim audit akan disampaikan pada rapat dan ditentukan fatwanya oleh ulama, apakah termasuk produk halal atau haram.
Setelah pelaku UKM mendapatkan sertifikasi halal, LPPOM MUI tidak serta merta lepas tangan. Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap konsumen, LPPOM MUI tetap melakukan pengawasan dan monitoring.
Dengan dua tahun masa berlaku sertifikat halal, maka pelaku usaha wajib melapor setiap 6 bulan sekali. Laporan ini berupa bahan–bahan baku yang digunakan, proses produksi, tenaga kerja, dan lokasi. Selain mengandalkan laporan dari pengusaha, LPPOM MUI juga melakukan inspeksi mendadak (sidak).
Dengan mudahnya proses pengurusan sertifikasi, menurut Mulyorini seharusnya timbul kesadaran pelaku UKM untuk mengurus sertifikasi halal ini. Terutama karena banyak pelaku UKM yang telah besertifikasi mengaku mengalami peningkatan volume penjualan.
Sedangkan Sudaryatmo meyakini, bahwa urusan sertifikasi halal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab UKM saja, melainkan peran serta pemerintah juga diperlukan. “Sebaiknya banyak dilakukan penyuluhan maupun pelatihan mengenai sertifikasi halal, agar pelaku UKM aware terhadap hal ini,” kata Sudaryatmo memberi saran.
Sedangkan Agus, pelaku UKM makanan olahan keripik mengharapkan dinas (pemerintah daerah) untuk memberikan skala prioritas untuk fasilitas sertifikat halal, terutama untuk pelaku UKM yang modalnya terbatas. Sumber
Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang sejelas–jelasnya mengenai sebuah produk, terutama produk pangan di pasaran, baik produk UKM maupun pabrikan.
Sudah menjadi ‘keharusnya’, informasi halal dicantumkan pada setiap produk. Namun dalam praktiknya, hak konsumen tersebut tidak bisa selalu dipenuhi, terlebih untuk produk–produk yang diproduksi oleh UKM. “Saat ini, mayoritas produk berlabel halal merupakan produksi perusahaan besar,” kata Sudaryatmo.
Dari sisi regulasi, karena belum ada undang–undang yang mewajibkan pencantuman label halal, maka ‘aturan’ itu masih bersifat voluntary atau sukarela. Artinya, untuk menyertifikasi halal produk ini tidak ada paksaan dari pemerintah maupun LPPOM MUI, murni dari keinginan pelaku usaha.
Kepala Bidang Auditing Dr. Ir. Hj. Mulyorini R. Hilwan, M.Sc. mengatakan, karena tidak ada unsur paksaan, maka keinginan pelaku usaha yang aware terhadap produk yang diproduksinya, dapat mendaftar ke LPPOM MUI. Meskipun sifatnya sukarela, bukan berarti ada pengecualian bagi UKM.
Ditambahkan Sudaryatmo, jika menilik dari sisi konsumen, ketika konsumen dihadapkan pada dua produk di mana salah satunya berlabel halal, maka produk berlabel halal memiliki nilai lebih di mata konsumen. Adanya pencantuman label halal ini juga menjadi garansi bagi konsumen, khususnya muslim, untuk tidak khawatir terhadap makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Dikutip dari bisnisjabar.com, Agus Hermawan, salah satu pelaku UKM makanan olahan di Bandung mengatakan sertifikat halal sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing produknya. Menurutnya, saat ini konsumen sudah lebih pintar dan jeli memilih produk makanan, sehingga persaingan di tingkat produsen, khususnya usaha skala kecil kian ketat. “Sertifikat halal membantu kami mendapatkan kepercayaan konsumen,” jelas Agus.
Pria yang memiliki usaha pembuatan keripik ini mengatakan bahwa biaya sertifikat halal sebesar Rp 1 juta yang dibebankan kepadanya cukup memberatkan. “Selain mahal, juga prosesnya lama,” keluh Agus.
Sudaryatmo meyakini, meski persentase produk UKM yang tidak berlabel halal lebih banyak, bukan berarti mereka tidak mau mencantumkannya. Ia mengatakan, YLKI kerap mendapatkan keluhan dari pengusaha UKM khususnya dari daerah yang ingin mengurus sertifikat halal.
Para pelaku UKM itu mengeluhkan prosesnya yang rumit dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. “Apalagi pelaku UKM juga harus menanggung biaya transportasi (tiket pesawat)dan penginapan tim LPPOM MUI,” lanjutnya.
Seorang pengusaha kerupuk ikan di Kabupaten Tanjung Bale Karimun, Kepulauan Riau, kepada halalmui.org, mengeluhkan sulitnya mengurus sertifikat halal. Ia harus pergi ke Batam untuk mendaftar ke LPPOM MUI Kepri, kemudian harus mendatangkan dua orang auditor dari Batam ke Tanjung Bale Karimun untuk memeriksa produknya. Selain sulit dan lama, cara ini juga memerlukan biaya yang sangat mahal. Apalagi usahanya termasuk masih kecil.
Selama ini persepsi pelaku UKM mengenai proses sertifikasi halal adalah rumit dan mahal. Sudaryatmo menjelaskan, YLKI yang kerap menerima keluhan pun menyarankan agar adanya skema khusus untuk pelaku UKM supaya proses dan biayanya lebih ringan.
Sementara Mulyorini menilai persepsi tersebut karena kekurangtahuan pelaku usaha. Padahal diakuinya, pihak LPPOM MUI tidak mempersulit. LPPOM MUI menurut Mulyorini tidak menetapkan biaya yang mahal.
Untuk biaya, LPPOM MUI menetapkan biaya sebesar Rp 0 sampai Rp 2,5 juta untuk sertifikat halal tingkat UKM. Jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut tergantung beberapa variabel, di antaranya jumlah produk dan kekompleksitasan produk itu sendiri. “Biaya tersebut lebih murah dari sertifikat ISO,” tambahnya.
Biaya tersebut dibayar di muka, dan sudah temasuk biaya sertifikat, biaya pendaftaran, dan honor tim audit. “Kalau ada UKM dari daerah, biaya transportasi, penginapan, dan lain–lain ditanggung oleh pengusaha yang bersangkutan,” kata Mulyorini dengan alasan lembaganya tidak menerima dana dari negara.
Bahkan, UKM juga tidak ada keharusan pelaku usaha untuk datang ke Jakarta untuk ke LPPOM MUI pusat. “Pengurusan juga bisa dilakukan di LPPOM MUI provinsi di 33 provinsi, jadi pelaku usaha yang terdapat di daerah tidak perlu jauh–jauh ke Jakarta,” jelas Mulyorini.
Namun, khusus untuk UKM yang pemasarannya nasional/internasional, akan mengekspor atau meng–upgrade produknya, harus mengurus ke LPPOM MUI pusat di Jakarta. Khusus untuk produk yang kompleks dan waralaba/restoran, diharuskan mengurus sertifikasi halal ke LPPOM MUI pusat.
Di lain pihak, Tri Kismiati yang merupakan pebisnis makanan olahan, mengaku tidak menemui kesulitan dalam mendapatkan sertifikasi halal. Ia memperoleh kemudahan karena usaha pembuatan keripiknya berada di bawah binaan dinas koperasi pemerintah kota Bogor. “Menjadi binaan dinas banyak untungnya, selain kemudahan dalam berpromosi, juga gampang mengurus sertifikat halal,” kata Tri.
Hal senada juga disampaikan Yanti Rusdianti produsen olahan cokelat. “Walaupun hanya UKM, sertifikat halal harus dicantumkan. Untuk itu, jangan ragu daftarkan ke dinas koperasi agar pengurusan sertifikasi cepat dan mudah,” jelas Yanti.
Prosedur Standar
Sebagai lembaga yang berhak menerbitkan sertifikasi halal, LPPOM MUI telah memiliki prosedur standar yang sama dalam mengatur proses sertifikasi halal, tidak ada perbedaan untuk UKM maupun pelaku besar.
Prosedur ini tidak bisa ditawar–tawar lagi. Namun, dari segi biaya, pelaku UKM dibebankan tarif yang lebih rendah dibandingkan pelaku usaha besar. “Kalau pelaku usaha besar kan memang kapasitas produksi dan volume penjualannya banyak, kalau pelaku UKM pasti berpikir untuk mengeluarkan dana membuat sertifikasi halal,” tegas Sudaryatmo.
Langkah–langkah untuk melakukan sertifikasi ialah dengan mendaftar ke LPPOM MUI. Pelaku usaha harus membeberkan informasi secara transparan mengenai produk yang akan disertifikasi, mulai dari bahan baku yang digunakan, cara pembuatan, tenaga kerja, sampai lokasi pembuatan produk. “Jika informasi awal dirasa sudah layak, selanjutnya dilakukan pemeriksaan (audit) untuk mengonfirmasi kebenaran informasi awal yang telah diberikan,” jelas Mulyorini.
Proses audit dilakukan oleh tim, sedikitnya dua orang. Auditor ini fungsinya sebagai saksi dari ulama dalam mencari fakta dan data di lapangan. Selain itu, jumlah auditor yang lebih dari satu juga bertujuan untuk meminimalisir kesalahan pengambilan maupun pengerjaan.
Jumlah tim audit ini tergantung dari banyaknya lokasi perusahaan/UKM dan jumlah produk yang akan disertifikasi. Jika jumlah produknya kompleks, tentunya akan membutuhkan tim yang tidak sedikit.
“Jika produknya hanya satu atau dua, tim audit dapat menyelesaikan dalam waktu yang singkat, paling cepat satu hari dengan 8 jam kerja,” kata Mulyorini.
Selanjutnya, hasil pemeriksaan tim audit akan disampaikan pada rapat dan ditentukan fatwanya oleh ulama, apakah termasuk produk halal atau haram.
Setelah pelaku UKM mendapatkan sertifikasi halal, LPPOM MUI tidak serta merta lepas tangan. Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap konsumen, LPPOM MUI tetap melakukan pengawasan dan monitoring.
Dengan dua tahun masa berlaku sertifikat halal, maka pelaku usaha wajib melapor setiap 6 bulan sekali. Laporan ini berupa bahan–bahan baku yang digunakan, proses produksi, tenaga kerja, dan lokasi. Selain mengandalkan laporan dari pengusaha, LPPOM MUI juga melakukan inspeksi mendadak (sidak).
Dengan mudahnya proses pengurusan sertifikasi, menurut Mulyorini seharusnya timbul kesadaran pelaku UKM untuk mengurus sertifikasi halal ini. Terutama karena banyak pelaku UKM yang telah besertifikasi mengaku mengalami peningkatan volume penjualan.
Sedangkan Sudaryatmo meyakini, bahwa urusan sertifikasi halal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab UKM saja, melainkan peran serta pemerintah juga diperlukan. “Sebaiknya banyak dilakukan penyuluhan maupun pelatihan mengenai sertifikasi halal, agar pelaku UKM aware terhadap hal ini,” kata Sudaryatmo memberi saran.
Sedangkan Agus, pelaku UKM makanan olahan keripik mengharapkan dinas (pemerintah daerah) untuk memberikan skala prioritas untuk fasilitas sertifikat halal, terutama untuk pelaku UKM yang modalnya terbatas. Sumber
Tapi masih ada aja produk yang bersertifikat halal tapi terdapat kandungan bahan yang tidak halal, bagaimana dengan hal seperti itu?
0
3.7K
Kutip
47
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan