- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
"Kisah Tragis Gang Dolly" masuk gan miris banget


TS
Maraven
"Kisah Tragis Gang Dolly" masuk gan miris banget


trit ini tujuannya hanya buat ngeshare aja gan, nih artikel ane ga sengaja nemu di mbah gugel

Bukti trit ane no repsol


TS nerima ditimpuk pakai



Spoiler for pernah dimuat di majalah gan:

ini nih kutipan nya yg ane nemu di gugel :
Spoiler for :
Hampir seminggu aku tidak buka facebook. Kesibukanku ‘menguber-uber’ dosen pembimbing demi konsultasi Tugas Akhir telah menyita waktuku sebagai maniak FB. Bahkan, lewat hand phone pun aku tidak sempat membukanya. Setelah mengetik e-mail dan kata kunci, beranda FB-ku pun terbuka. Ada 15 permintaan pertemanan, 7 pesan dan 20 pemberitahuan.
Aku segera menggeser kursor ke opsi permintaan pertemanan. Mengonfirmasi satu persatu hingga kursor yang kuarahkan sampai di permintaan ke lima belas. Aku coba eja namanya, “Gadis Dolly”. Penasaran, aku buka profil fotonya. Seorang gadis berambut sebahu. Lumayan manis. Tanpa ba-bi-bu lagi, aku langsung mengonfirmasinya. Selesai. Tinggal 7 pesan yang siap aku buka. Nama Gadis Gang Dolly ada di paling atas. Penasaran, aku langsung membuka pesan itu.
Salam kenal, Mas. Maaf jika mengganggu. Mungkin Mas sedikit kaget dengan namaku. Tenang saja. Itu bukan nama asli. Namaku Dewi. Sengaja aku pake nama samaran. Langsung saja. Begini, aku tertarik nge-add Mas setelah baca artikel Mas Wahyu di sebuah koran beberapa hari lalu. Aku langsung mencari FB Mas karena ingin sekali banyak diskusi tentang berbagai hal. Terutama yang berkaitan dengan tulisan Mas berjudul “Urgensi Pendidikan Moral di Lingkungan Prostitusi” itu. Cukup sekian dulu, ya. Karena aku harus kembali bekerja. Salam... (Gadis Dolly).
Untuk beberapa detik, aku terdiam sembari kembali memerhatikan rentetan kalimat dalam pesan teman baruku itu. Tulisanku memang dimuat sebuah media di kota ini beberapa hari lalu. Sebuah opini yang sebenarnya aku kembangkan dari proposal Tugas Akhir yang masih juga belum di-acc oleh dosenku.
Aku tidak mau berburuk sangka terhadap gadis itu. Aku tahu gang Dolly memang dikenal sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Tapi profil gadis itu sungguh membuatku semakin penasaran. Aku ingin mengenalnya lebih jauh. Paling tidak, aku bisa membuktikan kalau gadis itu benar-benar ada. Bukankah di dunia maya semua serbasemu?
***
Jam lima sore. Ruas jalan di sepanjang jalan Ahmad Yani macet total. Motorku nyaris tidak bisa bergerak. Kanan-kiri penuh. Aku berusaha hati-hati. Ya, siapa yang tidak terburu-buru di jam-jam macet seperti ini? Semua ingin lekas sampai di rumah setelah seharian sibuk di tempat kerja.
Begitu ada sedikit peluang, aku segera melarikan motorku. Membelah arus lalu lintas sepanjang jalan Ahmad Yani dan membelokkan arah ke pertigaan jalan Margorejo, tempat kosku.
“Dari mana saja, Yu? Sibuk banget kayaknya?” kulihat Doni, teman sekelasku duduk di kursi depan kamarku sambil menyemburkan asap rokoknya.
“Biasa, dari kampus,"
“Rajin amat. Santai aja, lagi. Kamu kan sudah mau garap skripsi?” tegasnya sambil mengeluarkan sebuah hand phone dari saku jaketnya.
“Justru itu, aku tidak mau keteteran. Semester ini harus selesai. Makanya langsung kuuber-uber dosen pembimbing. Tahu sendiri, kan, bagaimana sibuknya Pak Bambang? Hampir tiap hari beliau ke luar kota.”
“Namanya juga dosen, Yu. Kalo mahasiswa, kan, memang banyak santainya.”
“Kamu yang nyantai, ‘kali…” aku segera membuka pintu. Sementara Doni langsung melempar tubuhnya ke atas kasur lipat yang tergelar di lantai.
“Aku punya teman FB baru, Bro,” Doni tampak asik dengan HP-nya. Pasti dia lagi chating-an.
“Namanya juga di FB. Tiap hari pasti ada yang nge-add,” responku, sembari merapikan buku-buku yang berantakan di depan komputer.
“Yang ini lain, Bro. Namanya unik.”
“Sudah biasa ‘kali nama-nama pengguna FB yang aneh-aneh.”
“Tapi ini benar-benar aneh. Namanya Gadis Gang Dolly.”
“What??” Aku nyaris terlonjak saking kagetnya. “Kapan kamu berteman dengannya?”
“Baru setengah jam yang lalu. Sial kamu, Bro. Punya teman Gadis Gang Dolly nggak pernah bilang-bilang.”
“Jadi, kamu dapat dari daftar temanku?” Doni hanya nyengir. Persis kuda delman yang dipecut sang kusir.
***
“Aku mau ke Taman Bungkul, Don! Kalo kamu nggak ada acara, di sini aja. Nungguin kamarku.”
“Enak aja. Emang aku jin dijadiin penunggu kamarmu? Nggak, ah,” respon Doni judes. Itu memang kebiasaannya. Paling sebentar lagi dia akan mengiyakan setelah aku mengiming-imingi sesuatu. “Ada film baru, nggak?” lanjutnya.
“Banyak. Cari aja di folder film. Aku kemarin ngopy di warnet dekat kampus.”
“Film ‘hotspot’-nya ada, nggak? Ha…ha…” Doni ngakak. Ingin sekali aku menimpuknya. Aku paham apa maksud Doni.
“Gila, dasar ngeres. Otakmu kudu dicuci tuh! Emang, kapan kamu pernah menemukan film begituan di komputerku?” aku membalasnya tak kalah sadis.
***
Sore hari di Taman Bungkul tampak ramai. Beberapa anak muda bergerombol. Aku segera menuju sebuah bangku taman yang kosong. Kuedarkan pandangan ke segala penjuru taman. Mencari sosok Dewi, Gadis Gang Dolly itu. Di sms dia bilang memakai baju biru dan celana jeans. Aku sengaja tidak menghubunginya karena mungkin dia masih dalam perjalanan. Atau, dia juga sedang mencari-cariku? Aku baru saja mau meneleponnya ketika hand phone di saku celana menjerit-jerit.
“Kau di mana, Dewi?” Aku langsung bertanya.
“Di pojok Timur. Mas di mana?”
“Aku di sebelah barat taman. Dekat trotoar. Biar aku ke tempatmu, ya.” kututup telepon setelah kulihat sesosok perempuan berdiri dan melihat ke arahku.
“Sudah lama nunggu, ya?”
“Nggak, kok. Baru saja nyampe,”
“Kita di sana aja, yuk. Dekat bapak penjual jagung bakar itu,” ajakku.
Dewi mengangguk sambil menyejajari langkahku.
“Rame juga, ya, Taman Bungkul di sore hari?” seru Dewi seraya mengambil tempat duduk. “Mas sering ke sini, ya?”
“Hm… nggak juga, sih. Paling kalo malem minggu. Sehabis ngumpul-ngumpul di Royal Plaza biasanya aku ke sini bareng teman-teman,” aku merasa Dewi adalah teman baru yang familiar. Mudah akrab, juga ramah.
“Oh, ya, sudah lama nulis di media? Pertama kali baca tulisan itu aku langsung tertarik untuk mengenal penulisnya. Tulisan itu kurasa sangat cocok sekali dengan lingkungan tempat tinggalku,” Dewi mulai tampak serius dengan obrolannya.
“Maksudmu, Dolly?”
“Ya, gitu. Aku tahu, daerah itu memang dikenal sebagai tempat ‘jajan’-nya para lelaki hidung belang. Mencari kepuasan dunia dengan memilih tempat itu sebagai pilihan favoritnya.”
“Maaf, apa kamu memang asli dari daerah itu?”
“Nggak. Aku pendatang juga, seperti mayoritas penghuni daerah itu. Dua tahun lalu aku datang ke kota ini, dengan maksud mencari pekerjaan. Tapi….” Dewi menghentikan kalimatnya. Matanya menerawang, melihat ke tengah-tengah taman yang mulai dijubeli para pengunjung. “Aku terperangkap di tempat itu.”
Aku tersentak. Rasa risih tiba-tiba menyelinap dalam batinku mendengar pengakuan Dewi. Apa kata teman-teman jika mereka tahu bahwa aku mempunyai teman seorang…. Ah, aku tidak boleh menghakimi orang lain.
“Tapi, sejak lima bulan terakhir, aku berhenti total,” tegas Dewi seperti mengetahui kegelisahan hatiku.
“Lalu sekarang tinggal di mana?” Diam-diam, rasa simpati menghinggapi ruang hatiku.
“Aku masih di daerah situ. Dua bulan ini aku mencoba mendampingi adik-adik atau anak-anak para ‘pekerja’ di sana. Mereka butuh dukungan moral agar tidak minder dengan status orangtuanya. Makanya, aku menghubungimu. Siapa tahu kau bisa membantu kesulitan-kesulitan mereka. Paling tidak, mereka bisa diberi motivasi menghadapi masa depan yang lebih baik.” Ada nada harap pada kalimat terakhir Dewi. Sementara pikiranku berkelana entah ke mana.
“Maaf, Dewi. Selama ini aku memang belum pernah berpikir ke sana. Tapi akan aku coba. Yang penting, kau juga ikut mendampingi mereka. Aku orang baru yang masih belum mengenal karakter dan kebiasaan lingkungan sana. Nggak lucu, kan, kalo aku disangka pelanggan baru? He...he….” Aku sengaja mencairkan suasana karena kulihat Dewi tampak serius.
“Tenang saja, Mas Wahyu. Jadi, kapan nih Mas bisa main-main ke sana?” lagi-lagi pertanyaan Dewi membuatku terpaku. Ke lokasi itu? Mana aku berani kalau sendirian? Tapi bukankah Dewi tadi sudah bilang kalau semua akan baik-baik saja?
“Aku akan hubungi kamu lagi,” kurasa, itu jawaban paling tepat untuk menjawab pertanyaan Dewi.
Menjelang maghrib, suasana Taman Bungkul semakin ramai. Aku segera pamitan ke Dewi. Lagian, Dewi harus segera pulang. Dia tidak membawa kendaraan sendiri.
“Bener, nggak perlu diantar, nih?”
“Nggak, terima kasih. Aku naik bis kota saja. Sekali lagi terima kasih sudah mau mendengarkan curhatku.” Dewi tersenyum.
***
“Apa, ke Dolly?” Doni nyaris berteriak.
“Huss, biasa aja kenapa, sih? Nggak enak sama penghuni kamar sebelah.”
“Gila kamu, Yu. Aku saja yang asli arek Suroboyo ini nggak pernah ke tempat begituan. Emang ngapain? Jangan bilang kamu mau ‘jajan’ di sana, ya. Kayak yang nggak ada cewek aja. Di kampus banyak cewek yang bisa kamu pacari,” sudah kuduga Doni akan menjadi orang paling bawel sedunia mendengar ajakanku. Mungkin karena selama ini dia nggak pernah melihat aku neko-neko.
“Sudah ngomongnya? Makanya dengerin dulu orang ngomong. Aku ke sana untuk memenuhi ajakan Dewi yang juga teman FB-mu itu.”
“Apa? Jadi kamu sudah sejauh itu mengenal perempuan itu? Bener-bener sinting kamu.”
“Maksudku, Dewi ngajak aku untuk membantu mendampingi anak-anak para ‘pekerja’ di sana. Mereka butuh motivasi agar mereka tidak minder dengan status sosial orangtuanya yang kadung dicap tidak bener itu. Gitu lho, Don…!”
“Oh, ngomong dong dari tadi!” Doni memonyongkan mulutnya. “Tapi, kamu sudah yakin dengan tawaran perempuan itu? Jangan-jangan, kamu hanya dipancing agar mau jadi pelanggannya?”
“Hati-hati kalo ngomong. Dewi itu sudah ‘pensiun’. Dia bekerja di kafe sakarang. Tapi, dia berusaha mendampingi adik-adik di sana. Dewi memang nggak pernah kuliah di Psikologi. Tapi dia sudah paham karakter anak-anak di sekitarnya. Kita hanya diminta untuk mendampinginya agar dia tidak sendirian. Agar anak-anak di sana juga tahu kalo tidak semua orang memandang sebelah mata kehidupan mereka. Aku yakin, mereka nggak pernah mau dilahirkan di lingkungan seperti itu.”
Kulihat Doni manggut-manggut. Kuharap dia benar-benar paham dan mau menemaniku ke sana.
***
Setelah hampir setengah jam menerobos kemacetan kota di sepanjang jalan Ahmad Yani, akhirnya, aku sampai di komplek Dolly. Tepat di ujung gang, aku menghentikan motor.
“Kok aku jadi deg-degan gini, Yu?” suara Doni, sembari turun dari atas boncengan motor. “Aku khawatir ditangkap para mucikari di dalam," Doni semakin menyeracau, membuatku ikut-ikutan tegang.
“Aku telepon Dewi saja, ya?” kuambil HP dan menghubungi Dewi.
Tut..tut…tut… Ah, nomornya tulalit.
“Gimana? Coba aja lagi…, mungkin dia lagi nerima telepon.”
Kucoba sekali lagi. Lagi, dan lagi. Tapi nomor Dewi tetap tidak bisa dihubungi. Apa yang terjadi dengan Dewi? Tidak seperti biasanya dia mematikan HP-nya.
“Kalo tetep nggak bisa, kita pulang saja?” Doni mulai bosan menunggu. Sudah hampir setengah jam aku dan Doni ada di gang ini. Seperti orang tidak ada kerjaan saja. Sudah sekian banyak pasang mata yang lewat dan melirik aneh ke arah kami. Pasti mereka menyangka yang bukan-bukan.
“Aku punya alamatnya, Don. Jadi kita harus masuk ke sana.”
“Masuk ke komplek itu?”
“Ya, siapa tahu Dewi memang sedang ada kerjaan yang nggak bisa ditinggalin.”
Tanpa meminta persetujuan Doni, aku langsung menghidupkan motor. Pelan aku memasuki gang yang baru kali ini aku singgahi ini. Kulihat sekeliling. Deretan rumah berjajar di sepanjang jalan. Sampai di sebuah warung aku bertanya pada seorang ibu yang sibuk melayani beberapa orang pembeli.
“Maaf, Bu, numpang tanya. Nomor rumah ini ada di kawasan mana, ya?” aku menunjukkan secarik kertas berisi alamat yang diberikan Dewi lewat sms kemarin. Ibu itu bergantian memandang ke arahku dan ke arah Doni.
“Kalian pelanggan barunya, ya? Ah, gayanya saja anak itu insyaf. Ternyata masih nerima tamu juga?”
“Maaf, Bu. Kami teman Dewi,” agak gugup aku coba menjawab pernyataan sinis ibu itu. “Tapi, ini benar alamatnya Dewi, kan, Bu?”
“Ya, benar. Tapi Dewi sedang dilarikan ke rumah sakit. Kabarnya sih, Dewi jadi korban tabrak lari.”
Belum sempat aku bertanya lebih banyak pada ibu itu, kulihat sebuah ambulance dari arah jalan raya menuju tempat ini. Bunyi sirene ambulance itu semakin membuat pikiranku tidak tenang. Aku mematung, hingga mobil itu berhenti persis di depanku.
Dari beberapa rumah kulihat puluhan anak usia SD-SMP berlarian menuju ambulance. Anak-anak itu? Apakah mereka anak-anak binaan Dewi? Mereka menangis histeris begitu petugas mengeluarkan sesosok jasad kaku dari mobil ambulance. Dewi? Aku dan Doni segera menghampiri anak-anak yang histeris itu. Mereka benar-benar terpukul dengan kejadian yang menimpa Dewi. Aku jadi teringat kata-kata Dewi yang begitu semangat mengajakku bergabung untuk mendampingi anak-anak itu. Anak-anak yang butuh dukungan moral dan motivasi agar mereka tidak salah memilih kehidupan di masa yang akan datang.
Aku masih shok dengan peristiwa yang terjadi di hadapanku. Semoga aku bisa melanjutkan niat sucimu itu, Dewi...! [*]
Aku segera menggeser kursor ke opsi permintaan pertemanan. Mengonfirmasi satu persatu hingga kursor yang kuarahkan sampai di permintaan ke lima belas. Aku coba eja namanya, “Gadis Dolly”. Penasaran, aku buka profil fotonya. Seorang gadis berambut sebahu. Lumayan manis. Tanpa ba-bi-bu lagi, aku langsung mengonfirmasinya. Selesai. Tinggal 7 pesan yang siap aku buka. Nama Gadis Gang Dolly ada di paling atas. Penasaran, aku langsung membuka pesan itu.
Salam kenal, Mas. Maaf jika mengganggu. Mungkin Mas sedikit kaget dengan namaku. Tenang saja. Itu bukan nama asli. Namaku Dewi. Sengaja aku pake nama samaran. Langsung saja. Begini, aku tertarik nge-add Mas setelah baca artikel Mas Wahyu di sebuah koran beberapa hari lalu. Aku langsung mencari FB Mas karena ingin sekali banyak diskusi tentang berbagai hal. Terutama yang berkaitan dengan tulisan Mas berjudul “Urgensi Pendidikan Moral di Lingkungan Prostitusi” itu. Cukup sekian dulu, ya. Karena aku harus kembali bekerja. Salam... (Gadis Dolly).
Untuk beberapa detik, aku terdiam sembari kembali memerhatikan rentetan kalimat dalam pesan teman baruku itu. Tulisanku memang dimuat sebuah media di kota ini beberapa hari lalu. Sebuah opini yang sebenarnya aku kembangkan dari proposal Tugas Akhir yang masih juga belum di-acc oleh dosenku.
Aku tidak mau berburuk sangka terhadap gadis itu. Aku tahu gang Dolly memang dikenal sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Tapi profil gadis itu sungguh membuatku semakin penasaran. Aku ingin mengenalnya lebih jauh. Paling tidak, aku bisa membuktikan kalau gadis itu benar-benar ada. Bukankah di dunia maya semua serbasemu?
***
Jam lima sore. Ruas jalan di sepanjang jalan Ahmad Yani macet total. Motorku nyaris tidak bisa bergerak. Kanan-kiri penuh. Aku berusaha hati-hati. Ya, siapa yang tidak terburu-buru di jam-jam macet seperti ini? Semua ingin lekas sampai di rumah setelah seharian sibuk di tempat kerja.
Begitu ada sedikit peluang, aku segera melarikan motorku. Membelah arus lalu lintas sepanjang jalan Ahmad Yani dan membelokkan arah ke pertigaan jalan Margorejo, tempat kosku.
“Dari mana saja, Yu? Sibuk banget kayaknya?” kulihat Doni, teman sekelasku duduk di kursi depan kamarku sambil menyemburkan asap rokoknya.
“Biasa, dari kampus,"
“Rajin amat. Santai aja, lagi. Kamu kan sudah mau garap skripsi?” tegasnya sambil mengeluarkan sebuah hand phone dari saku jaketnya.
“Justru itu, aku tidak mau keteteran. Semester ini harus selesai. Makanya langsung kuuber-uber dosen pembimbing. Tahu sendiri, kan, bagaimana sibuknya Pak Bambang? Hampir tiap hari beliau ke luar kota.”
“Namanya juga dosen, Yu. Kalo mahasiswa, kan, memang banyak santainya.”
“Kamu yang nyantai, ‘kali…” aku segera membuka pintu. Sementara Doni langsung melempar tubuhnya ke atas kasur lipat yang tergelar di lantai.
“Aku punya teman FB baru, Bro,” Doni tampak asik dengan HP-nya. Pasti dia lagi chating-an.
“Namanya juga di FB. Tiap hari pasti ada yang nge-add,” responku, sembari merapikan buku-buku yang berantakan di depan komputer.
“Yang ini lain, Bro. Namanya unik.”
“Sudah biasa ‘kali nama-nama pengguna FB yang aneh-aneh.”
“Tapi ini benar-benar aneh. Namanya Gadis Gang Dolly.”
“What??” Aku nyaris terlonjak saking kagetnya. “Kapan kamu berteman dengannya?”
“Baru setengah jam yang lalu. Sial kamu, Bro. Punya teman Gadis Gang Dolly nggak pernah bilang-bilang.”
“Jadi, kamu dapat dari daftar temanku?” Doni hanya nyengir. Persis kuda delman yang dipecut sang kusir.
***
“Aku mau ke Taman Bungkul, Don! Kalo kamu nggak ada acara, di sini aja. Nungguin kamarku.”
“Enak aja. Emang aku jin dijadiin penunggu kamarmu? Nggak, ah,” respon Doni judes. Itu memang kebiasaannya. Paling sebentar lagi dia akan mengiyakan setelah aku mengiming-imingi sesuatu. “Ada film baru, nggak?” lanjutnya.
“Banyak. Cari aja di folder film. Aku kemarin ngopy di warnet dekat kampus.”
“Film ‘hotspot’-nya ada, nggak? Ha…ha…” Doni ngakak. Ingin sekali aku menimpuknya. Aku paham apa maksud Doni.
“Gila, dasar ngeres. Otakmu kudu dicuci tuh! Emang, kapan kamu pernah menemukan film begituan di komputerku?” aku membalasnya tak kalah sadis.
***
Sore hari di Taman Bungkul tampak ramai. Beberapa anak muda bergerombol. Aku segera menuju sebuah bangku taman yang kosong. Kuedarkan pandangan ke segala penjuru taman. Mencari sosok Dewi, Gadis Gang Dolly itu. Di sms dia bilang memakai baju biru dan celana jeans. Aku sengaja tidak menghubunginya karena mungkin dia masih dalam perjalanan. Atau, dia juga sedang mencari-cariku? Aku baru saja mau meneleponnya ketika hand phone di saku celana menjerit-jerit.
“Kau di mana, Dewi?” Aku langsung bertanya.
“Di pojok Timur. Mas di mana?”
“Aku di sebelah barat taman. Dekat trotoar. Biar aku ke tempatmu, ya.” kututup telepon setelah kulihat sesosok perempuan berdiri dan melihat ke arahku.
“Sudah lama nunggu, ya?”
“Nggak, kok. Baru saja nyampe,”
“Kita di sana aja, yuk. Dekat bapak penjual jagung bakar itu,” ajakku.
Dewi mengangguk sambil menyejajari langkahku.
“Rame juga, ya, Taman Bungkul di sore hari?” seru Dewi seraya mengambil tempat duduk. “Mas sering ke sini, ya?”
“Hm… nggak juga, sih. Paling kalo malem minggu. Sehabis ngumpul-ngumpul di Royal Plaza biasanya aku ke sini bareng teman-teman,” aku merasa Dewi adalah teman baru yang familiar. Mudah akrab, juga ramah.
“Oh, ya, sudah lama nulis di media? Pertama kali baca tulisan itu aku langsung tertarik untuk mengenal penulisnya. Tulisan itu kurasa sangat cocok sekali dengan lingkungan tempat tinggalku,” Dewi mulai tampak serius dengan obrolannya.
“Maksudmu, Dolly?”
“Ya, gitu. Aku tahu, daerah itu memang dikenal sebagai tempat ‘jajan’-nya para lelaki hidung belang. Mencari kepuasan dunia dengan memilih tempat itu sebagai pilihan favoritnya.”
“Maaf, apa kamu memang asli dari daerah itu?”
“Nggak. Aku pendatang juga, seperti mayoritas penghuni daerah itu. Dua tahun lalu aku datang ke kota ini, dengan maksud mencari pekerjaan. Tapi….” Dewi menghentikan kalimatnya. Matanya menerawang, melihat ke tengah-tengah taman yang mulai dijubeli para pengunjung. “Aku terperangkap di tempat itu.”
Aku tersentak. Rasa risih tiba-tiba menyelinap dalam batinku mendengar pengakuan Dewi. Apa kata teman-teman jika mereka tahu bahwa aku mempunyai teman seorang…. Ah, aku tidak boleh menghakimi orang lain.
“Tapi, sejak lima bulan terakhir, aku berhenti total,” tegas Dewi seperti mengetahui kegelisahan hatiku.
“Lalu sekarang tinggal di mana?” Diam-diam, rasa simpati menghinggapi ruang hatiku.
“Aku masih di daerah situ. Dua bulan ini aku mencoba mendampingi adik-adik atau anak-anak para ‘pekerja’ di sana. Mereka butuh dukungan moral agar tidak minder dengan status orangtuanya. Makanya, aku menghubungimu. Siapa tahu kau bisa membantu kesulitan-kesulitan mereka. Paling tidak, mereka bisa diberi motivasi menghadapi masa depan yang lebih baik.” Ada nada harap pada kalimat terakhir Dewi. Sementara pikiranku berkelana entah ke mana.
“Maaf, Dewi. Selama ini aku memang belum pernah berpikir ke sana. Tapi akan aku coba. Yang penting, kau juga ikut mendampingi mereka. Aku orang baru yang masih belum mengenal karakter dan kebiasaan lingkungan sana. Nggak lucu, kan, kalo aku disangka pelanggan baru? He...he….” Aku sengaja mencairkan suasana karena kulihat Dewi tampak serius.
“Tenang saja, Mas Wahyu. Jadi, kapan nih Mas bisa main-main ke sana?” lagi-lagi pertanyaan Dewi membuatku terpaku. Ke lokasi itu? Mana aku berani kalau sendirian? Tapi bukankah Dewi tadi sudah bilang kalau semua akan baik-baik saja?
“Aku akan hubungi kamu lagi,” kurasa, itu jawaban paling tepat untuk menjawab pertanyaan Dewi.
Menjelang maghrib, suasana Taman Bungkul semakin ramai. Aku segera pamitan ke Dewi. Lagian, Dewi harus segera pulang. Dia tidak membawa kendaraan sendiri.
“Bener, nggak perlu diantar, nih?”
“Nggak, terima kasih. Aku naik bis kota saja. Sekali lagi terima kasih sudah mau mendengarkan curhatku.” Dewi tersenyum.
***
“Apa, ke Dolly?” Doni nyaris berteriak.
“Huss, biasa aja kenapa, sih? Nggak enak sama penghuni kamar sebelah.”
“Gila kamu, Yu. Aku saja yang asli arek Suroboyo ini nggak pernah ke tempat begituan. Emang ngapain? Jangan bilang kamu mau ‘jajan’ di sana, ya. Kayak yang nggak ada cewek aja. Di kampus banyak cewek yang bisa kamu pacari,” sudah kuduga Doni akan menjadi orang paling bawel sedunia mendengar ajakanku. Mungkin karena selama ini dia nggak pernah melihat aku neko-neko.
“Sudah ngomongnya? Makanya dengerin dulu orang ngomong. Aku ke sana untuk memenuhi ajakan Dewi yang juga teman FB-mu itu.”
“Apa? Jadi kamu sudah sejauh itu mengenal perempuan itu? Bener-bener sinting kamu.”
“Maksudku, Dewi ngajak aku untuk membantu mendampingi anak-anak para ‘pekerja’ di sana. Mereka butuh motivasi agar mereka tidak minder dengan status sosial orangtuanya yang kadung dicap tidak bener itu. Gitu lho, Don…!”
“Oh, ngomong dong dari tadi!” Doni memonyongkan mulutnya. “Tapi, kamu sudah yakin dengan tawaran perempuan itu? Jangan-jangan, kamu hanya dipancing agar mau jadi pelanggannya?”
“Hati-hati kalo ngomong. Dewi itu sudah ‘pensiun’. Dia bekerja di kafe sakarang. Tapi, dia berusaha mendampingi adik-adik di sana. Dewi memang nggak pernah kuliah di Psikologi. Tapi dia sudah paham karakter anak-anak di sekitarnya. Kita hanya diminta untuk mendampinginya agar dia tidak sendirian. Agar anak-anak di sana juga tahu kalo tidak semua orang memandang sebelah mata kehidupan mereka. Aku yakin, mereka nggak pernah mau dilahirkan di lingkungan seperti itu.”
Kulihat Doni manggut-manggut. Kuharap dia benar-benar paham dan mau menemaniku ke sana.
***
Setelah hampir setengah jam menerobos kemacetan kota di sepanjang jalan Ahmad Yani, akhirnya, aku sampai di komplek Dolly. Tepat di ujung gang, aku menghentikan motor.
“Kok aku jadi deg-degan gini, Yu?” suara Doni, sembari turun dari atas boncengan motor. “Aku khawatir ditangkap para mucikari di dalam," Doni semakin menyeracau, membuatku ikut-ikutan tegang.
“Aku telepon Dewi saja, ya?” kuambil HP dan menghubungi Dewi.
Tut..tut…tut… Ah, nomornya tulalit.
“Gimana? Coba aja lagi…, mungkin dia lagi nerima telepon.”
Kucoba sekali lagi. Lagi, dan lagi. Tapi nomor Dewi tetap tidak bisa dihubungi. Apa yang terjadi dengan Dewi? Tidak seperti biasanya dia mematikan HP-nya.
“Kalo tetep nggak bisa, kita pulang saja?” Doni mulai bosan menunggu. Sudah hampir setengah jam aku dan Doni ada di gang ini. Seperti orang tidak ada kerjaan saja. Sudah sekian banyak pasang mata yang lewat dan melirik aneh ke arah kami. Pasti mereka menyangka yang bukan-bukan.
“Aku punya alamatnya, Don. Jadi kita harus masuk ke sana.”
“Masuk ke komplek itu?”
“Ya, siapa tahu Dewi memang sedang ada kerjaan yang nggak bisa ditinggalin.”
Tanpa meminta persetujuan Doni, aku langsung menghidupkan motor. Pelan aku memasuki gang yang baru kali ini aku singgahi ini. Kulihat sekeliling. Deretan rumah berjajar di sepanjang jalan. Sampai di sebuah warung aku bertanya pada seorang ibu yang sibuk melayani beberapa orang pembeli.
“Maaf, Bu, numpang tanya. Nomor rumah ini ada di kawasan mana, ya?” aku menunjukkan secarik kertas berisi alamat yang diberikan Dewi lewat sms kemarin. Ibu itu bergantian memandang ke arahku dan ke arah Doni.
“Kalian pelanggan barunya, ya? Ah, gayanya saja anak itu insyaf. Ternyata masih nerima tamu juga?”
“Maaf, Bu. Kami teman Dewi,” agak gugup aku coba menjawab pernyataan sinis ibu itu. “Tapi, ini benar alamatnya Dewi, kan, Bu?”
“Ya, benar. Tapi Dewi sedang dilarikan ke rumah sakit. Kabarnya sih, Dewi jadi korban tabrak lari.”
Belum sempat aku bertanya lebih banyak pada ibu itu, kulihat sebuah ambulance dari arah jalan raya menuju tempat ini. Bunyi sirene ambulance itu semakin membuat pikiranku tidak tenang. Aku mematung, hingga mobil itu berhenti persis di depanku.
Dari beberapa rumah kulihat puluhan anak usia SD-SMP berlarian menuju ambulance. Anak-anak itu? Apakah mereka anak-anak binaan Dewi? Mereka menangis histeris begitu petugas mengeluarkan sesosok jasad kaku dari mobil ambulance. Dewi? Aku dan Doni segera menghampiri anak-anak yang histeris itu. Mereka benar-benar terpukul dengan kejadian yang menimpa Dewi. Aku jadi teringat kata-kata Dewi yang begitu semangat mengajakku bergabung untuk mendampingi anak-anak itu. Anak-anak yang butuh dukungan moral dan motivasi agar mereka tidak salah memilih kehidupan di masa yang akan datang.
Aku masih shok dengan peristiwa yang terjadi di hadapanku. Semoga aku bisa melanjutkan niat sucimu itu, Dewi...! [*]
bacanya pelan-pelan yo gan biar ga keselek

sekian dulu trit ane kali ini moga ada yg nimpuk pake


Diubah oleh Maraven 07-07-2013 12:28
0
18K
Kutip
108
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan