Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

baskombintaroAvatar border
TS
baskombintaro
Mereka “Tasripin-Tasripin” Lain

Hari masih subuh, Indah Sari sudah sibuk memasak di dapur. Nasi dan lauk seadanya dia siapkan untuk sarapan bersama ibunya yang mengalami gangguan jiwa, Tarmini, serta tiga adiknya: Supriyati Astuti (Septi, 15), Julia (13), dan Sayang (5).

”Lauknya itu daun singkong yang tumbuh di sekitar rumah,” kata Indah kepada wartawan VIVAnews, Rabu, 8 Mei 2013, saat ditemui di rumahnya, Dusun Batur, Desa Penusupan, Kecamatan Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah.

Indah kini berumur 18 tahun, namun dia baru duduk di kelas IX SMPN 4 Rembang. Dua adiknya, Septi dan Julia sama-sama duduk di kelas VII. Mereka belajar di sekolah yang sama.

Tiap pagi, remaja ini harus bergulat mengurus ketiga adik dan ibunya sebelum berangkat ke sekolah, yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya.

Keluarga yang serba kekurangan ini tinggal di sebuah rumah kayu berukuran 5 x 6 meter yang mereka sewa Rp4 juta tiap tahun. Meski tahun berjalan hampir habis dalam hitungan bulan, mereka baru mencicil Rp1 juta. Rumah itu sudah reot. Banyak lubang di sana sini hanya ditambal anyaman bambu seadanya.

Rumah yang berdiri di atas tanah bengkok desa itu memiliki tiga bagian. Ruang utama atau ruang tamu berisi satu set tempat duduk yang sudah lusuh dan sebuah tempat tidur kayu yang hanya beralaskan tikar. Dua peralatan kerja untuk membuat bulu mata palsu tergeletak di lantai tanah yang bergelombang.

Ruang berikutnya lebih sempit. Sepertinya kamar tidur. Isinya: dua ranjang kayu beralaskan plastik lusuh. Di atasnya, ada dua kardus compang-camping berisi tumpukan baju yang berserakan. Kamar ini pengap dan gelap. Garis-garis sinar kecil menerobos masuk dari rongga dinding yang bolong-bolong.

Di sinilah Indah dan ketiga adiknya tidur. Tanpa kasur.

Di bagian belakang --ini mestinya dapur-- ada rak hampir roboh yang berisi perabotan kumuh dan sebuah tungku yang tersusun dari tiga batu, yang setiap hari digunakan Indah memasak.

Untuk mencari nafkah, sepulang sekolah, Indah dibantu kedua adiknya membuat bulu mata palsu hingga larut malam. Pabrik yang mempekerjakan mereka sebagai buruh memberi upah ala kadarnya, Rp150 ribu tiap bulan. Dan itulah pemasukan rutin Indah sekeluarga itu guna menyambung hidup, termasuk membiayai sekolah.

Hampir tiap hari, Indah mengaku kesulitan membeli bahan makanan sekadarnya untuk dimasak. Jika sudah begitu, untuk mengganjal rasa lapar, dia hanya merebus singkong. Berhutang di warung, dia sudah malu karena tak kunjung sanggup membayar. Beruntung, sesekali dia mendapat sedekah dari guru-gurunya di sekolah yang iba melihat nasibnya.

Jalan hidup yang terjal ini dia tempuh sejak lima tahun, kala masih duduk di bangku kelas IV SD. Saat itu, meski ayahnya masih hidup, kondisi ekonomi keluarga Indah sangat kekurangan. Ayahnya, Winarto, hanya seorang juru kunci di sebuah petilasan. Penghasilannya kecil. Untuk membeli beras saja, mereka harus bergantung pada kakak Indah, Tanto Purnomo, yang bekerja di sebuah bengkel di Kalimantan. Meski rutin mengirimkan uang, jumlahnya kerap tidak mencukupi.

“Usai kenaikan ke kelas IV SD, Ibu sudah menyuruh saya keluar, disuruh bantu kerja saja,” kata Indah. Tapi, remaja ini bertekad terus bersekolah, meski harus membanting tulang. Sejak itulah dia mulai memburuh membuat bulu mata palsu di rumahnya.

Keadaan makin memburuk setelah ayah Indah meninggal sekitar setahun yang lalu. Beban Indah sebetulnya bisa dibilang berkurang, karena tidak perlu lagi memikirkan makan dan biaya pengobatan sang ayah yang sakit-sakitan. Namun, ya Allah, giliran ibunya yang terganggu jiwanya, tak kuat menanggung beban berat ini.

Jiwa Tarmini goyah usai melahirkan si bungsu. Sejak itu, setiap hari perempuan ini hanya tercenung di dipan di ruang tamu. Sesekali, dia bicara dan tertawa-tawa sendiri. Tak seperti warga lain yang menggunakan bahasa daerah, Tarmini selalu mengoceh dalam bahasa Indonesia.

Dengan kondisi seperti ini, Indah praktis menjadi satu-satunya tiang keluarga.

Dan Allah memang maha mendengar.

Kisah hidup Indah diangkat media. Simpati pun berdatangan. Anggota TNI dari Korem Banyumas dan Kodim Purbalingga, bersama puluhan warga, menyingsingkan lengan baju merenovasi rumahnya.

Ibunda Indah langsung dibawa ke RS TNI Angkatan Darat di Purwokerto. Menunggu rumah mereka beres diperbaiki, Indah bersama ketiga adiknya diungsikan ke sebuah resor di kawasan wisata Owabong, Purbalingga.

Seandainya pemerintah menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab konstitusionalnya, apa yang diinginkan Indah?

"Saya bingung, Mas. Ya, pokoknya saya ingin tetap terus sekolah di SMK, saya ingin jadi atlet bulutangkis, selain itu saya ingin ibu saya sembuh biar dapat mengurus adik-adik," kata Indah.

Pemulung berseragam SD

Nasib yang hampir sama juga melilit Muhammad Said. Dia jauh lebih belia dari Indah. Said adalah siswa kelas VI SD Mimbaan I Situbondo, Jawa Timur. Habis sekolah, dia jadi pemulung untuk menafkahi empat adik dan satu kakak perempuannya.



Masih berseragam merah-putih, tiap hari dia mengais-ngais sampah layak daur ulang. “Sehari dapat dua kresek, kadang satu,” katanya, tanpa rasa malu.

Berapa yang dia dapat?

Sekitar Rp20-40 ribu per hari. Tapi itu pun tak menentu, tergantung ada sampah apa di sepanjang jalan menuju rumahnya.

Said terpaksa jadi pemulung. Sang ibu bekerja sebagai TKI di luar negeri, sedangkan ayahnya bekerja serabutan. Sehari-hari, keluarga Said hidup jauh dari pas-pasan. Tak sesengsara Indah, dia “masih” bisa rutin menyantap nasi, 1-2 bungkus mie instan, dan tempe.

Ada banyak Tasripin

Indah dan Said adalah dua contoh yang membuktikan bahwa di Republik yang berfalsafahkan Pancasila ini ada begitu banyak Tasripin.

Tasripin adalah bocah penggembala kambing di Desa Gunung Lurah, Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Baru berumur 13 tahun dan masih ingusan (dalam arti literer), dia jadi buruh menggembalakan kambing orang untuk menafkahi tiga adiknya yang masih kecil-kecil.

Di gubuknya yang hampir roboh, dialah yang paling “dewasa”. Ayahnya yang jadi buruh kelapa sawit di Kalimantan, seperti tak ambil peduli dengan nasib anak-anaknya di rumah. Tasripin praktis menjadi ayah buat adik-adiknya. Baca kisah Tasripin dengan mengklik tautan ini.

Ketegaran Tasripin menghadapi hidup yang getir diekspos lalu besar-besaran oleh media dan luas dipercakapkan di Twitter. Tasripin pun jadi inspirasi dan menggugah banyak orang. Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi perhatian khusus pada nasib bocah ini.
0
1.5K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan