Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lambaroAvatar border
TS
lambaro
Tentang Perempuan dan Lemahnya Proteksi Diri yang Mereka Miliki.
agak panjang sih. tapi ceritanya keren dan banyak pelajaran yang bisa di ambil khusunya buat perempuan.
bakar rokok dulu gan biar makin nikmat bacanya. emoticon-Malu (S)
dan jangan lupa di emoticon-Rate 5 Star

Malam itu (15/11) adalah malam penutupan rangkaian acara Unsyiah Fair yang ke-8, berlangsung di AAC Dayan Dawood Universitas Syiah Kuala, acara ini dihadiri oleh 3000- an hadirin yang ingin menikmati rangkaian pertunjukan seni yang ada malam itu.

Kala itu, saya datang agak telat, sehingga melewatkan penampilan tari Ratoh Duek yang amat saya gemari. Karena saking penuhnya ruang event hall AAC Dayan Dawood, untuk memasuki ruangan itu pintu akses yang tersedia hanya dari pintu belakang yang ada di lantai dua. Ketika tiba di ruang acara, terlihat penonton sudah memenuhi setiap ruang kosong yang ada di ruangan pertemuan itu.

Ketika mengamati seisi ruangan, terlihat jika ruangan itu dipenuhi oleh hampir 60% perempuan. Karena semua tempat duduk sudah terisi, saya memilih berdiri di posisi belakang. Beberapa waktu berselang di depan saya berdiri dua orang perempuan, mereka mengenakan celana berbahan jeans dan pakaian yang terbuat dari katun. Disamping saya berdiri dua orang lelaki yang berumur sekitaran 21-22 tahun.

Saya begitu menikmati pertunjukan seni yang ditampilkan malam itu, terlebih lagi malam itu juga ditampilkan pertunjukan seni dari puluhan mahasiswa Papua yang mulai semester ini berkuliah di Universitas Syiah kuala.

Penampilan Didong Gayo, Beat Box, Stand Up Comedy, Tarian dari teman-teman Papua membuat acara malam itu menjadi meriah.

Malam itu saya menikmati rangkaian acara itu sambil berdiri, sekitar dua jam tak beranjak dari posisi saya semula. Melihat didepannya ada dua orang perempuan yang ikutan berdiri, dua lelaki disamping saya sesekali mulai menggoda dua perempuan tersebut.

Saya tak terlalu memperdulikan gerak gerik dua lelaki itu, pandangan mata saya tetap pada panggung utama yang menghadirkan tampilan tampilan ragam produk kesenian.

Berlalunya waktu, dua lelaki yang ada di samping saya ini semakin melancarkan rayuannya terhadap dua wanita yang berdiri didepan mereka, saya tak mengingat bentuk rayuannya bagaimana. Dua lelaki ini terlihat begitu mahir dalam berinteraksi dengan perempuan, mereka tak segan segan langsung meminta PIN BlackBerry dan nomor ponsel kedua perempuan itu.

Permintaan-permintaan yang diajukan dua lelaki ini tak mereka gubris, akan tetapi dua lelaki ini tak mudah menyerah, melihat sang perempuan tak memberikan nomer ponsel dan PIN BB-nya, lalu mereka memberikan ponsel mereka ke sang perempuan agar mereka sendiri yang menuliskan nomor ponsel dan PIN mereka.

Dengan pendekatan yang amat giat selama 30-an menit, dua orang lelaki ini mampu mendapatkan nomer ponsel, PIN BB dan informasi detail mengenai dua perempuan ini. Menyadari jika mereka sukses mendapatkan perhatian dari dua perempuan itu malam itu, dari kejauhan teman mereka yang duduk di tribun penonton memberi kode acungan jempol. Dengan penuh kebanggaan tanpa diketahui oleh dua perempuan yang ada di depan mereka, kedua lelaki ini mengangkat tinggi tinggi ponsel mereka sambil memberi kode kepada temannya yang ada di tribune jika mereka berdua mampu mendapatkan nomer kontak dua perempuan itu.

Malam itu, disela sela melayani hujanan rayuan dari dua lelaki itu, sesekali dua perempuan itu melihat kebelakang, melihat ke arah saya. Saya tak begitu memerdulikan dua perempuan itu. Karena tujuan saya malam itu untuk menikmati ragam pertunjukan seni.

Malam itu, saya tak tahu lagi apa kelanjutan setelah dua perempuan itu memberikan nomer kontaknya kepada sang lelaki. Toh malam itu ketika nomer ponsel, PIN BB dan alamat rumah sudah didapatkan, dua lelaki itu pergi menghilang di tengah kerumunan.

Melihat apa yang terjadi malam itu, saya jadi terpikir mengenai betapa lemahnya self protection (proteksi diri) dari kaum perempuan. Hanya dengan beberapa rayuan dan pendekatan yang bertubi-tubi dengan mudahnya perempuan kini memberikan semua akses informasi mengenai diri mereka.

Bagi saya, jika hal ini dikatakan adalah gambaran dari keramahtamahan budaya timur, tentu ini adalah pemahaman akan budaya timur nan salah. Keramahtamahan dalam budaya timur tak membenarkan untuk kita bertindak sembarangan, tak membenarkan kita untuk dengan mudahnya membuka akses diri terhadap siapapun.

Bulan 7 lalu di Jakarta, dalam sebuah pertemuan Indonesian FGD Camp, saya dan beberapa teman perwakilan dari penjuru Indonesia membuat rumusan tentang rumusan tanggapan masyarakat mengenai Undang Undang KIP (Keterbukaan Informasi Publik). Rumusan itu adalah permintaan dari Unit Kerja Presiden untuk Percepatan Program Reformasi (UKP4R), dimana kami diminta untuk mewakili publik membuat rumusan tanggapan publik terhadap undang undang itu.

Dalam FGD itu, kebetulan tim saya ditunjuk untuk membuat rumusan mengenai Privacy dan Keamanan Data. Di tim kami saat itu ada sekitar 10 orang anggota, dalam diskusi di tim kami itu, banyak hal yang menjadi perdebatan, misal tentang data dari E-KTP, apakah itu dijamin akan aman? Apakah hal itu akan menjamin keamanan warga negara dari pencurian data? Apakah warga negara akan bermasalah ketika memberikatan berita publik tertentu?

Itu adalah sebagian kecil dari apa-apa yang kami diskusikan, dalam perspektif kami kala itu, keberadaan data mining dari E-KTP adalah hal yang begitu membahayakan jika nantinya terjadi penyalahgunaan dan pencurian data.

Saat itu, salah satu perdebatan kami menjurus bagaimana sebuah budaya tertentu memandang privasi, di pertemuan itu mengemuka fakta jika dalam budaya kita masyarakat belum teramat sadar akan pentingnya menjaga privasi. Berbeda halnya dengan di beberapa negara barat, yang masyarakatnya sudah sangat paham akan pentingnya menjaga privasi data diri.

Berbicara privasi sebenarnya bukan hanya berbicara tentang apakah kita terbuka atau tidak, tapi lebih pada apakah kita menghargai keamanan diri atau tidak.

Apa yang saya lihat malam itu di malam seni penutupan Unsyiah Fair-8 seperti menjelaskan mengenai lemahnya kita masyarakat timur dalam memproteksi diri. Apa yang ditampakkan oleh dua perempuan itu menjadi contoh jika proteksi diri di kalangan perempuan kini amat lemah.

Di dunia yang kini semakin terbuka, bentuk bentuk kejahatan terjadi karena mudahnya pelaku dalam mengakses informasi dari sang korban. Hal itu terjadi baik di dunia maya maupun dunia maya. Di facebook, kerap terjadinya penculikan dikarenakan sang korban yang biasanya adalah perempuan dengan gampangnya mengumbar informasi mereka, dengan beberapa chatting dan rayuan, sang pelaku akan mudah menembus proteksi diri sang korban. Hal ini pada akhirnya berujung pada penculikan yang diawali oleh kegagalan dari perempuan membangun proteksi diri dalam berinteraksi.

Tadi pagi melalui mobile phone, saya membaca berita kompas.com mengenai praktik pramuriaan mahasiswa yang ada di Jogjakarta, dari wawancara yang dilakukan oleh sang wartawan kepada para perempuan perempuan itu, awal mula mereka menjadi pramuria dikarenakan karena keperawanan mereka telah direnggut oleh sang kekasih ketika mereka masih SMP atau SMA. Alasan yang mereka hadirkan pun sangat miris, mereka takut jika tak memberikan keperawanannya nantinya mereka akan diputuskan oleh sang pacar. Minimnya proteksi diri menjadikan hilangnya keperawanan mereka menjadi permulaan dari banyak gadis itu menggeluti profesi sebagai ayam kampus.

Awal bulan lalu, di sebuah pertemuan di Jakarta, saya sempat berdiskusi singkat dengan salah pimpinan lembaga Indonesian AIDS Coalition, namanya Ayu Oktariani. Kami berbicara tentang bagaimana tingkat kepedulian pemerintah terhadap isu AIDS. Beberapa waktu sebelumnya, saya amat terkesan dengan pemaparan Ayu mengenai pola penyebaran AIDS di Indonesia. Di tahun 2011 menurut Ayu, di Indonesia tingkat penyebaran AIDS di kalangan ibu rumah tangga jauh lebih tinggi dibanding tingkat penyebaran dikalangan PSK. Di Indonesia, tahun 2011 tingkat penyebaran AIDS di kalangan ibu rumah tangga berkisar 600-an sedangkan dikalangan PSK sebanyak 140-an.

Yang amat menyedihkan, 600-an perempuan ini tertular AIDS bukan akibat dari kesalahan mereka, tapi akibat dari kesalahan pasangan mereka. Penjelasan Ayu kala itu membuka mata saya jika penyebaran AIDS di Indonesia tak selalu karena praktik negatif sang korban, tapi tepatnya mereka adalah korban dari kesalahan pasangan mereka dalam memproteksi diri sehingga membuat proteksi diri ibu-ibu rumah tangga ini juga terkena imbasnya.

Apa yang diceritakan Ayu kala itu semakin menjelaskan jika kini yang dibutuhkan oleh perempuan adalah proteksi diri yang amat ketat, tak sembarangan memberikan informasi diri, tak sembarangan larut dalam melayani rayuan dan tak sembarangan dalam hal memperdulikan kualitas kesehatan adalah hal yang teramat penting untuk diterapkan.

Beberapa tahun lalu, ketika masih kuliah di MIPA Unsyiah, ada hal yang menarik terjadi. Di kelas Bahasa Inggris yang saya ambil dan diasuh oleh seorang dosen perempuan, sang dosen membuat aturan dalam hal interaksi posisi duduk di dalam kelas. Kami yang laki laki diharuskan duduk di depan dan perempuan di belakang.

Apa yang beliau praktikkan itu bukan tanpa alasan. Beliau menjelaskan bagaimana pola antara pria dan wanita dalam melihat lawan jenis. Kata beliau, pandangan mata lelaki itu tiga dimensi sedangkan perempuan pandangan matanya dua dimensi.

Jika lelaki duduk dibelakang, maka mata mereka yang berpandangan tiga dimensi akan mampu menerawangi dan mengimajinasikan apa apa yang ada di tubuh perempuan, dan jika hal itu terjadi amat tak baik karena mampu mengalihkan konsentrasi kaum lelaki. Sedangkan bagi kaum perempuan, dengan pandangan mata yang hanya dua dimensi, mereka tak mampu memvisualisasikan apa apa saja yang ada di tubuh lelaki, dan hal ini tak berdampak pada tingkat konsentrasi mereka.

Saat itu, apa yang dipraktikkan oleh dosenj saya yang menyuruh kami duduk di depan terlihat amat efektif. Teman teman saya yang biasanya riuh ketika duduk dibelakang kini lebih tenang, dan mahasiswi perempuan pun semakin terjaga dari rayuan, godaan dan obrolan mengenai visualisasi bentuk tubuh mereka nan aduhai oleh para lelaki.

Apa yang dipraktekkan oleh dosen saya tersebut dan apa yang di tampilkan oleh dua perempuan malam itu di AAC Dayan Dawood mengingatkan saya akan sebuah pepatah yang mengatakan jika "kelemahan lelaki itu di mata dan kelemahan perempuan itu ditelinga".

Dengan beberapa rayuan, dua perempuan itu dengan mudahnya memberikan akses data diri mereka dan dengan lemahnya proteksi mata lelaki sehingga membuat mereka dengan gampangnya mengekspresikan visualisasi bentuk tubuh dan merayu kedua wanita itu.

Kini, pepatah itu sepertinya tak begitu berlaku lagi. Kelemahannya kini berada pada ranah perempuan. Kemampuan perempuan membangun proteksi dalam diri mereka, baik dengan cara melindungi diri dengan pakaian sopan dan melindungi diri dari mudahnya membagi data diri dan akses relasi pada akhirnya dapat menjauhkan mereka dari bentuk bentuk kejahatan yang mengintai mereka saat ini, menjauhkan mereka dari lenyapnya harga diri dan melindungi mereka dari keamanan seperti penculikan, penodaan dan keamanan kesehatan dalam bentuk penyebaran penyakit seksual.

Kini pilihatnya ada ditangan sang perempuan, memperkuat self protection yang berujung pada penghormatan dan keselamatan diri atau memilih untuk menjadi sembarangan terhadap diri.

Oh ya, menurut data Koalisi Perempuan, di tahun 2011, tingkat kekerasan yang dialami oleh perempuan di Indonesia mencapai 100 ribuan kasus. Ini menjadi pertanda jika kini adalah saatnya bagi perempuan untuk semakin memperkuat proteksi diri, tak bisa lagi nanti.

sumber: dari facebook kawan
0
1.6K
3
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan