- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Tolong Bantu Kirim : Surat Untuk Presiden


TS
anakbodoh
Tolong Bantu Kirim : Surat Untuk Presiden
Tolong bantu kirim surat ini buat pak SBY
ini saya kutip dari notes Achenk Waldy : Surat Untuk Presiden
Pak Presiden yang baik,
Mari kita berbicara jujur tentang kenaikan harga minyak, kami mungkin tidak pandai berhitung: Bagaimanasebenarnya harga minyak ditentukan? Bagaimana neraca perekonomian nasionaldiperlakukan? Atau pertimbangan apa yang dipakai sehingga satu-satunya pilihanuntuk ‘menyelamatkan seluruh bangsa’ harus sama dan dengan menaikkanharga-harga? Bagi kami, angka-angka selalu terdengar sebagai ilusi belaka, Pak.Setiap hari kami mendengar satuan ‘miliar’ atau ‘triliun’ disebutkan dalam berita-berita,tanpa pernah benar-benar melihatnya dalam bentuk yang sesungguhnya—apalagimenghitungnya satu per satu.
Hidup kami sederhana, disambunglembaran-lembaran uang recehan. Ilmu hitung kami kelas rendahan: berapa untukmakan sehari-hari, uang jajan anak sekolah, biaya transportasi, biaya listrikbulanan, dan kadang-kadang cicilan motor, dispenser atau DVD player. Tak perlukalkulator. Bila sedang beruntung, kami bisa punya sisa uang untuk jalan-jalandi akhir pekan. Bila sedang sulit, kami tidak kemana-mana, Pak: Kami mencarikebahagiaan gratisan di televisi—meski kadang-kadang justru dibuat pusingdengan berita-berita tentang beberapa anak buah Bapak yang korupsi.
Tahukah Bapak, dalam televisi,juga koran-koran dan majalah: kami seperti tak punya presiden! Kami seperti takpunya pemimpin! Negara ini terlanjur dikuasai para bandit, Pak!
Ah, mungkinkah Bapak tak sempatmenonton TV atau membaca koran sehingga Bapak tak mengetahuinya? Tapi, kemanasaja sih Bapak selama ini? Mengapa hanya muncul untuk bernyanyi, mengucapkanbelasungkawa, atau membacakan pidato-pidato bernada lemah yang berisi kabarburuk, permohonan maaf, dan keprihatinan?
Kami, rakyat biasa, sesekalibutuh kabar gembira, Pak! Kadang-kadang kami berkhayal bahwa jangan-jangan kamisedang hidup dalam sinetron? Mungkinkah yang berpidato di televisi itu bukanBapak—tapi kembaran Bapak yang menyamar atau tertukar? Mungkinkah kepala Bapakterbentur batu dan lantas hilang ingatan? Tetapi, tentu saja itu bukan kabargembira.
Pak Presiden yang baik,
Kelak bila harga BBM naik, dengangagah dan baik hati konon Bapak akan memberi kami kompensasi: Bapak akanmembuat kami mengantre untuk mendapatkan uang bantuan agar kami tak merasakesulitan. Tapi, pikiran kami sederhana saja, Pak, benarkah Bapak suka melihatkami mengantre—panjang-mengular dari Sabang sampai Merauke? Kami tidak sukaitu, Pak. Kami tak suka terlihat miskin, apalagi menjadi miskin. Kalau memangBapak punya uang untuk dibagikan kepada kami, pakailah uang itu, kami relameminjamkannya untuk menyelamatkan ‘perekonomian nasional’ yang konon sedanggawat itu. Tak perlu naikkan BBM, pakailah uang kami itu: kami relameminjamkannya untuk menyelamatkan bangsa!
Keluarga kami yang seorang petanidengan kerbau tak mungkin lagi bersaing dengan mesin-mesin yang membutuhkanbensin dan solar untuk berladang, kekuatan pangan jadi hambatan kekuatanekonomi Negara menjadi terhambat akibat biaya pertanian yang mahal dan merekapun gulung tikar beralih menjadi budak perusahaan, makan dengan mie instan Danmenjual lahan pertanian apa itu yang bapak inginkan?
Bila perlu, berdirilah di hadapan kami, katakan apa yang negara perlukan dari kami untuk menyelamatkan kegawatan bencana ekonomi negara ini? Bila Bapak perlu uang, kami akan menjual ayam,sapi, mesin jahit, jam tangan, atau apa saja agar terkumpul sejumlah uang untukmelakukan pembangunan dan penyelamatan perekonomian bangsa. Bila Bapak disandramafia, pejabat-pejabat yang ** SENSOR **, atau pengusaha-pengusaha yang menghisaprakyat, tolong beritahu kami: siapa saja mereka? Kami akan bersatu untuk membantumu melenyapkan mereka. Tentu saja, semoga Anda bukan salah satu bagian dari mereka!
Pak Presiden yang baik,
Berapa banyak perusahaan yang adadi negara ini pak? Apakah kami akan selalu bapak jadikan sebagai pengemis recehan dibalik keuntungan mereka yang meraup keuntungan besar dari Negara ini? Apakah bapak tidak berani menaikkan pajak bagi perusahaan-perusahaan asing tersebut?
Dengan alasan perusahaan yang menikmati untung dari BBM yang murah kenapa tidak tergantikan dengan pajak yangmereka bayarkan? Apakah bapak lupa untuk melirik mereka? Atau bapak takutdengan mereka.
Dengarkanlah kami, berdirilahuntuk kami, berbicaralah atas nama kami, belalah kami: maka kami akan selaluada, berdiri, bahkan berlari mengorbankan apa saja untuk membelamu. Berhentilahberdiri dan berbicara atas nama sejumlah pihak—membela kepentingan-kepentingangolongan. Berhentilah jadi bagian dari mereka yang akan kami benci sampai mati.Jangan jadi penakut, Pak Presiden, jangan jadi pengecut! lupakanbisikan-bisikan penjilat di sekelilingmu! Lalu dengarkanlah suara kami,tataplah mata kami: tidak pernah ada satupun pemimpin di atas dunia yangsanggup bertahan dalam kekuasaannya jika ia terus-menerus menulikan dirinyadari suara-suara rakyatnya!
Pak presiden,
Kami tidak ingin jadi pengemis dengan bantuan yang bapak berikan dari penambahan hutang Negara, yang hanyamenambah beban Negara. Bank dunia, Bank asia yang memberikan subsidi kepada kami dari pinjaman Negara akan menjadikan anak cucu kami semakin menderita,
Pak Presiden,
Sekali lagi, tentang kenaikan harga minyak, barangkali kami memang tak pandai berhitung. Tapi, sungguh, kami tak perlu menghitung apapun untuk memutuskan mencintai atau membenci sesuatu termasuk mencintai atau membencimu!
Salam Rakyat Indonesia
(mari kita kirimkan ke Presiden dan seluruh rakyat Indonesia)
ini saya kutip dari notes Achenk Waldy : Surat Untuk Presiden
Quote:
Pak Presiden yang baik,
Mari kita berbicara jujur tentang kenaikan harga minyak, kami mungkin tidak pandai berhitung: Bagaimanasebenarnya harga minyak ditentukan? Bagaimana neraca perekonomian nasionaldiperlakukan? Atau pertimbangan apa yang dipakai sehingga satu-satunya pilihanuntuk ‘menyelamatkan seluruh bangsa’ harus sama dan dengan menaikkanharga-harga? Bagi kami, angka-angka selalu terdengar sebagai ilusi belaka, Pak.Setiap hari kami mendengar satuan ‘miliar’ atau ‘triliun’ disebutkan dalam berita-berita,tanpa pernah benar-benar melihatnya dalam bentuk yang sesungguhnya—apalagimenghitungnya satu per satu.
Hidup kami sederhana, disambunglembaran-lembaran uang recehan. Ilmu hitung kami kelas rendahan: berapa untukmakan sehari-hari, uang jajan anak sekolah, biaya transportasi, biaya listrikbulanan, dan kadang-kadang cicilan motor, dispenser atau DVD player. Tak perlukalkulator. Bila sedang beruntung, kami bisa punya sisa uang untuk jalan-jalandi akhir pekan. Bila sedang sulit, kami tidak kemana-mana, Pak: Kami mencarikebahagiaan gratisan di televisi—meski kadang-kadang justru dibuat pusingdengan berita-berita tentang beberapa anak buah Bapak yang korupsi.
Tahukah Bapak, dalam televisi,juga koran-koran dan majalah: kami seperti tak punya presiden! Kami seperti takpunya pemimpin! Negara ini terlanjur dikuasai para bandit, Pak!
Ah, mungkinkah Bapak tak sempatmenonton TV atau membaca koran sehingga Bapak tak mengetahuinya? Tapi, kemanasaja sih Bapak selama ini? Mengapa hanya muncul untuk bernyanyi, mengucapkanbelasungkawa, atau membacakan pidato-pidato bernada lemah yang berisi kabarburuk, permohonan maaf, dan keprihatinan?
Kami, rakyat biasa, sesekalibutuh kabar gembira, Pak! Kadang-kadang kami berkhayal bahwa jangan-jangan kamisedang hidup dalam sinetron? Mungkinkah yang berpidato di televisi itu bukanBapak—tapi kembaran Bapak yang menyamar atau tertukar? Mungkinkah kepala Bapakterbentur batu dan lantas hilang ingatan? Tetapi, tentu saja itu bukan kabargembira.
Pak Presiden yang baik,
Kelak bila harga BBM naik, dengangagah dan baik hati konon Bapak akan memberi kami kompensasi: Bapak akanmembuat kami mengantre untuk mendapatkan uang bantuan agar kami tak merasakesulitan. Tapi, pikiran kami sederhana saja, Pak, benarkah Bapak suka melihatkami mengantre—panjang-mengular dari Sabang sampai Merauke? Kami tidak sukaitu, Pak. Kami tak suka terlihat miskin, apalagi menjadi miskin. Kalau memangBapak punya uang untuk dibagikan kepada kami, pakailah uang itu, kami relameminjamkannya untuk menyelamatkan ‘perekonomian nasional’ yang konon sedanggawat itu. Tak perlu naikkan BBM, pakailah uang kami itu: kami relameminjamkannya untuk menyelamatkan bangsa!
Keluarga kami yang seorang petanidengan kerbau tak mungkin lagi bersaing dengan mesin-mesin yang membutuhkanbensin dan solar untuk berladang, kekuatan pangan jadi hambatan kekuatanekonomi Negara menjadi terhambat akibat biaya pertanian yang mahal dan merekapun gulung tikar beralih menjadi budak perusahaan, makan dengan mie instan Danmenjual lahan pertanian apa itu yang bapak inginkan?
Bila perlu, berdirilah di hadapan kami, katakan apa yang negara perlukan dari kami untuk menyelamatkan kegawatan bencana ekonomi negara ini? Bila Bapak perlu uang, kami akan menjual ayam,sapi, mesin jahit, jam tangan, atau apa saja agar terkumpul sejumlah uang untukmelakukan pembangunan dan penyelamatan perekonomian bangsa. Bila Bapak disandramafia, pejabat-pejabat yang ** SENSOR **, atau pengusaha-pengusaha yang menghisaprakyat, tolong beritahu kami: siapa saja mereka? Kami akan bersatu untuk membantumu melenyapkan mereka. Tentu saja, semoga Anda bukan salah satu bagian dari mereka!
Pak Presiden yang baik,
Berapa banyak perusahaan yang adadi negara ini pak? Apakah kami akan selalu bapak jadikan sebagai pengemis recehan dibalik keuntungan mereka yang meraup keuntungan besar dari Negara ini? Apakah bapak tidak berani menaikkan pajak bagi perusahaan-perusahaan asing tersebut?
Dengan alasan perusahaan yang menikmati untung dari BBM yang murah kenapa tidak tergantikan dengan pajak yangmereka bayarkan? Apakah bapak lupa untuk melirik mereka? Atau bapak takutdengan mereka.
Dengarkanlah kami, berdirilahuntuk kami, berbicaralah atas nama kami, belalah kami: maka kami akan selaluada, berdiri, bahkan berlari mengorbankan apa saja untuk membelamu. Berhentilahberdiri dan berbicara atas nama sejumlah pihak—membela kepentingan-kepentingangolongan. Berhentilah jadi bagian dari mereka yang akan kami benci sampai mati.Jangan jadi penakut, Pak Presiden, jangan jadi pengecut! lupakanbisikan-bisikan penjilat di sekelilingmu! Lalu dengarkanlah suara kami,tataplah mata kami: tidak pernah ada satupun pemimpin di atas dunia yangsanggup bertahan dalam kekuasaannya jika ia terus-menerus menulikan dirinyadari suara-suara rakyatnya!
Pak presiden,
Kami tidak ingin jadi pengemis dengan bantuan yang bapak berikan dari penambahan hutang Negara, yang hanyamenambah beban Negara. Bank dunia, Bank asia yang memberikan subsidi kepada kami dari pinjaman Negara akan menjadikan anak cucu kami semakin menderita,
Pak Presiden,
Sekali lagi, tentang kenaikan harga minyak, barangkali kami memang tak pandai berhitung. Tapi, sungguh, kami tak perlu menghitung apapun untuk memutuskan mencintai atau membenci sesuatu termasuk mencintai atau membencimu!
Salam Rakyat Indonesia
(mari kita kirimkan ke Presiden dan seluruh rakyat Indonesia)
0
1.6K
Kutip
13
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan