Soekarno Akan Menangis Bila Tahu Kekayaan Papua Habis Dikeruk AS
TS
virtualghost
Soekarno Akan Menangis Bila Tahu Kekayaan Papua Habis Dikeruk AS
=========================================
Spoiler for === no repost ===:
Presiden Soekarno tahu kapitalisme pertambangan akan menerkam Indonesia bulat-bulat. Maka sejak awal Soekarno tak mau ada pemodal asing berkuasa. Dia menolak saat para pengusaha Amerika Serikat hendak membuka usaha tambang di Papua.
Tahun 1961, Soekarno berpendapat baru 20 tahun kemudian pemerintah bisa mengeluarkan izin perusahaan tambang asing beroperasi. Berarti sekitar tahun 1981. Saat itu Soekarno yakin Indonesia sudah memiliki ahli-ahli pertambangan sendiri sehingga tak hanya jadi jongos, tetapi bisa menjadi rekan. Para pengusaha asing pun tak bisa mengeruk kekayaan alam seenaknya.
Menurut sejarawan Asvi Marwan Adam, Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri. Asvi menuturkan sebuah arsip di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember 1965 sebuah tim dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia.
Soeharto yang mendukung pemodal asing, datang ke sana menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada peserta rapat dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan asing itu.
"Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu," kata Asvi saat dihubungi merdeka.com.
Dalam artikel berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport dterbitkan majalah Probe edisi Maret-April 1996, Lisa Pease menulis pada awal November 1965, Langbourne Williams, ketua dewan direktur Freeport, menghubungi direktur Freeport, Forbes Wilson.
Williams menanyakan apakah Freeport sudah siap melakukan eksploitasi di Papua. Wilson hampir tidak percaya mendengar pertanyaan itu. Dia berpikir Freeport akan sulit mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa.
Kekuasaan Soekarno berakhir setelah peristiwa 30 September. Jenderal Soeharto memulai rezim baru. Setelah dilantik, Soeharto segera meneken pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967. Freepot menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.
Sejak itulah Freeport mengeruk kekayaan alam Papua.
Freeport Indonesia telah menjual 915.000 ons atau setara 28,6 ton emas dan 716 juta pon (358 ribu ton) tembaga dari tambang Grasberg di Papua. Hasil penjualan emas itu menyumbang 91 persen penjualan emas perusahaan induknya.
Berdasarkan laporan keuangan Freeport McMoran, total penjualan emas Freeport sebanyak 1,01 juta ons (31,6 ton) emas dan 3,6 miliar pon ( 1,8 juta ton) tembaga. Penjualan tembaga asal Indonesia menyumbang seperlima penjualan komoditas sejenis bagi perusahaan induknya.
Laba Freeport naik sekitar 16 persen pada kuartal keempat tahun lalu menjadi USD 743 juta (Rp 7,2 triliun). Total pendapatan juga meningkat menjadi USD 4,51 miliar dari USD 4,16 miliar pada periode sama tahun sebelumnya.
Ironisnya, Freeport hanya memberikan royalti satu persen dari hasil penjualan emas dan 3,75 persen masing-masing untuk tembaga dan perak. Kewajiban terbilang sangat rendah dibanding keuntungan diperoleh Freeport.
Kontrak Karya Freeport Indonesia di tambang Garsberg akan habis pada 2021. Freeport mendapat kesempatan memperpanjang kontrak dua kali 10 tahun setelah durasi kontrak pertama, 30 tahun, berakhir. Freeport mendapatkan hak kelola tambang di Mimika pada 1991. Akankah dengan renegoisasi Indonesia akan mendapat sesuatu yang lebih?
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik terang-terangan menyebut Freeport masih enggan membahas renegosiasi kontrak bagi hasil tambang. Pemerintah Indonesia seolah tak berkutik diatur Freeport.
"Renegosiasi itu sulit, diucapkan saja sulit, apalagi mengerjakan. Tapi kita berjalan terus dengan Freeport, Newmont, Vale, dan tambang-tambanglain," ujar Jero saat jumpa pers di kantornya, Rabu (22/5).
Hebatnya Freeport, mereka juga bisa menolak permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan mengirim menteri ESDM dan menakertarns mengusut lokasi longsor tambang yang menewaskan 28 pekerja. Entah kenapa SBY menurut saja ketika Freeport menolak dua pejabat itu.
"Semula menteri ESDM, Tenaga Kerja akan berangkat ke lokasi. Tapi permintaan dari Freeport di Tembagapura, sementara mereka ingin fokus, konsentrasi untuk jalankan tugas. Dan memohon kepada Jakarta agar kehadiran pejabat dari Jakarta menunggu beberapa saat sampai situasinya tepat," kata SBY di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (20/5).
Luar biasa, menolak permintaan presiden saja Freeport berani.
Kalau Soekarno melihat kekayaan alam dikeruk luar biasa, pejabat Indonesia dilecehkan oleh Amerika Serikat dan kapitalisme mengoyak Papua, pasti Soekarno akan menangis.
Pekerja serikat buruh di Freeport McMoRan Copper and Gold Inc tambang di Papua, Indonesia akan berhenti bekerja tanpa batas dari hari ini jika perusahaan tidak menangguhkan mereka yang dicurigai menjadi salah untuk runtuhnya terowongan mematikan.
Freeport menghentikan operasi di tambang tembaga terbesar kedua di dunia di Papua bulan lalu, sehari setelah area pelatihan dalam terowongan ambruk, menewaskan 28 orang.
Sebuah kecelakaan terpisah di Freeport McMoran-lari tambang dua pekan lalu menewaskan seorang sopir truk.
Perusahaan menyatakan force majeure pada hari Rabu untuk membebaskan diri dari kewajiban untuk memberikan konsentrat tembaga dari tambang Grasberg di provinsi paling timur Indonesia.
Pekerja di tambang telah melakukan pemeliharaan sejak keruntuhan.
Dalam sebuah surat yang dikirim ke manajemen Freeport pada Senin, serikat dikutip lima pejabat perusahaan yang diduga bertanggung jawab atas kecelakaan runtuhnya terowongan.
Papua berbasis serikat resmi Virgo Solossa mengatakan mereka yang dicurigai harus dikirim rumah sementara penyidikan terhadap penyebab kecelakaan masih berlangsung.
Sementara itu, juru bicara Freeport Indonesia Daisy Primayanti mengatakan perusahaan sedang dalam pembicaraan dengan serikat pekerja.
Freeport mempekerjakan sekitar 24.000 pekerja, dimana tiga perempat milik serikat.
Spoiler for ===Gambar Kerusakan Oleh Freeport===:
Spoiler for 01:
Spoiler for 02:
Spoiler for 03:
Spoiler for 04:
Spoiler for ===Kelicikan Freeport===:
* Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (AS) – 81,28%
* Pemerintah Indonesia – 9,36%
* PT. Indocopper Investama – 9,36%
ada satu referensi yang cukup bagus untuk hal itu gan ditulis di newyork times sendiri
Selama ini hasil bahan yang di tambang tidak-lah jelas karena hasil tambang tersebut di kapal-kan ke luar indonesia untuk di murnikan sedangkan molybdenum dan rhenium adalah merupakan sebuah hasil samping dari pemrosesan bijih tembaga.
Sejak tahun 1971, Freeport Indonesia, masuk ke daerah keramat ini, dan membuka tambang Erstberg. Sejak tahun 1971 itulah warga suku Amugme dipindahkan ke luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.
Spoiler for Kesimpulan 2:
Tambang Erstberg ini habis open-pit-nya pada 1989, dilanjutkan dengan penambangan pada wilayah Grasberg dengan ijin produksi yang dikeluarkan Mentamben Ginandjar Kartasasmita pada 1996. Dalam ijin ini, tercantum pada AMDAL produksi yang diijinkan adalah 300 ribu /ton/hari
Menurut karyawan dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R. Moffett, seorang ahli geologi kelahiran Louisiana (Amerika Serikat), yang juga adalah pimpinan perusahaan ini, dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto, dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.
Spoiler for Kesimpulan 3:
Surat-surat dan dokumen-dokumen lain yang diberikan kepada New York Times oleh para pejabat pemerintah menunjukkan, Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali memperingatkan perusahaan ini sejak tahun 1997, Freeport melanggar peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Menurut perhitungan Freeport sendiri, penambangan mereka dapat menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat Terusan Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.
Spoiler for Kesimpulan 4:
Sebuah studi bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan Parametrix, perusahaan konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tinto, mitra bisnisnya, yang hasilnya tidak pernah diumumkan mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok untuk kehidupan makhluk hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke New York Times oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. New York Times berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin khusus bagi wartawan. Semua permintaan itu ditolak. Freeport hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah surat yang ditandatangani oleh Stanley S Arkin, penasihat hukum perusahaan ini menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga, dengan emas sebagai produk sampingan, dan bahwa banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia memperketat aturan pada tahun 1990-an.
Spoiler for Kesimpulan 5:
Menurut seorang pejabat dan dua bekas pejabat perusahaan yang terlibat dalam mengembangkan suatu program rahasia, Freeport selama ini menyadap e-mail para aktivis lingkungan yang melawan perusahaan ini untuk memata-matai apa yang mereka lakukan. Freeport menolak mengomentari hal ini. Freeport bergandengan tangan dengan perwira-perwira intelijen TNI, mulai menyadap korespondensi e-mail dan percakapan telepon lawan-lawan aktivis lingkungannya. Hal ini dikatakan oleh seorang karyawan Freeport yang terlibat dalam kegiatan ini dan bertugas membaca e-mail-e-mail tersebut.
Spoiler for Kesimpulan 6:
Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, perusahaan ini juga membuat sistemnya sendiri untuk mencuri berita-berita melalui e-mail. Caranya adalah dengan membentuk sebuah kelompok pecinta lingkungan gadungan, yang meminta mereka yang berminat untuk mendaftar secara online dengan menggunakan kode rahasia (password) tertentu. Banyak di antara mereka yang mendaftar itu menggunakan password yang sama seperti yang mereka gunakan untuk e-mail mereka. Dengan cara ini, Freeport dengan gampang mencuri berita. Menurut seseorang yang waktu itu bekerja untuk perusahaan ini, awalnya para pengacara Freeport khawatir dengan pencurian ini. Tetapi, mereka kemudian memutuskan, secara legal perusahaan itu tidak dilarang untuk membaca e-mail pihak-pihak di luar negeri.
Spoiler for Kesimpulan 7:
Dokumen-dokumen Freeport menunjukkan, dari tahun 1998 sampai 2004 Freeport memberikan hampir 20 juta dolar kepada para jenderal, kolonel, mayor dan kapten militer dan polisi, dan unit-unit militer. Setiap komandan menerima puluhan ribu dolar, bahkan dalam satu kasus sampai mencapai 150.000 dolar, sebagaimana tertera dalam dokumen itu.
Dokumen-dokumen itu diberikan kepada New York Times oleh seseorang yang dekat dengan Freeport, dan menurut bekas karyawan maupun karyawan Freeport sendiri, dokumen-dokumen itu asli alias otentik. Dalam respon tertulisnya kepada New York Times, Freeport menyatakan bahwa perusahaan itu telah mengambil langkah-langkah yang perlu sesuai dengan undang-undang Amerika Serikat dan Indonesia untuk memberikan lingkungan kerja yang aman bagi lebih dari 18.000 karyawannya maupun karyawan perusahaan-perusahaan kontraktornya. Freeport juga mengatakan tidak punya alternatif lain kecuali tergantung sepenuhnya kepada militer dan polisi Indonesia dan keputusan-keputusan yang diambil dalam kaitannya dengan hubungan dengan pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga keamanannya, adalah kegiatan bisnis biasa.
Spoiler for Kesimpulan 8:
New York Times menerima dokumen keuangan Freeport selama tujuh tahun dari seorang yang dekat dengan perusahaan itu. Tambahan dokumen selama tiga tahun diberikan oleh Global Witness, sebuah LSM yang mengeluarkan laporan pada bulan Juli, yang berjudul Paying for Protection (Bayaran Perlindungan) [1] tentang hubungan Freeport dengan militer Indonesia. Diamird 0′Sullivan, yang bekerja untuk Global Witness di London, mengkritik pembayaran yang dilakukan Freeport itu.
Menurut perusahaan, semua pengeluaran yang dilakukannya itu harus melalui proses pemeriksaan anggaran. Catatan yang diterima New York Times menunjukkan adanya pembayaran kepada perwira-perwira militer secara perseorangan yang didaftarkan di bawah topik-topik seperti biaya makanan, jasa administrasi dan tambahan bulanan. Para komandan yang menerima dana tersebut tidak diharuskan menandatangani tanda terima.
Pendeta Lowry, yang pensiun dari Freeport pada bulan Maret 2004 tetapi tetap menjadi konsultan sampai bulan Juni, mengatakan, sebetulnya tidak ada alasan yang cukup bagi Freeport untuk memberikan dana secara langsung kepada para perwira militer itu.
Catatan perusahaan menunjukkan, penerima terbesar adalah komandan pasukan di daerah Freeport, Letnan Kolonel Togap F. Gultom. Selama enam bulan tahun 2001, ia diberikan hanya kurang sedikit dari 100.000 dolar untuk biaya makanan, dan lebih dari 150.000 dolar di tahun berikutnya. Di tahun 2002, Freeport juga memberikan uang kepada paling tidak 10 komandan lainnya mencapai lebih dari 350.000 dolar untuk biaya makan.
Menurut para bekas karyawan dan karyawan Freeport, pembayaran-pembayaran tersebut dilakukan kepada para perwira itu, kepada istri-istri dan anak-anak mereka, secara perorangan. Yang berpangkat jenderal terbang di kelas satu atau kelas bisnis, dan para perwira yang lebih rendah pada kelas ekonomi, demikian kata Brigadir Jenderal Ramizan Tarigan yang menerima tiket senilai 14.000 dolar pada tahun 2002 untuk dirinya dan anggota keluarganya.
Jenderal Tarigan yang menduduki posisi senior di kepolisian mengatakan, para perwira polisi dibolehkan menerima tiket pesawat udara karena gaji mereka sangat rendah tetapi adalah melanggar peraturan kepolisian untuk menerima pembayaran uang tunai. Pada bulan April 2002, Freeport membayar perwira senior militer di Papua, Mayor Jenderal Mahidin Simbolon, lebih dari 64.000 dolar untuk yang disebut dalam buku keuangan Freeport sebagai “dana untuk rencana proyek militer tahun 2002″.
Delapan bulan kemudian, di bulan Desember, Jenderal Simbolon menerima lebih dari 67.000 dolar untuk proyek aksi sipil kemanusiaan. Pembayaran-pembayaran ini pertama kali dilaporkan Global Witness. Jenderal Simbolon, yang kini menjadi Inspektur Jenderal Angkatan Darat Indonesia, menolak permohonan untuk diwawancarai.
Spoiler for Kesimpulan 9:
Pada tahun 2003, sesudah terjadinya skandal Enron dan disahkannya Undang-undang Sarbanes-Oxley, yang mengharuskan praktek-praktek akuntansi keuangan yang lebih ketat pada perusahaan-perusahaan, Freeport mulai melakukan pembayaran kepada unit-unit militer ketimbang kepada para perwira secara individu. Demikian menurut catatan yang tersedia dan seperti yang dituturkan oleh bekas karyawan dan karyawan perusahaan ini.
Menurut catatan, perusahaan membayar unit-unit polisi di Papua sedikit di bawah angka 1 juta dolar di tahun 2003, didaftarkan di bawah topik-topik seperti “tambahan pembayaran bulanan,” “biaya administrasi” dan “dukungan administratif.” Freeport menyatakan kepada New York Times, di dalam menentukan jenis dukungan yang dapat diberikan, adalah merupakan kebijakan perusahaan untuk memperhitungkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM.” Menurut catatan yang diterima oleh New York Times, pasukan paramiliter polisi, yaitu Brigade Mobil (Brimob), yang sering dikutip oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat karena kekejamannya, menerima lebih dari 200.000 dolar di tahun 2003.