Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dershaAvatar border
TS
dersha
Bank Keliling = Rentenir
agan2 ada ga yg pernah berususan dengan yang namanya bank keliling? menurut kalian mereka termasuk rentenir kah??? ane punya saudara yang terjerat ampe hutangnya jadi puluhan juta .. awal minjem cuma 5jutaan tapi bunga 40 % skrang hutangnya jadi harus bayar 40 juta,, gila apa tuh emoticon-Nohopenajis

tapi itu sih perorangan yang mengatasnamakan koperasi... biasanya targetnya ibu2 termasuk uwak ane yang seorang guru pns ...

penjelasannya ni h gan:

MENJADI SUSAH KARENA TAK (ber)SYARIAH
“Bank Keliling dan Bunga, Lingkaran Ekonomi “Pemiskinan” Rakyat dalam Perspektif Ekonomi Syariah”

Oleh: Rofiqul Ummat
Mahasiswa Jurusan Asuransi Syariah
Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


Assalamu’alaikum wr. wb.

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.[Al Imran, 3:130]

Menurut undang-undang perbankan, secara umum fungsi bank yaitu menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, serta menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman dan bentuk lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dalam praktek perekonomian, modal merupakan hal yang sangat penting dalam proses kelanjutan sebuah perekonomian, baik secara makro (besar__negara) maupun mikro (kecil__lembaga keuangan dan sector ekonomi kecil lainnya, seperti industry rumah tangga, pedagang, buruh, petani, Pengusaha kecil dll). Akses terhadap sumber modal financial (keuangan) menjadi sangat penting untuk kelancaran sebuah aktivitas ekonomi. Namun pentingnya akses modal, tidak diimbangi dengan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap lembaga keuangan khususnya lembaga keuangan yang berbasis syariah yang terbebas dari praktik bunga/riba, menjadikan masyarakat seolah tidak memiliki pilihan dalam memperoleh modal finansial. Di sisi lain adanya jaminan ketat yang diberlakukan oleh pihak lembaga keuangan menjadikan ketakutan tersendiri bagi masyarakat tradisional. Oleh karena itu, masyarakat tidak berani untuk mengajukan pinjaman (kredit)nya terhadap lembaga keuangan terkait. sehingga pada implikasi (akibat)nya bank keliling sebagai sumber akses modal “tradisional” menjadi solusi awal dan akhir bagi masyarakat tradisional untuk melakukan pinjaman (kredit) usahanya.
Apa sih bank keliling itu?
Secara praktek bank keliling yaitu bank yang melakukan penghimpunan dana dan penyaluran pinjaman secara aktif dengan langsung mendatangi nasabah, dan kebanyakan dilakukan oleh perseorangan atau individu yang memiliki financial cukup kuat di suatu komunitas masyarakat. Namun upaya bantuan (jeratan?) pinjaman oleh bank keliling pada prakteknya kerap kali memberikan pinjaman dengan adanya penambahan pengembalian terhadap nilai yang dipinjam oleh masyarakat. Hal ini menjadikan ekses yang disebut dengan “lingkaran pemiskinan ekonomi rakyat”, dimana peminjam harus melakukan penambahan pengembalian yang ditentukan sejak awal peminjaman. Betapa tidak, masyarakat yang diberikan pinjaman harus memberikan tambahan yang besarannya bervariatif, dari 5% sampai 30% atau bahkan sampai 100% sekalipun terhadap nilai atau jumlah nominal yang dipinjam oleh masyarakat dari pihak bank keliling. Dengan penentuan besaran pengembalian tersebut menjadikan peminjam harus berhasil atau untung dalam melakukan usahanya, bukankah dalam melakukan sebuah usaha tentu tidak akan lepas dengan risk and return (risiko rugi dan untung), bagaimana jika si peminjam mengalami kerugian pada usahanya, namun pihak bank keliling “pemberi pinjaman” tidak mau tahu akan kondisi nasabahnya dengan tetap harus menegembalikan jumlah uang yang dipinjam serta penambahan (bunga) yang telah ditetapkan di awal, bukankah itu merupakan pembunuhan ekonomi, pembangkrutan rakyat, pencekik ekonomi rakyat kecil dan lebih kejamnya lagi pemiskinan rakyat?
Apakah system seperti itu “bank keliling” memiliki nilai keadilan (justice/fairness) bagi masyarakat yang tengah merangkak membangun ekonominya, memberikan ketenangan pada pihak peminjam, bukankah penekanan seperti itu akan memberikan efek negative pula terhadap aktivitas ekonomi masyarakat, diamana masyarakat “peminjam” harus untung dengan menghalalkan segala cara “termasuk cara yang diharamkan oleh agama, seperti menipu dll” demi mampu membayar hutang beserta tambahan yang ditetapkan oleh bank keliling atau lebih tepatnya rentainir.? Pada kondisi seperti itu, hakikatnya masyarakat tengah di sengat dan tersandera rentainer (Red_Lintah Darat).
Konsep dan praktek seperti itu sangat diharamkan dalam Islam, seperti Firman Allah pada surat al-Baqoroh ayat 157. Yang artinya; “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Melihat kondisi diatas, hakikatnya penambahan atas peminjaman itu tergolong pada kategori bunga atau riba (dalam perspektif syariah).
Bunga/Riba
Bunga yang dikenal oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia pada prakteknya merupakan hal yang tergolong pada transaksi Ribawai atau Riba yaitu; adanya penambahan dari nilai awalnya, khususnya yang berkaitan dengan transaksi pinjam-meminjam dan atau pertukaran barang yang memilliki pertambahan, kelebihan dari salah satunya yang secara nilai maupun ukuran tidak sama.
Riba terbagi menjadi tiga, yaitu;
1. Riba al-Fadhl atau bunga tambahan, yaitu menukar harta yang berpotensi riba dengan jenis yang sama disertai adanya penambahan atau kelebihan secara nilai maupun ukuran pada salah satu barang yang ditukarkan.

Contoh:
Menukarkan 5 liter beras yang seharga 8.000 perliter, dengan 5 liter beras dengan harga 7.800 perliter, maka nilai yang tidak sama diatas yaitu antara 8.000 dengan 7.800 termasuk kategori riba al-fadhl. Dan tentunya banyak lagi maslah riba yang tergolong dalam “Riba al-Fadhl”.

Praktik riba jenis ini diharamkan dan dilarang dalam hukum Islam. Sesuai hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, harus sebanding dan tunai. Orang-orang yang menambah dan meminta tambahan berarti dia telah berbuat RIBA, orang yang menerima dan member dalam hal ini sama saja”.

2. Riba al-Nassa’I (nasi’ah) atau penambahan atas penangguhan / tunda pembayaran (pinjam), yaitu jual beli atau transaksi pinjam-meminjam dengan pembayaran ditangguhkan/ditunda pada jangka waktu tertentu. Secara sederhana, riba nasiah adalah riba / tambahan karena adanya selisih waktu dari titik transaksi.

Contoh:
Riba pada jual beli: seseorang melakukan transaksi jual beli sebuah barang namun dengan cara hutang sesuai jangka waktu tertentu, dan melakukan pembayaran dengan cara adanya penambahan dari nilai dasarnya. Ahmad membeli Televisi seharga Rp. 1.000.000 dengan cara hutang selama 2 bulan, dan pihak penjual menetapkan tambahan sebesar Rp. 350.000, sehingga Ahmad pada hari pelunasannya harus membayar sebesar Rp. 1.350.000, maka penambahan sebesar 350.000 tergolong pada riba nasiah karena adanya jeda waktu yang membuatnya bertamabah.

Contoh:
Riba pada pinjam-meminjam: seseorang melakukan peminjaman sejumlah uang kepada orang lain dengan pembayaran kemuadian hari, dan pihak pemberi pinjaman menetapkan harus adanya penambahan ketika sipeminjam membayarkan hutangnya. Ahmad meminjam uang kepada Zaid sebesar Rp. 1.000.000 dan dibayar 2 bulan kemudian, lalu Zaid menetapkan penambahan pengembalian sebesar 20 % atau sebesar Rp. 200.000 kepada Ahmad, dan ketika 2 kemudian Ahmad membayar hutang pokoknya yaitu sebesar Rp. 1.000.000 dengan bunga 20% menjadi Rp. 1.200.000. Maka secara syariah penambahan Rp. 200.000 merupakan riba nasiah, karena adanya penambahan atas selisih waktu pengembalian.

3. Riba al-Yad, yaitu penambahan atas jangka waktu tertentu namun barang yang jadi objek transaksipun penyerahannya ditanggunhkan pula dari waktu transaksi berlangsung.
Sedikit saya sampaikan beberapa kasus yang sudah terjadi, mengenai bagaimana kiprahnya bank keliling dalam mencekik, memiskinkan rakyat.
1. Pertama, Ibu Rojanah (40). Beliau ketika mendengar bank keliling yang beliau lakukan hanyalah mengelus dada, (betapa kecewanya Ibu Rojanah). Pahitnya pengalaman Ibu Rojanah ketika berhubungan dengan bank keliling “rentainer” di Cileungsi tahun 2009.
Alih-alih mengembangkan usaha catering yang dirintisnya sejak 3 tahun lalu, rumah berserta barang-barangnya justru berpindah tangan hanya karena utang Rp 30 juta di sebuah bank keliling berkedok koperasi.
Dalam perjanjian, Rojanah warga komplek Bumi Kahuripan Indah, Gunung Putri, Cileungsi ini diharuskan membayar Rp 1,5 juta selama 30 kali perbulan. Jika ditotal ia harus membayar Rp 45 juta. Padahal utangnya hanya 30 juta.
Tuturnya, “Baru 3 kali bayar, suami sakit. Saya tidak bisa bayar. Nunggak 5 bulan. Akhirnya dia minta sertifikat rumah sebagai jaminan. Karena tak bisa bayar, rumah Ibu Rojanah pun akhirnya disita,” cerita Rojanah yang sejak itu bertekad tidak akan berurusan dengan rentainer (bank keliling yang menetapkan system bunga) lagi.
2. Sundari, warga Bekasi punya cerita berbeda. Pedagang nasi ini justru menggangap bank keliling sebagai dewa penolong. Usahanya lancar berkat bank keliling meski ia harus membayar dengan sistem 10:12.
“Sudah paham di sini dengan sistem 10:12. Rata-rata pedagang di pasar pinjam sama bank keliling begitu,” kata Sundari yang biasa dipanggil Mba Sun yang ditemui majalah Syariah beberapa waktu lalu.
Sistem 10:12 yang dimaksud adalah sistem pembayaran mingguan. Misalnya, pinjam Rp.100.000 maka harus membayar Rp.120.000. Itu belum termasuk potongan administrasi Rp.10.000 jadi totalnya 130.000.
Sistem lain adalah pembayaran harian 10 : 20. Contohnya, meminjam Rp.300.000 dan harus membayar Rp.600.000. Dengan pinjaman Rp.300.000 cicilan dibayar sebesar Rp.15.000/ hari selama 40 hari. Total yang harus dibayar Rp.600.000. bayangkan, harus membayar 2 kali lipat dari hutangnya. Astaghfirullah.
“Kita tahu itu rentenir. Tapi mau bagaimana lagi. Kita butuh kok. Jadi saling bantu deh,” kata Mba Sun yang mengaku selama ini tidak pernah meminjam uang di atas 10 juta. Mba Sun mencontohkan, saat ini tengah meminjam di Koperasi Simpan Pinjam (KSP) “Artha Jaya Sentosa” Cabang Pondok Gede sebesar Rp.1.500.000 pada April 2012 lalu.
Uang yang diterima tak diterima utuh, tapi dipotong Rp.187.500 sebagai biaya administrasi. Angsurannya pertama sebesar Rp.202.500, selanjutnya dia membayar Rp.165.000 selama 11 minggu. “Total saya harus bayar sebesar Rp.1.815.000,” kata Mba Sun.
Jika kita telisik lebih arif dan bijaksana dari kasus Ibu Sundari diatas, bukankah penambahan yang dilakukan oleh ibu sun yang ditetapkan pihak bank keliling memperlambat kemajuan usahanya, bayangkan saja jika ibu Sun mengalokasikan dana tersebut untuk usahanya, tentu akan berkembang pesat bukan?
Memang telah terbukti “menjadi susah karena tak bersyariah”.
Tradisionalisme masyarakat menjadikan terbuka lebarnya praktek ribawi dengan label “bank keliling” baik secara individu atau dalam bentuk koperasi. Wakil Ketua Kadin Jabar Bidang Koperasi dan UMKM Iwan Gunawan menyebutkan, 40 persen dari sekitar enam juta pelaku UMKM meminjam ke rentainer. “Dan lebih dari satu jutanya pelaku usaha mikro,”. koperasi yang melakukan praktik seperti itu berarti sudah melanggar Undang-undang. Di dalam Undang-undang Hukum Perdata RI dijelaskan, akad perjanjian yang hanya berat-sebelah dan tidak ada dua belah pihak maka bisa dibatalkan. Mereka dapat diajukan atau diperkarakan ke pengadilan.
Secara hukum positif dan normatif, riba (praktek rentainer) sangatlah dilarang. Oleh karena itu, seharusnya pihak terkait baik pemerintah ditingkat desa, kecamatan, kabupaten sampai provinsi sekalipun lebih concern terhadap masalah yang membelit masyarakat yang mayoritas berada di sector UMKM, dimana UMKM merupakan basis kekuatan ekonomi Nasional. Dengan cara memberikan kredit usaha dengan system bagi hasil yang cenderung menguntungkan keduabelah pihak.
Jika UMKM nya saja tidak diperhatikan dengan baik oleh semua pihak, baik dari segi akses permodalan, pemberdayaan keterampilan, manajemen operasional. Tentu saja perekonomian akan berjalan tidak stabil dan mungkin akan hancur dan habis di sengat “Lintah Darat”.
Sudah jelaslah dalam Firman Allah dalam Al-Quran dan sabda Rasulullah saw melarang dengan keras praktek riba / bunga baik riba al-fadl, riba al-nasiah dan riba al-yad yang telah lama mengakar, membelenggu dan mengikat ekonomi masyarakat Indonesia. Dalam kasus bank keliling yaitu di desa-desa yang notabene masyarakatnya cenderung tradisional. Secara kategorial tentu sudah jelas, bahwa praktek bank keliling / rentainer dengan melakukan penambahan terhadap pinjamannya, meruapakan kategori riba al-nasi’ah. Ekonomi ribawi hanya akan menjadikan hukum rimba pada setiap orang yang melakukannya, dimana orang yang kaya akan semakin kaya atas harta ribanya, sedangkan yang miskin akan semakin miskin (red_pemiskinan), tertindas, karena harus menaggung beban bunga yang dideritanya. praktek yang dilakukan oleh bank keliling seperti kasus di atas termasuk riba, yang sangat diharamkan dalam Islam.
Oleh karena itu:
· Apakah kita sebagai masyarakat masih mau dimiskinkan dengan melakukan praktek riba melalui bank keliling/rentainer?
· Apakah kita tidak ingin lebih adil terhadap ekonomi (usaha) yang kita lakukan dengan menjauhi praktek riba?
· Apakah kita ingin mendapatkan keberkahan dunia dan tentunya ahkirat dengan menjauhi praktek riba?
· Apakah kita tidak ingin lepas dari kesusahan “Susah Karena Tak (ber)Syariah”?
Jadi, marilah kita sama-sama menjauhi praktek riba atau bunga dan melakukan kegiatan ekonomi secara syariah untuk memperoleh kemudahan dalam kehidupan kita!

Wallahua’lam bishawab
Wassalamualaikum wr. wb.

Diubah oleh dersha 07-06-2013 07:19
1
33.6K
27
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan