Kaskus

Entertainment

aaaazzAvatar border
TS
aaaazz
Cerpen Kupu-kupu tak bersayap (Jangan dibaca Gan nggak lucu hehehe )
Beberapa waktu yang ane sempet ikut lomba cerpen, tapi ya gitu nggak menang emoticon-Ngakak . Tema yang disuruh sih creative comedy. tapi mungkin jurinya nganggep ini comedy yang nggak creative kali ya emoticon-Berduka (S) , jadi nggak menang. Ane taro sini aja ya, Kali aja ada yang minat baca, semoga terhibur emoticon-Smilie
Ini thread perdana ane gan emoticon-Wink



Segenap kepingan kenangan itu sayup-sayup teringat lagi, masing-masing kenangan saling melengkapi satu sama lain membentuk semacam mozaik tak sempurna yang entah kapan ditemukan potongan terakhirnya.**

Tujuh tahun lalu, Waktu itu gue tepat duduk di kelas tiga smp. Masa-masa kelas tiga smp gue, dipenuhi dengan petualangan pencarian jati diri, layaknya petualangan wiro sableng, Seorang pendekar yang di dadanya ada tatto 212 (ya mungkin nikita mirzani juga terinspirasi dari wiro sableng). Salah satu bentuk pencarian jati diri gue saat itu adalah belajar jatuh cinta. Jatuh cinta emang mudah, tapi mencari tempat yang tepat buat nampung cinta kita itu yang susah. Karena cinta bukan upil yang bisa dipeperin disembarang tempat. Dan waktu itu gue berharap ‘jatuh’ di orang yang tepat. Namanya Ana, temen sekelas gue. Angin pun berhenti berhembus kalau dia tersenyum. Mata sendu bersanding dengan hidung mancung juga gigi gingsul yang terbalut bibir tipis adalah bukti bahwa tuhan ternyata menciptakan sesuatu yang lebih manis dari cokelat.
Dari tempat duduk gue di sudut belakang kelas, gue bisa leluasa memandangi Ana, dan gue ngelakuin ini sejak awal semester. Gue pernah beberapa kali pura-pura minjem bolpoint faber castellnya -yang kemudian bolpointnya nggak pernah gue balikin- untuk sekedar sedikit berinteraksi dan sekedar ngeliat dia tersenyum sambil buka tempat pensilnya yang gambarnya motif kupu-kupu. Sampai akhirnya gue memberanikan diri untuk minta nomor Ana dan mulai Smsan. Setelah smsan gue mulai tau bahwa Ana tipe orang yang ramah, dia selalu baik ke semua orang. Mungkin seandainya dia sales door to door, semua orang yang dia datengin pasti beli produknya dan naksir salesnya. Sedangkan gue seandainya jadi sales door to door, baru niat ketok pintu, pasti udah diusir. (Itu baru niat, belum sempet diketok).
Setelah lumayan lama smsan, kita akhirnya dipertemukan dalam satu kelompok drama, waktu itu cerita dramanya tentang Romeo dan Juliet. Ana sebagai cewek tercantik di kelompok, udah pasti jadi Juliet. Ketika temen-temen kelompok gue lagi diskusi untuk nyari pemeran Romeo, gue bisa aja memberanikan diri untuk ngisi peran Romeo tersebut, tapi setelah ngaca gue sadar, gue lebih mirip Suneo ketimbang Romeo. Setelah perdebatan cukup alot, Kelompok drama gue akhirnya memilih Zaini sebagai Romeo, seorang cucu adam yang menghabiskan 3 tahun masa-masa Smpnya sebagai paskibraka, untuk mengibarkan sang saka merah putih.
Saat hari penampilan drama, gue yang berperan sebagai figuran, cuma bisa merhatiin akting Ana di sudut depan kelas. Gue sempet curi-curi pandang sama Ana ketika dia mulai berperan, gue yakin banget kalo dia berharap gue yang jadi romeo. Tapi apa daya gue nggak mau bikin shakespeare marah gara-gara ceritanya diperanin sama cengcorang yang kayak abis kena muntaber. Ana aktingnya bagus, sederhana dan apa adanya. Dia layak mendapatkan piala citra plus piala cinta dari gue. Sedangkan Zaini yang basicnya anak paskibra aktingnya rada kaku, saat mau kasih bunga ke Ana aja dia pake gerakan ‘hadap kiri grak’ dan hampir ngasih hormat. Untung aja setelah kasih bunga zaini nggak teriak ‘Istirahat di tempaaaat Grak’ dan mulai lapor ke pembina upacara. Ketika drama selesai, Ana tiba-tiba nyamperin gue.
“Yudha, nanti bisa pulang bareng gue nggak? ” Tanya Ana. Gue kaget, tiba-tiba dia minta pulang bareng. Iler gue hampir ngeces, gue nggak pernah menatap Ana sedekat ini.
” Boleh Na, tapi gue nggak bawa motor. Gimana? ” Jawab gue sok cool, padahal udah hampir ayan.
” Nggak apa apa, anterin gue sampe gue dapet angkot aja yud. Bisa?”
” Iyah na . Bisa kok “
Akhirnya siang itu, kita pulang bareng. **
Siang itu cuacanya cukup mendung, udara pun mulai terasa dingin sehingga gue memasukkan tangan gue ke saku sweater gue. Sepintas, dari jauh gue terlihat seperti Ariel di video klip lagu peterpan “yang terdalam”. Padahal sebenernya dari deket gue lebih mirip Parto Patrio.
” Kenapa tiba-tiba minta pulang bareng? ” Kata Gue membuka obrolan
” Kemarin-kemarin gue digangguin ama anak-anak yang nongkrong didepan warung sekolah, sampai-sampai gue diikutin. Gue takut yud. ” Kata Ana, wajahnya kelihatan cemas, tapi mata sendunya tetap bersinar.
” Kenapa pilih gue yang nemenin? ” Kata gue bingung
” Gue pikir, anak-anak nongkrong itu temen lo yud? “
Gue melongo. Gue bahkan nggak sama sekali kenal ama anak-anak nongkrong itu. Gue nggak biasa nongkrong rame-rame, lebih enak sendirian. Lebih bisa menghayati dan menikmati, sambil ngeden dan berpegang teguh kepada gayung.
Memang susah punya muka kriminal macam tukang maling ayam kayak gue. Andaipun gue bener maling ayam, gue bisa dikenakan 2 kasus dakwaan, yang pertama adalah dakwaan maling ayam itu sendiri, yang kedua adalah dakwaan atas muka kriminal gue yang merugikan ketertiban umum. Tapi Ana nggak tau, dibalik muka preman gue, tersimpan hati yang baik hati dan mudah tersentuh. Bahkan ketika nonton film ‘my heart’ di bioskop gue nangis sesengukan.
Ditengah perjalanan hujan turun cukup deras, gue dan Ana berteduh di sebuah warung di pinggir jalan. Ana membeli dua permen lolipop starburst dan memberikan gue salah satunya. Waktu itu udara cukup dingin, Ana mulai menggigil, sesekali dia menyisir rambut basahnya dengan jari-jarinya. Jepitan kupu-kupunya masih setia menghiasi rambut basahnya. Gue yang terinspirasi dari film-film remaja di tv, langsung melepaskan sweater gue.

” Nih pake aja Sweater gue. ” Kata gue sambil menyodorkan sweater
” Thanks ya, ” jawab dia sambil melemparkan senyuman, gigi gingsulnya terselip di sela senyumannya.
Dan gantian, sekarang gue yang mulai menggigil.
Ketika hujan udah mulai berganti gerimis, gue dan Ana memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kita ngobrol banyak waktu itu, tentang drama yang tadi pagi, tentang kupu-kupu, tentang kemana dia akan sekolah setelah lulus SMP ini. Gue membiarkan Ana mendominasi obrolan, karena gue sibuk memperhatikan dia. Sorot mata sendunya ketika dia berusaha meyakinkan gue atas ceritanya, seakan-akan menarik gue untuk masuk kedalamnya, menembus irisnya, melewati retina, melangkahi pupilnya dan terhisap jauh ke dasar hatinya. Gue masuk terlalu dalam dan nggak tahu gimana caranya untuk keluar, Gue jatuh cinta sama Ana. **
Sore itu disaat gerimis mulai reda dan kita udah sampai di tempat Ana memberhentikan Angkot. Gue coba untuk ungkapin apa yang dari awal semester gue rasain. Tepat disaat Ana mengembalikan sweater gue, gue mulai tarik nafas dan ngomong.
” Na, boleh gue ngomong sesuatu? “
” Hmmm.. Boleh kok, apa emang? “
Tiba-tiba gue jadi grogi dan mulai gagap.
” Eeh uuh anu.. Tadi Sweater gue bau nggak? ” Gue refleks nanya pertanyaan nggak penting.
” Sedikit bau ketek sih, tapi gue udah biasa kok nyium bau begitu kalo gue naik ojek. “
JLEB.
Ternyata ketek gue dan ketek para tukang ojek diciptakan dengan bau yang sama.
” Oke na, gue tau ketek gue kadang merusak ketertiban umum. Tapi bukan masalah ketek yang mau gue omongin.”
” Masalah apa? ” Tanya ana.
” Masalah perasaan.”
Kita berdua hening, dan gue tatap mata ana.
” Boleh gue jadi kupu-kupu lo? “
Gue nembak Ana, dia tertegun, tatapan matanya kosong. Jantung gue berdegup lebih cepat dari biasanya, nafas gue tersengal-sengal layaknya tukang becak yang abis belajar nari gangnam style seharian.
” Harus gue jawab sekarang? ” Tanya Ana.
Gue menganggukkan kepala. Sementara Ana tetap tenang, dia memang anggun setiap saat, sementara gue selalu absurd setiap saat.
” Oke Yud, gue terima lo jadi kupu-kupu gue. Tapi tolong setia dan jaga bunganya.” Kata Ana.
Satu kalimat yang bikin gue bengong seketika dan beberapa detik kemudian ngerasa bahagia yang tak terhingga, Ana nerima gue.
Setelah peristiwa penembakan itu, gue dan Ana menjalani kisah seperti kebanyakan orang pacaran lainnya, seperti suap-suapan, pulang bareng, nonton bioskop, jalan-jalan sore dengan motor tua gue, orang-orang sepanjang jalan ngeliatin kita berdua. Pasti mereka nyangka bahwa Ana udah diculik oleh seseorang yang berwajah kriminal yang memakai motor tua, saksi jaman penjajahan. Gue dan Ana akhirnya masuk Sma yang sama, gue seneng banget karena bakal banyak menghabiskan waktu dengan dia. Semua yang gue lalui dengan Ana terasa indah dan membahagiakan. **

Sampai suatu saat di awal tahun 2007 beberapa hari sebelum hari ulang tahun gue, disaat gue lagi sakit gigi, nggak gue sangka-sangka Ana mutusin gue. Sungguh kombinasi sakit yang luar biasa. Sakit gigi gue masih ada obatnya, sedangkan sakit hati? Gue sendiri bingung kenapa dia milih jalan itu, meskipun sebelumnya memang ada pertengkaran yang terjadi. Dia tetep keukeuh untuk mutusin gue dengan satu kalimat yang klise, ” Kita udah nggak cocok lagi, percuma dilanjutin juga kita nggak akan bahagia.” Gue cuma bisa diam, toh selama ini gue udah sangat bahagia, bagaimanapun keadaannya. Tapi sebaliknya mungkin gue bukan sumber kebahagiaan buat dia, maka dia pergi mencari sumber bahagia yang lain.
Beberapa hari setelah Ana mutusin gue, saat gue dan Ardi, teman baik gue pergi ke sebuah Mall, gue liat di Mall itu Ana jalan dengan cowok lain. Gue langsung menghindar dan berusaha untuk nggak terlihat oleh Ana. Gue nggak mau Ana ngeliat gue berduaan di Mall bareng Ardi, gue nggak mau disangka jadi Homo gara-gara putus sama dia. Gue mau keliatan jadi cowok yang tegar dan kuat di mata Ana, walaupun sebenarnya gue rapuh bagai lapisan tipis air yang beku, sentuhan lembut kan hancurkan aku huooooo, gue nyanyi dalem hati dan mau teriak sekenceng-kencengnya di bawah shower.
Dan sekarang, lima tahun setelah Ana mutusin gue, dia sedang kuliah semester 7 di salah satu universitas terkenal di Jakarta, sedangkan gue juga kuliah semester 7 di salah satu universitas nggak terkenal di ujung pulau Jawa. Gue udah jarang hubungin dia lagi, begitupun sebaliknya. Tapi jarang menghubungi, bukan berarti gue nggak merhatiin dia. Gue stalking dia. Hampir tiap hari gue ketik nama dia di kolom search Facebook atau twitter - meski kita nggak jadi friend dan saling follow- untuk tau kabar dia sekarang bagaimana, dan sesekali gue selipin nama dia di doa gue agar dia selalu bahagia dengan pilihannya.
Malam ini saat gue coba selesain cerita ini, hujan turun cukup deras dan winamp komputer gue nggak sengaja memutar lagu the stalker dari adhitia sofyan. “ Every time you see the rain, I’m every drop you feel. And anywhere the sun would shine, I’m every ray that you feel. ” Beberapa baris lirik yang mengingatkan gue akan kejadian tujuh tahun lalu, saat gue memperhatikan Ana dari sudut kelas, pura-pura meminjam bolpointnya, mulai smsan sama dia, berdiri di depan kelas memperhatikannya ketika dia berperan menjadi juliet, ketika kita kehujanan dan berteduh di sebuah warung dan Ana memberikan gue permen lolipop starburst - yang sampai sekarang gagang permennya masih gue simpan- Hingga akhirnya gue memberanikan diri untuk nembak dia, diterima dan dia minta untuk jaga dan setia pada bunganya. Ana harus tau, bahwa sampai sekarang gue masih jaga dan setia pada bunganya. Sedangkan gue layaknya kupu-kupu tak bersayap. Dia sudah menghancurkan sayap-sayap gue sehingga gue nggak bisa terbang ke bunga yang lain. Tapi walaupun begitu setidaknya gue sudah menemukan potongan terakhir yang melengkapi mozaik cerita gue dan Ana, meskipun nggak sempurna, tapi ini mungkin yang terbaik. Terbaik buat Ana.

- Didedikasikan untuk sahabat saya.
0
3.7K
41
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan