- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Asal mula Manga [komik] di Jepang [pencita Manga jepang masuk] !!!!
TS
afifakilie234
Asal mula Manga [komik] di Jepang [pencita Manga jepang masuk] !!!!
Welcome To My Thread
Langsung saja
http://xtionstation.com/wp-content/u.../05/manga6.jpg
Langsung saja
Spoiler for buka gan :
Perkembangan suatu hal tentu tak lepas begitu saja dari perjalanan masa lalunya, dan kejayaan masa lalu . Komik merupakan salah satu sinyalir "perekat budaya", komik melangsungkan evolusinya bersama- sama dengan berjalannya peradaban manusia. Kata 'komik' tersebut tidaklah berdiri sendiri, kata komik muncul pertama kali dengan ekornya 'strip' ( the comic strip) dan ia bukan pula merupakan suatu bentuk seni yang sama sekali baru seperti yang suka diangkat sebagian orang, komik diibaratkan sebuah perayaan atas kematian yang brilian dari konsepsi artistik yang sudah usang(out of date)
Secara naif biasanya komik strip di anggap mirip dengan narasi grafis (graphic narration). Kebiasaan ini adalah upaya menyetarakan komik dengan model awal narasi visual seperti gambaran/relief di Trajan Column atau Queen Mathilde’s, berikut pula contoh lainnya seperti lembaran-lembaran papirus Mesir, Bayeux Tapestry, novel cukilan kayu. Gambaran terdekatnya pada kita dapat di temui pada relief candi Borobudur dan Prambanan yang terkenal, secara spesifik Indonesia mempunyai Wayang Beber di Jawa, yang menggunakan teknik bercerita dengan gambar adegan per adegan. Dalanglah yang menarasikan satu persatu gulungan wayang beber dan menjalin kisah di dalamnya. Ada juga Prasi, ilustrasi dan lukisan dari daun lontar di Bali. Dan yang mendekati adalah ilustrasi naratif manuskrip Jawa yang banyak ditemukan berasal dari pertengahan abad ke 19, seperti Serat Rama Kawi, Serat Bratayuda, Serat Panji Jayakusuma, Serat Damarwulan . Tarik mundurlah lebih jauh lagi hingga ke lukisan dinding zaman pra-sejarah dan kita mempelajarinya sebagai sebuah arkeologi komik. Membedakan antara ‘komik’ dan model awal 'narasi visual' yang disebut-sebut itu, sedikit mirip seperti menganalogikan perbedaan 'sinema/bioskop/ layar tancap' dengan ‘wayang’(shadow teater/puppet); meski film atau animasi dapat di wayang-kan seperti dilakukan Lotte Reiniger(animator) , namun secara eksplisit kita bisa cukup jelas dalam membedakan keduanya.
Abad ke 19 di Eropa tercatat banyak eksplorasi dari narasi-narasi bergambar (illustrated narratives), yang beriringan dengan perkembangan teknologi cetak seperti zincography dan photoengraving. Tapi narasi itu, yang disebut "Images d’Epinal" di Perancis dan "Bilderbogen" di Jerman, masih menempatkan "jarak" antara teks dan gambar. Secara artistikal puncaknya kreasi cerita gambar (picture stories) ini dibuat oleh Rodolphe Toppfer dan Wilhelm Busch. Di abad-abad sebelumnya telah berlangsung eksprimen-eksperimen yang untuk sementara waktu terlihat antara teks dan ilustrasi berjalan di jalur yang berbeda, sampai akhirnya hadirlah ilustrasi cerita karya William Hogarth di tahun 1730-an yang menyatukan keterpisahan antara teks dan gambar, ke dalam satu jalinan cerita. Hogarth membuat sealami mungkin rangkaian adegan(sekuensial) dari sebuah visual naratif, dengan melukisan adegannya seolah-olah berada pada sebuah aksi panggung. Alhasil timbullah kesan dramatikal yang memikat. Apa yang Hogarth lakukan masa itu merupakan sesuatu hal yang sungguh berbeda dari cara mengillustrasi yang lazim di zamannya, sehingga dari sanalah diberikan sebutan yaitu "kartun(cartoon)". Konsepsi berupa setting antara teks dan gambar yang ia buat itu kelak akan menggiring adanya temuan sistematis penggunaan balon kata. Diduga konsepsi semacam ini berlanjut menelurkan asal-usul bentuk komik seutuhnya yaitu 'komik strip'.
Menjelang pergantian akhir abad ke 19, lahirnya bentuk budaya baru yang disebut komik ini, maka mulailah tampil ke depan pintu zaman sebuah model ekspresi baru yang populer. Menyandingkan pepatah Konfusius yang berbunyi, "A Picture means A Thousand Words", komik mendapatkan induksi pemaknaan yang lebih berarti sebagai sebuah media penyampai pesan yang memadukan teks narasi dan ilustrasi gambar. Sebagaimana yang diupayakan Will Eisner, seorang komikus Amerika yang sukses mengembangkan komik dalam bentuk yang ia sebut-sebut novel grafis (graphic novel), dimana dalam pandangannya buku komik merupakan montase kata dan gambar dimana seorang pembaca harus melatih kemampuannya menginterpretasikan hal-hal secara verbal dan visual bersamaan.
Jepang menyimpan penamaan tersendiri untuk komik yaitu 'Manga', dengan huruf kanji yang sama di Cina disebut Man Hua. Sebelumnya sempat di kenal sebutan Ponchi-e (istilah untuk gambar-gambar dari majalah Punch yang terbit pertama kali tahun 1814 di Inggris) dan juga komikkusu (mengadaptasi dari kata comics). Asal usul istilah Manga sendiri tidak ada keterkaitan spesifik dengan pengertian manga sebagaimana kita kenal sekarang ini sebagai sebutan untuk komik ala Jepang. Dahulu pada tahun 1814, jilid pertama “Hokusai Manga” diterbitkan, isinya adalah sketsa-sketsa Katshuhika Hokusai(1760-1849), seorang artis ukiyo-e (seni cukil kayu Jepang) yang terkenal, diterbitkan sebanyak 15 jilid. Tak ada gerak-gerik manusia yang luput dari ketajaman observasi matanya dan goresan kuasnya yang ekspresif. Hokusai menggambarkan obyektifitas pandangannya tentang kemanusiaan dari sisi yang humoris . Artis lain yang dinilai punya peran penting pada dunia komik Jepang adalah Yoshitoshi Tsukioka (1839-1892) artis ukiyo-e generasi akhir masa Meiji, adalah artis yang sangat baik melukiskan monster, makhluk aneh dan fantasi.
Konotasi manga kala itu disamakan dengan cartoon, dengan caranya sendiri-sendiri William Hogarth dan Katshuhika Hokusai melahirkan bentuk ilustrasi yang berbeda dari umum di tempat dan zamannya masing-masing. Adalah Rakuten Kitazawa(1876-1955) yang kemudian menjeneralisirkan penggunaan istilah Manga sebagai pengertian untuk kartun dan komik strip di Jepang, melalui suplemen hari minggu di harian Jiji Shinpou. Karya-karyanya masih sangat kental di pengaruhi oleh Outcoult, Dirks dan Opper. Tahun 1918 ia mendirikan Manga Kourakukai, sebuah asosiasi kartunis Jepang. Kitazawa adalah seorang pionir komik strip modern Jepang. Sekarang kartun/karikatur dan manga, mempunyai dunianya masing-masing dalam Jepang kontemporer.
Tradisi literatur atau sastra Jepang yang memikat dan biasanya berupaya menggiring emosional pembaca sehingga larut terbawa dalam imajinasi dan suasana cerita, tampaknya merupakan dasar kuat bagi kelanjutan perkembangan teknik bercerita dalam manga. Osamu Tezuka, yang dijuluki ‘The God of Manga’ yang tertarik sekali dengan desain karakter kartun Disney dan Max Fleischer, kemudian mengembangkan karakter individunya kedalam karya manga dan anime(sebutan khas animasi produksi Jepang) yang karena kepopulerannya, melanda berikutnya ke generasi-generasi selanjutnya hingga kini. Tezuka juga mendapatkan inspirasi dari film-film Jerman dan Perancis yang ia tonton semasa remaja, membawanya pada eksperimen teknik sinematografis masuk ke dalam manga Jepang, diantaranya melalui penciptaan efek-efek kesan ruang dan kedalaman, teknik 'passing' adegan, gerak dinamis dan slow motion, ritme cerita yang mendebarkan, dan alur cerita yang mengasyikkan dan tak harus selalu berakhir gembira. Beberapa efek sinematografis yang ia masukkan ke dalam manga adalah seperti pengambilan adegan dalam framing yang transisi obyeknya berubah perlahan-lahan. Semacam kesan zooming, pengambilan shoot gambar yang detail dari sudut ke sudut suatu obyek.
Jepang kontemporer mengandung banyak unsur campuran berbagai kebudayaan impor. Dimana di dalam pencampuran itu masih selalu terlekat erat esensi unsur yang menunjukkan tradisi ke-Jepangan-nya, misalnya saja kultur Jepang yang sangat menghemat ruang dan kompak, filosofis hidup ajaran Zen dan Konfusius, terlihat mempengaruhi lahirnya komposisi dan struktur lay-out manga yang efektif dan efisien dalam menggunakan bidang kertas terbatas namun tetap dijaga kejernihannya.
Sejarah Awal Asal Muasal Manga
Akhir abad ke-7, ditemukan citra si bodoh dari manusia dan hewan ditemukan pada dinding di dua kuil suci di Nara. Citra tersebut diduga telah ditinggalkan oleh para pekerjanya.
Abad ke-12, Chojugiga dipercaya telah diciptakan. Chojugiga adalah serial empat gulungan naskah yang dicat monokrom, melukiskan "gambar-gambar jenaka dari burung dan hewan", yang merupakan terjemahan dari namanya.
Periode Kamakura (1123-1333), naskah-naskah dengan ilustrasi yang melukiskan surga, manusia, Ashura (raksasa), binatang, arwah-arwah penasaran dan neraka - enam paham Budhist mengenai terjadinya alam - semakin sering terlihat. Gaya kartun sering dipakai walau seserius apapun isi naskah tersebut.
Dalam periode ini, naskah-naskah yang menggambarkan perilaku seputar nafsu birahi mulai muncul. Ini terbawa ke komik-komik masa kini dimana banyak lelucon-lelucon kasar dan adegan seksual.
Abad ke-15, warna menjadi dominan dan riang. Cerita-cerita hantu dan setan tetap menjadi tema utama dalam naskah-naskah saat itu.
Awal abad ke-17, proses pencetakan "wood-block" disempurnakan.
Abad ke-17, sebuah bentuk kartun keagamaan dikembangkan. Zenga, atau "gambar-gambar zen", melukiskan masalah-masalah serius dengan warna humor. Kesederhanaan seni Jepang terbukti di sekitar era ini.
Pertengahan abad ke-17, Otsu-e ("gambar Otsu") muncul. Gambar-gambar sederhana yang melukiskan wanita-wanita cantik, pejuang dan setan dalam pakaian pendeta diproduksi secara massal oleh pelukis-pelukis di kota Otsu, dekat Kyoto. Mereka melukis dengan warna blok yang kuat menggunakan pola-pola kertas dan kemudian menambahkan detil dengan kuas dan/atau tinta.
Periode Edo (1600-1867), Ukiyo-e, gambar-gambar cetakan "woodblock" yang monokrom dan kasar menjadi trend, melukiskan subyek-subyek seksual dan sensual. Gaya tersebut kemudian berkembang, pelukisan citra dari peristiwa sejarah, idola teater, busana dan atraksi turis yang populer. Beberapa aspek dari komik-komik aksi modern dapat dilacak berasal dari Ukiyo-e ini.
Seorang master Ukiyo-e bernama Hokusai (1815), adalah yang pertama kali memakai istilah manga, yang bila diartikan secara bebas berarti "gambar-gambar tak bertanggung jawab".
Komik musim semi atau "shunga", juga semakin banyak. Lukisan-lukisan pornografi ini ,yang melukiskan pria dan wanita dalam segala macam posisi seksual dengan anatomi yang dilebih- lebihkan, sering menjadi sasaran penyensoran oleh pihak yang berwenang, sebuah praktek yang terus berjalan sampai sekarang.
Juga dalam periode ini citra-citra "woodblock" dikumpulkan dan dibentuk menjadi apa yang dapat dianggap sebagai buku komik pertama didunia. Namun mereka memakai kepala karangan dibanding balon-balon dialog, dan tidak memiliki panel seni yang berurutan.
1702, Shumboku Ooka membuat sebuah buku kartun melukiskan kehidupan sehari-hari dan memulai kesukaan itu. Buku-buku kecil itu, yang disebut Toba-e, dicetak monokrom dan disertai dengan teks.
Ini diikuti oleh kibyoshi, atau buku "sampul kuning", yang dapat dianggap sebagai serial buku kartun pertama. Kibyoshi ini memiliki jalan cerita yang kuat dan seni yang bercerita. Kelahiran fenomena komik Jepang dapat dilacak dari bentuk-bentuk seninya di masa ini.
Kebangkitan Komik Jepang
Industri komik di Jepang sangat besar sehingga mengatasi dua negara industri komik besar lainnya yaitu Amerika Serikat dan Perancis.
Ada banyak majalah di Jepang yang dipersembahkan secara eksklusif untuk manga namun sulit untuk memberikan angka yang pasti, apalagi dengan adanya perusahaan-perusahaan penerbitan kecil yang mengeluarkan majalah secara bergantian. Pusat dari industri penerbitan di Jepang terdiri dari sekitar 13 majalah manga mingguan yang diterbitkan oleh penerbit besar sendirian, seiring dengan 10 dwimingguan dan tepatnya 20 bulanan yang berpengaruh. Pada suatu waktu ada paling tidak 10 majalah yang mengeluarkan lebih dari sejuta eksemplar dari tiap edisi. Lalu ada satu majalah non-manga yang dapat mengklaim memiliki lebih dari sejuta pembaca.
Secara naif biasanya komik strip di anggap mirip dengan narasi grafis (graphic narration). Kebiasaan ini adalah upaya menyetarakan komik dengan model awal narasi visual seperti gambaran/relief di Trajan Column atau Queen Mathilde’s, berikut pula contoh lainnya seperti lembaran-lembaran papirus Mesir, Bayeux Tapestry, novel cukilan kayu. Gambaran terdekatnya pada kita dapat di temui pada relief candi Borobudur dan Prambanan yang terkenal, secara spesifik Indonesia mempunyai Wayang Beber di Jawa, yang menggunakan teknik bercerita dengan gambar adegan per adegan. Dalanglah yang menarasikan satu persatu gulungan wayang beber dan menjalin kisah di dalamnya. Ada juga Prasi, ilustrasi dan lukisan dari daun lontar di Bali. Dan yang mendekati adalah ilustrasi naratif manuskrip Jawa yang banyak ditemukan berasal dari pertengahan abad ke 19, seperti Serat Rama Kawi, Serat Bratayuda, Serat Panji Jayakusuma, Serat Damarwulan . Tarik mundurlah lebih jauh lagi hingga ke lukisan dinding zaman pra-sejarah dan kita mempelajarinya sebagai sebuah arkeologi komik. Membedakan antara ‘komik’ dan model awal 'narasi visual' yang disebut-sebut itu, sedikit mirip seperti menganalogikan perbedaan 'sinema/bioskop/ layar tancap' dengan ‘wayang’(shadow teater/puppet); meski film atau animasi dapat di wayang-kan seperti dilakukan Lotte Reiniger(animator) , namun secara eksplisit kita bisa cukup jelas dalam membedakan keduanya.
Abad ke 19 di Eropa tercatat banyak eksplorasi dari narasi-narasi bergambar (illustrated narratives), yang beriringan dengan perkembangan teknologi cetak seperti zincography dan photoengraving. Tapi narasi itu, yang disebut "Images d’Epinal" di Perancis dan "Bilderbogen" di Jerman, masih menempatkan "jarak" antara teks dan gambar. Secara artistikal puncaknya kreasi cerita gambar (picture stories) ini dibuat oleh Rodolphe Toppfer dan Wilhelm Busch. Di abad-abad sebelumnya telah berlangsung eksprimen-eksperimen yang untuk sementara waktu terlihat antara teks dan ilustrasi berjalan di jalur yang berbeda, sampai akhirnya hadirlah ilustrasi cerita karya William Hogarth di tahun 1730-an yang menyatukan keterpisahan antara teks dan gambar, ke dalam satu jalinan cerita. Hogarth membuat sealami mungkin rangkaian adegan(sekuensial) dari sebuah visual naratif, dengan melukisan adegannya seolah-olah berada pada sebuah aksi panggung. Alhasil timbullah kesan dramatikal yang memikat. Apa yang Hogarth lakukan masa itu merupakan sesuatu hal yang sungguh berbeda dari cara mengillustrasi yang lazim di zamannya, sehingga dari sanalah diberikan sebutan yaitu "kartun(cartoon)". Konsepsi berupa setting antara teks dan gambar yang ia buat itu kelak akan menggiring adanya temuan sistematis penggunaan balon kata. Diduga konsepsi semacam ini berlanjut menelurkan asal-usul bentuk komik seutuhnya yaitu 'komik strip'.
Menjelang pergantian akhir abad ke 19, lahirnya bentuk budaya baru yang disebut komik ini, maka mulailah tampil ke depan pintu zaman sebuah model ekspresi baru yang populer. Menyandingkan pepatah Konfusius yang berbunyi, "A Picture means A Thousand Words", komik mendapatkan induksi pemaknaan yang lebih berarti sebagai sebuah media penyampai pesan yang memadukan teks narasi dan ilustrasi gambar. Sebagaimana yang diupayakan Will Eisner, seorang komikus Amerika yang sukses mengembangkan komik dalam bentuk yang ia sebut-sebut novel grafis (graphic novel), dimana dalam pandangannya buku komik merupakan montase kata dan gambar dimana seorang pembaca harus melatih kemampuannya menginterpretasikan hal-hal secara verbal dan visual bersamaan.
Jepang menyimpan penamaan tersendiri untuk komik yaitu 'Manga', dengan huruf kanji yang sama di Cina disebut Man Hua. Sebelumnya sempat di kenal sebutan Ponchi-e (istilah untuk gambar-gambar dari majalah Punch yang terbit pertama kali tahun 1814 di Inggris) dan juga komikkusu (mengadaptasi dari kata comics). Asal usul istilah Manga sendiri tidak ada keterkaitan spesifik dengan pengertian manga sebagaimana kita kenal sekarang ini sebagai sebutan untuk komik ala Jepang. Dahulu pada tahun 1814, jilid pertama “Hokusai Manga” diterbitkan, isinya adalah sketsa-sketsa Katshuhika Hokusai(1760-1849), seorang artis ukiyo-e (seni cukil kayu Jepang) yang terkenal, diterbitkan sebanyak 15 jilid. Tak ada gerak-gerik manusia yang luput dari ketajaman observasi matanya dan goresan kuasnya yang ekspresif. Hokusai menggambarkan obyektifitas pandangannya tentang kemanusiaan dari sisi yang humoris . Artis lain yang dinilai punya peran penting pada dunia komik Jepang adalah Yoshitoshi Tsukioka (1839-1892) artis ukiyo-e generasi akhir masa Meiji, adalah artis yang sangat baik melukiskan monster, makhluk aneh dan fantasi.
Konotasi manga kala itu disamakan dengan cartoon, dengan caranya sendiri-sendiri William Hogarth dan Katshuhika Hokusai melahirkan bentuk ilustrasi yang berbeda dari umum di tempat dan zamannya masing-masing. Adalah Rakuten Kitazawa(1876-1955) yang kemudian menjeneralisirkan penggunaan istilah Manga sebagai pengertian untuk kartun dan komik strip di Jepang, melalui suplemen hari minggu di harian Jiji Shinpou. Karya-karyanya masih sangat kental di pengaruhi oleh Outcoult, Dirks dan Opper. Tahun 1918 ia mendirikan Manga Kourakukai, sebuah asosiasi kartunis Jepang. Kitazawa adalah seorang pionir komik strip modern Jepang. Sekarang kartun/karikatur dan manga, mempunyai dunianya masing-masing dalam Jepang kontemporer.
Tradisi literatur atau sastra Jepang yang memikat dan biasanya berupaya menggiring emosional pembaca sehingga larut terbawa dalam imajinasi dan suasana cerita, tampaknya merupakan dasar kuat bagi kelanjutan perkembangan teknik bercerita dalam manga. Osamu Tezuka, yang dijuluki ‘The God of Manga’ yang tertarik sekali dengan desain karakter kartun Disney dan Max Fleischer, kemudian mengembangkan karakter individunya kedalam karya manga dan anime(sebutan khas animasi produksi Jepang) yang karena kepopulerannya, melanda berikutnya ke generasi-generasi selanjutnya hingga kini. Tezuka juga mendapatkan inspirasi dari film-film Jerman dan Perancis yang ia tonton semasa remaja, membawanya pada eksperimen teknik sinematografis masuk ke dalam manga Jepang, diantaranya melalui penciptaan efek-efek kesan ruang dan kedalaman, teknik 'passing' adegan, gerak dinamis dan slow motion, ritme cerita yang mendebarkan, dan alur cerita yang mengasyikkan dan tak harus selalu berakhir gembira. Beberapa efek sinematografis yang ia masukkan ke dalam manga adalah seperti pengambilan adegan dalam framing yang transisi obyeknya berubah perlahan-lahan. Semacam kesan zooming, pengambilan shoot gambar yang detail dari sudut ke sudut suatu obyek.
Jepang kontemporer mengandung banyak unsur campuran berbagai kebudayaan impor. Dimana di dalam pencampuran itu masih selalu terlekat erat esensi unsur yang menunjukkan tradisi ke-Jepangan-nya, misalnya saja kultur Jepang yang sangat menghemat ruang dan kompak, filosofis hidup ajaran Zen dan Konfusius, terlihat mempengaruhi lahirnya komposisi dan struktur lay-out manga yang efektif dan efisien dalam menggunakan bidang kertas terbatas namun tetap dijaga kejernihannya.
Sejarah Awal Asal Muasal Manga
Akhir abad ke-7, ditemukan citra si bodoh dari manusia dan hewan ditemukan pada dinding di dua kuil suci di Nara. Citra tersebut diduga telah ditinggalkan oleh para pekerjanya.
Abad ke-12, Chojugiga dipercaya telah diciptakan. Chojugiga adalah serial empat gulungan naskah yang dicat monokrom, melukiskan "gambar-gambar jenaka dari burung dan hewan", yang merupakan terjemahan dari namanya.
Periode Kamakura (1123-1333), naskah-naskah dengan ilustrasi yang melukiskan surga, manusia, Ashura (raksasa), binatang, arwah-arwah penasaran dan neraka - enam paham Budhist mengenai terjadinya alam - semakin sering terlihat. Gaya kartun sering dipakai walau seserius apapun isi naskah tersebut.
Dalam periode ini, naskah-naskah yang menggambarkan perilaku seputar nafsu birahi mulai muncul. Ini terbawa ke komik-komik masa kini dimana banyak lelucon-lelucon kasar dan adegan seksual.
Abad ke-15, warna menjadi dominan dan riang. Cerita-cerita hantu dan setan tetap menjadi tema utama dalam naskah-naskah saat itu.
Awal abad ke-17, proses pencetakan "wood-block" disempurnakan.
Abad ke-17, sebuah bentuk kartun keagamaan dikembangkan. Zenga, atau "gambar-gambar zen", melukiskan masalah-masalah serius dengan warna humor. Kesederhanaan seni Jepang terbukti di sekitar era ini.
Pertengahan abad ke-17, Otsu-e ("gambar Otsu") muncul. Gambar-gambar sederhana yang melukiskan wanita-wanita cantik, pejuang dan setan dalam pakaian pendeta diproduksi secara massal oleh pelukis-pelukis di kota Otsu, dekat Kyoto. Mereka melukis dengan warna blok yang kuat menggunakan pola-pola kertas dan kemudian menambahkan detil dengan kuas dan/atau tinta.
Periode Edo (1600-1867), Ukiyo-e, gambar-gambar cetakan "woodblock" yang monokrom dan kasar menjadi trend, melukiskan subyek-subyek seksual dan sensual. Gaya tersebut kemudian berkembang, pelukisan citra dari peristiwa sejarah, idola teater, busana dan atraksi turis yang populer. Beberapa aspek dari komik-komik aksi modern dapat dilacak berasal dari Ukiyo-e ini.
Seorang master Ukiyo-e bernama Hokusai (1815), adalah yang pertama kali memakai istilah manga, yang bila diartikan secara bebas berarti "gambar-gambar tak bertanggung jawab".
Komik musim semi atau "shunga", juga semakin banyak. Lukisan-lukisan pornografi ini ,yang melukiskan pria dan wanita dalam segala macam posisi seksual dengan anatomi yang dilebih- lebihkan, sering menjadi sasaran penyensoran oleh pihak yang berwenang, sebuah praktek yang terus berjalan sampai sekarang.
Juga dalam periode ini citra-citra "woodblock" dikumpulkan dan dibentuk menjadi apa yang dapat dianggap sebagai buku komik pertama didunia. Namun mereka memakai kepala karangan dibanding balon-balon dialog, dan tidak memiliki panel seni yang berurutan.
1702, Shumboku Ooka membuat sebuah buku kartun melukiskan kehidupan sehari-hari dan memulai kesukaan itu. Buku-buku kecil itu, yang disebut Toba-e, dicetak monokrom dan disertai dengan teks.
Ini diikuti oleh kibyoshi, atau buku "sampul kuning", yang dapat dianggap sebagai serial buku kartun pertama. Kibyoshi ini memiliki jalan cerita yang kuat dan seni yang bercerita. Kelahiran fenomena komik Jepang dapat dilacak dari bentuk-bentuk seninya di masa ini.
Kebangkitan Komik Jepang
Industri komik di Jepang sangat besar sehingga mengatasi dua negara industri komik besar lainnya yaitu Amerika Serikat dan Perancis.
Ada banyak majalah di Jepang yang dipersembahkan secara eksklusif untuk manga namun sulit untuk memberikan angka yang pasti, apalagi dengan adanya perusahaan-perusahaan penerbitan kecil yang mengeluarkan majalah secara bergantian. Pusat dari industri penerbitan di Jepang terdiri dari sekitar 13 majalah manga mingguan yang diterbitkan oleh penerbit besar sendirian, seiring dengan 10 dwimingguan dan tepatnya 20 bulanan yang berpengaruh. Pada suatu waktu ada paling tidak 10 majalah yang mengeluarkan lebih dari sejuta eksemplar dari tiap edisi. Lalu ada satu majalah non-manga yang dapat mengklaim memiliki lebih dari sejuta pembaca.
Spoiler for lanjutannya:
Manga dibedakan dari "saudara"nya di Barat menurut karakteristik-karakteristik berikut ini.
Serialisasi yang kuat dalam majalah-majalahnya.
Amatlah jarang ada manga di Jepang yang dibuat untuk publikasi dalam bentuk buku.Umumnya manga pertama-tama menjadi sebuah serial sisipan sebanyak dua puluh sampai tiga puluh halaman baru kemudian dikompilasi menjadi sebuah buku. Karena aslinya diterbitkan dalam majalah, manga cenderung hitam putih. Karya-karya populer dapat diserialkan setelah beberapa tahun dan menjadi lusinan volume ketika telah diterbitkan dalam bentuk buku. Sebagai contoh Dragon Ball, menjadi serial di majalah JUMP terbitan Shueisha sejak 80'an, namun baru tamat, di majalah itu juga, tahun 90'an.
Pembagian sasaran pembaca berdasar usia dan jenis kelamin
Manga dapat dibagi kedalam beberapa kategori bergantung pada usia pembaca yaitu ; majalah anak-anak (yonenshi), majalah remaja (shonenshi), dan majalah "kawula muda" (yangushi, juga dikenal sebagai seinenshi) yang menarik pembaca dari usia akhir remaja sampai akhir 20'an. Kelompok yang kedua termasuk majalah dewasa (dikenal sebagai seinenshi, dimana seinen mengacu pada dewasa daripada orang muda, atau otonashi) yang ditujukan untuk pemirsa yang lebih dewasa dengan tanpa batas usia. Manga yang diperuntukkan untuk wanita juga dibagi berdasar umur menjadi manga gadis remaja (shojoshi) dan komik "ladies" (berdasarkan kata Inggris "ladies" yang dibaca secara Jepang menjadi "redizu"). Manga untuk wanita ditandai dengan penggambaran karakter yang dibuat-buat dan tata bahasanya tersendiri atau "frame syntax".
Disebut stourii-man, atau manga yang bercerita, lebih berkembang di Jepang daripada komik- komik satu- atau empat-bingkai, dan mencapai tingkat kemahiran dan pengalaman yang membuatnya sering dibandingkan dengan film. Ketika elemen komposisi utama dalam film adalah pemotongan (cut), dalam manga fungsi ini dipenuhi oleh bingkai atau koma. Pengaturan koma yang mahir memungkinkan visualisasi yang tak terlihat dari cerita. Dimana komik-komik cerita Barat cenderung dikendalikan oleh tema, sutourii-man Jepang lebih pada membebaskan perkembangan karakter. Dalam manga Jepang, tema dibuat cukup jelas lewat kata-kata dan aksi dari karakter- karakternya, sehingga pembaca bisa mengalami temanya melalui proses identifikasi secara psikis dengan tokoh protagonis. Kesuksesan dari metode ini yang diperhitungkan atas kepopuleran yang luar biasa dari aliran manga.
Istilah
Komik di Jepang disebut sebagai "manga". Ada pula beberapa penerbit yang salah menggunakan istilah komikku, yaitu bahasa Inggris "comic' yang dibaca secara Jepang. Namun para pembaca di Jepang lebih suka memakai istilah Jepang sendiri yaitu manga. Walau biasanya ditulis dalam huruf katakana, "comic" sebenarnya terdiri dari dua huruf China yang berati citra yang dimainkan, dan aslinya mengacu ke gambar-gambar pintar atau satiris. Namun perkembangan dramatis dari manga kontemporer mulai akhir tahun 1960an membawa perluasan subyek diluar satir dan komedi. Demi meliputi subyek yang makin luas ini maka istilah ini mulai ditulis dalam tulisan fonetik untuk menghindari kesimpulan yang lebih sempit dari ideogram Jepang-Sino. Di Barat juga manga Jepang sering lebih diutamakan ditulis dalam istilah asli yang ditulis dalam huruf Roman untuk memisahkan manga sebagai aliran yang unik dan penting.
Serialisasi yang kuat dalam majalah-majalahnya.
Amatlah jarang ada manga di Jepang yang dibuat untuk publikasi dalam bentuk buku.Umumnya manga pertama-tama menjadi sebuah serial sisipan sebanyak dua puluh sampai tiga puluh halaman baru kemudian dikompilasi menjadi sebuah buku. Karena aslinya diterbitkan dalam majalah, manga cenderung hitam putih. Karya-karya populer dapat diserialkan setelah beberapa tahun dan menjadi lusinan volume ketika telah diterbitkan dalam bentuk buku. Sebagai contoh Dragon Ball, menjadi serial di majalah JUMP terbitan Shueisha sejak 80'an, namun baru tamat, di majalah itu juga, tahun 90'an.
Pembagian sasaran pembaca berdasar usia dan jenis kelamin
Manga dapat dibagi kedalam beberapa kategori bergantung pada usia pembaca yaitu ; majalah anak-anak (yonenshi), majalah remaja (shonenshi), dan majalah "kawula muda" (yangushi, juga dikenal sebagai seinenshi) yang menarik pembaca dari usia akhir remaja sampai akhir 20'an. Kelompok yang kedua termasuk majalah dewasa (dikenal sebagai seinenshi, dimana seinen mengacu pada dewasa daripada orang muda, atau otonashi) yang ditujukan untuk pemirsa yang lebih dewasa dengan tanpa batas usia. Manga yang diperuntukkan untuk wanita juga dibagi berdasar umur menjadi manga gadis remaja (shojoshi) dan komik "ladies" (berdasarkan kata Inggris "ladies" yang dibaca secara Jepang menjadi "redizu"). Manga untuk wanita ditandai dengan penggambaran karakter yang dibuat-buat dan tata bahasanya tersendiri atau "frame syntax".
Disebut stourii-man, atau manga yang bercerita, lebih berkembang di Jepang daripada komik- komik satu- atau empat-bingkai, dan mencapai tingkat kemahiran dan pengalaman yang membuatnya sering dibandingkan dengan film. Ketika elemen komposisi utama dalam film adalah pemotongan (cut), dalam manga fungsi ini dipenuhi oleh bingkai atau koma. Pengaturan koma yang mahir memungkinkan visualisasi yang tak terlihat dari cerita. Dimana komik-komik cerita Barat cenderung dikendalikan oleh tema, sutourii-man Jepang lebih pada membebaskan perkembangan karakter. Dalam manga Jepang, tema dibuat cukup jelas lewat kata-kata dan aksi dari karakter- karakternya, sehingga pembaca bisa mengalami temanya melalui proses identifikasi secara psikis dengan tokoh protagonis. Kesuksesan dari metode ini yang diperhitungkan atas kepopuleran yang luar biasa dari aliran manga.
Istilah
Komik di Jepang disebut sebagai "manga". Ada pula beberapa penerbit yang salah menggunakan istilah komikku, yaitu bahasa Inggris "comic' yang dibaca secara Jepang. Namun para pembaca di Jepang lebih suka memakai istilah Jepang sendiri yaitu manga. Walau biasanya ditulis dalam huruf katakana, "comic" sebenarnya terdiri dari dua huruf China yang berati citra yang dimainkan, dan aslinya mengacu ke gambar-gambar pintar atau satiris. Namun perkembangan dramatis dari manga kontemporer mulai akhir tahun 1960an membawa perluasan subyek diluar satir dan komedi. Demi meliputi subyek yang makin luas ini maka istilah ini mulai ditulis dalam tulisan fonetik untuk menghindari kesimpulan yang lebih sempit dari ideogram Jepang-Sino. Di Barat juga manga Jepang sering lebih diutamakan ditulis dalam istilah asli yang ditulis dalam huruf Roman untuk memisahkan manga sebagai aliran yang unik dan penting.
http://xtionstation.com/wp-content/u.../05/manga6.jpg
0
4.5K
Kutip
13
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan