Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

septiandwipAvatar border
TS
septiandwip
Pledoi Seorang Turis yang Pergi Ke Borobudur Untuk Menonton Lampion Terbang

Rabu, 29 Mei 2013
Pledoi Seorang Turis yang Pergi Ke Borobudur Untuk Menonton Lampion Terbang

Pertama-tama selaku seorang manusia yang telanjur dicap sebagai pendosa tanpa diberikan ruang untuk membela diri, saya mengucapkan permohonan maaf kepada sidang socmed yang mulia dan tanpa cela. Saya tahu kehidupan para anggota sidang pemilik akun social media merupakan laku hidup yang syarat kezuhudan, kesalehan yang tiada cela serta selalu bersikap lurus tanpa kompromi. Apalah saya ini seorang turis hina yang memang terbukti dengan meyakinkan telah menjadi seorang pesakitan, karena bertindak amoral dalam menikmati momen sebagai turis.

Merupakan benar adanya apabila saya datang ke Borobudur pada perayaan Waisyak kemarin bukan untuk merayakan ritus keagamaan. Sama seperti ribuan orang lain saya hendak melihat langsung tentang prosesi penerbangan lampion. Apakah ini salah? Saya hanyalah sedikit dari ribuan orang yang tertarik tentang momen Waisyak di Borobudur dari bacaan saya di majalah, buku atau situs perjalanan. Mereka hanya berkata "Menikmati Momen Magis Waisak", "Eksotisme Lampion Borobudur", "Keindahan Tersembunyi Perayaan Waisak," tanpa satupun menyertakan tautan tentang do and don't do ketik Waisyak.

Sebagai bebek saya hanya bisa ikut-ikutan hype para pesohor tanpa sempat belajar tentang sakralitas sebuah destinasi. Sebagai konsumen industri pariwisata saya merasa berhak menikmati apa yang saya bayarkan. Selama ini toh saya menilai dari berbagai situs, bacaan dan panduan yang ada keberadaan saya, turis, membawakan kemakmuran. Harusnya para bikhu ini senang dong saya datang dengan membawa uang untuk berbelanja. Undangan datang, promosi pariwisata dan buzzer event pariwisata mengatakan bahwa acara ini adalah is a must to attend. Saya hanya mengamini apa yang diminta apa saya salah?

Juga benar adanya apabila kemarin saya tanpa tendeng aling-aling memotret para bikhu dengan perilaku seekor hyena yang haus mangsa. Mengapa demikian? Saya hanya ikut arus dimana seorang pelaku lain memulai mata rantai yang kemudian membuat saya terekam pada satu gambar. Gambar yang kemudian membuat saya diadili sebagai seorang turis yang tak beretika dalam mengambil foto.

Tapi apakah etika dalam fotografi itu? Apakah kita harus santun dengan sikap pramuka ketika mengambil gambar? Ataukah sebelum mengambil foto harus menggunakan ewuh pakewuh dan basa basi pengantar izin memotret? Ataukah sidang pembaca sekalian mengharapkan saya si turis amatir ini untuk duduk takzim memohon doa pada yang kuasa sebelum menekan shutter? Apakah etika itu? Jikalau ada etika dalam fotografi apakah itu?

Dalam sebuah perdebatan tentang etika fotografi jurnalistik ketika sebuah momen muncul, katakanlah tragedi atau kelaparan, apa yang harusnya dilakukan fotografer. Menolong dulu atau memotret dulu? Tentu sebagai fotografer yang bertugas ia berkewajiban mengambil foto dahulu baru menolong. Bagaimana jika turis? Sejauh mana sebuah etika dalam mengambil foto bisa diberlakukan. Jika diberlakukan siapa yang berhak menentukan? Misal pada sebuah trip ke Argo Puro seorang fotografer amatir kebetulan memotret Harimau Jawa yang hilang. Lantas karena keberadaan foto itu berbondong-bondong turis datang dan merusak ekosistem yang ada etiskah?

Bagaimana jika seorang penyelam memotret dengan bangga telah melakukan penyelaman di sebuah daerah konservasi laut. Karena foto itu destinasi tersebut menjadi banyak peminat, investor masuk, daerah yang dulunya sepi menjadi ramai. Masyarakat menjadi makmur, tanah dijual murah untuk resort, pemuda desa yang nganggur menemukan pekerjaan. Lantas apakah tak beretika si pemotret karena menjual daerah konservasi untuk kemaslahatan bersama.

Jika dalam kasus ini sidang pembaca socmed menganggap saya bajingan karena naik stupa lantas memotret bikhu dengan pakaian minim. Mari kita tentukan apa yang tak beretika. Pakaiankah? Naik ke stupa kah? Memotret dari atas seolah saya raja dan bikhu budak. Jika kemudian sudah ditentukan. Mari kita tanyakan apa yang lebih penting bagi fotografer, baik amatir maupun profesional, momen atau etika?

Dalam sebuah tesis berjudul Ethics In Photojournalism: Past, Present, and Future karya Daniel R. Bersak ada sebuah poin penting etika yang ingin saya sampaikan pada sidang pembaca socmed yang adiluhung. Perihal konsep Golden Rules dimana pada sebuah subjek pelaku dan objek foto ada relasi penempatan posisi. "Apakah saya nyaman jika difoto demikian?" pada suatu kesempatan beberapa bikhu malah memberi ruang pada fotografer untuk memotret mereka. Mereka, para bikhu, kadang bisa bersikap welas asih daripada hakim-hakim yang tidak berada ditempat ketika sebuah momen diambil.

Tentu sidang pembaca socmed yang budiman pernah menonton film klasik tentang mahaguru James Nacthwey seorang "War Photographer" yang masyur itu. Kita tahu, foto-foto yang ia buat selalu intim, selalu dekat, selalu penuh dengan manusia yang menjadi objek gambar. Lantas bolehlah saya, seorang turis amatir yang hina lagi kotor ini bertanya, apakah ia juga tak beretika ketika mengambil objek gambarnya? Lihat saja foto ketika ia memotret anak korban perang atau keluarga yang berduka karena kematian. Apakah itu juga disebut melanggar etika?

Sidang pembaca socmed yang budiman tentu saja akan berkilah "Mahaguru James Nacthwey sebelumnya sudah berkomunikasi dengan objek foto. Ya tentu saja boleh dong mengambil foto dengan jarak dekat," jika demikian adanya. Saya hendak bertanya dengan sidang pembaca socmed yang suci, apa yang membuat anda berpikir ketika saya memotret para bikhu budha saya tak meminta izin sebelumnya? Apakah ada panduan khusus pengadilan sebuah foto hanya dari sebuah gambar tanpa narasi yang jelas. Apakah rekan MY, fotografer pengunggah foto turis memotret bikhu, sudah bertanya, menegur ataukah ia hanya sekedar mengambil gambar lantas menunggahnya sebagai sebuah sensasi konyol?

Tapi bagai gunting makan di ujung, saya sebagai turis bodoh yang telah terlanjur bersalah tanpa pembelaan ini, sekali lagi meminta maaf kepada para sidang pembaca socmed yang luhur budi. Jika bung Ayos Purwoadji dalam The Almighty Photographer menggunakan metafora lukisan sebagai penjelasan perilaku saya. Maka saya selaku turis hina ini akan melakukan hal yang sama. Saya akan menggunakan lukisan S Sudjojono yang berjudul “Tjap Go Meh” yang dibuat pada 1940. Dalam karya ini maestro jiwa ketok ini menggambarkan emosi yang meluap-luap, tentang hiruk pikuk manusia yang tanpa kendali, dengan pusat horison seorang penari yang tersenyum lebar. Apakah ada rerlasi penaklukan disitu?

Jika bung Ayos yang terhormat menggambarkan lukisan maestro moii Raden Saleh sebagai relasi penaklukan. Maka saya ingin bicara, terlepas sakralitas dan nilai transenden Waisak, perayaan di Borobudur kemarin adalah sebuah momen vakansi. Seperti lukisan “Tjap Go Meh” ia bisa berarti karnaval yang tentu saja akan naif jika tiada bicara tentang luberan ektase rasa gembira. Apa yang akan anda lakukan jika anda seorang turis, dengan kamera, lantas melihat sebuah momen/tradisi/kebiasaan asing yang anda kira itu eksotik? Saya kira jawaban kita seragam akan mengambil gambar tersebut tanpa pretensi apapun.

Maafkan saya sidang pembaca socmed yang santun tanpa cela, jika saya mengatakan tanpa prentensi apapun. Saya tak pandai fotografi jika kemudian gesture saya dalam mengambil foto disebut sebagai sebuah relasi antara budak dan penguasa. Sekali lagi saya ucapkan maaf. Sebagai turis yang tak tahu diri dan tak tahu apa-apa yang saya tahu dalam pengambilan gambar selain momen, hal penting lain yang penting diawasi adalah cahaya, dan cahaya dan cahaya. Sudahkah anda melihat latar dimana cahaya datang dan pergi?

Selain itu Roland Barthes jika sidang pembaca yang terdidik sudi membaca pernah berkata "The Photographic Message" relasi foto (jurnalistik) terletak pada bagaimana sebuah institusi media (dalam hal ini pengambil foto saya berdiri di atas stupa) membentuk konsepsi kepada resepien yaitu pembaca media (atau sidang pembaca socmed yang suci). Sebuah foto bisa berfungsi sebagaiframing perception, apa yang hendak disampaikan dari pengambil foto seorang turis yang berdiri di atas stupa? Apakah dia ingin bilang "Ini loh turis norak, gue gak norak," ataukah "Ini adalah turis hina yang salah kaprah, tapi saya gak mau memperingatkan baik-baik, saya posting di instagram aja biar dia malu"

Meminjam istilah Susan Sontag dalam On Photography "Reality has always been interpreted through the reports given by images," pada kasus ini saya tak diberikan kesempatan membela diri, diperingatkan jika salah atau diberi tahu jika tidak etis. Klaim sepihak seringkali menyebalkan bukan? Ludwig Feuerbach pun telah menubuatkan hal ini dalam The Essence of Christianity. Dimana kelak pada satu titik peradaban akan lebih mementingkan apa yang nampak dari pada apa yang sebenarnya terjadi

"Society prefers the image to the thing, the copy to the original, the representation to the reality, appearance to being" Ludwig Feuerbach - The Essence of Christianity

Apakah salah? Saya kira tidak. Kita adalah mahluk visual yang hanya menilai dari apa yang tampak. Ketika sebuah foto turis sedang menaiki stupa dengan pakaian minim menjadi sebuah pusat perhatian. Barangkali kita juga alpa menafsir bahwa dibelakangnya juga beberapa pelaku, yang dalam konteks etika, sama bersalahnya. Meminjam istilah bung Ayos Purwoadji, dalam sebuah foto akan muncul tafsir atas "atribut yang dikenakan; wanita-pria, modern-tradisi, materialisme-idealisme, liberal-konservatif, profan-sakral, dan seterusnya." Salah jika kemudian penumpahan kesalahan pada satu wanita bisa ditafsirkan sebagai usaha penindasan terhadap eksistensi wanita secara misoginistik?

Lantas sekali lagi saya bertanya apakah etika itu? Apakah ia yang dengan bijak memperingatkan "Hei nona anda bisa lebih baik loh memakai penutup badan dan tidak memotret di atas stupa," atau dengan keji dan pretenius "ah gue foto lo biar dibully orang setemlen!" Dari sekian banyak tulisan dan pengadilan di social media oleh para anggota sidang yang terhormat sedikit sekali narasi yang berkisah tentang apa yang sebenarnya terjadi di lokasi kejadian selain turis turis brengsek atau traveler sakit jiwa.

Apakah anggota sidang socmed yang bijak bestari tahu jika ada praktik scamming alias penipuan kecil-kecilan di lokasi Waisak? Tentang tukang becak yang bekerja sama dengan penjual bakpia, atau jarak tempuh yang dibuat jauh untuk membuat tarif bertambah, atau tentang mobil sewa yang tak bekerja profesional sesuai ijab-qabul? Atau barangkali etika dan moral lebih penting daripada relasi kemanusiaan. Kita berbicara soal baik dan benar tanpa mau mendengar penjelasan, apa yang lebih tengik dari itu?

Sebagai penutup saya hendak mengutip perkataan mahaguru James Nacthwey dalam The War Photographer. "Every minute I was there, I wanted to flee. I did not want to see this. Would I cut and run, or would I deal with the responsibility of being there with a camera" Apa artiya sebuah kamera yang dibawa jika tidak dimanfaatkan sebagai peruntukannya? Tabik.

Arman Dhani Bustomi di 15.47
sumber : http://terumbukarya.blogspot.com/201...gi-ke.html?m=1




Kedua

Ini beberapa keluhan dari pihak Borobudur tentang Acara Waisak kemarin (copas dr tuiternya @BorobudurPark :

RT @BorobudurPark: byk pengunjung yg tdk memakai ID Card memaksa masuk ,berteriak marah & mengancam, serta hampir menjatuhkan pintu gerbang


RT @BorobudurPark: Memotret acara Waisak tidak dilarang. Akan tetapi banyak fotografer yang tidak tahu sopan santun.

RT @BorobudurPark: Sdh ditegaskan dr awal bahwa dilarang foto dgn menggunakan flash selama upacara keagamaan dilakukan.

RT @BorobudurPark: Byk pula yg mndekatkan lensa kamera k wajah Bhante. Ini sgt menganggu konsentrasi Umat Buddha yg melakukan ibadah

RT @BorobudurPark: Jk tdk adanya kesadaran & toleransi beragama, mk penutupan Candi Borobudur akn kmi lakukan pd acara Waisak thn dpn!


sumber
http://www.fotografer.net/forum/foru...85&page=999999
Polling
0 suara
apa pendapat anda??
0
2.7K
13
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan