- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Inilah Pesaing Batik dan Kain Songket... Siap mengharumkan nama Bangsa Indonesia!!


TS
combad
Inilah Pesaing Batik dan Kain Songket... Siap mengharumkan nama Bangsa Indonesia!!
Makassar sebagai Pintu Gerbang Wilayah Indonesia Bagian Timur ternyata punya juga kain tenun/batik dengan motif khas, yang biasa dikenal dengan nama KAIN TENUN SENGKANG.
Selama ini kita cuma mengenal Batikdari Jawa, Kain Songket dari Palembang, Batik Papua dari Papua, dll.
Motifnya berbeda dari kebanyakan kain tradisional yang lebih terkenal sebelumnya seperti Batik dan lain-lain.
Motif yang digunakan adalah motif geometris zig-zag dengan aneka warna.



IRONIS yahh... padahal potensi KAIN TENUN SENGKANG tidak kalah dari Batik dari Jawa ataupun Kain Songket dari Palembang!!!
Ga percaya??
Ini buktinya !!

Indonesia’s natural beauty served as inspiration for Didiet Maulana’s latest collection for his label, Ikat Indonesia.
The fashion designer, who launched his spring/summer 2013 collection during Jakarta Fashion Week earlier this month, also said the range was inspired by “our optimistic hopes for the upcoming new year.”
Themed “Romantika Matahari” (Romanticism of the Sun), Didiet sampled a variety of shades in his pieces, choosing vibrant colors of red, orange and magneta, as well as deep, earthy colors and soft pastel hues.
Singer Andien, dressed in an onyx strapless mullet gown, performed a song to open up the show before the 600 people in the audience.
Andien’s dress combined tenun sengkang, a traditional handwoven textile from Makassar, South Sulawesi, and intricate layers of tulle cascading down the front of the dress.
http://www.thejakartaglobe.com/featu...elagos-beauty/

Atau tambah Maida, baju kurang atau kebaya Kartini dipadu dengan songket Palembang atau baju Aceh dipadupadankan dengan kain Batikatau dengan sutera Mandar, Makassar. Bisa juga dipadupadankan dengan kain Bali.
http://www.shnews.co/female/detile-1...payudara-.html


Kekayaan tenun ikat tak habis-habisnya dieksplorasi oleh Didiet Maulana. Di panggung Plaza Indonesia Fashion Week 2013, desainer yang pernah menempuh pendidikan di bidang arsitektur ini kembali mengangkat keindahan kain tenun ikat sutra dari Sengkang, Makassar, Sulawesi Selatan.
http://internasional.kompas.com/read...Didiet.Maulana

“Saya menggunakan tenun dari Makassar dengan warna oranye yang sesuai dengan warna kulit Maudy, dan nuansa senada dengan riasan wajahnya,”ujar Didiet, saat ditemui di sela-sela acara "A Celebration of Indonesian Women of Worth" di The Dharmawangsa, Jakarta, Rabu (8/5/2013) lalu.
http://female.kompas.com/read/2013/0...campaign=Kknwp
Sumber1
Sumber2
Jadi gimana pendapat agan dan aganwati sekalian setelah melihat keindahan dari KAIN TENUN SENGKANG?
Gak kalah kan dari Batik, Kain Songket dan Batik Papua?
Selama ini kita cuma mengenal Batikdari Jawa, Kain Songket dari Palembang, Batik Papua dari Papua, dll.
Motifnya berbeda dari kebanyakan kain tradisional yang lebih terkenal sebelumnya seperti Batik dan lain-lain.
Motif yang digunakan adalah motif geometris zig-zag dengan aneka warna.

Quote:
Bunyi gesekan alat tenun di Desa Bira dan Darubiah, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, nyaris tak terdengar lagi. Alat tenun bukan mesin maupun gedokan hanya teronggok di kolong-kolong rumah panggung penduduk. Alat-alat itu kini berdebu, kusam, menganggur, dan tak produktif.
Dua desa itu sebetulnya adalah salah satu sentra tenun sutra di Sulawesi, selain yang paling besar di Sengkang, Kabupaten Wajo.
Pada masa silam, desa-desa itu selalu ramai dengan kegiatan pertenunan. Hampir tak ada alat tenun yang menganggur. Tetapi, sejak beberapa tahun terakhir ini industri rakyat itu seperti hidup segan, mati tak mau. Penduduk, terutama kaum perempuan, yang menekuni pekerjaan itu seperti kehabisan akal untuk menggerakkan kembali alat tenun tersebut.
"Usaha tenun sekarang ini semakin sulit. Tak banyak lagi warga yang masih bisa bertahan," ungkap Hj Marna Intan, pemilik usaha tenun yang ditemui di rumahnya di Jalan Perdamaian, Bira. "Saya sudah berhenti membuat tenun karena tidak ada modal," kata perempuan lain yang lebih memilih membuka usaha warung minuman di Pantai Tanjung Bira.
Problem yang dihadapi para perajin, terutama kurangnya pasokan bahan baku yang berkualitas dan sulitnya pemasaran. Dua hal itulah yang paling membuat para perajin pusing tujuh keliling. Kondisi yang sama dialami perajin tenun asal Mandar di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat. Tal ayal lagi, industri tenun etnik Mandar yang tersebar di empat kecamatan—Limboro, Campalagian, Balanipa, dan Tinambung—itu ibarat mobil yang berjalan terseok-seok karena kekurangan bahan bakar.
Penanggung Jawab Balai Industri Sutra Desa Samasundu, Kecamatan Limboro, Zubaer (45) menjelaskan, selama ini industri tenun warga Mandar yang telah menjadi bagian adat sekaligus menjadi mata pencarian masyarakat menghadapi berbagai persoalan dan kendala. "Paling utama adalah persoalan bahan baku. Selama ini perajin mendapatkan benang dari Sengkang, namun jumlahnya amat terbatas," ungkap Zubaer.
Para perajin akhirnya memilih menggunakan benang sintetis yang dikenal dengan istilah benang impor. Padahal, harganya jauh lebih mahal ketimbang benang lokal. Sebagai gambaran, satu kilogram benang lokal hanya Rp 250.000, sedangkan benang sintetis impor kini mencapai Rp 400.000 per kg.
H Baji HM, pemilik usaha tenun sutra Losari Silk di Sempange, Sengkang, mengakui, persoalan bahan baku menjadi problem yang belum terpecahkan sampai hari ini. Akibat pasokan bahan baku lokal yang terbatas, ditambah kualitasnya yang tidak bagus, para perajin terpaksa bergantung pada bahan baku impor, terutama dari China.
Selain benang, para perajin di Polman juga terpaksa menggunakan pewarna impor. Untuk selembar sarung biasanya mereka mengeluarkan biaya Rp 6.000. "Menurut kami itu mahal karena dulu pewarna dibuat dari tumbuh-tumbuhan," kata Hamsiah, perajin tenun gedokan yang kini bergabung dengan Balai Industri Sutra yang dikelola Dinas Perindustrian dan Perdagangan Polman.
Selembar sarung setidaknya membutuhkan seperempat kilogram benang dengan masa pengerjaan sepekan hingga 10 hari. Bagi perajin tenun yang sudah berkeluarga, waktu pengerjaan bisa lebih lama karena umumnya dikerjakan di sela pekerjaan rumah tangga. Perempuan Mandar biasanya sudah bisa menenun sejak usia kanak-kanak. Pekerjaan itu terus dilakukan hingga mereka berkeluarga.
Problem pemasaran
Berbeda dengan pemasaran di Sengkang, para perajin di Polman dan Bulukumba harus lebih keras memutar otak. Para perajin tenun gedokan biasanya tidak memiliki jalur pemasaran yang jelas. Mereka umumnya hanya menitipkan hasil tenunan kepada pedagang kain yang ada di pasar. Bahkan, tak jarang para perajin bekerja pada pemilik modal dengan upah yang tidak seberapa.
"Satu lembar sarung biasanya kami jual Rp 30.000 sampai Rp 40.000 ke pedagang kain di pasar. Namun, biasanya oleh para pedagang dijual lebih dari Rp 100.000 per lembar, tergantung motif dan coraknya," tutur Neneng Jumiati (26), perajin tenun gedokan di Desa Samasundu, Kecamatan Limboro.
Dalam satu bulan, para perajin tenun gedokan rata-rata hanya bisa menghasilkan tiga sarung. Bahkan, ada yang hanya menghasilkan selembar sarung karena kesibukan para perempuan mengurus rumah tangga mereka.
Di Bulukumba, kesulitan pemasaran membuat usaha rakyat itu nyaris bangkrut. Menurut Andi Tenne, perajin di Desa Bira, usaha tenunnya meredup ketika krisis moneter tak juga pulih. Akibat kenaikan harga dan kondisi ekonomi yang belum stabil, usaha tenun rakyat pun ikut terpuruk.
Selama ini warga memasarkan kain tenun itu ke Nusa Tenggara Barat melalui Pelabuhan Bira dan Makassar. Di saat lesu seperti sekarang, para perajin pun bersikap pasif, menunggu para pembeli datang ke rumah mereka. "Pembeli sedikit. Kalaupun ada barang, kami tidak mudah menjualnya. Makanya, produksi dikurangi," kata Hj Marna.
Menurut dia, pada saat usaha tenun masih bagus, terutama pertengahan dekade 1980-1990, dari kolong rumahnya dia mampu memproduksi 300 lembar kain per bulan. Tetapi, usaha itu terus merosot dan kini maksimal hanya 100 lembar per bulan. Artinya, hanya warga yang memiliki modal besar yang mampu bertahan. Perajin bermodal kecil sudah gulung tikar.
Kondisi seperti itulah yang mengakibatkan industri rakyat, termasuk kain tenun, sulit berkembang. Padahal, jika industri rakyat tenun dikelola secara profesional, bukan tidak mungkin industri tenun dapat menjadi penggerak ekonomi masyarakat.
Pemerintah setempat bukannya tidak membaca kondisi itu. Kehadiran Balai Industri Sutra yang didirikan di Desa Samasundu oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Polman setidaknya menjadi salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah.
Di balai industri itu perajin tenun gedokan diajari menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) agar proses pengerjaan tenun mandar dapat dipersingkat. Tujuannya tidak lain agar para perajin lebih produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan mereka.
"Kami berusaha mengajak perajin untuk belajar menggunakan ATBM. Tetapi, karena jumlah alat juga masih terbatas, belum semua perajin bisa kami ajak," kata Zubaer. Dengan ATBM, seorang perajin bisa menghasilkan selembar kain sarung dalam sehari.
Selain itu, pemerintah setempat juga tengah berupaya mengembangkan perkebunan murbei di Desa Sallari seluas lima hektar dan satu hektar di Desa Napo. Harapannya agar kesulitan bahan baku dapat sedikit teratasi. Perluasan perkebunan murbei juga digalakkan di Kabupaten Enrekang, Soppeng, dan Wajo yang merupakan sentra produksi bahan baku.
Bupati Wajo Andi Asmidin bahkan mengimbau agar pegawai negeri di wilayahnya mengenakan pakaian sutra sekali dalam seminggu (setiap Kamis). Maksudnya untuk membantu menggerakkan sektor pemasaran yang sering dikeluhkan para perajin.


Ironis jika tidak segera dibenahi karena sutra merupakan salah satu komoditas unggulan dalam Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas) yang digalakkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Wilayah ini merupakan provinsi yang memiliki areal tanaman murbei terluas dibanding provinsi lain di Indonesia.
Menurut data, delapan tahun lalu areal tanaman murbei di Sulsel mencapai lebih dari 4.000 hektar. Sementara Jawa Barat yang menempati urutan kedua memiliki luas tak sampai 2.000 hektar kebun murbei. Produksi kokon Sulsel lebih dari 260.000 kilogram setahun saat usaha rakyat itu masih berjalan bagus, sementara di urutan kedua Jawa Timur dengan produksi sekitar 65.000 kilogram.
Meskipun sulit, industri tenun di Sulsel mungkin tak akan punah. Para perajin bertekad melanggengkan warisan leluhur mereka. "Kami di Wajo berprinsip, kalau tak ada benang, rotan pun akan kami tenun,"kata H Baji bercanda. (Dwi As Setianingsih dan Subhan SD)
Dua desa itu sebetulnya adalah salah satu sentra tenun sutra di Sulawesi, selain yang paling besar di Sengkang, Kabupaten Wajo.
Pada masa silam, desa-desa itu selalu ramai dengan kegiatan pertenunan. Hampir tak ada alat tenun yang menganggur. Tetapi, sejak beberapa tahun terakhir ini industri rakyat itu seperti hidup segan, mati tak mau. Penduduk, terutama kaum perempuan, yang menekuni pekerjaan itu seperti kehabisan akal untuk menggerakkan kembali alat tenun tersebut.
"Usaha tenun sekarang ini semakin sulit. Tak banyak lagi warga yang masih bisa bertahan," ungkap Hj Marna Intan, pemilik usaha tenun yang ditemui di rumahnya di Jalan Perdamaian, Bira. "Saya sudah berhenti membuat tenun karena tidak ada modal," kata perempuan lain yang lebih memilih membuka usaha warung minuman di Pantai Tanjung Bira.
Problem yang dihadapi para perajin, terutama kurangnya pasokan bahan baku yang berkualitas dan sulitnya pemasaran. Dua hal itulah yang paling membuat para perajin pusing tujuh keliling. Kondisi yang sama dialami perajin tenun asal Mandar di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat. Tal ayal lagi, industri tenun etnik Mandar yang tersebar di empat kecamatan—Limboro, Campalagian, Balanipa, dan Tinambung—itu ibarat mobil yang berjalan terseok-seok karena kekurangan bahan bakar.
Penanggung Jawab Balai Industri Sutra Desa Samasundu, Kecamatan Limboro, Zubaer (45) menjelaskan, selama ini industri tenun warga Mandar yang telah menjadi bagian adat sekaligus menjadi mata pencarian masyarakat menghadapi berbagai persoalan dan kendala. "Paling utama adalah persoalan bahan baku. Selama ini perajin mendapatkan benang dari Sengkang, namun jumlahnya amat terbatas," ungkap Zubaer.
Para perajin akhirnya memilih menggunakan benang sintetis yang dikenal dengan istilah benang impor. Padahal, harganya jauh lebih mahal ketimbang benang lokal. Sebagai gambaran, satu kilogram benang lokal hanya Rp 250.000, sedangkan benang sintetis impor kini mencapai Rp 400.000 per kg.
H Baji HM, pemilik usaha tenun sutra Losari Silk di Sempange, Sengkang, mengakui, persoalan bahan baku menjadi problem yang belum terpecahkan sampai hari ini. Akibat pasokan bahan baku lokal yang terbatas, ditambah kualitasnya yang tidak bagus, para perajin terpaksa bergantung pada bahan baku impor, terutama dari China.
Selain benang, para perajin di Polman juga terpaksa menggunakan pewarna impor. Untuk selembar sarung biasanya mereka mengeluarkan biaya Rp 6.000. "Menurut kami itu mahal karena dulu pewarna dibuat dari tumbuh-tumbuhan," kata Hamsiah, perajin tenun gedokan yang kini bergabung dengan Balai Industri Sutra yang dikelola Dinas Perindustrian dan Perdagangan Polman.
Selembar sarung setidaknya membutuhkan seperempat kilogram benang dengan masa pengerjaan sepekan hingga 10 hari. Bagi perajin tenun yang sudah berkeluarga, waktu pengerjaan bisa lebih lama karena umumnya dikerjakan di sela pekerjaan rumah tangga. Perempuan Mandar biasanya sudah bisa menenun sejak usia kanak-kanak. Pekerjaan itu terus dilakukan hingga mereka berkeluarga.
Problem pemasaran
Berbeda dengan pemasaran di Sengkang, para perajin di Polman dan Bulukumba harus lebih keras memutar otak. Para perajin tenun gedokan biasanya tidak memiliki jalur pemasaran yang jelas. Mereka umumnya hanya menitipkan hasil tenunan kepada pedagang kain yang ada di pasar. Bahkan, tak jarang para perajin bekerja pada pemilik modal dengan upah yang tidak seberapa.
"Satu lembar sarung biasanya kami jual Rp 30.000 sampai Rp 40.000 ke pedagang kain di pasar. Namun, biasanya oleh para pedagang dijual lebih dari Rp 100.000 per lembar, tergantung motif dan coraknya," tutur Neneng Jumiati (26), perajin tenun gedokan di Desa Samasundu, Kecamatan Limboro.
Dalam satu bulan, para perajin tenun gedokan rata-rata hanya bisa menghasilkan tiga sarung. Bahkan, ada yang hanya menghasilkan selembar sarung karena kesibukan para perempuan mengurus rumah tangga mereka.
Di Bulukumba, kesulitan pemasaran membuat usaha rakyat itu nyaris bangkrut. Menurut Andi Tenne, perajin di Desa Bira, usaha tenunnya meredup ketika krisis moneter tak juga pulih. Akibat kenaikan harga dan kondisi ekonomi yang belum stabil, usaha tenun rakyat pun ikut terpuruk.
Selama ini warga memasarkan kain tenun itu ke Nusa Tenggara Barat melalui Pelabuhan Bira dan Makassar. Di saat lesu seperti sekarang, para perajin pun bersikap pasif, menunggu para pembeli datang ke rumah mereka. "Pembeli sedikit. Kalaupun ada barang, kami tidak mudah menjualnya. Makanya, produksi dikurangi," kata Hj Marna.
Menurut dia, pada saat usaha tenun masih bagus, terutama pertengahan dekade 1980-1990, dari kolong rumahnya dia mampu memproduksi 300 lembar kain per bulan. Tetapi, usaha itu terus merosot dan kini maksimal hanya 100 lembar per bulan. Artinya, hanya warga yang memiliki modal besar yang mampu bertahan. Perajin bermodal kecil sudah gulung tikar.
Kondisi seperti itulah yang mengakibatkan industri rakyat, termasuk kain tenun, sulit berkembang. Padahal, jika industri rakyat tenun dikelola secara profesional, bukan tidak mungkin industri tenun dapat menjadi penggerak ekonomi masyarakat.
Pemerintah setempat bukannya tidak membaca kondisi itu. Kehadiran Balai Industri Sutra yang didirikan di Desa Samasundu oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Polman setidaknya menjadi salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah.
Di balai industri itu perajin tenun gedokan diajari menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) agar proses pengerjaan tenun mandar dapat dipersingkat. Tujuannya tidak lain agar para perajin lebih produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan mereka.
"Kami berusaha mengajak perajin untuk belajar menggunakan ATBM. Tetapi, karena jumlah alat juga masih terbatas, belum semua perajin bisa kami ajak," kata Zubaer. Dengan ATBM, seorang perajin bisa menghasilkan selembar kain sarung dalam sehari.
Selain itu, pemerintah setempat juga tengah berupaya mengembangkan perkebunan murbei di Desa Sallari seluas lima hektar dan satu hektar di Desa Napo. Harapannya agar kesulitan bahan baku dapat sedikit teratasi. Perluasan perkebunan murbei juga digalakkan di Kabupaten Enrekang, Soppeng, dan Wajo yang merupakan sentra produksi bahan baku.
Bupati Wajo Andi Asmidin bahkan mengimbau agar pegawai negeri di wilayahnya mengenakan pakaian sutra sekali dalam seminggu (setiap Kamis). Maksudnya untuk membantu menggerakkan sektor pemasaran yang sering dikeluhkan para perajin.



Ironis jika tidak segera dibenahi karena sutra merupakan salah satu komoditas unggulan dalam Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas) yang digalakkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Wilayah ini merupakan provinsi yang memiliki areal tanaman murbei terluas dibanding provinsi lain di Indonesia.
Menurut data, delapan tahun lalu areal tanaman murbei di Sulsel mencapai lebih dari 4.000 hektar. Sementara Jawa Barat yang menempati urutan kedua memiliki luas tak sampai 2.000 hektar kebun murbei. Produksi kokon Sulsel lebih dari 260.000 kilogram setahun saat usaha rakyat itu masih berjalan bagus, sementara di urutan kedua Jawa Timur dengan produksi sekitar 65.000 kilogram.
Meskipun sulit, industri tenun di Sulsel mungkin tak akan punah. Para perajin bertekad melanggengkan warisan leluhur mereka. "Kami di Wajo berprinsip, kalau tak ada benang, rotan pun akan kami tenun,"kata H Baji bercanda. (Dwi As Setianingsih dan Subhan SD)
IRONIS yahh... padahal potensi KAIN TENUN SENGKANG tidak kalah dari Batik dari Jawa ataupun Kain Songket dari Palembang!!!
Ga percaya??
Ini buktinya !!
Quote:

Indonesia’s natural beauty served as inspiration for Didiet Maulana’s latest collection for his label, Ikat Indonesia.
The fashion designer, who launched his spring/summer 2013 collection during Jakarta Fashion Week earlier this month, also said the range was inspired by “our optimistic hopes for the upcoming new year.”
Themed “Romantika Matahari” (Romanticism of the Sun), Didiet sampled a variety of shades in his pieces, choosing vibrant colors of red, orange and magneta, as well as deep, earthy colors and soft pastel hues.
Singer Andien, dressed in an onyx strapless mullet gown, performed a song to open up the show before the 600 people in the audience.
Andien’s dress combined tenun sengkang, a traditional handwoven textile from Makassar, South Sulawesi, and intricate layers of tulle cascading down the front of the dress.
http://www.thejakartaglobe.com/featu...elagos-beauty/
Quote:

Atau tambah Maida, baju kurang atau kebaya Kartini dipadu dengan songket Palembang atau baju Aceh dipadupadankan dengan kain Batikatau dengan sutera Mandar, Makassar. Bisa juga dipadupadankan dengan kain Bali.
http://www.shnews.co/female/detile-1...payudara-.html
Quote:


Kekayaan tenun ikat tak habis-habisnya dieksplorasi oleh Didiet Maulana. Di panggung Plaza Indonesia Fashion Week 2013, desainer yang pernah menempuh pendidikan di bidang arsitektur ini kembali mengangkat keindahan kain tenun ikat sutra dari Sengkang, Makassar, Sulawesi Selatan.
http://internasional.kompas.com/read...Didiet.Maulana
Quote:

“Saya menggunakan tenun dari Makassar dengan warna oranye yang sesuai dengan warna kulit Maudy, dan nuansa senada dengan riasan wajahnya,”ujar Didiet, saat ditemui di sela-sela acara "A Celebration of Indonesian Women of Worth" di The Dharmawangsa, Jakarta, Rabu (8/5/2013) lalu.
http://female.kompas.com/read/2013/0...campaign=Kknwp
Sumber1
Sumber2
Jadi gimana pendapat agan dan aganwati sekalian setelah melihat keindahan dari KAIN TENUN SENGKANG?

Gak kalah kan dari Batik, Kain Songket dan Batik Papua?
Quote:
EWAKO!
Quote:
Thread ane yang lain :
ssssttttt.....Ini rahasia restaurant D’Cost bisa cepat berkembang
cara mendatangkan calon konsumen
Konsumen lebih peka mana : "beli 2 gratis 1", "100.000/3pcs" atau "diskon 70%" ?
cara sebar brosur yang tepat sasaran
ssssttttt.....Ini rahasia restaurant D’Cost bisa cepat berkembang
cara mendatangkan calon konsumen
Konsumen lebih peka mana : "beli 2 gratis 1", "100.000/3pcs" atau "diskon 70%" ?
cara sebar brosur yang tepat sasaran
Quote:
Kalo ini lapak ane di Kaskus :
Baju Batik Murah | Bikin AWET MUDA & Menambah KEGANTENGAN sd. 70%
Baju korea | Dress korea | Baju Korea | Baju Korea Murah | Banyak Diskon | Baju Korea | Harga Rp. 79.900
Jual baju impor korea, start from 59.900
Jual rumah | 5 menit dari TRANS STUDIO makassar | lokasi sudut
Jual Rumah di Makassar, BUTUH DUIT, harga 160 juta
Tanah STRATEGIS, di dekat CITRALAND Ambon <== Developer masuk
Jual nikel murah | jual nikel dari tambang langsung | jual hasil tambang nikel
Baju Batik Murah | Bikin AWET MUDA & Menambah KEGANTENGAN sd. 70%
Baju korea | Dress korea | Baju Korea | Baju Korea Murah | Banyak Diskon | Baju Korea | Harga Rp. 79.900
Jual baju impor korea, start from 59.900
Jual rumah | 5 menit dari TRANS STUDIO makassar | lokasi sudut
Jual Rumah di Makassar, BUTUH DUIT, harga 160 juta
Tanah STRATEGIS, di dekat CITRALAND Ambon <== Developer masuk
Jual nikel murah | jual nikel dari tambang langsung | jual hasil tambang nikel
Quote:
Diubah oleh combad 29-05-2013 12:53
0
15.9K
Kutip
18
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan