Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

cahyomediaAvatar border
TS
cahyomedia
Srikadi Itu Laki-laki


Banyak ungkapan di negeri kita bahwa perempuan yang berjasa, yang berprestasi, yang membanggakan ataupun mengharumkan nama bangsa akan mendapatkan predikat sebagai Srikandi Indonesia. Tapi tunggu dulu, jika menilik kisah asli Mahabharata dari India, Srikandi itu laki-laki.

Waktu itu saya bekerja di sebuah studio animasi di Jogja. Kami membuat film animasi tentang pahlawan-pahlawan Indonesia, salah satunya adalah Laksamana Keumala Hayati. Beliau seorang pejuang wanita dari Aceh yang memimpin armada kapal laut. Ia melatih para perempuan yang ditinggal gugur suami mereka. Armada laut Aceh pun tumbuh kuat dan mencapai zaman puncak keemasannya. Mereka berhasil mengusir para penjajah Eropa yang baru berdatangan, termasuk Belanda.

Saya bekerja sebagai sound editor dan pembuat ilustrasi musik di proyek film itu. Saya juga ikut mengarahkan dubber bersama sutradara. Di sela-sela rekaman dub, salah seorang dubber wanita keturunan Maluku berujar, “Kok pejuang wanita yang ikut bertempur itu nggak ada yang dari Jawa, ya? Seperti Solo gitu. Yang kita tahu cuma dari Aceh, Keumala Hayati, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia…”
Dubber lainnya yang berasal dari Jogja menjawab, “Kalau perempuan Jawa sih, lebih berjuang dengan idealisme, kayak Kartini…”
Saya pun ikut nimbrung, “Kata siapa? Di Solo juga ada wanita yang ikut berperang, tapi banyak dari kita yang tidak tahu… Di waktu Mataram Islam pecah dan terjadi perebutan kekuasaan, salah seorang pangeran Mataram melatih para perempuan desa untuk mengangkat senjata melawan Mataram yang menjadi kerajaan boneka Belanda…”

Yah, itu adalah salah satu fakta sejarah yang tidak banyak kita ketahui. Di waktu Belanda mulai bercokol dan ikut mengontrol kebijakan Mataram Islam, para pangeran memberontak. Pemberontakan mereka dipicu juga oleh pemberontakan para budak Cina yang diperlakukan semena-mena dan tidak manusiawi oleh Belanda. Mataram Islam yang waktu itu berlokasi di Kartasura, Jawa Tengah, menjadi simbol kekuasaan Belanda. Mataram tidak mampu menahan pemberontakan itu, hingga membuat Raja dan keluarganya mengungsi.

Para pangeran yang memberontak diantaranya adalah Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Mangkunegara. Mataram yang dibantu Cakraningrat dari Madura dan VOC Belanda akhirnya mampu mengimbangi pemberontakan tersebut. Namun peperangan terus berlanjut. Karena kekuatan dua kubu sama kuat dan terlihat tanda-tanda sulit dimenangkan, Belanda dan Mataram akhirnya menggelar perjanjian Giyanti yang membagi Mataram menjadi dua kerajaan ; Surakarta dan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Yogyakarta yang pertama, atau dikenal dengan Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Sementara itu, Pangeran Mangkunegara masih memberontak. Kekuatan Yogyakarta dan Surakarta bersama Belanda dikerahkan untuk memberantas pemberontakan Mangkunegara. Pangeran Mangkubumi yang dulu menjadi teman pemberontakannya pun berbalik melawannya. Tapi ampuhnya, meski diserang dari banyak kubu, Pangeran Mangkunegara atau yang dikenal dengan Raden Mas Said ini tetap sulit dikalahkan. Ia mendapat julukan sebagai Pangeran Samber Nyawa karena selalu membuat pihak lawan kehilangan banyak nyawa. Pangeran inilah yang gigih melatih para perempuan desa untuk ikut bertempur. Bahkan beliau punya sekertaris yang diperintahkan untuk mencatat semua peperangan yang terjadi.
Karena susah ditundukkan, akhirnya Belanda mengatur siasat. Mereka menyuruh penguasa Keraton Surakarta untuk membujuk Mangkunegara agar berdamai. Mangkunegara setuju untuk berdamai dan diberi tanah kekuasaan Mangkunegaran yang juga berlokasi di Surakarta.

Begitulah kira-kira jawaban yang saya berikan pada teman dubber saya tadi (tentu tidak sedetail itu). Lalu kenapa tidak saya jawab saja dengan Srikandi sebagai pejuang wanita dari Jawa? Memang tidak tepat jika jawabannya adalah Srikandi. Disamping dia adalah tokoh saduran dari naskah asing (India), pada naskah aslinya pun, Srikandi adalah laki-laki. Dan bukan istri Arjuna sama-sekali (dalam cerita pewayangan Jawa, Srikandi diceritakan sebagai istri Arjuna).

Didalam kisah Mahabharata, Srikandi yang bernama asli Sikhandin memang terlahir sebagai perempuan. Ia melakukan pertapaan yang berat untuk mengubah dirinya menjadi laki-laki. Ia pun berhasil berubah jadi laki-laki namun masih bertingkah kewanita-wanitaan. Orang yang tidak tahu mengira bahwa ia adalah banci atau waria. Sikhandin mengubah diri menjadi laki-laki agar ia bisa ikut bertempur dan membunuh musuh bebuyutannya, Bhisma.

Dalam perang besar Bharatayudha, Sikhandin ikut bertempur. Perang itu terjadi akibat perebutan kekuasaan antara pihak Pandawa dan Kurawa. Sikhandin berada di pihak Pandawa dalam perang itu, sedangkan Bhisma berada di pihak Kurawa. Tidak ada pejuang wanita di medan pertempuran. Wanita tidak boleh ikut bertempur dan melawan wanita adalah haram bagi seorang ksatria sejati di zaman itu.

Arjuna meminta bantuan Sikhandin untuk ikut dalam kereta perangnya agar Bhisma tak bisa menyerang Arjuna. Mengetahui bahwa Shinkandin terlahir sebagai perempuan, Bhisma tak mau menyerang kereta Arjuna dan menyebabkannya dihujani anak panah oleh Arjuna.

Itulah cerita singkat tentang Sikhandin. Lalu mengapa ketika Mahabharata disadur dalam Bahasa Jawa, Sikhandin digambarkan sebagai seorang perempuan?


Sikhandin versi Serial Televisi Mahabharata India

Ada Apa Dengan Sikhandin?
Jika dikaji secara medis, mungkin saja Sikhandin yang hidup di India waktu itu adalah seorang transgender. Karena mungkin didorong oleh hormon laki-laki yang lebih kuat, akhirnya Sikhandin pun menjalani hidupnya sebagai seorang laki-laki.

Meski cerita Mahabharata terkesan seperti dongeng, tapi banyak ahli yang percaya bahwa kisah itu memang benar-benar pernah terjadi di abad lampau – 4000 tahun sebelum Masehi. Bukti-bukti sejarah juga banyak ditemukan. Hanya saja beberapa pengungkapan ceritanya kadang sulit dipahami oleh orang zaman sekarang. Berbagai hal di Mahabharata diceritakan dengan pemahaman manusia di zaman itu.

Lalu apakah di zaman dahulu di Jawa belum ada transgender? Itu belum pasti, karena tak ada catatan sejarah yang mengungkapkannya. Kemungkinan trangender yang menimpa Shinkadin itu pun hanya sebatas teori. Bisa jadi Sikhandin tetaplah seorang perempuan namun lebih memilih untuk hidup sebagai laki-laki. Menyamar sebagai lelaki dan melakukan pekerjaan laki-laki, termasuk belajar ilmu perang dan ikut bertempur.
Alasan untuk menyadur Sikhandin menjadi sebagai seorang perempuan mungkin juga karena melihat fakta bahwa perempuan Jawa di zaman itu sudah ada yang ikut bertempur dan diakui sebagai seorang petarung. Bukan tidak mustahil.

Memang saat penerjemahan Mahabharata ke Bahasa Jawa terjadi jauh sebelum masa Mataram Islam. Jauh sebelum masa Keumala Hayati, apalagi Cut Nyak Dhien. Mahabharata mulai diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa sekitar tahun 980-an masehi di zaman Mataram Hindu.

Tidak ada catatan bahwa zaman itu sudah ada pejuang perempuan. Namun bukan tidak mungkin juga kalau memang sudah ada, tapi tidak tercatat. Atau belum ditemukan catatannya.

Tidak jauh dari zaman itu, banyak wanita tercatat pernah menjadi raja di Jawa. Lagi pula, proses penyaduran Mahabharata memakan proses yang panjang, berabad-abad dan berganti-ganti kekuasaan. Saduran kadang mengalami berbagai perubahan, perombakan dan pembaruan. Kadangkala disisipi dengan kepentingan politik, seperti pada masa Kerajaan Kediri di bawah Raja Joyoboyo ataupun pada saat kedatangan Islam di Jawa. Bahkan wayang juga masih mengalami evolusi di zaman Surakarta dan Yogyakarta. Masing-masing daerah mempunyai versi yang sedikit berbeda.



Srikandi versi Jawa (Merah) dan Larasati (Hitam kehijauan) dalam Tari Srikandi Larasati – Mangkunegaran Performing Art, Surakarta.

Penetapan tokoh Srikandi menjadi perempuan merupakan penyimpangan dari cerita asli – seperti juga berbagai penyimpangan lain. Misalnya saja Drupadi yang menjadi istri kelima anggota Pandawa, dirubah menjadi istri Yudistira seorang saja. Ataupun sosok Arjuna yang digambarkan sebagai seorang ksatria yang memiliki istri dimana-mana. Sehingga terciptalah sebuah predikat ‘Arjuna’ bagi seorang Play Boy di Indonesia. Padahal jika ditilik dari Mahabharata, Krisna justru mempunyai lebih banyak istri, yaitu 16.108 orang istri.

Srikandi ditetapkan menjadi perempuan mungkin dengan berbagai alasan. Perlu kajian mendalam tentang hal ini. Apakah mungkin karena dahulu transgender dianggap tabu dan haram di Jawa? Apakah orang yang bertingkah menyerupai lawan jenisnya dianggap dosa dan haram pada waktu itu?
Namun terlepas dari kisah sebenarnya yang menimpa Sikhandin di India – baik dia seorang transgender atau hanya menyamar jadi laki-laki, atau memang benar-benar mengubah diri menjadi laki-laki, terdapat sebuah perbedaan budaya yang cukup mendasar disini. Untuk mengikuti perang di India, mau tak mau Sikhandin harus mengubah diri menjadi laki-laki atau menyamar jadi laki-laki. Sementara di Jawa masa lampau, hal itu tidak perlu.

Penyaduran Mahabharata ke Jawa di masa itu tentu berkaitan erat dengan budaya lokal. Terbukti dengan banyak perubahan dan penyimpangan, baik cerita, nama-nama tokoh dan nama-nama tempat yang disesuaikan dengan kondisi saat itu. Proyek itu memang bukan sekedar penerjemahan mentah, namun mengalami akulturasi agar mudah diterima oleh orang Jawa secara luas. Mahabharata merupakan salah satu kitab epik Hindu yang penting. Dengan mengkondisikan Mahabharata sesuai dengan Jawa, masyarakat pun akan mudah memahami dan mengamalkan ajaran-ajarannya.

Jika memang begitu, sangat dimungkinkan alasan penetapan Sikhandin menjadi pendekar perempuan karena mengacu bahwa perempuan boleh mengikuti pertempuran di Jawa pada saat itu.

Kesetaraan Gender di Jawa?
Jika memang wanita Jawa klasik sudah boleh ikut bertempur, berarti Jawa sudah mencapai banyak kemajuan daripada kerajaan lain – bahkan India. Mahabharata di India terjadi sekitar 4000 tahun sebelum Masehi. Diceritakan turun-temurun dengan beberapa versi. Yang paling terkenal dan dianut sampai saat ini adalah hasil penuturan seorang brahmana yang bernama Vyasa. Dia lah yang pertama kali menuliskan Mahabharata. Namun penyusunan dan pengumpulan epik itu secara rapi baru dikerjakan di India antara tahun 300 sebelum Masehi sampai 300 setelah Masehi.

Diperkirakan tak jauh dari abad itu, Mahabharata sampai di Jawa namun masih berbahasa Sansekerta. Baru mulai 980-an Masehi disadur dalam Bahasa Jawa. Dan karena Srikandi ditetapkan menjadi perempuan, kesetaraan gender mungkin sudah dialami Jawa pada waktu itu. Bahkan diceritakan Srikandi punya saingan bernama Larasati yang juga ahli panah-memanah. Perempuan mengangkat senjata dan berperang mungkin sudah ada di masyarakat Jawa. Bahkan Srikandi bukanlah petarung biasa, tapi seorang ksatria yang mumpuni. Menetapkan Srikandi sebagai seorang perempuan? Kenapa tidak, mungkin pikir para pujangga waktu itu yang menerjemahkan Mahabharata.

Namun tetap saja, semua itu masih sebatas teori. Perlu upaya penelusuran sejarah yang dalam untuk mengambil sebuah kesimpulan. Yang tak kalah menarik adalah menelisik kembali sejarah para wanita Jawa yang dilatih oleh Pangeran Mangkunegara dari Mataram. Sangat dimungkinkan catatan-catatan sejarah itu disimpan di Puro Mangkunegaran. Pengungkapan dan pengangkatan para pejuang wanita itu tentu mutlak diperlukan untuk mengetahui sejauh mana peran perempuan Jawa dalam mengangkat senjata.
Siapa saja mereka, apa peran mereka, berapa jumlah mereka, senjata apa yang mereka pakai, apakah ada diantaranya yang menjadi panglima perang, bagaimana perasaan mereka saat menghadapi musuh dan apa motivasi mereka untuk ikut berperang, tentu menjadi pertanyaan yang menarik. Perempuan-perempuan Jawa yang lemah-lembut menghadapi bedil-bedil dan meriam Belanda – dan tak terkalahkan? Bukankah itu cerita sejarah yang luar biasa?



Tari Puspito Retno
(Salah satu jenis tarian di Puro Mangkunegaran yang menggambarkan para prajurit wanita yang berperang. Tarian ini ditampilkan dalam acara “Mangkunegaran Performing Art” yang digelar secara rutin untuk umum.)


Mungkin suatu saat, kita dapat memberikan predikat pada perempuan Indonesia yang berprestasi dengan salah satu dari nama mereka. Dan tentu tidak tabu juga, kita menyebut mereka dengan nama Keumala Hayati Indonesia, Cut Nyak Dhien Indonesia atau Cut Meutia Indonesia. Bukan melulu Srikandi – yang notabene adalah tokoh saduran (dan laki-laki pula).
****
Saya percaya catatan-catatan tentang perempuan-perempuan pejuang Mataram itu masih tersimpan di Puro Mangkunegaran, atau di Keraton Surakarta dan Yogyakarta, atau bahkan mungkin di Belanda.
Harapan untuk mengungkap mereka merupakan bagian penting dalam penelusuran sejarah Indonesia. Jika ada pihak yang bersedia mensponsori atau bekerja sama dalam penelusuran sejarah ini, mungkin kita bisa melakukannya bersama-sama. Hasil penelusuran dapat menjadi suguhan fakta sejarah yang bisa dipersembahkan dalam dunia pendidikan ataupun film dan tulisan.
****
Terimakasih telah membaca ulasan singkat kami.
By Cahyo Putra
Email : putra_cahyo@yahoo.co.id

0
9.6K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan