Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

jellybeanv41Avatar border
TS
jellybeanv41
Korupsi di Indonesia Mustahil Untuk di Berantas?
Nah, kali ini ane mau membahas mengenai Korupsi di Negara tercinta kita ini.
Langsung disimak aja gan... emoticon-I Love Indonesia (S)

Korupsi di Indonesia Mustahil Untuk di Berantas?
Membicarakan korupsi di Indonesia bak mengurai benang kusut yang panjangnya berkali-kali keliling dunia. Bagaimana tidak, di negeri yang katanya “kolam susu” ini, dari pejabat tingkat rendahan hingga pejabat sekaliber menteri, beberapa oknumnya melakukan korupsi, bahkan persentasenya tak seimbang. Bisa dikatakan banyak yang doyan korupsi daripada yang tidak—cuma kadang belum ada kesempatan. Kronis, bukan?
Anehnya, saya sering melihat diskusi yang dilakukan oleh pewarta di berbagai televisi begitu kebakaran jenggot kala mengetahui adanya tindak korupsi yang hampir ada di semua lembaga pemerintahan. Bukankah memang bangsa ini sudah sangat lama bermesraan dengan yang namanya korupsi? Justru—bagi saya—sangat aneh bin ajaib jika di Indonesia ada lembaga pemerintahan yang bersih dari yang namanya korupsi. Pokoknya jempol 4 deh buat yang masih berani bersih.
Baik, kita mulai dari tingkat bawah; kelurahan. Baru-baru ini, saya mengurus surat pindah dari salah satu kabupaten di tanah air tercinta, Indonesia. Karena negeri ini amat gemar dengan “keribetan”, maka proses mengurusnya pun didesain sesulit mungkin. Ketika mengurus, ada saja yang begitu “peduli”, “Mas, saya bantu boleh?” Karena penasaran, saya beranikan diri untuk bertanya, ternyata fantastis juga imbalan yang diminta: antara 600 ribu sampai 700 ribu. Saya tidak tahu aslinya, tapi saya pikir tidak sampai semahal itu. Mungkin ada yang tahu jumlah resminya, silakan di-share di sini?! Mantap … cuma mau ngurus surat pindah domisili, saya harus mengeluarkan uang segitu banyak. Ck ck ck ….
Lain cerita di jenjang berikutnya: kecamatan. Ketika mengurus surat kelengkapan untuk pernikahan di KUA (karena saya akan melangsungkan pernikahan di kabupaten lain) tertulis sangat jelas di sebuah spanduk besar di ruangan KUA tersebut bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Agama sebesar Rp 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah). Namun, dengan PeDe seorang petugasnya mengatakan, “Lima puluh ribu saja (Rp 50.000,-), Mas. Sebenarnya saya mau protes, tapi daripada nggak dibuatkan ya lebih baik nurut saja. Positif thingking saja, mungkin pendapatan mereka masih kurang.
Nah, lho …. Saya bisa memaklumi kalau pihak KUA yang saya suruh datang ke rumah. Lha ini saya yang datang sendiri kok masih saja di-mark up. Bisa jadi, kalau saya suruh ke rumah, harganya akan semakin meroket. Bayangkan andai sehari ada 10 orang yang datang ke KUA, maka pihak KUA akan mendapat pemasukan Rp 20.000,- X 10 = Rp 200.000,-. Lalu bagaimana kalau lebih dari 10. Dan bagaimana dalam sebulan, setahun, dst.
Nah, daftar “kemantapan” ini akan semakin panjang jika saya teruskan. Jika Anda rakyat biasa dan hidup di Indonesia, pasti sudah tahu jalan cerita selanjutnya. Inilah mengapa para petinggi di negeri ini tidak tahu fenomena ini, karena birokrasi tak berlaku bagi mereka. Maka, saya tak heran kala salah satu televisi swasta mendiskusikan sebuah kasus korupsi—yang katanya—baru; korupsi penghulu pernikahan. Tidak heran karena fakta di lapangan memang seperti itu, dan telah berjalan sejak saya dan mungkin juga Anda belum lahir di bumi saat fenomena itu bergulir.
Tak elok kiranya jika saya terus mengkritik tanpa memberikan solusi. Sebenarnya, solusi terkait masalah korupsi pernah saya tulis dan saya ikutkan ke salah satu lomba, tapi sayang tidak menang. Ketika saya lihat, ternyata pemenang pertama mempunyai gagasan yang 50% mirip dengan saya, sementara pemenang berikutnya tak lebih dari pemaparan berbagai teori yang bertebaran di diktat-diktat perkuliahan. Tapi sudahlah, seperti pada galibnya; keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Tulisan saya di lomba itu lebih kurang berisi:
Cara mengatasi korupsi di Indonesia:
Selesaikan kasus yang ada;
Selesaikan kasus lama yang terbengkalai;
Beri pengacara independen untuk koruptor, bukan pengacara yang bisa dibeli;
Koordinasi dari pusat hingga desa;
Tanamkan antikorupsi sejak dunia pendidikan dan ada sanksi bagi yang melanggar;
Manfaatkan dan maksimalkan media informasi dan teknologi yang ada.
Dan tentu siapa pun yang membaca tulisan ini, mempunyai ide-ide unik untuk memberantas korupsi. Jika berkenan, bisa saling berbagi di sini. Siapa tahu ada para pembesar yang tidak sengaja membacanya dan merealisasikan ide-ide kita.
Sebenarnya, tak hanya itu yang bisa kita lakukan untuk memberantas korupsi. Karena ketika kita ingin menghindar dari jalur korupsi, justru kita terpojok untuk tidak melakukannya. Itulah fakta di Indonesia. Karenanya, sistem yang ada harus dibenahi agar kasus-kasus yang akan saya paparkan tak terulang kembali.
Segetol apa pun Anda menyuarakan “tidak pada korupsi”, tapi jika sistem yang memaksa Anda, maka Anda tak bisa berbuat apa-apa. Misalnya, suatu saat Anda ingin membayar pajak motor. Namun, karena Anda tidak memiliki KTP pemilik motor yang pertama (beli motor bekas), Anda tidak dilayani oleh sang petugas. Di sisi lain, jika pajak itu tidak dibayar, Anda akan terkena tilang karena STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) tidak Anda perpanjang. Walhasil, mau tidak mau—meski Anda tidak setuju dengan tindak korupsi—Anda akan meminta orang lain alias membayar calo (baik calo dalam maupun luar) untuk membantu urusan Anda. Nah, lho … ada unsur tindak korupsi juga kan?
Di lain kesempatan, Anda yang merupakan warga kota X terkena tilang di kota Y karena lupa menyalakan lampu utama di siang hari. Kebetulan, esok harinya Anda harus mengikuti acara di kota asal Anda, dan acara itu tidak bisa Anda tinggalkan. Karena alasan itu, ketika polisi mengatakan, “Anda mau mengikuti sidang atau titip uang tilang?” Maka, demi kepraktisan dan keefektivan, Anda memilih yang kedua: titip uang tilang yang bisa jadi akan masuk ke kantong oknum tak bertanggung jawab alias membantu salah satu oknum polisi untuk melakukan tindak korupsi. Hampir tak mungkin memilih yang pertama karena Anda harus menunggu hari esok atau beberapa hari untuk menjalani sidang yang dendanya pun tak begitu berbeda dengan yang kita titipkan. Pelik, bukan?
Itulah contoh sistem yang memaksa seseorang untuk melakukan korupsi. Oleh karena itu, sudah seharusnya para petinggi di negeri ini—yang masih waras tentunya—mau membenahi karut-marutnya sistem/birokrasi yang ada. Selain itu, para petinggi jangan minta “jatah” sehingga yang di bawah tak terdesak untuk melakukan korupsi. Mungkin kejadian di atas tidak akan terjadi jika ada mekanisme khusus bagi orang yang ingin membayar pajak, tapi tak mempunyai identitas pemilik kendaraan pertama karena membeli kendaraan bekas (Kalau yang baru mahal … he he he). Pun tak akan ada tindak yang mengarah ke “membantu” seseorang melakukan korupsi, jika ada mekanisme khusus saat polisi melakukan penilangan.

Pertanyaannya adalah, kapankah Indonesia bisa bebas dari korupsi? emoticon-SorryMari kita doakan dan berkontribusi aktif dengan tindak nyata untuk tidak melanggengkan korupsi. Semoga negeri ini segera menjumpai fajar karena gulitanya pun sudah begitu mengelam.
Amin... emoticon-Salaman


Kalo agan suka dgn Thread ane, tolong di emoticon-Rate 5 Starya gan?
Atau bagi2 aja emoticon-Blue Guy Cendol (L) emoticon-Blue Guy Cendol (L)
emoticon-I Love Kaskus (S)
0
2.1K
30
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan