TS
raivac
[Cerpen] Upacara Pertama
Cerpen ini juga saya ikut sertakan dalam dalam Cerita Bulanan Grup Goodreads Kasfan [URL="http://www.S E N S O R/topic/show/1329541-lomba-cerbul-kasfan-mei-13"]Bulan[/URL] [URL="http://www.S E N S O R/topic/show/1329541-lomba-cerbul-kasfan-mei-13#comment_74817800"]Mei[/URL] [URL="http://www.S E N S O R/topic/show/1329541-lomba-cerbul-kasfan-mei-13#comment_74817882"]2013[/URL]
fantasy...
Oh, siapakah Dia?
Yang mengangkat setiap raja di empat benua
Dengan segala kemegahan dan laskar-laskar
Yang menentukan kapan bunga Sylsium mekar
Dan meniupkan wanginya sampai Padang Etra-Asylon
Oh, dengarlah Sabda-Nya, jiwaku!
Datangilah Dia, hai manusia berdosa!
Nyanyian indah yang merupakan salah satu lagu pujian di Gereja Tiang Air Eret’baq itu samar terdengar di tengah keramaian. Meski sang penyanyi, seorang wanita setengah buta berusia 40-an, tahu bahwa suaranya hanya akan terinjak-injak kerumunan orang, ia tetap bersemangat menyanyikannya sambil ditemani anak perempuannya yang masih kecil.
Lain lagi dengan Abit’la, seorang pemuda yang dari lahirnya sudah yatim piatu. Sudah dari pagi buta ia sibuk berjalan ke sana ke mari menjajakan dagangannya ke semua orang yang lewat. Abit’la yang malang hanya berharap kantung air dari kulit sapinya dapat cepat habis terjual.
Semua begitu sibuk di pagi ini, tepatnya di sekitar gerbang masuk menuju Gereja Tiang Air Eret’baq. Mereka sudah di sana bahkan sebelum kadal Pelari Malam kembali ke sarangnya.
Hari ini memanglah bukan hari biasa. Sekarang adalah hari pertama di bulan pertama, hari di mana akan diadakan ritual maha suci yang ditunggu-tunggu: Upacara Og Uher. Bagi jemaat pengikut ajaran Tiang Air, tidak ada ritual lain yang lebih penting daripada Upacara Og Uher.
Itulah alasannya, mengapa ribuan orang dari segala penjuru benua rela menempuh perjalanan yang sangat jauh dan menembus medan yang tidak mudah untuk sampai di tempat suci ini, di tepi Gurun Saranai yang luar biasa panasnya. Mereka dengan segenap kesetiannya rela berdesak-desakkan menunggu terbukanya gerbang setinggi 20 kaki tersebut.
Penganut ajaran Tiang Air memang berbeda dengan pengikut ajaran Tiang Batu. Meski memiliki akar sejarah yang sama, mereka jauh lebih taat dan ketat dalam menjalankan ajaran agama. Siapa yang tidak akan kagum melihat pengorbanan mereka, yang rela menghabiskan banyak biaya dan waktu setiap bulannya untuk sebuah ritual.
Mereka telah dikenal di segala belahan dunia sebagai golongan manusia yang sangat taat terhadap peraturan dan loyal terhadap pemerintah. Itulah mengapa pada setiap sektor-sektor strategis para pengikut ajaran ini akan mendapat kepercayaan lebih dibanding orang lain.
Lihatlah betapa baik dan dermawannya mereka! Seorang dari jemaat, perempuan muda yang berkulit putih, dengan senang hati membeli beberapa ikat bunga Sylsium yang sebenarnya sudah layu. Ia dengan senyum hangatnya memberikan 200 keping Durit kepada sang penjual, seorang anak laki-laki dengan kulit yang penuh bisul. Tanpa risih sama sekali ia bersentuhan dengan anak itu saat memberikan uangnya.
Sama halnya dengan yang dilakukan seorang jemaat pria dari benua terjauh, Benua Rho. Jemaat yang sudah memiliki dua anak itu membeli tiga kantung air dari Abit’la, meski ia tahu bahwa ia sudah memiliki botol air dari logam ringan yang lebih kuat dan hebat.
Sang wanita pelantun kidung pujian juga mulai menemui nasib baik. Satu per satu dari rombongan yang setia menunggu di depan gerbang mulai mendatanginya dan memberikan uang kedalam sebuah mangkuk kecil. Mangkuk itu dipegang oleh anak perempuannya, yang beberapa kali disapa dan dibelai oleh beberapa jemaat. Malahan ada seorang wanita berambut merah yang memberinya sekantung manisan mahal.
Tiba-tiba saja beberapa bocah laki-laki berlarian sambil berteriak, “Sebentar lagi! Sebentar lagi!” Mereka terus berlari di antara hiruk-pikuk yang kini memperhatikan mereka. Bagaikan jamur di musim hujan, teriakan mereka mulai menyebar dari mulut ke mulut melalui para pedagang. Mereka telah merubah atmosfir di tempat itu.
Para pedagang menjadi dua kali lebih sibuk dari sebelumnya. Yang tadinya menyimpan-nyimpan suaranya kini berteriak sekuat tenaga menjajakan jualannya. Beberapa pedagang makanan dan cindera mata mulai beranjak dari lapak sederhana mereka dan berlarian membawa dagangan mereka, berbaur dalam kerumunan untuk menawarkan barang-barang mereka.
Lailya, anak dari penyanyi setengah buta tadi menyadari perubahan suasana ini. Ia merasa agak takut begitu melihat raut wajah para jemaat yang kini tampak datar dan kaku. Dengan tubuh agak gemetar ia berbisik pada ibunya, “Kenapa orang-orang itu menjadi tegang, Bu? Dan kenapa teman-teman kita tampak lebih bernafsu?”
Sang Ibu tampak menaikkan kedua alisnya, namun ia tersadar bahwa ini adalah pertama kalinya sang buah hati ikut bersamanya. Dengan penuh kesabaran wanita bersuara merdu itu mengelus rambut anaknya seraya menjelaskan.
“Tidak apa, para jemaat itu hanya sedang mempersiapkan hati. Teman-teman kita sendiri sedang berusaha keras memanfaatkan waktu. ”
“Tapi kenapa kita hanya diam saja di sini?”
Sang Ibu sama sekali tak menjawab. Ia malah mengeluarkan sebuah gulungan kain usang dan membukanya. Tampaklah sepotong roti di situ, mungkin sebentar lagi akan basi. Ia lalu memberikan satu-satunya potongan roti itu ke anaknya yang kini sudah tak memikirkan pertanyaannya tadi.
Kemudian terdengar dentuman lonceng yang mengoyak keramaian. Suaranya begitu keras, bagai auman singa jantan yang memanggil kawanannya. Ia seakan menghentikan waktu untuk beberapa saat selama berdentang. Setelah empat kali berdentang, lonceng itu berhenti.
Bersamaan dengan berhentinya suara itu, para jemaat seakan dikomandoi untuk menghentikan segala aktifitasnya. Seluruh transaksi yang tengah berlangsung segera dihentikan, tak peduli apakah hanya tinggal membayar atau menunggu kembalian saja.
Beberapa pedagang mengumpat dengan perlahan, sementara beberapa yang lain sudah mulai merapikan dagangannya. Tak lama kemudian, gerbang besar yang sedari tadi membatasi dunia luar yang fana dengan tempat sakral kini mulai terbuka. Pertama-tama hanya terdapat sedikit celah yang bertujuan memberi jalan beberapa pengerja gereja untuk keluar.
Mereka memakai jubah merah darah dengan hiasan warna emas di tepiannya. Mereka disebut Arvarion, artinya ‘Mereka Yang Membuka’. Para Arvarion membawa tongkat besi dengan lonceng-lonceng kecil yang bergemerincing di ujungnya dan berjalan mendekati rombongan.
Tanpa mengucapkan satu kata pun, segenap rombongan dengan tertib mulai melangkah mundur, memberikan ruang untuk terbukanya gerbang ke arah luar. Cara membuka gerbang ini sebenarnya sering dianggap penganut kepercayaan lain konyol. Namun bila dicermati, ini menunjukkan betapa tertibnya jemaat aliran Tiang Air.
Setelah kedua pintu gerbang terbuka lebar, para Arvarion memberikan aba-aba berupa membalikkan kedua ujung tongkat mereka dengan memutarnya, lalu menghantamnya ke tanah. Terdengar suara gemerincing yang memecah kesenyapan, diikuti dengan satu persatu jemaat yang mulai masuk. Tidak ada yang saling serobot. Mereka semua masuk dengan teratur.
fantasy...
Spoiler for bagian 1:
Oh, siapakah Dia?
Yang mengangkat setiap raja di empat benua
Dengan segala kemegahan dan laskar-laskar
Yang menentukan kapan bunga Sylsium mekar
Dan meniupkan wanginya sampai Padang Etra-Asylon
Oh, dengarlah Sabda-Nya, jiwaku!
Datangilah Dia, hai manusia berdosa!
Nyanyian indah yang merupakan salah satu lagu pujian di Gereja Tiang Air Eret’baq itu samar terdengar di tengah keramaian. Meski sang penyanyi, seorang wanita setengah buta berusia 40-an, tahu bahwa suaranya hanya akan terinjak-injak kerumunan orang, ia tetap bersemangat menyanyikannya sambil ditemani anak perempuannya yang masih kecil.
Lain lagi dengan Abit’la, seorang pemuda yang dari lahirnya sudah yatim piatu. Sudah dari pagi buta ia sibuk berjalan ke sana ke mari menjajakan dagangannya ke semua orang yang lewat. Abit’la yang malang hanya berharap kantung air dari kulit sapinya dapat cepat habis terjual.
Semua begitu sibuk di pagi ini, tepatnya di sekitar gerbang masuk menuju Gereja Tiang Air Eret’baq. Mereka sudah di sana bahkan sebelum kadal Pelari Malam kembali ke sarangnya.
Hari ini memanglah bukan hari biasa. Sekarang adalah hari pertama di bulan pertama, hari di mana akan diadakan ritual maha suci yang ditunggu-tunggu: Upacara Og Uher. Bagi jemaat pengikut ajaran Tiang Air, tidak ada ritual lain yang lebih penting daripada Upacara Og Uher.
Itulah alasannya, mengapa ribuan orang dari segala penjuru benua rela menempuh perjalanan yang sangat jauh dan menembus medan yang tidak mudah untuk sampai di tempat suci ini, di tepi Gurun Saranai yang luar biasa panasnya. Mereka dengan segenap kesetiannya rela berdesak-desakkan menunggu terbukanya gerbang setinggi 20 kaki tersebut.
Penganut ajaran Tiang Air memang berbeda dengan pengikut ajaran Tiang Batu. Meski memiliki akar sejarah yang sama, mereka jauh lebih taat dan ketat dalam menjalankan ajaran agama. Siapa yang tidak akan kagum melihat pengorbanan mereka, yang rela menghabiskan banyak biaya dan waktu setiap bulannya untuk sebuah ritual.
Mereka telah dikenal di segala belahan dunia sebagai golongan manusia yang sangat taat terhadap peraturan dan loyal terhadap pemerintah. Itulah mengapa pada setiap sektor-sektor strategis para pengikut ajaran ini akan mendapat kepercayaan lebih dibanding orang lain.
Lihatlah betapa baik dan dermawannya mereka! Seorang dari jemaat, perempuan muda yang berkulit putih, dengan senang hati membeli beberapa ikat bunga Sylsium yang sebenarnya sudah layu. Ia dengan senyum hangatnya memberikan 200 keping Durit kepada sang penjual, seorang anak laki-laki dengan kulit yang penuh bisul. Tanpa risih sama sekali ia bersentuhan dengan anak itu saat memberikan uangnya.
Sama halnya dengan yang dilakukan seorang jemaat pria dari benua terjauh, Benua Rho. Jemaat yang sudah memiliki dua anak itu membeli tiga kantung air dari Abit’la, meski ia tahu bahwa ia sudah memiliki botol air dari logam ringan yang lebih kuat dan hebat.
Sang wanita pelantun kidung pujian juga mulai menemui nasib baik. Satu per satu dari rombongan yang setia menunggu di depan gerbang mulai mendatanginya dan memberikan uang kedalam sebuah mangkuk kecil. Mangkuk itu dipegang oleh anak perempuannya, yang beberapa kali disapa dan dibelai oleh beberapa jemaat. Malahan ada seorang wanita berambut merah yang memberinya sekantung manisan mahal.
Tiba-tiba saja beberapa bocah laki-laki berlarian sambil berteriak, “Sebentar lagi! Sebentar lagi!” Mereka terus berlari di antara hiruk-pikuk yang kini memperhatikan mereka. Bagaikan jamur di musim hujan, teriakan mereka mulai menyebar dari mulut ke mulut melalui para pedagang. Mereka telah merubah atmosfir di tempat itu.
Para pedagang menjadi dua kali lebih sibuk dari sebelumnya. Yang tadinya menyimpan-nyimpan suaranya kini berteriak sekuat tenaga menjajakan jualannya. Beberapa pedagang makanan dan cindera mata mulai beranjak dari lapak sederhana mereka dan berlarian membawa dagangan mereka, berbaur dalam kerumunan untuk menawarkan barang-barang mereka.
Lailya, anak dari penyanyi setengah buta tadi menyadari perubahan suasana ini. Ia merasa agak takut begitu melihat raut wajah para jemaat yang kini tampak datar dan kaku. Dengan tubuh agak gemetar ia berbisik pada ibunya, “Kenapa orang-orang itu menjadi tegang, Bu? Dan kenapa teman-teman kita tampak lebih bernafsu?”
Sang Ibu tampak menaikkan kedua alisnya, namun ia tersadar bahwa ini adalah pertama kalinya sang buah hati ikut bersamanya. Dengan penuh kesabaran wanita bersuara merdu itu mengelus rambut anaknya seraya menjelaskan.
“Tidak apa, para jemaat itu hanya sedang mempersiapkan hati. Teman-teman kita sendiri sedang berusaha keras memanfaatkan waktu. ”
“Tapi kenapa kita hanya diam saja di sini?”
Sang Ibu sama sekali tak menjawab. Ia malah mengeluarkan sebuah gulungan kain usang dan membukanya. Tampaklah sepotong roti di situ, mungkin sebentar lagi akan basi. Ia lalu memberikan satu-satunya potongan roti itu ke anaknya yang kini sudah tak memikirkan pertanyaannya tadi.
Kemudian terdengar dentuman lonceng yang mengoyak keramaian. Suaranya begitu keras, bagai auman singa jantan yang memanggil kawanannya. Ia seakan menghentikan waktu untuk beberapa saat selama berdentang. Setelah empat kali berdentang, lonceng itu berhenti.
Bersamaan dengan berhentinya suara itu, para jemaat seakan dikomandoi untuk menghentikan segala aktifitasnya. Seluruh transaksi yang tengah berlangsung segera dihentikan, tak peduli apakah hanya tinggal membayar atau menunggu kembalian saja.
Beberapa pedagang mengumpat dengan perlahan, sementara beberapa yang lain sudah mulai merapikan dagangannya. Tak lama kemudian, gerbang besar yang sedari tadi membatasi dunia luar yang fana dengan tempat sakral kini mulai terbuka. Pertama-tama hanya terdapat sedikit celah yang bertujuan memberi jalan beberapa pengerja gereja untuk keluar.
Mereka memakai jubah merah darah dengan hiasan warna emas di tepiannya. Mereka disebut Arvarion, artinya ‘Mereka Yang Membuka’. Para Arvarion membawa tongkat besi dengan lonceng-lonceng kecil yang bergemerincing di ujungnya dan berjalan mendekati rombongan.
Tanpa mengucapkan satu kata pun, segenap rombongan dengan tertib mulai melangkah mundur, memberikan ruang untuk terbukanya gerbang ke arah luar. Cara membuka gerbang ini sebenarnya sering dianggap penganut kepercayaan lain konyol. Namun bila dicermati, ini menunjukkan betapa tertibnya jemaat aliran Tiang Air.
Setelah kedua pintu gerbang terbuka lebar, para Arvarion memberikan aba-aba berupa membalikkan kedua ujung tongkat mereka dengan memutarnya, lalu menghantamnya ke tanah. Terdengar suara gemerincing yang memecah kesenyapan, diikuti dengan satu persatu jemaat yang mulai masuk. Tidak ada yang saling serobot. Mereka semua masuk dengan teratur.
***
Diubah oleh raivac 29-05-2013 08:50
0
1.5K
Kutip
16
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan