- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- Jokes & Cartoon
Kelak, Belajarlah Dangdut ke Amerika Serikat!


TS
kikiadjah
Kelak, Belajarlah Dangdut ke Amerika Serikat!
Kamu suka dangdut? Kalau pertanyaan itu kalian ajukan di tengah-tengah dunia yang metropolis, dengan “gengsi” mungkin Anda akan menjawab, tidak!
SAMPAI sekarang, imaji orang-orang yang mengaku “berkelas” tentang dangdut mungkin masih di area marginal, proletar dan kasta sudra. Tapi kalau kemudian seorang Prof Andrew Weintraub PhD dari dari University of Pittsburgh USA saja rela menelusuri jejak dangdut sejak masih cikal-bakal protomelayu, kemudian melayu deli, orkes melayu, gebrakan Rhoma Irama, hingga masyarakat mulai kenal musik genre dangdut. Andre bahkan membahas juga dangdut daerah, koplo, hingga artis-artis erotis macam Inul atau Trio Macan, masak kita yang orang Indonesia tulen, masih menganggap dangdut “kampungan” atau “ndeso” atau “kamso”.

Tulisan ini menelaah riset yag aslinya berjudul Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music [dan diterjemahkan dengan apik dengan judul Dangdut: Musik, Identitas, Dan Kebudayaan Indonesia
Kajian tentang dangdut ini dilakukan dengan metode partisipasi langsung seorang Andrew langsung pada sumbernya. Agak mencengangkan ketika tahu fakta bahwa Andrew berkeliling ke beberapa titik yan dianggap sebagai pusat dangdut kemudian mewawancarai satu persatu narasumbernya secara langsung. Ada beberapa hal yang dibahas [dan dari pembahasannya, jelas sekali indepht reporting]. Misalnya, tentang “Memitoskan Melayu” – bercerita soal bagaimana muasal dan sejarah singkat dangdut in dikenal. Versinya macam-macam, tapi kita bisa mengambil benang merahnya. Ada beberapa “Melayu” yang dikenal, nyaris semuanya mempunyai “bunyi dangdut” [berbeda dengan pengertian “rasa dangdut” atau “sensibilitas dangdut” yang kita kenal].
Kemudian ada satu kajian menarik tentang mengapa lirik dangdut selalu berbanding lurus dengan “derita” dan “pasrah”. Selain isu-isu goyang-goyang yang berkembang di pertengahan 2000-an sepeti goyang ngebor-nya Inul Daratista. Agak nekat dan cenderung melawan arus ketika Andrew memutuskan untuk meneliti dangdut. Pasalnya, koleganya sendiri menyebut dangdut dengan, “Segerombolan perempuan minim, bergoyang-goyang pinggul!” [hal. 13]. Alamaaak…
Inilah Profesor Dangdut, andrew n. weintraub –foto: kaskus.co.id
Weintraub berargumentasi, “Dangdut tak hanya sebagai refleksi langsung atas politik nasional dan budaya, tetapi Dangdut sebagai praktik ekonomi, politik dan ideologi yang telah membantu membentuk gagasan masyarakat terkait kelas, gender dan etnisitas dalam bangsa-negara Indonesia moderen.” [hal. 13]. Weintraub memandang dangdut merupakan medan sosial, ia mendekati dangdut sebagai bentuk politik kebudayaan dimana aktor sosial mencipta simbol sebagai media perlawanan serta menghadirkan makna dan nilai budaya.
Kehidupan sosial manusia Indonesia beserta sengkarut problemnya, terekam oleh sebagian narasi musik dan lirik lagu yang dinyanyikan oleh Roma Irama, Meggy Z, A. Rafiq, Camelia Malik, Cici Paramida dan Inul Daratista. Di sisi lain, musik Dangdut sebagai hiburan alternatif dan berskala massa, merupakan ruang katarsis dan berdampak pada gairah hidup rakyat di level bawah. Dangdut dianggap sebagai musik populer, namun ia berada di ambang budaya pop yang digerakkan industri (Heryanto, 1998: 6). Di hadapan kuasa industri, seniman Dangdut dihadapkan pada kontestasi dengan musik maupun seniman populer lain.
Buku ini adalah literatur terlengkap tentang dangdut dan sayangnya, dikerjakan oleh orang Amerika. Jangan kaget kalau suatu saat, kita belajar dangdut harus ke Amerika dulu. Penelitian Weintraub ini menjadi altenatif untuk mengkaji Dangdut dalam perspektif musik, serta efek kultural dengan pisau metodologi etnografi. Dari paparan Andrew yang bukan orang Indonesia, kita justru diingatkan, dangdut menunjuk tegas wajah kita, wajah manusia Indonesia.
0
1.1K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan