Bersama-sama para Dharmadhyaksa, Upapati dan semua unsur militer serta pengageng kerajaan Majapahit dari tingkat yang paling rendah sampai yang paling tinggi, Bhayangkara berdiri tegar sebagai kesatuan sipil bersenjata yang bersama rakyat seNusantara Raya menciptakan rasa aman dan penegakkan hukum berdasarkan isi kitab Kutaramanawadharmasastra.
Lebih dari enam ratus tahun, Gajah Mada ternyata telah mampu memisahkan fungsi militer sebagai kekuatan bersenjata yang menjaga perairan Nusantara ini dari gangguan keamanan dari luar dengan fungsi Bhayangkara yang memang dibentuk untuk menjaga dan melayani pusat pemerintahan (baca:istana/Raja/Sentana Raja) dan masyarakat luas.
Sebagai konseptor, Gajah Mada telah memberikan warna yang sangat tegas terhadap filosofi Polri saat ini. Gagasannya memuat pemikiran yang konstruktif dan sangat futuristik. Terutama bagi perkembangan Polri ke depan menghadapi tantangan teknologi informasi dan era globalisasi yang paralel terhadap peningkatan modus kejahatan dalam berbagai aspek.
Oleh karena itu, sebagai insan Bhayangkara, sudah sepatutnya Polri mengenal dan memahami Gajah Mada lebih dekat. Empat sifat Gajah Mada yang tertuang dalam Catur Prasetya memberikan semangat holistik yang begitu kuat mempengaruhi perubahan paradigma Polri seperti diuraikan di atas.
Semangat Bhayangkara yang melekat dalam dirinya telah membentuk Gajah Mada menjadi seorang tokoh sejarah yang tak lekang dimakan waktu.
Kini, baru tahun 2002 gagasan pemisahan fungsi Polri dan TNI dapat dilaksanakan dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 2 tahun 2002. Namun ternyata gagasan ini sudah lahir jauh enam ratus tahun lalu di Negara tercinta ini, yang dilakukan oleh Gajah Mada.
Gagasan ini terinspirasi dari konsepsi Majapahit sebagai Negara Maritim, sebagai implementasi dari sumpah Amukti Palapa yang diucapkan Gajah Mada pada tahun 1334.
Sebagai Negara Maritim, yang menguasai samudra yang luasnya dua pertiga dari wilayah teritorial Negara, Gajah Mada sangat menaruh perhatian untuk menempatkan Bhayangkara sebagai kekuatan sipil yang melayani dan menjaga masyarakat luas agar tercipta sistem keamanan dalam negeri dan penegakan hukum yang concern terhadap pertumbuhan di segala bidang.
Kekuatan militer disiapkan untuk menjaga dan mempertahankan Negara dari gangguan bangsa asing. Sedang Bhayangkara berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban di dalam negeri.
Untuk itu, kedudukan Bhayangkara harus sesuai dengan konsep Negara Maritim yang sangat memusatkan perhatian pada implementasi kemaritiman di segala sektor. Tidak hanya di lautan, bahkan di seluruh pesisir dan seluruh pelosok negeri, hutan, ngarai, lembah dan pegunungan sebagai lahan potensial pertumbuhan ekonomi Negara yang tersebar di seluruh Nusantara Raya ini.
Konsepsi Negara Maritim, langsung tidak langsung telah menempatkan Bhayangkara menjadi institusi yang sangat proaktif menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri. Bhayangkara begitu dikenal dan akrab dengan keluarga istana dan masyarakat umum.
Di lingkungan istana, kotaraja, pedesaan, pusat-pusat perdagangan, pelabuhan, pesisir pantai, pegunungan, di setiap jengkal wilayah Nusantara Raya dan institusi hukum serta peradilan, Kesatuan Bhayangkara selalu tampak hadir. Keberadaannya menjadi begitu penting.
Pada saat-saat genting, ketika institusi militer keluar pusat pemerintahan untuk berperang atau sekedar melakukan tugas kenegaraan, keamanan dalam negeri berada di bawah tanggungjawab Kesatuan Bhayangkara.
Begitu pentingnya kedudukan Bhayangkara, sehingga Rakawi Prapanca dalam Nagarakretagama pupuh IX pada 2, menuliskan:
“Begini keindahan lapang watangan luas bagaikan tak berbatas. Menteri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bhayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua……”
Menurut Kakimpoi Nagarakretagama di atas, dengan mensejajarkan Bhayangkara berada di deret kedua setelah sentana Raja, mengandung makna betapa Kesatuan Bhayangkara menempati posisi penting di pusat pemerintahan.
Lima belas sifat Gajah Mada yang tertuang di naskah Nagarakretagama telah memberikan inspirasi positif bagi perkembangan Kesatuan Bhayangkara di kemudian hari.
Kini, Polisi Republik Indonesia terus tumbuh dan berkembang berdasarkan falsafah Gajah Mada yang tertuang pada Catur Prasetya sebagai paradigma moral Polri.
Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia baru saja merayakan ulang tahunnya ke 66. Hari ulang tahun ini juga dikenal dengan hari Bhayangkara.
Menurut sejarawan, JJ Rizal, definisi Bhayangkara secara historis justru tidak sesuai dengan slogan kepolisian saat ini, 'Mengayomi dan Mengabdi kepada Masyarakat'. Lalu apa sebenarnya arti istilah Bhayangkara?
"Bhayangkara itu secara historis berarti prajurit untuk melindungi raja di jaman Majapahit. Jadi yang dilindungi elit, bukan rakyat kecil," ujar Rizal, Senin (2/7/2012).
Hal ini disampaikan Rizal dalam acara 'Coreng Hitam di Wilayah Bhayangkara: Rekayasa Kasus, Salah Tangkap, Penyiksaan dan Kriminalisasi' di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jl Diponegoro, Jakarta Pusat. Turut hadir Hasan Basri yang merupakan tukang ojek korban salah tangkap, Aguswandi Tanjung, korban rekayasa kasus pencurian listrik di ITC Roxy Mas dan lainnya.
Rizal kemudian menegaskan, istilah Bhayangkara itu harus diganti dan tidak dipergunakan."Kalo istilahnya orang betawi, sampe ujan berkelir juga ngga akan melindungi masyarakat kecil nanti," tambahnya.
Rizal sebelumnya juga dituduh menggunakan narkotika di tahun 2009 silam oleh anggota kepolisian Polsek Beji Depok. Ia kemudian dipukuli dan disiksa agar mengakui perbuatannya.