Ketua umum Serikat rakyat Miskin Indonesia. Wahida Baharuddin Upa (Kanan berkacamata) ,di mobil polisi bersama sepuluh anggotanya.di bawah ke polsek Pulo Gadung JAKARTA TIMUR

Sosok gubernur DKI Jakarta saat ini meski mendapat dukungan popularitas akhir akhir ini sebagai capres terkuat 2014, namun, kepemimpinanya cenderung tidak tegas dalam mengatasi persoalan penggusuran di lingkup pemprov DKI. Sikap mengelak yang di tunjukan Joko Widodo pada penggusuran warga kampung Srikandi (22/5/2013) menunjukan, ia tak punya keberpihakan pada rakyat miskin.

Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) yang di nahkodai Wahida Baharuddin Upa meneskan keberpihakan atas keluhan warga Kampung setempat. Sampai pada pengusiran paksa warga, kepeloporan kawan kawan tetap utuh hingga mobil polisi mengangkutnya ke polsek pulo gadung.

Patriotisme generasi muda paska hari kebangkita nasional perlu di tiru oleh pemimpin negara baik pusat maupun daerah, bahwa rakyat harus diutamakan, apapun persoalannya, kedepankan rakyat.

Warga kampung Srikandi di Jakarta Timur mendapat pengusiran paksa dari aparat setempat dengan peralatan moderen. Nuansa terusir dari tempat tinggal bukan pemandangan baru di Jakarta. Tetapi prilaku tersebut malah berulangkali terjadi di pusat ibu kota Negara Republik Indonesia, suatu contoh yang menohok bahwa kerapuhan atas keberpihakan negara (pemerinatah) pada rakyatnya mutlak sudah hilang.

Berlatar belakang dari kaum miskin di bantaran kali anyar solo, sudah dia buktikan pada kebijakan yang mengedepankan dialog dalam menyelesaikan permasalahan warga. Konon, warga Srikandi di Jakarta Timur begitu tidak mendapat tempat di hati sang anak Kali Anyar Solo ini.

Alih alih yang sebenarnya mengelak persoalan di lingkup kekuasaanya, Joko Widodo mengaku tidak tahu permasalahan eksekusi ratusan rumah di Kampung Srikandi RT 07 RW 03, Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur, yang ricuh. Menurut Gubernur DKI Jakarta, masalah tersebut bukan wilayah Pemprov DKI.

“Enggak tahu, itu bukan wilayah kita,” kata Jokowi di Balaikota Jakarta, Rabu (22/5/2013). Menurut Jokowi, eksekusi penggusuran itu merupakan putusan pengadilan, bukan keputusan Pemprov DKI. Jadi, Jokowi menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada pihak PN Jakarta Timur.

Sikap tidak konsisten dengan cita dan gita pak Gubernur Ibu Kota negara ini mendapat sorotan tajam dari wakil rakyat. Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Taufiqurrahman menyayangkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan bahwa penggusuran rumah di Kampung Srikandi RT 07 RW 03, Jatinegara, Jakarta Timur bukanlah ranah wilayah Pemprov DKI.

Anggota dewan yang membidangi hukum dan pemerintahan ini berpendapat, seharusnya ada mediasi atau dialog terlebih dahulu dengan warga Kampung Srikandi sebelum mereka digusur. Bukan malah membantu pihak swasta. Ironisnya, Taufiq menambahkan, saat penggusuran terlihat pasukan Satpol PP dengan seperangkat alat pengamanan dalam penggusuran tersebut.

“Walaupun ini bukan ranah pemprov harusnya tetap ada campur tangan pemda untuk membantu rakyat di sana,” kata Taufiq saat dihubungi wartawan, Jakarta, Rabu (22/05).

Siapa yang perintah polisi pamong praja? Terkait keterlibatan Satpol PP dalam penggusuran yang bukan ranah Pemprov DKI, kata dia, seharusnya tidak ada Satpol PP yang menindak. Namun, mantan Wali Kota Surakarta itu mengungkapkan, bukan tidak mungkin keterlibatan Satpol PP untuk membantu pihak kepolisian yang berjaga di sana. “Saya selalu sampaikan kalau bukan wilayah kita, ya mestinya enggak ada personel Satpol PP,” kata Jokowi.

Mediasi Itu Hukum Di Luar Pengadilan

Penguasa masih menunjukan cara cara anarkis dalam menyelesaikan masalah. Sekalipun Jokowi tak luput dari praktik tangan tangan besi yang menyengsarakan rakyat. Tugas pemerintah dalam menyelesaikan proses eksekusi pengadilan di jaman reformasi hari ini adalah menyalurkan putusan hukum positif kepada rakyat miskin dengan cara mediasi.

Kasus tanah di Indonesia berbenturan dengan kaum kapitalis yang datang dengan mendirikan sejumlah perseroan terbatas (PT/CV, FIRMA). Tanah Indonesia kini di kuasi sejumlah pabrik yang dimiliki perusahaan asing maupun nasional. Kita tahu, prahara tetesan modal tak menyelesaikan masalah.

Kehadiran Jokowi di DKI Jakarta sudah memberi teladan yang baik pada kebijakan pemerintahan yang pro rakyat. Namun cara “mbalelo” alias picik pura pura tak tahu masalah sebenarnya prilaku pemimpin yang masa bodoh dan menunjukkan ketidakmampuannya dalam menghadapi persoalan hukum.

Mediasi penting dilakukan untuk menghindari korban berjatuhan. Mediasi juga perlu dilakukan agar persoalan penegakan hukum dalam ranah keperdataan, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak (bukan satu orang/satu rumah saja) yang kini menggantung hidup di kampung Srikandi mendapatkan keadilan yang sama di mata hukum.

Mengutip ucapan ketua umum Partai Rakyat Demokratik pada suatu kesempatan diskusi, Agus Jabo mengatakan, pendekatan penyelesaian masalah dengan hukum merupakan metode imperialis semata, sebab, menurutnya, hukum kini milik para komprador. Tetapi cara cara seperti musyawarah dan mufakat adalah rujukan konstitusi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menetap dengan jumlah lebih dari seribu jumlah penduduk di sini, terkalahkan dengan kepentingan hadirnya sang perseroan terbatas yang memakai payung hukum, yang pemiliknya hanya seberapa.

Kampung Srikandi, berjarak puluhan kilo meter dari istana Negara, bagaimana dengan nasib penduduk Indonesia di pelosok nusantara yang kini juga menghadapi persoalan yang sama.

Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) bukan saja sebuah tata kelola administratif semata, tetapi ikon bagi prilaku bagaimana negara besar ini berpijak. Mediasi saja tak bisa, penyelesaian masalah saja dengan kekerasan, pakai alat berat hadapi rakyat yang hanya berbekal suara, nasib rakyat negri ini kian rapuh di mata keadilan bagi hunian yang layak. Semakin parah penduduk negri ini bila di komandoi oleh seorang pemimpin yang “mbalelo”.