- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Belajar dari Mamat dn Memet!!


TS
penasehat.raja
Belajar dari Mamat dn Memet!!
Kisah berikut merupakan cerita fiksi
Cerita penuh makna yang sangat manusiawi
Kisah fiksi yang mengandung makna reality
Semoga agan bisa menangkap makna ceritanya yah 

Langsung aja gan...
Spoiler for Dialog Mamat dan Memet:
Dua bocah kecil berusia 8 tahun duduk termenung di atas onggokan batu yang menumpuk di belakang rumahnya.
Seusia itu rasanya belumlah pantas duduk termenung meratapi nasib masa depan mereka yang kian pasrah dengan kejamnya situasi zaman. Mereka yang sepatutnya bermain, berlari dan larut dalam tawa riang, hanya duduk terdiam tak mengerti atas keadaan hidup semakin tak pasti.
Bocah yang satu Rohmat (dipanggil dengan sapaan Mamat). Tubuhnya kurus, mata belok, wajah persegi, rambut lurus jigrak dan kulitnya hitam. Bocah yang satu lagi bernama Ismet (dipanggil dengan sapaan Memet). Tubuhnya gempal, mata sedikit sipit, wajah opal, rambut kriting tipis dan kulit sawoh matang.
Tubuh kurus si Mamat menghadap ke sungai yang aliran airnya sedikit deras. Tatapan matanya tajam, fikirannya berkecamuk. Sementara tubuh gempal si Memet persis berhadapan dengan pohon jambu yang buahnya besar dan lebat. Tatapan matanya juga tajam, fikirannya menerawang jauh. Entah apa yang ada dalam benak fikiran mereka. Tetapi perilaku diam ini menghabiskan waktu 15 menit lebih tanpa sepatah kata. Berkisar menit ke 16, Memet angkat bicara memecah suasana.
Memet: Mat, apa yang kau fikirkan ?
Mamat : Aku lihat air sungai itu mengalir deras. Apa saja di atasnya hanyut terbawa air. Tidak saja benda ringan, tetapi benda berat juga terbawa arus.
Memet: Ada apa rupanya dengan air di sungai itu ?
Mamat: Pak guru di sekolah mengajarkan bahwa air salah satu dari sumber kehidupan. Tanpa air, hidup menjadi kering berujung pada kematian. Air mengalir menuju yang rendah. Jika air datang dari dataran tinggi, pastilah air itu membasahi yang rendah juga. Seluruh sisi akan basah, subur dan segar.
Memet: Maksudnya apa ?
Mamat: Tuhan mengajarkan dengan alam ciptaan-Nya bahwa hidup harus berbagi seperti air di sungai. Jika yang tinggi dipenuhi air, maka yang di bawah ikut pula menikmati hasilnya. Bahkan, disekitar sungai juga ikut merasakan kesuburan dan kesegaran hidup. Jika dataran tinggi tak lagi mengeluarkan air atau bisa dikatakan mata air tak lagi terpancar, maka munculnya mata kekeringan yang meretakkan sendi kehidupan menjadi layu, kering dan mati.
Memet: Apa bisa berlaku untuk semua kehidupan ?
Mamat: Tentu saja. Yang tinggi menaungi yang rendah. Yang besar melindungi yang kecil. Yang kuat menjaga yang lemah. Yang kaya bersedekah kepada yang miskin.
Memet: Tapi bagaimana pula kalau air yang di alirkan terlalu besar, bisa mati kegemukan dong?
Mamat: Itu karena, dataran tinggi sudah rusak oleh keserakahan. Air yang sepatutnya menjadi sumber kehidupan, berubah menjadi sumber malapetaka. Sikap saling berbagi sudah menipis, apalagi sikap saling melindungi nyaris diabaikan. Dampaknya, habislah kawasan rendah dan sekitarnya. Begitu kata pak guru, Met.
Memet: Ooohh !!!
Mamat: Aku sedih dan risau jika hidup tak seperti air di sungai itu. Yang tinggi meluluh lantahkan yang rendah, yang besar menekan yang kecil, yang kuat memeras yang lemah, dan yang kaya tak peduli dengan nasib si miskin.
Memet: Hebat kau Mat !!
Mamat: Kau tadi lamuni apa ?
Memet: Ah enggak ! Cuma lihat buah jambu di atas pohon itu.
Mamat: Ada apa dengan buah jambu itu ?
Memet: Buahnya besar, pasti manis rasanya.
Mamat: Maksud mu ?
Memet: Perut ku langsung lapar lihat buah jambu itu. Aku ingin mengambilnya, tapi badan ku gemuk tak bisa memanjat.
Mamat: Tapi buah itu milik nenek Inem ? Tak boleh kau ambil tanpa minta izin. Mencuri namanya?
Memet: Tak apalah, tak ada yang tahu koq ? Lagi pula Cuma satu saja.
Mamat: Ia sich, tapi itu tetap saja mencuri. Jika kau ketagihan, pasti akan kau ulangi lagi. Mulanya satu, dua, tiga dan kau ambil semuanya selama yang punya tak tahu.
Memet: Tidak, aku janji, Cuma satu saja. Tapi kalau enak, mau juga tambah lagi.
Mamat: Memang dasar, kau cuma fikiri lambung mu saja. Lagi pula, selain engkau, aku juga tahu bahwa jambu itu hasil curian mu ?
Memet: Kau tenang sajalah, hasil curian ini pasti ku bagi.
Mamat: Maksud mu aku kau bagi, begitu ?
Memet:Ya iyalah, tadi kau sendiri bilang hidup harus berbagi, seperti air di sungai itu !
Mamat: Ia, tapi bukan membagi hasil curian.
Memet: Sudah laa, kau diam aku pasti diam. Selesaikan !!! Selama kau tak bersiul dan bernyanyi, tak akan ada orang yang mendengar.
Mamat: Met, Met !!!
Memet: Buktinya, kau lihat di TV. Semua orang saling tunjuk maling. Si maling teriak maling. Aku kan cuma curi buahnya, bukan curi pohonnya.
Mamat: Sama aja, mula-mula buahnya, lalu kau ketagihan, pohonnya pun kau embat. Sampai-sampai Nenek Inem bisa mati mendadak.
Si Memet tak peduli nasehat Mamat. Ia ambil sebatang kayu yang panjang digunakannya untuk meraih satu buah jambu yang paling besar. Jambu itu pun jatuh menimpa mukanya sendiri, lalu ke tanah. Walau dilumuri kotoran, Memet tetap memakan jambu itu sambil mengusap-usap tanah yang melekat di jambu itu.
Dengan lahap Memet memakan jambu itu, tetapi sebahagian ia bagi dengan Mamat. Mamat pun tak kuasa menahan diri karena cita rasanya enak sekali. Dengan perasaan cemas, takut dan bersalah, Mamat menikmati juga hasil curian Memet. Akhirnya mereka berdua larut menikmati hasil curian itu.
Ternyata, kejahatan dilakukan bisa disebabkan faktor keinginan, kesempatan dan keadaan. Orang berbuat baik juga bisa didasari karena ingin berbuat baik, kesempatan berbuat baik dan membantu keadaan. Tetapi orang juga bisa berbuat jahat karena keinginan yang jahat, adanya kesempatan dan keadaan yang mendorong.
Begitulah Mamat dan Memet dua bocah yang bersikap antara keinginan, kesempatan dan keadaan.
Seusia itu rasanya belumlah pantas duduk termenung meratapi nasib masa depan mereka yang kian pasrah dengan kejamnya situasi zaman. Mereka yang sepatutnya bermain, berlari dan larut dalam tawa riang, hanya duduk terdiam tak mengerti atas keadaan hidup semakin tak pasti.
Bocah yang satu Rohmat (dipanggil dengan sapaan Mamat). Tubuhnya kurus, mata belok, wajah persegi, rambut lurus jigrak dan kulitnya hitam. Bocah yang satu lagi bernama Ismet (dipanggil dengan sapaan Memet). Tubuhnya gempal, mata sedikit sipit, wajah opal, rambut kriting tipis dan kulit sawoh matang.
Tubuh kurus si Mamat menghadap ke sungai yang aliran airnya sedikit deras. Tatapan matanya tajam, fikirannya berkecamuk. Sementara tubuh gempal si Memet persis berhadapan dengan pohon jambu yang buahnya besar dan lebat. Tatapan matanya juga tajam, fikirannya menerawang jauh. Entah apa yang ada dalam benak fikiran mereka. Tetapi perilaku diam ini menghabiskan waktu 15 menit lebih tanpa sepatah kata. Berkisar menit ke 16, Memet angkat bicara memecah suasana.
Memet: Mat, apa yang kau fikirkan ?
Mamat : Aku lihat air sungai itu mengalir deras. Apa saja di atasnya hanyut terbawa air. Tidak saja benda ringan, tetapi benda berat juga terbawa arus.
Memet: Ada apa rupanya dengan air di sungai itu ?
Mamat: Pak guru di sekolah mengajarkan bahwa air salah satu dari sumber kehidupan. Tanpa air, hidup menjadi kering berujung pada kematian. Air mengalir menuju yang rendah. Jika air datang dari dataran tinggi, pastilah air itu membasahi yang rendah juga. Seluruh sisi akan basah, subur dan segar.
Memet: Maksudnya apa ?
Mamat: Tuhan mengajarkan dengan alam ciptaan-Nya bahwa hidup harus berbagi seperti air di sungai. Jika yang tinggi dipenuhi air, maka yang di bawah ikut pula menikmati hasilnya. Bahkan, disekitar sungai juga ikut merasakan kesuburan dan kesegaran hidup. Jika dataran tinggi tak lagi mengeluarkan air atau bisa dikatakan mata air tak lagi terpancar, maka munculnya mata kekeringan yang meretakkan sendi kehidupan menjadi layu, kering dan mati.
Memet: Apa bisa berlaku untuk semua kehidupan ?
Mamat: Tentu saja. Yang tinggi menaungi yang rendah. Yang besar melindungi yang kecil. Yang kuat menjaga yang lemah. Yang kaya bersedekah kepada yang miskin.
Memet: Tapi bagaimana pula kalau air yang di alirkan terlalu besar, bisa mati kegemukan dong?
Mamat: Itu karena, dataran tinggi sudah rusak oleh keserakahan. Air yang sepatutnya menjadi sumber kehidupan, berubah menjadi sumber malapetaka. Sikap saling berbagi sudah menipis, apalagi sikap saling melindungi nyaris diabaikan. Dampaknya, habislah kawasan rendah dan sekitarnya. Begitu kata pak guru, Met.
Memet: Ooohh !!!
Mamat: Aku sedih dan risau jika hidup tak seperti air di sungai itu. Yang tinggi meluluh lantahkan yang rendah, yang besar menekan yang kecil, yang kuat memeras yang lemah, dan yang kaya tak peduli dengan nasib si miskin.
Memet: Hebat kau Mat !!
Mamat: Kau tadi lamuni apa ?
Memet: Ah enggak ! Cuma lihat buah jambu di atas pohon itu.
Mamat: Ada apa dengan buah jambu itu ?
Memet: Buahnya besar, pasti manis rasanya.
Mamat: Maksud mu ?
Memet: Perut ku langsung lapar lihat buah jambu itu. Aku ingin mengambilnya, tapi badan ku gemuk tak bisa memanjat.
Mamat: Tapi buah itu milik nenek Inem ? Tak boleh kau ambil tanpa minta izin. Mencuri namanya?
Memet: Tak apalah, tak ada yang tahu koq ? Lagi pula Cuma satu saja.
Mamat: Ia sich, tapi itu tetap saja mencuri. Jika kau ketagihan, pasti akan kau ulangi lagi. Mulanya satu, dua, tiga dan kau ambil semuanya selama yang punya tak tahu.
Memet: Tidak, aku janji, Cuma satu saja. Tapi kalau enak, mau juga tambah lagi.
Mamat: Memang dasar, kau cuma fikiri lambung mu saja. Lagi pula, selain engkau, aku juga tahu bahwa jambu itu hasil curian mu ?
Memet: Kau tenang sajalah, hasil curian ini pasti ku bagi.
Mamat: Maksud mu aku kau bagi, begitu ?
Memet:Ya iyalah, tadi kau sendiri bilang hidup harus berbagi, seperti air di sungai itu !
Mamat: Ia, tapi bukan membagi hasil curian.
Memet: Sudah laa, kau diam aku pasti diam. Selesaikan !!! Selama kau tak bersiul dan bernyanyi, tak akan ada orang yang mendengar.
Mamat: Met, Met !!!
Memet: Buktinya, kau lihat di TV. Semua orang saling tunjuk maling. Si maling teriak maling. Aku kan cuma curi buahnya, bukan curi pohonnya.
Mamat: Sama aja, mula-mula buahnya, lalu kau ketagihan, pohonnya pun kau embat. Sampai-sampai Nenek Inem bisa mati mendadak.
Si Memet tak peduli nasehat Mamat. Ia ambil sebatang kayu yang panjang digunakannya untuk meraih satu buah jambu yang paling besar. Jambu itu pun jatuh menimpa mukanya sendiri, lalu ke tanah. Walau dilumuri kotoran, Memet tetap memakan jambu itu sambil mengusap-usap tanah yang melekat di jambu itu.
Dengan lahap Memet memakan jambu itu, tetapi sebahagian ia bagi dengan Mamat. Mamat pun tak kuasa menahan diri karena cita rasanya enak sekali. Dengan perasaan cemas, takut dan bersalah, Mamat menikmati juga hasil curian Memet. Akhirnya mereka berdua larut menikmati hasil curian itu.
Ternyata, kejahatan dilakukan bisa disebabkan faktor keinginan, kesempatan dan keadaan. Orang berbuat baik juga bisa didasari karena ingin berbuat baik, kesempatan berbuat baik dan membantu keadaan. Tetapi orang juga bisa berbuat jahat karena keinginan yang jahat, adanya kesempatan dan keadaan yang mendorong.
Begitulah Mamat dan Memet dua bocah yang bersikap antara keinginan, kesempatan dan keadaan.
Spoiler for Ilustrasi foto:

Jika agan menangkap makna ceritanya dan menurut lumayan bagus minta bantu rate 5 gan 

Bagi yang mengganggap bagus skali bisa bagi cendolnya ya gan 

Spoiler for Kaskuser yang bijak yang meninggalkan ini di setiap Thread:

Diubah oleh penasehat.raja 11-05-2013 12:40
0
1.3K
Kutip
9
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan