- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Oh...jadi UJIAN NASIONAL sekarang begini?? malu ane sama bangsa sendiri!!
TS
Vidarth
Oh...jadi UJIAN NASIONAL sekarang begini?? malu ane sama bangsa sendiri!!
fakta
Tahun ini pertama kali saya memperoleh kehormatan sebagai pengawas Ujian Nasional! Wow. Saya menyebut kehormatan karena sejak bertugas sebagai guru PNS, baru tahun ini saya mendapatkan kesempatan. Keren sekali rasanya. Hi hi
Jauh-jauh hari sebelum UN, saya melakukan survei kecil-kecilan ke teman-teman guru. Hasil surveinya sangat menarik dan membuat saya penasaran. Mereka bilang kalau nantinya pengawas itu akan jadi boneka di ruang ujian. Waktu saya tanya, Kenapa? Kok gitu? Mereka menjawab, “Ntar kamu tahu sendiri”. Nah looh..
Senin (14/4), saya tiba di sekolah tempat saya bertugas. Sekolah kecil yang ramai. Ada 2 lembaga pendidikan di sini, pendidikan menengah dan atas.
Pukul 7.00 WIB kami, para pengawas, memasuki ruang ujian. Anak-anak sudah berbaris rapi menunggu kami membuka pintu. Kami lalu mempersilahkan mereka masuk.
Hari pertama yang diujikan adalah Bahasa Indonesia. Soal dan Lembar Jawab Ujian Nasional (LJUN) kami bagikan. Segera saja mereka larut mengerjakan soal-soal. Wajah-wajah berpikir, mulut komat-kamit membaca soal dan tangan yang sesekali mencoretkan pensil ke soal ujian untuk menemukan jawaban itu membuat saya dan teman pengawas saya –yang kebetulan juga baru pertama kali jadi pengawas UN—saling memandang, saling menukar senyum dan lega.
Ya, UN kali ini berbeda. UN tahun ini tidak akan membuat kami seperti boneka! Dengan 20 paket soal dan barcode itu, pasti akan memaksa anak-anak untuk belajar. Dengan anak-anak menuliskan kalimat “saya jujur dalam mengerjakan soal-soal ujian” di LJUN itu, mudah-mudahan berhasil memberi sugesti untuk benar-benar berlaku jujur!
“Terima kasih atas hari ini ya. Terima kasih karena kalian sudah jujur, serius dan tertib dalam mengerjakan soal-soal ujian,” begitu kalimat spontan saya sebagai apresiasi untuk mereka saat bel tanda berakhirnya ujian berbunyi.
Hari pertama sukses!
Selasa (15/4). Jam pertama yang diujikan adalah Ekonomi. Anak-anak tenang dalam mengerjakan. Seperti kemarin
Dua puluh menit pertama, 2 orang panitia memasuki ruang ujian setelah sebelumnya meminta ijin kami untuk memberikan lembar kertas coret-coretan. Teman saya mempersilahkan mereka masuk. Saya hanya melihat mereka sekilas, lalu melanjutkan kembali melengkapi beberapa lembar administrasi UN.
Berikutnya, saya merasa ada yang aneh. Saya melihat mereka sewaktu memberikan kertas dengan mendatangi anak satu persatu, sambil membisikkan sesuatu.
Saya mencoba mencari tahu.
Tetapi teman pengawas saya bilang,
“Nggak ada apa-apa. Biasa…”
Well, saya kembali tenang karena saat itu Pengawas Satuan Pendidikan datang untuk menandatangani lembar Pakta Integeritas. Beliau jelas melihat apa yang dikerjakan 2 panitia tadi. Jadi, mungkin memang benar tidak ada apa-apa ya?
Belakangan, setelah ujian berakhir dan para pengawas menuju ke ruang pengawas, teman seruangan lain cerita kalau dia tahu dan melihat dengan jelas bahwa yang panitia edarkan tadi adalah kunci jawaban!
bodoh!
Saya merutuki diri saya sendiri. Kenapa sampai tidak ngeh? Kenapa mata saya tertipu waktu Pengawas Satuan Pendidikan masuk tadi?
Hancur hati saya. Saya merasa ditampar di depan anak-anak. Saya malu semalu-malunya!
Selanjutnya, ruang pengawas kedatangan tamu pengawas dari Dinas Dikpora Kabupaten. Beliau ngobrol dengan kepala sekolah, lalu berpesan kepada kami,
“Hari ini tidak ada kasus apa pun di sekolahan lho, ya? Tidak boleh ada cerita yang keluar dari sekolahan ini!”
Jam kedua dimulai. Bahasa Inggris kali ini. Saya melihat anak-anak tenang dalam mengerjakan. Jam kedua yang sangat lama karena saya terus meneteskan air mata. Saya memang bukan jenis orang yang bisa menahan apa-apa yang saya rasakan. Saya ingin ketemu kepala sekolah lagi. Saya ingin bicara.
Jam kedua berakhir.
Di ruang pengawas saya tidak menemukan Kepala Sekolah. Hanya ada 2 orang panitia yang tadi masuk ke ruang ujian. Mereka tersenyum dan menghampiri kami satu per satu. Dimulai dari teman saya yang duduk paling ujung sendiri.
“Ini buat ganti transport ke sini, Pak.”
Yang lalu direspon dengan ungkapan-ungkapan terima kasih. Demikian seterusnya hingga sampai di meja saya.
“Saya tidak usah, Pak. Terima kasih. Buat Bapak saja”, kata saya sambil meninggalkan ruang pengawas.
Saya mencari kepala sekolah dan akhirnya bertemu.
Kepala sekolah mohon maaf. Beliau sampaikan juga alasan kenapa sebelumnya tidak ada di tempat karena ada wartawan yang mewawancarainya.
Saya sampaikan kalau saya tidak dapat menerima kejadian tadi.
Saya tidak terima.
Hati saya sakit.
Saya bicara dalam keadaan marah sambil menangis lagi.
Kepala sekolah diam. Bengong. Lalu bicara.
“Ooh, tadi ada panitia masuk ya? Itu inisiatif panitia. Saya akan bicara ke mereka.”
Hari ke-3, Rabu (17/4).
Datang panitia sambil membawa kopi pagi.
“Ibu, nanti saya mau bicara,” begitu katanya.
Sambil mengawasi saya memantau anak-anak. Mereka tenang dan serius membaca soal-soal ujian.
Tidak dapat jawaban soal lagi. Itu jawaban mereka waktu saya tanya, apa mereka dapat kunci jawaban lagi?
“Ibu, saya mohon maafkan saya. Saya khilaf sudah memasukkan kunci jawaban ke ruangan-ruangan. Saya tidak tega dengan anak-anak. Saya cuma ingin membantu anak-anak. Saya mohon ibu tidak bicara ke siapa pun. Saya mohon amplopnya diterima..”
Tidak tega rasanya melihat ibu panitia yang satu ini. Beliau dikorbankan sebagai martir sekolah ini untuk mengakui bahwa yang mereka lakukan kemarin merupakan inisiatif dari beliau sendiri.
Sederhana saja saya menjawab.
“Karena ini kebenaran, saya tidak bisa berjanji tidak akan bicara. Karena kebenaran pasti akan terbuka pada waktunya.”
Saya merasa tidak ada beban, karena memang ini yang seharusnya dilakukan pengawas. Sesederhana itu.
“Pengawas itu tugasnya bukan untuk mengawasi. Tetapi membantu siswa. Membantu siswa untuk jujur!”
Pesan Kepala Sekolah tempat saya bekerja saat memberikan briefing pengawas UN, Kamis (11/4) lalu seperti menjadi mantera dan menjadi sumber kekuatan. Karena dari kalimat tersebut saya tahu bahwa beliau punya sikap yang sama. Jujur dalam UN!
Kamis (18/4) hari ke-4 Ujian Nasional! Last day!
Whispered conversation.
“Apa itu? Sini kasih ke ibu. Ibu lihat dari tadi tanganmu sibuk terus di bawah meja. Ibu lihat ada kertas yang kamu bawa. Sini lihat.”
“Nggak, Bu. Saya nggak bawa apa-apa.”
“Coba berdiri. Ibu Cuma pengen cek aja.”
“Tidak, Bu. Saya tidak bawa apa-apa,” jawabnya. Sambil menutup muka. Gemetar.
“Kertasnya bawa sini. Ibu mau lihat itu kertas apa. Kalau tidak mau, Ibu polisikan kamu!”
“Saya mau berikan, Bu. Tapi tolong nanti dikembalikan.”
“Baik. Ibu janji. Gurumu, Kepala Sekolahmu, tidak ada yang tahu kamu ngasih kertas itu ke Ibu.”
Deal.
Kunci Jawaban Geografi!
Dari ceritanya, anak tadi mendapat cetakan kunci jawaban dari luar. Bukan dari sekolah setempat.
Tiba saatnya pulang.
Sengaja saya pulang paling akhir agar saya dapat berbincang dengan Kepala Sekolah.
Sambil memberikan DVD Film Dokumenter tentang kecurangan UN “Temani Aku Bunda“, saya kembali menegaskan sikap saya bahwa saya menolak untuk berkompromi. Saya juga menyampaikan pesan kepada beliau untuk mengapresiasi anak-anak didiknya. Mereka telah berusaha dengan baik. Saya juga berharap pelaksanaan UN tahun depan lebih baik lagi.
Percakapan di mobil.
“Aku tahu arahmu, Nin. Kalau kamu nggak kuat melihat hal-hal seperti ini ya jangan jadi pengawas UN!”
Kalimat ini terus terang membuat hati saya sakit.
Teman senior ini bilang bahwa tahun ini pelaksanaan UN lebih baik karena tidak ada handphone yang terlihat di meja-meja.
Waktu saya tanya kenapa hp-hp itu tidak diambil, dijawabnya,
“Buat apa? Ini sama saja bunuh diri! Ini sudah sistemik. Tiap sekolah melakukan pembiaran seperti ini. Mungkin sekolah kita juga. Percuma dilawan!”
Bunuh diri. Pembiaran. Sistemik. Pesismisme.
Kata-kata tersebut di atas terpampang jelas.
Dengan hati-hati saya mohon agar dia buang pesismisnya jauh-jauh.
Yang perlu kita lakukan hanya bersikap. Cuma itu. Sangat sederhana. Kalau dia butuh teman, dia juga tahu sekarang siapa temannya.
Saya maklum dengan segala yang teman ini utarakan. Saya tahu bahwa teman-teman pengawas ketakutan. Mereka takut karena merasa sudah mendukung kejahatan. Sejak Rabu memang ada yang aneh di tiap kali saya berganti pasangan pengawas. Selalu ada cerita bahwa UN tahun ini lebih baik. Ada cerita bagaimana efeknya ke pimpinan juga sekolah tempat pelapor bekerja jika sampai ada laporan tentang hal yang tidak seharusnya selama ujian. Ada cerita jika justru pelapor yang akan mendapat sanksi.
Malam setelah kejadian itu saya mendapat sms dari seorang senior yang juga panitia inti Ujian Nasional di tempat saya bekerja, ada guru lain yang sudah memberitahu mereka bahwa saya menolak berkompromi dan guru ini ketakutan. Saya sempat merasa akan sendirian, tetapi sms selanjutnya sungguh menenangkan karena beliau bilang bahwa seluruh guru termasuk kepala sekolah tempat saya bekerja memberikan dukungan apapun langkah yang akan saya lakukan. Alhamdulillah..
Memang semuanya butuh proses ya. Dan jika tidak dimulai, kapan lagi? Miris melihat anak-anak didik kami ini.
Mereka bangkrut.
Mendapat ilmu yang cukup saja tidak. Apalagi mendapat didikan moral. Tidak sama sekali.
Kemampuan akademik, sangat bisa dikejar dalam waktu 3-6 bulan intensif. Tetapi pembentukan moral akan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Lebih dari 15 tahun dan mungkin saja 2-3 generasi.
menyedihkan memang, tapi inilah faktanya. Kalau hal ini berulang terjadi tiap tahunnya, apa bedanya dengan sekalian UN ditiadakan?
neh buktinye
mau ngasih cendol atau bata, terserah
ane cuma menyampaikan fakta
Quote:
Tahun ini pertama kali saya memperoleh kehormatan sebagai pengawas Ujian Nasional! Wow. Saya menyebut kehormatan karena sejak bertugas sebagai guru PNS, baru tahun ini saya mendapatkan kesempatan. Keren sekali rasanya. Hi hi
Jauh-jauh hari sebelum UN, saya melakukan survei kecil-kecilan ke teman-teman guru. Hasil surveinya sangat menarik dan membuat saya penasaran. Mereka bilang kalau nantinya pengawas itu akan jadi boneka di ruang ujian. Waktu saya tanya, Kenapa? Kok gitu? Mereka menjawab, “Ntar kamu tahu sendiri”. Nah looh..
Senin (14/4), saya tiba di sekolah tempat saya bertugas. Sekolah kecil yang ramai. Ada 2 lembaga pendidikan di sini, pendidikan menengah dan atas.
Pukul 7.00 WIB kami, para pengawas, memasuki ruang ujian. Anak-anak sudah berbaris rapi menunggu kami membuka pintu. Kami lalu mempersilahkan mereka masuk.
Hari pertama yang diujikan adalah Bahasa Indonesia. Soal dan Lembar Jawab Ujian Nasional (LJUN) kami bagikan. Segera saja mereka larut mengerjakan soal-soal. Wajah-wajah berpikir, mulut komat-kamit membaca soal dan tangan yang sesekali mencoretkan pensil ke soal ujian untuk menemukan jawaban itu membuat saya dan teman pengawas saya –yang kebetulan juga baru pertama kali jadi pengawas UN—saling memandang, saling menukar senyum dan lega.
Ya, UN kali ini berbeda. UN tahun ini tidak akan membuat kami seperti boneka! Dengan 20 paket soal dan barcode itu, pasti akan memaksa anak-anak untuk belajar. Dengan anak-anak menuliskan kalimat “saya jujur dalam mengerjakan soal-soal ujian” di LJUN itu, mudah-mudahan berhasil memberi sugesti untuk benar-benar berlaku jujur!
“Terima kasih atas hari ini ya. Terima kasih karena kalian sudah jujur, serius dan tertib dalam mengerjakan soal-soal ujian,” begitu kalimat spontan saya sebagai apresiasi untuk mereka saat bel tanda berakhirnya ujian berbunyi.
Hari pertama sukses!
Selasa (15/4). Jam pertama yang diujikan adalah Ekonomi. Anak-anak tenang dalam mengerjakan. Seperti kemarin
Dua puluh menit pertama, 2 orang panitia memasuki ruang ujian setelah sebelumnya meminta ijin kami untuk memberikan lembar kertas coret-coretan. Teman saya mempersilahkan mereka masuk. Saya hanya melihat mereka sekilas, lalu melanjutkan kembali melengkapi beberapa lembar administrasi UN.
Berikutnya, saya merasa ada yang aneh. Saya melihat mereka sewaktu memberikan kertas dengan mendatangi anak satu persatu, sambil membisikkan sesuatu.
Saya mencoba mencari tahu.
Tetapi teman pengawas saya bilang,
“Nggak ada apa-apa. Biasa…”
Well, saya kembali tenang karena saat itu Pengawas Satuan Pendidikan datang untuk menandatangani lembar Pakta Integeritas. Beliau jelas melihat apa yang dikerjakan 2 panitia tadi. Jadi, mungkin memang benar tidak ada apa-apa ya?
Belakangan, setelah ujian berakhir dan para pengawas menuju ke ruang pengawas, teman seruangan lain cerita kalau dia tahu dan melihat dengan jelas bahwa yang panitia edarkan tadi adalah kunci jawaban!
bodoh!
Saya merutuki diri saya sendiri. Kenapa sampai tidak ngeh? Kenapa mata saya tertipu waktu Pengawas Satuan Pendidikan masuk tadi?
Hancur hati saya. Saya merasa ditampar di depan anak-anak. Saya malu semalu-malunya!
Selanjutnya, ruang pengawas kedatangan tamu pengawas dari Dinas Dikpora Kabupaten. Beliau ngobrol dengan kepala sekolah, lalu berpesan kepada kami,
“Hari ini tidak ada kasus apa pun di sekolahan lho, ya? Tidak boleh ada cerita yang keluar dari sekolahan ini!”
Jam kedua dimulai. Bahasa Inggris kali ini. Saya melihat anak-anak tenang dalam mengerjakan. Jam kedua yang sangat lama karena saya terus meneteskan air mata. Saya memang bukan jenis orang yang bisa menahan apa-apa yang saya rasakan. Saya ingin ketemu kepala sekolah lagi. Saya ingin bicara.
Jam kedua berakhir.
Di ruang pengawas saya tidak menemukan Kepala Sekolah. Hanya ada 2 orang panitia yang tadi masuk ke ruang ujian. Mereka tersenyum dan menghampiri kami satu per satu. Dimulai dari teman saya yang duduk paling ujung sendiri.
“Ini buat ganti transport ke sini, Pak.”
Yang lalu direspon dengan ungkapan-ungkapan terima kasih. Demikian seterusnya hingga sampai di meja saya.
“Saya tidak usah, Pak. Terima kasih. Buat Bapak saja”, kata saya sambil meninggalkan ruang pengawas.
Saya mencari kepala sekolah dan akhirnya bertemu.
Kepala sekolah mohon maaf. Beliau sampaikan juga alasan kenapa sebelumnya tidak ada di tempat karena ada wartawan yang mewawancarainya.
Saya sampaikan kalau saya tidak dapat menerima kejadian tadi.
Saya tidak terima.
Hati saya sakit.
Saya bicara dalam keadaan marah sambil menangis lagi.
Kepala sekolah diam. Bengong. Lalu bicara.
“Ooh, tadi ada panitia masuk ya? Itu inisiatif panitia. Saya akan bicara ke mereka.”
Hari ke-3, Rabu (17/4).
Datang panitia sambil membawa kopi pagi.
“Ibu, nanti saya mau bicara,” begitu katanya.
Sambil mengawasi saya memantau anak-anak. Mereka tenang dan serius membaca soal-soal ujian.
Tidak dapat jawaban soal lagi. Itu jawaban mereka waktu saya tanya, apa mereka dapat kunci jawaban lagi?
“Ibu, saya mohon maafkan saya. Saya khilaf sudah memasukkan kunci jawaban ke ruangan-ruangan. Saya tidak tega dengan anak-anak. Saya cuma ingin membantu anak-anak. Saya mohon ibu tidak bicara ke siapa pun. Saya mohon amplopnya diterima..”
Tidak tega rasanya melihat ibu panitia yang satu ini. Beliau dikorbankan sebagai martir sekolah ini untuk mengakui bahwa yang mereka lakukan kemarin merupakan inisiatif dari beliau sendiri.
Sederhana saja saya menjawab.
“Karena ini kebenaran, saya tidak bisa berjanji tidak akan bicara. Karena kebenaran pasti akan terbuka pada waktunya.”
Saya merasa tidak ada beban, karena memang ini yang seharusnya dilakukan pengawas. Sesederhana itu.
“Pengawas itu tugasnya bukan untuk mengawasi. Tetapi membantu siswa. Membantu siswa untuk jujur!”
Pesan Kepala Sekolah tempat saya bekerja saat memberikan briefing pengawas UN, Kamis (11/4) lalu seperti menjadi mantera dan menjadi sumber kekuatan. Karena dari kalimat tersebut saya tahu bahwa beliau punya sikap yang sama. Jujur dalam UN!
Kamis (18/4) hari ke-4 Ujian Nasional! Last day!
Whispered conversation.
“Apa itu? Sini kasih ke ibu. Ibu lihat dari tadi tanganmu sibuk terus di bawah meja. Ibu lihat ada kertas yang kamu bawa. Sini lihat.”
“Nggak, Bu. Saya nggak bawa apa-apa.”
“Coba berdiri. Ibu Cuma pengen cek aja.”
“Tidak, Bu. Saya tidak bawa apa-apa,” jawabnya. Sambil menutup muka. Gemetar.
“Kertasnya bawa sini. Ibu mau lihat itu kertas apa. Kalau tidak mau, Ibu polisikan kamu!”
“Saya mau berikan, Bu. Tapi tolong nanti dikembalikan.”
“Baik. Ibu janji. Gurumu, Kepala Sekolahmu, tidak ada yang tahu kamu ngasih kertas itu ke Ibu.”
Deal.
Kunci Jawaban Geografi!
Dari ceritanya, anak tadi mendapat cetakan kunci jawaban dari luar. Bukan dari sekolah setempat.
Tiba saatnya pulang.
Sengaja saya pulang paling akhir agar saya dapat berbincang dengan Kepala Sekolah.
Sambil memberikan DVD Film Dokumenter tentang kecurangan UN “Temani Aku Bunda“, saya kembali menegaskan sikap saya bahwa saya menolak untuk berkompromi. Saya juga menyampaikan pesan kepada beliau untuk mengapresiasi anak-anak didiknya. Mereka telah berusaha dengan baik. Saya juga berharap pelaksanaan UN tahun depan lebih baik lagi.
Percakapan di mobil.
“Aku tahu arahmu, Nin. Kalau kamu nggak kuat melihat hal-hal seperti ini ya jangan jadi pengawas UN!”
Kalimat ini terus terang membuat hati saya sakit.
Teman senior ini bilang bahwa tahun ini pelaksanaan UN lebih baik karena tidak ada handphone yang terlihat di meja-meja.
Waktu saya tanya kenapa hp-hp itu tidak diambil, dijawabnya,
“Buat apa? Ini sama saja bunuh diri! Ini sudah sistemik. Tiap sekolah melakukan pembiaran seperti ini. Mungkin sekolah kita juga. Percuma dilawan!”
Bunuh diri. Pembiaran. Sistemik. Pesismisme.
Kata-kata tersebut di atas terpampang jelas.
Dengan hati-hati saya mohon agar dia buang pesismisnya jauh-jauh.
Yang perlu kita lakukan hanya bersikap. Cuma itu. Sangat sederhana. Kalau dia butuh teman, dia juga tahu sekarang siapa temannya.
Saya maklum dengan segala yang teman ini utarakan. Saya tahu bahwa teman-teman pengawas ketakutan. Mereka takut karena merasa sudah mendukung kejahatan. Sejak Rabu memang ada yang aneh di tiap kali saya berganti pasangan pengawas. Selalu ada cerita bahwa UN tahun ini lebih baik. Ada cerita bagaimana efeknya ke pimpinan juga sekolah tempat pelapor bekerja jika sampai ada laporan tentang hal yang tidak seharusnya selama ujian. Ada cerita jika justru pelapor yang akan mendapat sanksi.
Malam setelah kejadian itu saya mendapat sms dari seorang senior yang juga panitia inti Ujian Nasional di tempat saya bekerja, ada guru lain yang sudah memberitahu mereka bahwa saya menolak berkompromi dan guru ini ketakutan. Saya sempat merasa akan sendirian, tetapi sms selanjutnya sungguh menenangkan karena beliau bilang bahwa seluruh guru termasuk kepala sekolah tempat saya bekerja memberikan dukungan apapun langkah yang akan saya lakukan. Alhamdulillah..
Memang semuanya butuh proses ya. Dan jika tidak dimulai, kapan lagi? Miris melihat anak-anak didik kami ini.
Mereka bangkrut.
Mendapat ilmu yang cukup saja tidak. Apalagi mendapat didikan moral. Tidak sama sekali.
Kemampuan akademik, sangat bisa dikejar dalam waktu 3-6 bulan intensif. Tetapi pembentukan moral akan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Lebih dari 15 tahun dan mungkin saja 2-3 generasi.
menyedihkan memang, tapi inilah faktanya. Kalau hal ini berulang terjadi tiap tahunnya, apa bedanya dengan sekalian UN ditiadakan?
neh buktinye
mau ngasih cendol atau bata, terserah
ane cuma menyampaikan fakta
0
136.1K
1.8K
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan