- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Tanggapan Prof Dr RP Koesoemadinata tentang kontroversi G. Padang
TS
Kaizinx
Tanggapan Prof Dr RP Koesoemadinata tentang kontroversi G. Padang
Spoiler for No Repsol..:
Spoiler for Pengantar...:
Prof. Dr. R.P.Koesoemadinata
Professor Emeritus of Geology
Faculty of Earth Sciences and Technology
Institute of Technology Bandung
Spoiler for Dari ane..:
semoga dapat nambah pengetahuannya +1
ane ga ngarep bata gan... bata di rumah ane banyak...
cuman ane ngarep ente2 bisa lempar yang ijo2..
ga gampang cari referensinya... belum lagi ngeditnya gan...
sebagai kaskuser yang baek.. ente tentu dapat menghormati hal ntu...
jangan cuman jadi Silent Rider... biasakan komeng itung2 +1... kalo ga bisa komeng.. bisa jg beri rate gan....
kalo ente ga bisa semuanya... ane jg ga bisa apa2... gw cuman bisa nge'doain moga aja trit ane ini bisa dapat memberi pengetahuan dan bermanfaat buat agan2 sekali... ok..
BTW.. langsung aja gan...
Spoiler for Cekibrot..:
Ciburial, Bandung tanggal 6 Mei 2013 jam 02.00
Saya itu mulai belajar ilmu geologi ini masih di pertengahan abad yang lalu, di mana plate tectonics dan sequence stratigraphy belum ada. Apa lagi computer, internet, georadar, remote sensing, GPS, dsb, bahkan seismic survey saja masih sangat rudimenter. Saya ingat jawaban Prof Klompe waktu saya memberanikan diri menanyakan mengenai teori Wegener (pada zaman itu bertanya di ruang kuliah tidak ada, bahkan dianggap taboo), dia bilang “Oh, that is a fairy tale” (itu adalah dongeng mau tidur). Padahal kita tahu bahwa theory Wegener itu mempelopori teori plate-tectonic. Pada zaman itu bahwa benua bisa bergerak, bahkan berkeliaran (drifting) adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Dengan diyakini plate tectonics sekarang ini, maka sebetulnya telah terjadinya suatu revolusi dalam ilmu pengetahuan. Juga sequence stratigraphy telah merubah pandangan kita mengenai pola perlapisan serta sistim pengendapan sediment dari konsep “layer cake” geology. Juga penjelajahan ruang angkasa yang memperkaya pengetahuan planet2 serta teknologi exsplorasi penafsiran gempa telah merubah/menambah pengetahuan kita mengenai interior bumi kita. Thomas Kuhn (1962/1970, The structure of scientific revolutions: Chicago,Ill, University of Chicago Press)
mengatakan bahwa perubahan dalam science itu bersifat revolusioner, di mana terjadi perubahan paradigma secara drastis, dan bukan secara evolusioner, dengan contoh perubahan setelah Newton dan juga Einstein dalam ilmu pengetahuan alam. Di antara revolusi science itu adalah zaman yang disebutkan sebagai “normal science”, di mana teori-teori itu terikat ketat oleh paradigma yang berlaku secara mantap. (Istilah paradigma sendiri berasal dari Kuhn yang menyangkut prinsip-prinsip yang sangat mendasar ini kemudian istilah ini diambil alih para ahli social sciences, di mana memang ilmu-ilmu ini sedang mengalami revolusi, namun sayangnya istilah paradigma ini mengalami perubahan pengertiannya, sehingga pengertian sekarang perubahan paradigma itu tidak lain dari sekadar perubahan konsep)
Saya belajar geologi di ruang kuliah maupun di lapangan pada waktu apa pada zaman itu disebut geological excursion (mungkin sekarang disebutnya sebagai kuliah lapangan, atau geological field trip), di mana kita belajar mengenai gejala alam baik secara morfologis maupun dari segi outcrop, khususnya hal2 seperti sifat perlapisan dari batuan sedimen, serta kedudukan strukturnya (strike&dip) dengan struktur sedimennya, gejala ketidak-selarasan, mengenai kekar-kekar, columnar jointing, struktur patahan, pelipatan, serta sipetafat2 batuan lainnya yang hanya dapat dilihat pada outcrop di lapangan, juga seperti gejala pelapukan, spheroidal weathering, sedimentasi resen. Hal ini dijarkan di semua textbook geologi di seluruh dunia. Tentu selaku pemula kita sangat ta’ajub bahwa ternyata alampun dapat membentuk gejala-gejala geometrik seperti columnar joints, mudkracks yang bersegi lima. Gejala-gejala geologi inilah diajarkan pada tingkat S-1. Memang benar kita tidak diajarkan cara membedakan gejala alam dengan gejala buatan manusia, atau artefact, karena yang terakhir ini dianggap obvious. Tentu di bidang arkeologi pada mahasiswa juga diajari di lapangan maupun di laboratorium bagaimana mengenai artifact, barang-barang buatan manusia, karena banyak pula artifact tidak bersifat geometric, seperti kapak batu dsb.
Maka sebagai seorang ahli geologi lapangan yang ulung seperti Pak Sujatmiko, yang bertahun-tahun berkeliaran dilapangan merasa heran bahkan sangat terganggu kalau ada sesorang expert dalam bidang geofisika, bahkan juga seorang ahli geologi terkemuka (bahkan mantan Ketua IAGI) yang menafsirkan columnar joints sebagai buatan manusia. Juga sama halnya dengan para arkeolog yang berpengalaman mereka akan terusik dengan ke-expertis-annya. Ini sudah menyalahi “the basics of geology”, bahkan pada zaman “normal science” dengan paradigma mantap yang sekarang berlaku sekarang. Barangkali Pak Danny dan Pak Andang memulai satu revolusi baru dalam ilmu kebumian dan arkeologi? Memang sebagaimana dikatakan (Wilson, Jr., E. Bright, 1990, An introduction to scientific research: New York, Dover Publication, Inc), suatu penemuan yang aneh yang tidak sesuai dengan kaidah ilmu yang berlaku dapat mengelindingkan suatu revolusi baru dalam ilmu pengetahuan, namun hal ini sangat sangat jarang sekali terjadi, atau peluang-nya sangat-sangat kecil sekali. Mainstream Science, dalam hal ini mainstream geosciences akan mengabaikannya. Mainstream science will simply ignore it.
Saya juga adalah seorang pendukung kemampuan “field geology” yang cukup fanatik yang mengutamakan hasil pengamatan visual sebagai kebenaran mutlak (a’inal yaqin), sesuai dengan filsafah ilmu kebumian yang berlandaskankan empiricism. Ini tentu tidak mengenyampingkan hasil-hasil penyelidikan teknologi explorasi seperti geophysics, seismic, gravity, logging dsb yang berkembang dengan yang sangat menakjubkan, bahkan yang merupakan tulang punggung dari explorasi modern di zaman sekarang ini; apakah explorasi minyak-dan gasbmi, explorasi mineral, batubara dan sebagainya, yang tetap merupakan interpretasi, bagaimanapun telah dikalibrasikan dengan keadaan geologi yang sebenarnya. Saya kira dalam kalangan industri minyak dan gasbumi maupun di kalangan pertambangan suatu discovery akan keberadaan satu cadangan minyak-dan gasbumi atau cebakan mineral hanya akan diakui setelah dilakukan pemboran yang ikuti dengan ujicoba /testing atau dilakukan core-sampling dan dianalisa di laboratorium yang diakui kemapannya. Bagaimanapun indah dan bagusnya hasil interpretasi seismic, georadar, remote sensing dsb, itu tetap belum merupakan kenyataan geologi, atau dalam istilah explorasi tetap hanya merupakan suatu prospect. Saya mempunyai pengalaman yang kurang menyenangkan dengan hal ini. Di tahun 70-han hasil seismic di Salawati Basin dekat lapangan Klamono menunjukkan suatu build-up yang sangat meyakinkan dan direkomendasikan untuk dibor (Orba-1). Pada waktu rig pemboran sudah naikkan, Petromer Trend melakukan survey SLR. Dari hasil side-looking radar itu terlihat lokasi rig yang berada suatu tepat di tengah suatu drepressi yang berdasarkan penelitian Petromer Trend (Norman Foster, Exploration Manager) yang mempublikasikannya metoda geomorphology ini dalam AAPG sebagai methode explorasi dengan ketelitian 98% , paling tidak untuk menemukan suatu terumbu untuk cekungan Salawati dan sekitarnya. Norman Foster sendiri sangat excited melihat lokasi rig itu, “it is going to be a gusher!”, ujarnya. Saya sendiri berada di well site pada saat-saat pahat mau menembus reef yang diharapkan. Menit demi menit lewat, jam demi jam, bahkan sudah lebih dari 1 hari, yang keluar hanya orbitoid foraminiferal limestone melulu (Hey, where is the reef?, tanya si toolpusher), sama sekali tidak satu pun coral fragment.. Apalagi setelah ditest pun tidak keluar minyaknya. Ya mungkin Orba-1 itu sial, justru merupakan probability yang 2%, dari 100% success probability. Mungkin saja pada tahun 70-han seismic pada waktu itu belum secanggih sekarang. Namun falsafah yang kita bisa ambil dari perisitiwa itu bahwa bagaimanapun canggihnya suatu teknologi explorasi, hasil tetap adalah merupakan peluang/probability saja, tetapi tetap merupakan suatu teknologi yang penting dan sangat bermanfaat, bahkan kita sangat tergantung demi suksesnya explorasi.. Tentu tidaklah semua gejala geologi yang ditafsirkan teknologi explorasi atau geofisika dapat diverifikasi kebenarannya secara visual, misalnya gejala lempeng dalam mantle atau inti bumi. Dalam hal ini kebenaran ilmiah dari penafsiran geofisika dsb harus diterima sesuai dengan keakuratan data yang ada, sesuai dengan logika serta kaidah dasar yang berlaku, sampai diketemukannya lagi data baru dengan teknologi baru serta penjelasan yang logis sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku saat itu.
Kembali mengenai masalah kebenaran ilmiah, kita harus sadari bahwa pengetahuan mengenai penafsiran gejala geologi lapangan yang dianut Pak Sujatmiko, Prof. Bronto dan juga termasuk saya sendiri, merupakan main-stream geology dewasa ini diseluruh dunia. Tentu saja banyak teori-teori geologi yang aneh-aneh yang dimuat di website/ blogs dsb, termasuk adanya “flat earth theory”, bahkan ada masyarakatnya sendiri di London yang bernama “the Flat-Earth Society”, yang merupakan side-stream (dalam agama mungkin disebut sebagai aliran sesat). Juga halnya dalam ilmu-ilmu lainnya, antara lain dalam Arkeologi, banyak teori-teori yang bertentangan dengan mainstream archaeology, seperti teori Atlantis, teori Paleo-aliens dari Erich Von Daniken, UFO, Bermuda Triangle, Crystal Skull.
Diubah oleh Kaizinx 07-05-2013 13:35
0
5.2K
Kutip
18
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan