- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Pelatih Lokal Merah-Putih Dari Masa Ke Masa
TS
bbgharjo
Pelatih Lokal Merah-Putih Dari Masa Ke Masa
PERTAMA TAMA 



THREADS INI ANE BUAT DALAM RANGKA ULANG TAHUN PSSI YANG KE 83

Inilah pelatih lokal pertama Indonesia -- setelah tiga peracik strategi terdahulu adalah warga asing -- sejak berdirinya PSSI. Pria yang akrab disapa Opa Mangindaan ini juga merupakan salah satu pendiri PSSI.
Publik tanah air tentu tidak akan lupa atas keberhasilan terbesarnya di tahun 1956 kala mampu membawa Indonesia bermain seri kontra Rusia 0-0 di Olimpiade Melbourne, kendati pada masa itu Mangindaan cuma berperan sebagai asisten pelatih kepala Tony Pogacnik.
Tangan dingin pria yang mengembuskan nafas terakhirnya di usia 89 tahun pada 3 Juni 2000 itu mulai diperhitungkan masuk mengarsiteki timnas setelah dia beberapa kali menjadi bagian tak terpisahkan dari supremasi PSM Makassar menjuarai ajang nasional.
Sebagai bentuk penghormatan, stadion di Amurang, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, diberi nama Opa Mangindaan.

Kendati lulus sebagai dokter gigi, mendiang Endang memilih fokus pada dunia sepakbola.
kecintaannya pada olahraga terpopuler di dunia itu pun dibuktikan dengan dirinya yang sanggup bermain bagi timnas Indonesia, bahkan merambah menjadi pelatih kepala Merah-Putih setelah tutup buku sebagai pemain.
Dipoles pria yang menutup usia pada 2 April lima tahun silam itu, Indonesia cukup terpandang. Aneka ragam torehan dipersembahkan Endang. Piala Raja di Thailand (1968), titel Merdeka Games di Malaysia (1969), trofi Pesta Sukan di Singapura, merajai Anniversary Cup (1972)
Juara Agha Khan Cup di Pakistan), adalah bukti-bukti sahih kejayaan dia bersama tim Garuda.
Hampir tak ada cerita kehidupan lain, hanya sepakbola yang anteng menemani sepanjang perjalanan hidup pria yang dikenal keras, disiplin dan tak segan-segan menghajar anak didiknya yang dianggap malas itu.

Keberhasilan hanya bisa dicapai dengan usaha dan doa. Mungkin ungkapan ini pantas disematkan pada Djamiat. Mulanya dari sekadar menonton Soedarmadji, salah satu pribumi yang memperkuat Hindia-Belanda di Piala Dunia 1938, hingga pria yang berpulang di usia 51 tahun itu pun membulatkan tekadnya untuk menjadi pemain bola dan terus mengembangkan cita-citanya.
Tak heran jika Djamiat sebelum menjadi pelatih timnas merupakan salah satu pilar sakral skuat Garuda.
Mantan superstar Persija di era 50 dan 60an ini memulai pekerjaannya sebagai arsitek timnas pada 1974. Di tahun itu, sebuah laga yang dinanti-nanti pun tiba: tarung eksebisi kontra Uruguay.
Tak dinyana, Indonesia besutan Djamiat sukses membuat 80.000 pasang mata yang menyaksikan langsung laga tersebut di Senayan hanyut dalam euforia. Betapa tidak, Uruguay yang dikenal tim tangguh, berhasil ditundukkan Merah-Putih 2-1. Kemenangan itu pula menjadi kado istimewa bagi PSSI yang saat itu tengah berulang tahun ke-44.

Salah satu pelatih jenius Indonesia. Bukan tanpa alasan menyebut demikian, bekal yang dia bawa sebelum menjadi juru racik timnas adalah pelajaran-pelajaran mahal yang dia petik ketika dirinya menimba ilmu kepelatihan di Leipzig, Jerman Timur.
Sebelum membesut timnas, Persib menjadi eksperimen pertama dia sebagai mentor sebuah tim. Di timnas, tak ada raihan signifikan yang dia berikan lantaran usia melatihnya yang terbilang minim: satu tahun.
Pria 83 tahun yang semasa aktif sebagai pemain sempat mendapat julukan "Si Kuda Terbang". Alasannya, sebab kemampuan berlari dia di atas rata-rata. Lebih dari itu, dia sangat cakap dalam posisi menggiring bola sambil berlari kencang. Ini menyulitkan lawan-lawan yang hendak membendungnya.
Aang juga salah satu pemain yang tertulis dalam tinta sejarah Indonesia yang melaju ke perempat-final Olimpiade Melbourne 1956 sebelum ditaklukkan Uni Soviet.

Selama satu tahun singkatnya memimpin timnas dalam kurun 1981-1982, tidak ada pencapaian berarti diraih pasukan Garuda.
Tapi nama Tjong tak pernah disangsikan semasa dia menjadi pesepakbola profesional. Pria kelahiran Makassar 74 tahun silam ini mengakui kariernya melompat hebat saat dia memilih hijrah ke Jakarta. Tony Pogacnik adalah orang yang paling disebut Tjong berjasa dalam mengubah nasibnya.
Di pengujung tahun 57, Tjong mengikuti pelatnas wilayah timur dan dia berhasil lolos seleksi. Dan di suatu kesempatan sesi latihan, Tony meminta seluruh calon kiper untuk melompati dirinya sambil mengambil bola yang dijepit di kakinya. Semua segan, tak ada yang berani. Namun tidak demikian bagi Tjong. Dia maju dan melakukan apa yang diinsturksikan sang pelatih.
Ya, sebuah aksi yang kemudian mengukuhkan pamor Tjong sebagai salah satu kiper pemberani Indonesia.

Pria kelahiran Larantuka, Flores Timur, ini mulai mengudara di ranah kepelatihan sejak awal 70an. Keputusannya menekuni bidang olah taktik sepakbola itu dilandasi karena cedera parah tulang pergelangan kaki yang diidapnya saat masih bermain.
Tak banyak waktu memang dia berada di balik layar timnas. Tapi semasa 1987 itu, Sinyo dikenal sebagai mentor penuh hitung-hitungan teknik di lapangan. Bagi dia, dewi fortuna itu bak isapan jempol belaka. Membaca potensi mencetak gol, serta menganalisis kemampuan setiap anak buahnya adalah hitung-hutungan yang selalu dikedepankan pelatih yang kini berusia 72 tahun itu.
Maka tak heran bila Sinyo bisa menyulap permainan tim dalam sekejap hanya dari mengandalkan subtitusi pemain. Yah kembali lagi karena kebiasaan dia itu, yang penuh dengan perhitungan, sehingga dia tahu luas bagaimana karakter bermain setiap penggawanya.

Di rentang 83-84 timnas Indonesia memperkenalkan tiga pelatih sekaligus yang kemudian dikenal dengan sebutan "Trio Basiska".
Berlatar belakang meracik sejumlah klub nasional, ketiganya pun ditunjuk untuk memimpin timnas di Pra Olimpiade 1983. Tetapi segala sesuatunya dianggap tak seirama dengan ekspektasi.
Pada 1988, Basri, Iswadi dan Kadrid, yang merupakan sejawat seangkatan, kembali diproyeksi untuk bertanggung jawab bagi timnas di Pra Olimpiade 1988, dan di kualifikasi Piala Dunia 1990. Tapi sekali lagi ketiga mentor ini dinilai kurang berhasil.
Sekarang yang tersisa tinggallah Basri, yang kini melatih klub Indonesia Premierl League, Persiba Bantul. Iswadi dan Kadir telah bersemayam di peristirahatan terakhirnya pada 2008 dan 2003 silam.
LANJUT BAWAH




THREADS INI ANE BUAT DALAM RANGKA ULANG TAHUN PSSI YANG KE 83
Quote:
Sejarah tinggallah sejarah. Semua itu hanyalah kenangan manis yang dewasa ini cuma menjadi sebuah cerita epik di tengah prahara tak kunjung usai yang merundung persepakbolaan Indonesia. PSSI [Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia] selaku badan tertinggi sepakbola Indonesia, yang seyogyanya mengayomi klub-klub di dalamnya maupun timnas sebijaksana mungkin, seperti sudah dibutakan oleh gemerlap kepentingan politis yang bermuara pada nama yang mungkin akan membuat mata setiap orang terbelalak hijau ketika melihatnya: uang.
Ya, bila kita kembali menapaktilasi timnas Garuda di era dua dekade ke belakang, betapa penuh romansa suka cita dan selalu terajut senyum semringah di setiap wajah-wajah anak bangsa. Betapa tidak, Indonesia di masa-masa itu bak macan yang tengah lapar-laparnya. Lemari sejarah skuat Merah-Putih pun pernah menuliskan capaian serta raihan bergengsi sarat prestise.
Sebut saja ketika Indonesia masuk ke putaran final Pala Dunia 1938 di Prancis. Meskipun dengan nama Hindia-Belanda, setidaknya sejumlah putra asli Tanah Air terlibat di dalamnya, dan ini menjadi sebuah kisah manis tersendiri.
Setelah periode itu, sebuah prestasi yang disebut-sebut paling fenomenal di era 50-an digapai Indonesia. Merangsek ke Olimpiade Melbourne pada 1956, tim Garuda seolah terbang tinggi dengan kedua sayapnya, di mana mereka berhasil melenggang hingga fase perempat-final berjumpa raksasa sepakbola dunia saat itu, Uni Soviet, yang kala itu dikapteni oleh kiper termasyhur sejagat raya, Lev Yashin. Meski pada akhirnya Indonesia bertekuk lutut 4-0, tapi hasil itu sudah dianggap sebagai dakian tertinggi Merah-Putih sepanjang sejarah.
Sampai Indonesia pun menjadi raja di Asia Tenggara dengan goresan prestasi Medali Emas pertama di Sea Games 1987 di Jakarta, disusul Medali Emas kedua sekaligus menjadi yang terakhir di pentas dua tahunan itu pada 1991 di Manila. Pasca-euforia itu, Indonesia bak hibernasi. Mereka yang katanya dulu dipandang sebagai Macan Asia kini tampak tertidur pulas dan enggan bangkit.
Upaya bongkar-pasang pelatih digalakkan. Tercatat ada 38 pelatih pernah membidani timnas Indonesia. Peralihan racik-meracik strategi dari muka-muka lokal sampai serentet wajah asing silih berganti dari mulai PSSI tercetus hingga hari ini. Pelatih asing [20] memang menguasai daftar ketimbang pelatih lokal [18]. Namun, selalu ada tempat tersendiri di hati para loyalis bila melihat kiprah beberapa pelatih dalam negeri, sebab tak sedikit di antara dari mereka-mereka itu pernah membawa Indonesia meraih trofi sarat makna.
Ya, bila kita kembali menapaktilasi timnas Garuda di era dua dekade ke belakang, betapa penuh romansa suka cita dan selalu terajut senyum semringah di setiap wajah-wajah anak bangsa. Betapa tidak, Indonesia di masa-masa itu bak macan yang tengah lapar-laparnya. Lemari sejarah skuat Merah-Putih pun pernah menuliskan capaian serta raihan bergengsi sarat prestise.
Sebut saja ketika Indonesia masuk ke putaran final Pala Dunia 1938 di Prancis. Meskipun dengan nama Hindia-Belanda, setidaknya sejumlah putra asli Tanah Air terlibat di dalamnya, dan ini menjadi sebuah kisah manis tersendiri.
Setelah periode itu, sebuah prestasi yang disebut-sebut paling fenomenal di era 50-an digapai Indonesia. Merangsek ke Olimpiade Melbourne pada 1956, tim Garuda seolah terbang tinggi dengan kedua sayapnya, di mana mereka berhasil melenggang hingga fase perempat-final berjumpa raksasa sepakbola dunia saat itu, Uni Soviet, yang kala itu dikapteni oleh kiper termasyhur sejagat raya, Lev Yashin. Meski pada akhirnya Indonesia bertekuk lutut 4-0, tapi hasil itu sudah dianggap sebagai dakian tertinggi Merah-Putih sepanjang sejarah.
Sampai Indonesia pun menjadi raja di Asia Tenggara dengan goresan prestasi Medali Emas pertama di Sea Games 1987 di Jakarta, disusul Medali Emas kedua sekaligus menjadi yang terakhir di pentas dua tahunan itu pada 1991 di Manila. Pasca-euforia itu, Indonesia bak hibernasi. Mereka yang katanya dulu dipandang sebagai Macan Asia kini tampak tertidur pulas dan enggan bangkit.
Upaya bongkar-pasang pelatih digalakkan. Tercatat ada 38 pelatih pernah membidani timnas Indonesia. Peralihan racik-meracik strategi dari muka-muka lokal sampai serentet wajah asing silih berganti dari mulai PSSI tercetus hingga hari ini. Pelatih asing [20] memang menguasai daftar ketimbang pelatih lokal [18]. Namun, selalu ada tempat tersendiri di hati para loyalis bila melihat kiprah beberapa pelatih dalam negeri, sebab tak sedikit di antara dari mereka-mereka itu pernah membawa Indonesia meraih trofi sarat makna.
Spoiler for E.A. Mangindaan 1966-1970:

Inilah pelatih lokal pertama Indonesia -- setelah tiga peracik strategi terdahulu adalah warga asing -- sejak berdirinya PSSI. Pria yang akrab disapa Opa Mangindaan ini juga merupakan salah satu pendiri PSSI.
Publik tanah air tentu tidak akan lupa atas keberhasilan terbesarnya di tahun 1956 kala mampu membawa Indonesia bermain seri kontra Rusia 0-0 di Olimpiade Melbourne, kendati pada masa itu Mangindaan cuma berperan sebagai asisten pelatih kepala Tony Pogacnik.
Tangan dingin pria yang mengembuskan nafas terakhirnya di usia 89 tahun pada 3 Juni 2000 itu mulai diperhitungkan masuk mengarsiteki timnas setelah dia beberapa kali menjadi bagian tak terpisahkan dari supremasi PSM Makassar menjuarai ajang nasional.
Sebagai bentuk penghormatan, stadion di Amurang, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, diberi nama Opa Mangindaan.
Spoiler for Endang Witarsa | 1970-1971:

Kendati lulus sebagai dokter gigi, mendiang Endang memilih fokus pada dunia sepakbola.
kecintaannya pada olahraga terpopuler di dunia itu pun dibuktikan dengan dirinya yang sanggup bermain bagi timnas Indonesia, bahkan merambah menjadi pelatih kepala Merah-Putih setelah tutup buku sebagai pemain.
Dipoles pria yang menutup usia pada 2 April lima tahun silam itu, Indonesia cukup terpandang. Aneka ragam torehan dipersembahkan Endang. Piala Raja di Thailand (1968), titel Merdeka Games di Malaysia (1969), trofi Pesta Sukan di Singapura, merajai Anniversary Cup (1972)
Juara Agha Khan Cup di Pakistan), adalah bukti-bukti sahih kejayaan dia bersama tim Garuda.
Hampir tak ada cerita kehidupan lain, hanya sepakbola yang anteng menemani sepanjang perjalanan hidup pria yang dikenal keras, disiplin dan tak segan-segan menghajar anak didiknya yang dianggap malas itu.
Spoiler for Suwardi Arland | 1972-1974 & 1976-1978:

Keberhasilan hanya bisa dicapai dengan usaha dan doa. Mungkin ungkapan ini pantas disematkan pada Djamiat. Mulanya dari sekadar menonton Soedarmadji, salah satu pribumi yang memperkuat Hindia-Belanda di Piala Dunia 1938, hingga pria yang berpulang di usia 51 tahun itu pun membulatkan tekadnya untuk menjadi pemain bola dan terus mengembangkan cita-citanya.
Tak heran jika Djamiat sebelum menjadi pelatih timnas merupakan salah satu pilar sakral skuat Garuda.
Mantan superstar Persija di era 50 dan 60an ini memulai pekerjaannya sebagai arsitek timnas pada 1974. Di tahun itu, sebuah laga yang dinanti-nanti pun tiba: tarung eksebisi kontra Uruguay.
Tak dinyana, Indonesia besutan Djamiat sukses membuat 80.000 pasang mata yang menyaksikan langsung laga tersebut di Senayan hanyut dalam euforia. Betapa tidak, Uruguay yang dikenal tim tangguh, berhasil ditundukkan Merah-Putih 2-1. Kemenangan itu pula menjadi kado istimewa bagi PSSI yang saat itu tengah berulang tahun ke-44.
Spoiler for Aang Witarsa | 1974-1975:

Salah satu pelatih jenius Indonesia. Bukan tanpa alasan menyebut demikian, bekal yang dia bawa sebelum menjadi juru racik timnas adalah pelajaran-pelajaran mahal yang dia petik ketika dirinya menimba ilmu kepelatihan di Leipzig, Jerman Timur.
Sebelum membesut timnas, Persib menjadi eksperimen pertama dia sebagai mentor sebuah tim. Di timnas, tak ada raihan signifikan yang dia berikan lantaran usia melatihnya yang terbilang minim: satu tahun.
Pria 83 tahun yang semasa aktif sebagai pemain sempat mendapat julukan "Si Kuda Terbang". Alasannya, sebab kemampuan berlari dia di atas rata-rata. Lebih dari itu, dia sangat cakap dalam posisi menggiring bola sambil berlari kencang. Ini menyulitkan lawan-lawan yang hendak membendungnya.
Aang juga salah satu pemain yang tertulis dalam tinta sejarah Indonesia yang melaju ke perempat-final Olimpiade Melbourne 1956 sebelum ditaklukkan Uni Soviet.
Spoiler for Harry Tjong | 1981-1982:

Selama satu tahun singkatnya memimpin timnas dalam kurun 1981-1982, tidak ada pencapaian berarti diraih pasukan Garuda.
Tapi nama Tjong tak pernah disangsikan semasa dia menjadi pesepakbola profesional. Pria kelahiran Makassar 74 tahun silam ini mengakui kariernya melompat hebat saat dia memilih hijrah ke Jakarta. Tony Pogacnik adalah orang yang paling disebut Tjong berjasa dalam mengubah nasibnya.
Di pengujung tahun 57, Tjong mengikuti pelatnas wilayah timur dan dia berhasil lolos seleksi. Dan di suatu kesempatan sesi latihan, Tony meminta seluruh calon kiper untuk melompati dirinya sambil mengambil bola yang dijepit di kakinya. Semua segan, tak ada yang berani. Namun tidak demikian bagi Tjong. Dia maju dan melakukan apa yang diinsturksikan sang pelatih.
Ya, sebuah aksi yang kemudian mengukuhkan pamor Tjong sebagai salah satu kiper pemberani Indonesia.
Spoiler for Sinyo Aliandoe | 1982-1983 & 1987:

Pria kelahiran Larantuka, Flores Timur, ini mulai mengudara di ranah kepelatihan sejak awal 70an. Keputusannya menekuni bidang olah taktik sepakbola itu dilandasi karena cedera parah tulang pergelangan kaki yang diidapnya saat masih bermain.
Tak banyak waktu memang dia berada di balik layar timnas. Tapi semasa 1987 itu, Sinyo dikenal sebagai mentor penuh hitung-hitungan teknik di lapangan. Bagi dia, dewi fortuna itu bak isapan jempol belaka. Membaca potensi mencetak gol, serta menganalisis kemampuan setiap anak buahnya adalah hitung-hutungan yang selalu dikedepankan pelatih yang kini berusia 72 tahun itu.
Maka tak heran bila Sinyo bisa menyulap permainan tim dalam sekejap hanya dari mengandalkan subtitusi pemain. Yah kembali lagi karena kebiasaan dia itu, yang penuh dengan perhitungan, sehingga dia tahu luas bagaimana karakter bermain setiap penggawanya.
Spoiler for M. Basri, Iswadi Idris & Abdul Kadir | 1983-1984:

Di rentang 83-84 timnas Indonesia memperkenalkan tiga pelatih sekaligus yang kemudian dikenal dengan sebutan "Trio Basiska".
Berlatar belakang meracik sejumlah klub nasional, ketiganya pun ditunjuk untuk memimpin timnas di Pra Olimpiade 1983. Tetapi segala sesuatunya dianggap tak seirama dengan ekspektasi.
Pada 1988, Basri, Iswadi dan Kadrid, yang merupakan sejawat seangkatan, kembali diproyeksi untuk bertanggung jawab bagi timnas di Pra Olimpiade 1988, dan di kualifikasi Piala Dunia 1990. Tapi sekali lagi ketiga mentor ini dinilai kurang berhasil.
Sekarang yang tersisa tinggallah Basri, yang kini melatih klub Indonesia Premierl League, Persiba Bantul. Iswadi dan Kadir telah bersemayam di peristirahatan terakhirnya pada 2008 dan 2003 silam.
LANJUT BAWAH
Diubah oleh bbgharjo 19-04-2013 21:36
0
1.9K
Kutip
15
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan