Trendtalking.com - Ngatiyem, Dalimin, Suparno, Tukiyem, Katimin, Wagiman, Suripto, Suyatni, Sitinah, Masduki, Tukijo, Ratnasih, Harjo, Slamet, Paijo, Paimin, Tukijan, dan Mas’ud. Nama-nama tradisional tersebut sekarang sudah mulai tersisih dan bahkan nyaris punah tergantikan dengan nama-nama beken seperti Rebbeca, Mario, Maria, Anastasya, Michael, Jason, Stefani, Margareta, Andrew atau nama-nama lain yang lebih beken di Indonesia.

Apa yang salah dari menggunakan nama-nama seperti yang sudah disebutkan di atas? Orang-orang di negara kita yang malu dengan nama-nama tradisional tersebut? Atau memang nama-nama itu mutlak kalah pamor dibanding dengan nama-nama yang lebih terkesan internasional? Apa memang nama-nama tersebut sudah terlalu kuno, katrok, atau terlalu kampungan untuk digunakan di zaman modern seperti ini?

Tidak bisa kita pungkiri, perkembangan zaman dan arus globalisasi yang semakin menjadi saat ini memang jadi salah satu faktor yang membuat nama-nama tradisional asli Indonesia tersebut hilang ditelan zaman dan hanyut oleh arus globalisasi.

Tetapi, seharusnya kita bangga pada budaya nasional bangsa Indonesia, termasuk pada nama. Nama tidak mencerminkan kualitas seseorang, karena seseorang yang namanya Sumanto bisa saja menjadi seorang professor dan seorang yang bernama Frans tidak menutup kemungkinan berprofesi sebagai buruh angkut karung beras di pasar tradisional.

Buat kamu yang memiliki nama yang mungkin bagi banyak orang terlihat kuno dan katrok, maka bangkitlah! Jangan minder dan tunjukan pada mereka yang memandang sebelah mata nama-nama tradisional tersebut, bahwa pemilik nama yang dianggap kuno bisa lebih keren, maju, dan profesional dibanding orang yang memiliki nama yang dianggap lebih trendi.

Oh ya, jangan lupa juga buat mensyukuri nama yang kamu miliki, karena sesungguhnya nama yang kamu miliki sekarang adalah sebuah doa dari orangtua.


Sumber