- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Melihat Jepang dari Dekat
TS
websiteklinik
Melihat Jepang dari Dekat
Quote:
Salju baru saja turun ketika sampai di Bandara Narita. Saya akan berada di Negeri Mata Hari Terbit ini selama 10 hari mengunjungi beberapa tempat, seperti sekolahan, kuil, universitas, mengikuti upacara sado, setsubun, dan berkunjung ke tempat-tempat wisata dan bersejarah.
Begitu keluar dari bandara saya langsung disergap udara dingin. Saya datang di bulan Januari ketika Jepang memasuki akhir musim dingin. Jepang mengenal empat musim: musim panas (natsu), Juni, Juli, Agustus; musim gugur (aki), September, Oktober, November; musim dingin (fuyu), Desember, Januari, Februari; dan musim semi (haru), Maret, April, dan Mei.
Jepang merupakan salah satu negara maju: Negara Asia yang berhasil belajar pada Barat (Eropa) tapi tak “terbaratkan”. Tahun 1890-an Jepang sudah modern dan meninggalkan negara-negara Asia lainnya. Meski banyak belajar dan bersentuhan dengan Barat, Jepang berhasil mempertahankan identitas kebudayaannya. Banyak tempat-tempat bersejarah di Jepang yang masih terawat dengan baik. Sebagai bangsa besar, Jepang menyimpan banyak tradisi dan kebudayan yang sampai sekarang masih dipertahankan.
Begitu keluar dari bandara saya langsung disergap udara dingin. Saya datang di bulan Januari ketika Jepang memasuki akhir musim dingin. Jepang mengenal empat musim: musim panas (natsu), Juni, Juli, Agustus; musim gugur (aki), September, Oktober, November; musim dingin (fuyu), Desember, Januari, Februari; dan musim semi (haru), Maret, April, dan Mei.
Jepang merupakan salah satu negara maju: Negara Asia yang berhasil belajar pada Barat (Eropa) tapi tak “terbaratkan”. Tahun 1890-an Jepang sudah modern dan meninggalkan negara-negara Asia lainnya. Meski banyak belajar dan bersentuhan dengan Barat, Jepang berhasil mempertahankan identitas kebudayaannya. Banyak tempat-tempat bersejarah di Jepang yang masih terawat dengan baik. Sebagai bangsa besar, Jepang menyimpan banyak tradisi dan kebudayan yang sampai sekarang masih dipertahankan.
Quote:
Di sini saya seperti menemukan pemandangan baru yang belum saya temukan sebelumnya. Orang-orang berjalan di trotoar dengan tertib dan disiplin. Trotoar hanya disediakan bagi pejalan kaki dan beberapa pengguna sepeda ontel. Saya tak melihat pengendara mobil atau motor yang ugal-ugalan, apalagi penyebrang jalan sembarangan. Semuanya seperti “mesin” yang tunduk mengikuti aturan. Setiap kali hendak menyebrang jalan, orang-orang dengan sabar menunggu di depan lampu merah hingga lampu menyala hijau. Zebracross betul-betul difungsikan untuk penyebrang jalan.
Meski berada di pusat kota, saya tak menjumpai kemacetan. Setiap kendaraan dapat melaju 60-80 km perjam. Jalanan terlihat agak lengang. Entah, ini berlaku bagi semua jalanan di Tokyo atau tidak. Yang membuat saya terkagum-kagum, saya tak menemukan papan reklame iklan yang biasanya terpasang di setiap sudut kota, pinggir-pinggir jalan, atau di depan toko-toko. Apalagi gambar “calon” atau spanduk partai yang biasanya dipasang di sembarang tempat.
Di sini saya tak mudah menemukan mini market, pusat perbelanjaan (mall/mega mall), pasar tradisonal, atau pedagang asongan yang biasanya mangkal dipinggir-pinggir jalan. Tata kota (RTRW) yang baik, tertib, dan rapih, menambah pesona Ibu Kota Negara Jepang ini. Di sini pembagian wilayahnya sangat jelas: pusat perbelanjaan, perumahanan, perkantoran, pusat bisnis, pusat pemerintahan. Tak seperti Jakarta yang semuanya “pasar”, dipenuhi iklan, semerawut, dan terkesan tak memiliki aturan yang jelas. Pengusaha dapat dengan mudah membuka tempat hiburan atau pusat perbelanjaan dimanapun dia mau. Pedagang kaki lima pun dapat membuka usaha di tempat manapun yang dianggap strategis.
Meski berada di pusat kota, saya tak menjumpai kemacetan. Setiap kendaraan dapat melaju 60-80 km perjam. Jalanan terlihat agak lengang. Entah, ini berlaku bagi semua jalanan di Tokyo atau tidak. Yang membuat saya terkagum-kagum, saya tak menemukan papan reklame iklan yang biasanya terpasang di setiap sudut kota, pinggir-pinggir jalan, atau di depan toko-toko. Apalagi gambar “calon” atau spanduk partai yang biasanya dipasang di sembarang tempat.
Di sini saya tak mudah menemukan mini market, pusat perbelanjaan (mall/mega mall), pasar tradisonal, atau pedagang asongan yang biasanya mangkal dipinggir-pinggir jalan. Tata kota (RTRW) yang baik, tertib, dan rapih, menambah pesona Ibu Kota Negara Jepang ini. Di sini pembagian wilayahnya sangat jelas: pusat perbelanjaan, perumahanan, perkantoran, pusat bisnis, pusat pemerintahan. Tak seperti Jakarta yang semuanya “pasar”, dipenuhi iklan, semerawut, dan terkesan tak memiliki aturan yang jelas. Pengusaha dapat dengan mudah membuka tempat hiburan atau pusat perbelanjaan dimanapun dia mau. Pedagang kaki lima pun dapat membuka usaha di tempat manapun yang dianggap strategis.
Quote:
Yang bikin saya kaget, saya tak menemukan sepeda motor, kecuali hanya beberapa. Padahal, sebagaimana yang kita tahu, Jepang adalah produsen terbesar mobil/speda motor. Merek-merek besar seperti Honda, Suzuki, ataupun Kawasaki hampir membanjiri seluruh jalanan di Indonesia. Anehnya, di negeri asalnya, orang Jepang jarang sekali menggunakan sepeda motor.
Saya penasaran dan mencoba menanyakan pada orang Jepang sendiri yang kebetulan menemani perjalanan saya keliling Jepang. Menurutnya, setidaknya, ada dua alasan: pertama, moda transportasi umum, seperti kereta, bus, trem sudah dainggap cukup mengantar dan menemani mereka bepergian kemanapun. Mereka tak harus susah payah menggunakan kendaraan pribadi karena moda transportasi umum dianggap lebih ekonomis, tepat waktu, dan dapat dengan mudah ditemukan.
Kedua, bagi orang Jepang, sepeda motor dianggap kendaraan yang paling beresiko mengancam keselamatan. Artinya, bagi orang Jepang, sepeda motor adalah “sampah” yang tak layak digunakan, tapi menguntungkan. Akhirnya “sampah” itu dibuang di negara-negara “miskin” yang masyarakatnya belum memiliki kesadaran penuh tentang arti keselamatan jiwa. Indonesia adalah salah satu negara “tong sampah” itu.
Saya penasaran dan mencoba menanyakan pada orang Jepang sendiri yang kebetulan menemani perjalanan saya keliling Jepang. Menurutnya, setidaknya, ada dua alasan: pertama, moda transportasi umum, seperti kereta, bus, trem sudah dainggap cukup mengantar dan menemani mereka bepergian kemanapun. Mereka tak harus susah payah menggunakan kendaraan pribadi karena moda transportasi umum dianggap lebih ekonomis, tepat waktu, dan dapat dengan mudah ditemukan.
Kedua, bagi orang Jepang, sepeda motor dianggap kendaraan yang paling beresiko mengancam keselamatan. Artinya, bagi orang Jepang, sepeda motor adalah “sampah” yang tak layak digunakan, tapi menguntungkan. Akhirnya “sampah” itu dibuang di negara-negara “miskin” yang masyarakatnya belum memiliki kesadaran penuh tentang arti keselamatan jiwa. Indonesia adalah salah satu negara “tong sampah” itu.
Quote:
Selama di hotel saya selalu menyempatkan diri untuk menikmati tayangan acara di televisi-televisi. Semua chanel dan stasiun tv saya tonton satu persatu. Ternyata, tak seperti televisi-televisi Indonesia, stasiun televisi Jepang tak banyak dijejali iklan, sinetron, atau acara-acara “sampah” lainnya. Tayangan televisi betul-betul diproteksi oleh negara, terutama untuk melindungi anak-anak.
Spoiler for SMA BUNKYO:
Pertama kali saya berkunjung ke sekolahan SMA Bunkyo. Sekolahan ini berada di pusat kota Tokyo. Sekolah yang didirikan 30 April 1940 ini merupakan sekolah negeri yang dibiayai oleh pemerintah. Sekolah ini memiliki 23 kelas (delapan kelas untuk murid kelas 1-2 tahun, sedangkan sisanya untuk murid kelas 3). Masing-masing kelas disi maksimal 4o orang. Sekolahan yang beralamat di 1-1-5 Nishi-Sugamo Toshima-ku, Tokyo ini memiliki laboratorium bahasa, ruang komputer, tiga laboratoriun sains, perpustakaan, ruang seminar, aula, ruang teater dan musik, kolam renang, gedung olahraga Kendo dan tenis, ruangan tradisional Jepang, dll.
Kurikulum dan mata pelajaran untuk kelas 1 dan 2 adalah: pelajaran Bahasa Jepang, geography, sosiologi, matematik, basic sains, biologi, fisika, kesehatan, kesenian (music/Fine art, Calligraphy). Sedangkan untuk kelas tiga ditambah pelajaran menulis dan membaca, ekonomi-politik, dan agak diperluas.
Siswa mulai masuk kelas pukul 8.25 dan keluar pukul 05.00 s/d 06.45. satu hari rata-rata menghabiskan 8 sampai 12 mata pelajaran yang masing-masing pelajaran membutuhkan waktu 55 menit.
Quote:
Sependek pengamatan saya, system pembelajaran di sana sebetulnya tak ada yang baru. System pengajarannya masih konvensional dengan menggunakan metode ceramah. Setiap kelas diisi 40-45 orang. Yang menurut saya agak unik, hampir semua sekolahan yang saya kunjungi alat pengajarannya masih menggunakan kapur tulis. Ini terjadi di Negara yang mengalamai modernisasi lebih awal. Mungkin yang membedakan sisitem sekolah di sana adalah kurikulum yang dipadatkan, tak melebar, dan lebih menitikberatkan pada pelajaran-pelajaran dasar. Bahkan, dalam sepuluh tahun terakhir, Jepang melakukan pemangkasan besar-besaran terhadap mata pelajaran “tak penting”. Prinsip mereka, lebih baik mengetahui sedikit tapi mendalam daripada mengetahui banyak tapi setengah-setengah
Pemerintah Jepang mewajibkan sekolah sembilan tahun (SD dan SMP). Kewajiban ini mulai berlaku bagi anak umur enam tahun. Ketika memasuki usia enam tahun, orang tua siswa akan menerima kartu undangan (pemberitahuan) dari kecamatan setempat agar menyekolahkan anaknya. Tanpa kartu ini pihak sekolah tidak akan menerima anak tersebut. Jadi, begitu anak lahir datanya langsung masuk data base Negara.
Spoiler for SMP CHITOSEBASHI:
Setelah berkunjung ke SMA Bonkyu, saya mampir dan berkunjung ke SMP Chitosebashi. Sekolah ini berdiri tahun 1999. Ia gabungan dari dua sekolahan (SMP). Tingkat kelahiran yang rendah membuat banyak sekolahan di Jepang gulung tikar. Semua murid memakai baju seragam dan sepatu khusus yang disediakan pihak sekolah. Anak-anak di sekolahan ini sebelum masuk kelas wajib ke perpustakaan dan membaca buku minimal 10 menit. SMP terbaik se-Kec Oshima ini memiliki murid sekitar 440.
Di samping kegiatan belajar pelajaran utama, juga dilengkapi dengan kegiatan sekolah penunjang (gakushu katsudou), seperti piknik/darmawisata (tatewari ensoku), pelatihan penyelamatan diri pada saat terjadi bencana alam (hinan kunden), pelatihan menghadapi kebakaran (kasai kunden), guest teacher program, sport festival (undokai), juga festival sandiwara (gakugeikai). Selain itu, dibekali juga dengan kegiatan ekstra kurikuler (bukatsu), seperti komputer, seni (melukis ilustrasi, kaligrafi, music brass band), sport (sepak bola, base ball, basket)
Selesai berdiskusi, mendengar langsung penjelasan dari kepala sekolah ini, juga melihat-lihar ruangan kelas dan bagaimana murid-murid belajar, saya kembali lagi ke hotel. Sebelum pulang ke hotel, saya mencari masjid di kota Tokyo untuk melaksanakan salat Jumat —-waktu itu kebetulan hari Jumat. Saya Jumatan di Masjid Jami Tokyo. Masjid yang dibangun orang Turki pada 1998-2000 ini termasuk yang terbesar di Tokyo. Ada sekitar 50 masjid yang tersebar di Tokyo dan sekitarnya. Yang rajin bangun masjid di Jepang rata-rata orang ITB (India, Turki, Banglades).
0
9.8K
Kutip
106
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan