PT Kereta Api Indonesia (KAI) berencana menghapus Kereta Rel Listrik (KRL) Ekonomi, jurusan Tanah Abang-Serpong dan Jakarta Kota-Bekasi, per 1 April 2013. Rencana menghapus moda transportasi bagi rakyat kecil ini langsung ditentang berbagai kalangan. PT KAI bahkan diklaim tidak memiliki wewenang meniadakan KRL Ekonomi.
Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menolak rencana PT KAI tersebut. Komisi V DPR sebagai mitra kerja PT KAI dengan tegas meminta rencana menghapus KRL EKonomi dikaji kembali. PT KAI harus mempertimbangkan kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat, khususnya masyarakat kecil.
Selama ini, KRL Ekonomi menjadi sarana utama bagi masyarakat kecil dari Serpong dan Bekasi yang bekerja di Jakarta. Masyarakat kecil hanya merogoh kocek Rp1.500 untuk sekali membeli tiket. Sementara, harga tiket KRL kelas komersial mencapai Rp8.000. Artinya, untuk perjalanan dalam satu hari dibutuhkan Rp16.000.
Tentu sangat memberatkan bagi masyarakat yang penghasilannya hanya cukup untuk biaya hidup keluarga dalam satu bulan. Tentunya, PT KAI dan pemerintah harus menggunakan akal sehat bila ingin menerapkan satu rencana yang bersentuhan langsung dengan masyarakat kecil.
Dengan kata lain, rencana menghapus KRL Ekonomi bukan kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil. Dasarnya, pemerintah masih mengucurkan public service obligation (PSO) atau dana subsidi tarif KA Kelas Ekonomi. Pada tahun ini, PSO untuk PT KAI mencapai Rp700 miliar. PT KAI juga masih memperoleh dana Infrastructure Maintenance and Operation (IMO) atau dana perawatan infrastruktur dan operasional sebesar Rp1,7 triliun.
Dengan fakta ini tidak ada alasan bagi PT KAI untuk menghapus KRL Ekonomi yang dinilai sudah tidak layak jalan. Persoalannya, PT KAI tidak becus dalam merawat setiap rangkaian KRL. Sehingga rangkaian KRL Ekonomi ibarat pepatah 'hidup segan mati pun tak mau'.
Selain itu, PT KAI juga dinilai belum mampu memberikan palayanan terbaik kepada masyarakat. Keterlambatan perjalanan kereta dan berbagai gangguan sistem masih terjadi. Pada akhirnya masyarakat menilai keterlambatan kereta sudah biasa.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) harus duduk bersama dengan PT KAI membahas penggunaan PSO dan IMO. Bila PT KAI menggunakan IMO sesuai aturan, sulit dipercaya ada rangkaian kereta yang tidak layak jalan. Rasanya perlu dilakukan audit secara menyeluruh terkait pemanfaatan dana tersebut.
Kemudian, pemerintah juga sudah mulai memikirkan skema menambah jumlah perjalanan kereta dengan mebambah jalurnya. Tentu harus dikaji secara detil agar penambahan jalur tersebut tidak menyebabkan kemacetan panjang di perlintasan kereta. Caranya dengan membangun terowongan atau jembatan layang di setiap perlintasan kereta. Namun apakah pemerintah pusat bersedia membiayai proyek tersebut.
Kini sudah waktunya regulator dan operator mempertimbangkan secara matang berbagai rencana yang terkait langsung dengan masyarakat kecil. Penghapusan KRL Ekonomi bukan kebijakan satu haram dan tidak bisa direalisasikan. Masyarakat pun selalu menanti pembenahan layanan PT KAI. Hanya saja, jangan sampai operator dan regulator membuat kebijakan yang tidak memniliki landasan kuat dan merugikan masyarakat kecil.
Jadi, penghapusan KRL Ekonomi bukan kebijakan tepat saat ini. Seharusnya, PT KAI memperbaiki seluruh rangakaian KRL Ekonomi. Kemudian menyediakan alternatif pengganti yang lebih baik dan tidak memberatkan masyarakat sebelum KRL Ekonomi dihapus. Jangan sampai kebijakan yang diambil hanya sekadar emosi belaka dan tidak melalui pertimbangan matang.
(fmh)
Sedih gan kalo semisal Krl ekonomi bener-bener dihapus, dan nga ada lagi transportasi murah massal gan apalagi aksi naik diatap kereta yang bikin kangane ya ini nih , saran Buat PT.KAI selama ini kereta menjadi satu-satunya transportasi masyarakat yang paling dimininati meski kurang nyaman ,tapi pernahkah terlihat di alat transportasi lain yang sepeti kereta sajikan dimana para penumpang yang begitu meriahnya , mohon jangan di binasakan KRL EKONOMI PT.KAI