- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
ente-ente pernah mandi di kali waktu kecil?
TS
aickaick
ente-ente pernah mandi di kali waktu kecil?
ane nyomot note temen ane waktu kecil dulu dari fb, sekarang si kita uda semester akhir, akhiiiiiiiiiiiiiiiiiiir banget gans
langsung aja ini
fyi, ane tinggal d jogja pinggir gan, sungai yg dulu sering ane sm temen2 buat mandi namanya Grembyangan
heran, padahal uda ada beberapa orang yang mati tenggelem di situ, tapi kita dulu asik aja mandi di situ
ane mau kasi pict juga si benernya, tp belom sempet ke sana lagi gans..
abis baca note dari temen ane itu, jd inget pas kecil, pas nakal nakalnya hahaha
jadi, agan dulu jg suka mandi d sungai ga?
langsung aja ini
Spoiler for baca gans:
Byurrr!
“Uwwooh... Segerr!”
Sungai Grembyangan. Inilah sungai tempat bermain kami, anak-anak Desa Madurejo kecamatan Prambanan ketika ingin berenang atau sekedar ngadem di musim kemarau. Bagian dari sungai Opak ini berair jernih, cukup jernih untuk ukuran sungai besar. Karena begitu dalam, biasanya kami hanya berenang di bagian pecahan aliran untuk irigasi berukuran lebar empat meter dan kedalaman maksimal dua meter. Bagi kami, anak-anak kelas empat SD, itu sudah cukup memberikan sensasi tersendiri, terutama buatku yang belum bisa berenang. Panoramanya bagus, hijau, tenang, dan cukup bersih; asyik lah pokoknya.
Di bagian hulu (padahal bukan hulu juga sih, ya intinya di ruas sungai bagian atas) alirannya tenang. Pinggirannya ditumbuhi rumput, pepohonan dan rumpun bambu yang teduh. Bibir sungainya rendah, mungkin hanya sekitar setengah meter di atas permukaan air sungai. Kita dapat duduk-duduk di pinggirannya sambil bersandar di batang pohon, mencelupkan kaki ditemani tiupan angin sepoi nan sejuk. Area inilah yang disukai para pemancing. Tiap hari mereka ada di situ. Yeah, setiap hari. Meski bagus, kami jarang bermain di situ. Biasanya kami habiskan waktu untuk berenang atau duduk-duduk di atas bendungan. Kami merasa tidak enak saja dengan bapak-bapak pemancing, pun juga karena konon ada anak yang hilang ketika bermain di situ dan ditemukan tiga hari kemudian dalam keadaan mati kaku di bibir sungai dengan posisi yang tak wajar, mirip orang bersemedi. Hii... ngeri. Overall, inilah gambaran sungai kami. Salah satu tempat yang menyimpan banyak kenangan.
Brummm... Bruummm...
Dari kejauhan, sayup-sayup terlihat motor yang kami kenal. Motor GL Pro lawas milik bapaknya Angga, salah seorang dari kami berempat.
“Ups, gawat!”
Angga melompat keluar dari sungai dan menyambar pakaiannya. Dia cepat keringkan wajah dan rambutnya dan cepat pula berpakaian. Kurang dari semenit dia sudah berlari ke bagian lain sungai dan berpura-pura tidak ikut mandi ketika bapaknya menemukannya duduk-duduk di dekat bendungan. Dari kejauhan kami melihat mereka berdua berbicara, bapaknya tampak marah. Beberapa detik kemudian tampak Angga tertunduk lesu sambil menghampiri bapaknya yang mengajak dia pulang. Sebelum pulang, mereka berdua menghampiri kami yang sedang berusaha sembunyi, meski kami tahu tak ada tempat untuk sembunyi kecuali menyelam dan tetap berada di dasar sungai sampai mereka pergi, namun kami tak sanggup melakukannya. Alhasil, kami disuruh pulang juga atau kami akan diadukan ke orang tua kami. Kami pun terpaksa ikut pulang. Aku punya firasat tidak enak sesampainya di rumah nanti.
Firasatku benar! Di depan rumahku telah menunggu ibu dan bapakku dengan wajah marah. Tak dapat kusembunyikan rasa bersalahku saat itu. Dari depan rumah sampai digiring masuk hanya dapat menunduk diam. Ribuan nasihat yang terdengar sebagai omelan di telingaku hanya kutelan begitu saja. Yang terngiang di kepalaku saat ini adalah janjiku kemarin untuk tidak kembali berenang di Grembyangan, dan hari ini telah kuingkari. Ibu bilang pada bapak untuk mengikatku pakai rantai kalau aku mengingkarinya, dan itu hanya kuanggap sebagai gertakan saja. Apa benar aku akan diikat pakai rantai?
“Oh, no!” Mereka benar-benar mengambil rantai dari gudang dan mengikatku di tiang rumah!
Satu jam berlalu, aku masih di tiang. Boikot kedua orangtuaku kali ini benar-benar keren. Semua kata-kataku diacuhkan, rengekan minta makan juga tak dihiraukan. Duh, lapernya...
Dua jam ‘penyekapan’ ini memaksaku harus berpikir keras. Duel antara rasa bersalah dan ingin kabur di dalam hati membuat ragu akan apa yang harus kulakukan. Bingung dan emosi bercampur, membuat perut semakin lapar. Entah ada bisikan apa, sedetik kemudian tekad untuk kabur sudah bulat. Rumah sudah sepi, entah bapak-ibuku sedang kemana. Terbayang film ninja yang melepaskan diri dari ikatan, aku pun yakin pasti bisa lepas. Toh ikatanku tak sekencang kelihatannya. Bapakku tak kan tega mengikat anaknya menggunakan rantai erat-erat.
Perlahan kurampingkan semua bagian tubuhku. Kutempelkan lekat-lekat ke tiang rumah dan kugoyang-goyangkan sedikit. Lilitan rantai mulai melorot. Aha, bisa nih! Terus saja kugoyang-goyangkan badan hingga rantainya melorot semua dan... Yess... Bebas!
Sebelum lari tidak lupa kuganti pakaianku dan kuikatkan pakaian yang sebelumnya ke tiang dengan rantai tadi. Biar dikira tubuhku lenyap menghilang jadi asap (huhu... konyol juga pikiranku saat itu). Sekejap kemudian kulari keluar rumah sekencang-kencangnya, meski tanpa tujuan. Yang penting sang ninja telah dapat kembali beraksi!
Sekilas tadi juga sempat kulihat bapak memperhatikanku kabur dari rumah tetangga, namun beliau tak mengejarku.
Tergopoh-gopoh, ngos-ngosan, lapar, dan berkeringat di dahi. Sudah dua puluh menit jalan dan lari bergantian, akhirnya sampailah di tempat tujuan. Sungai Grembyangan! (Balik ke sini lagi?! Aaargh!! Kutukan apa yang menimpaku?!!)
Namun memang, saat itu, hanya tempat tersebutlah yang paling aman. Setidaknya, orang tuaku akan butuh waktu lama untuk menemukanku di situ.
Tak disangka, ternyata malah bertemu teman-teman sekelas yang sedang berenang! Lagi bernasib baik nih. Mereka juga bawa makanan, mie instan yang digado, mereknya Mie Sakura, harganya dua ratus rupiah.
Perut sudah sedikit terisi, saatnya latihan berenang kembali.
Teman-teman sekelasku sudah jago berenang, tinggal aku satu-satunya di situ yang payah. Mereka sudah mampu berenang di area dalam sedangkan aku sendirian di area dangkal. Latihan renang sendirian ternyata bosan juga. Pelan-pelan kubergerak ke arah area dalam. Sejauh ini tidak ada masalah. Namun anehnya lantai dasar yang kuinjak tidak bertambah dalam. Mungkin selama ini teman-temanku cuma berbohong kalau disitu dalam. Semakin cepat kugerakkan badanku mendekati teman-teman agar.... BLESS...
Kakiku tak menapak lantai lagi. Sebelum kepalaku masuk dalam air, kulihat sekilas teman-teman melihat ke arahku. Mereka hanya diam terpaku, tak bergerak. Beberapa detik kemudian seluruh badanku telah berada di bawah air. Panik. Kugerakkan semua bagian tubuh yang dapat bergerak, seakan meronta-ronta di dalam air. Sekali lagi kepalaku keluar, teman-temanku masih terpaku. Kali ini tubuhku benar-benar tenggelam seluruhnya. Makin kuat kugerak-gerakkan tangan dan kakiku, namun seperti ada yang melilit dan menarik kakiku ke bawah. Semua bayangan nampak, ibu, bapak, kakak-kakakku, teman-temanku, semuanya. Terbayang ketika kelas dua dulu hampir mati jatuh dari gunung, semua nilai seratus matematikaku, dan bayangan ibu muncul lagi, mengatakan sesuatu.
Tiba-tiba ku tersadar kembali. Kodisiku sudah agak tenang. Entah berapa liter air yang kuminum, yang jelas aku harus kembali naik ke permukaan. Sayup-sayup terlihat daun-daun kecil melayang dalam air dan masuk dengan cepat ke pintu air yang sedikit terbuka di dekatku. Baru sadar kalau yang menarikku ke bawah adalah arus pusaran yang masuk ke pintu air itu. Secara reflek kugerakkan badanku ke bawah hingga kakiku menyentuh dasar sungai, kemudian kutolakkan badan dengan melompat ke atas.
Buwwah!!
Kepalaku keluar!
Masih belum selesai! Sekali lagi kujejakkan kuat-kuat kaki ke depan pada panel pintu air sehingga badanku terdorong menjauh, dan ketika kuinjakkan kaki, aku telah berada pada area yang masih dangkal. Pada kondisi itu teman-temanku baru sadar dan segera memapah badan lemasku keluar sungai. Alhamdulillah Ya Allah, Engkau telah selamatkan jiwa yang tak berguna ini...
Selama sepuluh menit terbaring lemas, mulutku tak henti-hentinya beristighfar. Hingga sampai aku mampu berdiri lagi, segera kuberpamitan pulang kepada teman-temanku. Di sepanjang perjalanan pulang, kejadian tadi terus terbayang. Jika tadi aku tak selamat, apa ya yang dirasakan orang tuaku? Segera kupercepat langkahku dan kupersiapkan ribuan kata maaf kepada orang tuaku.
“Ibu-Bapak, aku berjanji akan menjadi anak yang berbakti mulai hari ini.”
-Fin-
Note:
Belakangan kuketahui bahwa memang di sungai tersebut, area dangkal dan dalamnya tidak bergradasi, namun fluktuasi.
Sebenarnya bapak mampu mengejarku ketika aku kabur, namun beliau sengaja membiarkanku agar aku dapat mengambil pelajaran sendiri dari kejadian yang telah terjadi (atau yang akan terjadi).
Sebenernya, kata 'aku' pengen diganti 'gw', 'ane', 'aye', atau 'ogut'. Trus bapak jadi 'babe', 'ibu' jadi 'mami'. Tapi ceritanya cah ndeso je, mosok gaul?
“Uwwooh... Segerr!”
Sungai Grembyangan. Inilah sungai tempat bermain kami, anak-anak Desa Madurejo kecamatan Prambanan ketika ingin berenang atau sekedar ngadem di musim kemarau. Bagian dari sungai Opak ini berair jernih, cukup jernih untuk ukuran sungai besar. Karena begitu dalam, biasanya kami hanya berenang di bagian pecahan aliran untuk irigasi berukuran lebar empat meter dan kedalaman maksimal dua meter. Bagi kami, anak-anak kelas empat SD, itu sudah cukup memberikan sensasi tersendiri, terutama buatku yang belum bisa berenang. Panoramanya bagus, hijau, tenang, dan cukup bersih; asyik lah pokoknya.
Di bagian hulu (padahal bukan hulu juga sih, ya intinya di ruas sungai bagian atas) alirannya tenang. Pinggirannya ditumbuhi rumput, pepohonan dan rumpun bambu yang teduh. Bibir sungainya rendah, mungkin hanya sekitar setengah meter di atas permukaan air sungai. Kita dapat duduk-duduk di pinggirannya sambil bersandar di batang pohon, mencelupkan kaki ditemani tiupan angin sepoi nan sejuk. Area inilah yang disukai para pemancing. Tiap hari mereka ada di situ. Yeah, setiap hari. Meski bagus, kami jarang bermain di situ. Biasanya kami habiskan waktu untuk berenang atau duduk-duduk di atas bendungan. Kami merasa tidak enak saja dengan bapak-bapak pemancing, pun juga karena konon ada anak yang hilang ketika bermain di situ dan ditemukan tiga hari kemudian dalam keadaan mati kaku di bibir sungai dengan posisi yang tak wajar, mirip orang bersemedi. Hii... ngeri. Overall, inilah gambaran sungai kami. Salah satu tempat yang menyimpan banyak kenangan.
Brummm... Bruummm...
Dari kejauhan, sayup-sayup terlihat motor yang kami kenal. Motor GL Pro lawas milik bapaknya Angga, salah seorang dari kami berempat.
“Ups, gawat!”
Angga melompat keluar dari sungai dan menyambar pakaiannya. Dia cepat keringkan wajah dan rambutnya dan cepat pula berpakaian. Kurang dari semenit dia sudah berlari ke bagian lain sungai dan berpura-pura tidak ikut mandi ketika bapaknya menemukannya duduk-duduk di dekat bendungan. Dari kejauhan kami melihat mereka berdua berbicara, bapaknya tampak marah. Beberapa detik kemudian tampak Angga tertunduk lesu sambil menghampiri bapaknya yang mengajak dia pulang. Sebelum pulang, mereka berdua menghampiri kami yang sedang berusaha sembunyi, meski kami tahu tak ada tempat untuk sembunyi kecuali menyelam dan tetap berada di dasar sungai sampai mereka pergi, namun kami tak sanggup melakukannya. Alhasil, kami disuruh pulang juga atau kami akan diadukan ke orang tua kami. Kami pun terpaksa ikut pulang. Aku punya firasat tidak enak sesampainya di rumah nanti.
Firasatku benar! Di depan rumahku telah menunggu ibu dan bapakku dengan wajah marah. Tak dapat kusembunyikan rasa bersalahku saat itu. Dari depan rumah sampai digiring masuk hanya dapat menunduk diam. Ribuan nasihat yang terdengar sebagai omelan di telingaku hanya kutelan begitu saja. Yang terngiang di kepalaku saat ini adalah janjiku kemarin untuk tidak kembali berenang di Grembyangan, dan hari ini telah kuingkari. Ibu bilang pada bapak untuk mengikatku pakai rantai kalau aku mengingkarinya, dan itu hanya kuanggap sebagai gertakan saja. Apa benar aku akan diikat pakai rantai?
“Oh, no!” Mereka benar-benar mengambil rantai dari gudang dan mengikatku di tiang rumah!
Satu jam berlalu, aku masih di tiang. Boikot kedua orangtuaku kali ini benar-benar keren. Semua kata-kataku diacuhkan, rengekan minta makan juga tak dihiraukan. Duh, lapernya...
Dua jam ‘penyekapan’ ini memaksaku harus berpikir keras. Duel antara rasa bersalah dan ingin kabur di dalam hati membuat ragu akan apa yang harus kulakukan. Bingung dan emosi bercampur, membuat perut semakin lapar. Entah ada bisikan apa, sedetik kemudian tekad untuk kabur sudah bulat. Rumah sudah sepi, entah bapak-ibuku sedang kemana. Terbayang film ninja yang melepaskan diri dari ikatan, aku pun yakin pasti bisa lepas. Toh ikatanku tak sekencang kelihatannya. Bapakku tak kan tega mengikat anaknya menggunakan rantai erat-erat.
Perlahan kurampingkan semua bagian tubuhku. Kutempelkan lekat-lekat ke tiang rumah dan kugoyang-goyangkan sedikit. Lilitan rantai mulai melorot. Aha, bisa nih! Terus saja kugoyang-goyangkan badan hingga rantainya melorot semua dan... Yess... Bebas!
Sebelum lari tidak lupa kuganti pakaianku dan kuikatkan pakaian yang sebelumnya ke tiang dengan rantai tadi. Biar dikira tubuhku lenyap menghilang jadi asap (huhu... konyol juga pikiranku saat itu). Sekejap kemudian kulari keluar rumah sekencang-kencangnya, meski tanpa tujuan. Yang penting sang ninja telah dapat kembali beraksi!
Sekilas tadi juga sempat kulihat bapak memperhatikanku kabur dari rumah tetangga, namun beliau tak mengejarku.
Tergopoh-gopoh, ngos-ngosan, lapar, dan berkeringat di dahi. Sudah dua puluh menit jalan dan lari bergantian, akhirnya sampailah di tempat tujuan. Sungai Grembyangan! (Balik ke sini lagi?! Aaargh!! Kutukan apa yang menimpaku?!!)
Namun memang, saat itu, hanya tempat tersebutlah yang paling aman. Setidaknya, orang tuaku akan butuh waktu lama untuk menemukanku di situ.
Tak disangka, ternyata malah bertemu teman-teman sekelas yang sedang berenang! Lagi bernasib baik nih. Mereka juga bawa makanan, mie instan yang digado, mereknya Mie Sakura, harganya dua ratus rupiah.
Perut sudah sedikit terisi, saatnya latihan berenang kembali.
Teman-teman sekelasku sudah jago berenang, tinggal aku satu-satunya di situ yang payah. Mereka sudah mampu berenang di area dalam sedangkan aku sendirian di area dangkal. Latihan renang sendirian ternyata bosan juga. Pelan-pelan kubergerak ke arah area dalam. Sejauh ini tidak ada masalah. Namun anehnya lantai dasar yang kuinjak tidak bertambah dalam. Mungkin selama ini teman-temanku cuma berbohong kalau disitu dalam. Semakin cepat kugerakkan badanku mendekati teman-teman agar.... BLESS...
Kakiku tak menapak lantai lagi. Sebelum kepalaku masuk dalam air, kulihat sekilas teman-teman melihat ke arahku. Mereka hanya diam terpaku, tak bergerak. Beberapa detik kemudian seluruh badanku telah berada di bawah air. Panik. Kugerakkan semua bagian tubuh yang dapat bergerak, seakan meronta-ronta di dalam air. Sekali lagi kepalaku keluar, teman-temanku masih terpaku. Kali ini tubuhku benar-benar tenggelam seluruhnya. Makin kuat kugerak-gerakkan tangan dan kakiku, namun seperti ada yang melilit dan menarik kakiku ke bawah. Semua bayangan nampak, ibu, bapak, kakak-kakakku, teman-temanku, semuanya. Terbayang ketika kelas dua dulu hampir mati jatuh dari gunung, semua nilai seratus matematikaku, dan bayangan ibu muncul lagi, mengatakan sesuatu.
Tiba-tiba ku tersadar kembali. Kodisiku sudah agak tenang. Entah berapa liter air yang kuminum, yang jelas aku harus kembali naik ke permukaan. Sayup-sayup terlihat daun-daun kecil melayang dalam air dan masuk dengan cepat ke pintu air yang sedikit terbuka di dekatku. Baru sadar kalau yang menarikku ke bawah adalah arus pusaran yang masuk ke pintu air itu. Secara reflek kugerakkan badanku ke bawah hingga kakiku menyentuh dasar sungai, kemudian kutolakkan badan dengan melompat ke atas.
Buwwah!!
Kepalaku keluar!
Masih belum selesai! Sekali lagi kujejakkan kuat-kuat kaki ke depan pada panel pintu air sehingga badanku terdorong menjauh, dan ketika kuinjakkan kaki, aku telah berada pada area yang masih dangkal. Pada kondisi itu teman-temanku baru sadar dan segera memapah badan lemasku keluar sungai. Alhamdulillah Ya Allah, Engkau telah selamatkan jiwa yang tak berguna ini...
Selama sepuluh menit terbaring lemas, mulutku tak henti-hentinya beristighfar. Hingga sampai aku mampu berdiri lagi, segera kuberpamitan pulang kepada teman-temanku. Di sepanjang perjalanan pulang, kejadian tadi terus terbayang. Jika tadi aku tak selamat, apa ya yang dirasakan orang tuaku? Segera kupercepat langkahku dan kupersiapkan ribuan kata maaf kepada orang tuaku.
“Ibu-Bapak, aku berjanji akan menjadi anak yang berbakti mulai hari ini.”
-Fin-
Note:
Belakangan kuketahui bahwa memang di sungai tersebut, area dangkal dan dalamnya tidak bergradasi, namun fluktuasi.
Sebenarnya bapak mampu mengejarku ketika aku kabur, namun beliau sengaja membiarkanku agar aku dapat mengambil pelajaran sendiri dari kejadian yang telah terjadi (atau yang akan terjadi).
Sebenernya, kata 'aku' pengen diganti 'gw', 'ane', 'aye', atau 'ogut'. Trus bapak jadi 'babe', 'ibu' jadi 'mami'. Tapi ceritanya cah ndeso je, mosok gaul?
fyi, ane tinggal d jogja pinggir gan, sungai yg dulu sering ane sm temen2 buat mandi namanya Grembyangan
heran, padahal uda ada beberapa orang yang mati tenggelem di situ, tapi kita dulu asik aja mandi di situ
ane mau kasi pict juga si benernya, tp belom sempet ke sana lagi gans..
abis baca note dari temen ane itu, jd inget pas kecil, pas nakal nakalnya hahaha
jadi, agan dulu jg suka mandi d sungai ga?
0
2.1K
Kutip
36
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan