- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- Lounge Pictures
Kampung Adat Cireundeu, Desa Wisata Tahan Pangan di Kota Cimahi


TS
devitapra
Kampung Adat Cireundeu, Desa Wisata Tahan Pangan di Kota Cimahi
Quote:
DEWITAPA CIREUNDEU
Desa Wisata Tahan Pangan Cireundeu
Desa Wisata Tahan Pangan Cireundeu

Spoiler for Gate:

Spoiler for More Pics:










daerah ini semula digunakan sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah

Penduduk sefang melakukan sebuah ritual dan berdoa






Teu Nyawah Asal Boga Pare,
Teu Boga Pare Asal Boga Beas,
Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu,
Teu Nyangu Asal Dahar,
Teu Dahar Asal Kuat
Teu Boga Pare Asal Boga Beas,
Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu,
Teu Nyangu Asal Dahar,
Teu Dahar Asal Kuat
Quote:
]Gak Bertani Asal Punya Padi
Gak Punya Padi Asal Punya Beras
Gak Punya Beras Asal Bisa Memasak
Gak Memasak Asal Makan
Gak Makan Asal Kuat
Gak Punya Padi Asal Punya Beras
Gak Punya Beras Asal Bisa Memasak
Gak Memasak Asal Makan
Gak Makan Asal Kuat
Quote:
Masyarakat adat Cireundeu sangat memegang teguh kepercayaannya, kebudayaan serta adat istiadat mereka. Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah kita sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki arti masyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa hand phone, dan penerangan. Masyarakat ini punya konsep kampung adat yang selalu diingat sejak zaman dulu, yaitu suatu daerah itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya.
Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.
Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkong atau ketela, dan umbi-umbian.
Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya.
Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.
Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkong atau ketela, dan umbi-umbian.
Quote:
Spoiler for Cireundeu:
Pilihan Kebijakan tentang Cireundeu sebagai Kampung Wisata adalah bagaimana pemerintah Kota Cimahi mampu memperkuat tradisi dan budaya turun temurun yang menjadi “modal sosial” dan ciri khas masyarakat Kampung Adat Cireundeu, kemudian membawa seluruh elemen masyarakat untuk bergerak pada bidang industri pariwisata.
Pengembangan suatu wilayah menjadi Kampung Wisata, artinya memprioritaskan keberdayaan masyarakat lokal untuk menumbuhkan rasa percaya diri terhadap kemampuan sendiri untuk keluar dari keterpurukan dan jerat kemiskinan.
Tidak mudah menjadikan suatu kawasan menjadi lokasi yang bisa bernilai pariwisata. Diperlukan sarana dan prasarana pendukung yang akan menjadikan kawasan ini menarik bagi para wisatawan untuk berkunjung. Namun yang lebih penting adalah penyiapan masyarakat dalam menghadapi kunjungan orang luar agar budaya mereka yang menjadi ciri khas itu akan semakin kuat, dan bukan sebaliknya malah tergerus oleh budaya-budaya lain yang dengan deras masuk sebagai konsekwensi dari layaknya sebuah kawasan wisata sebagai tempat para wisatawan lokal dan internasional berkunjung.
MELIHAT LEBIH DEKAT CIREUNDEU
Di Kampung Cireundeu, dimana dulu lebih dikenal dengan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Leuwi Gajah, kita jangan berharap akan melihat pemandangan lahan sawah yang menghijau atau padi yang menguning, seolah ingin mengubur dalam-dalam peristiwa longsornya gunungan sampah tanggal 21 Februari 2005 yang merenggut 157 nyawa, kini ditempat yang dulu gunungan sampah itu, kita akan banyak dimanjakan dengan pemandangan kebun singkong yang terbentang luas. Ya, tempat ini adalah tempatnya masyarakat kita yang dinobatkan sebagai “Pahlawan Pangan” karena masyarakat disini makanan pokoknya bukan nasi tetapi singkong. Kampung Cireudeu adalah sebuah bukit kecil yang dihuni oleh 50 KK atau 800 jiwa yang memiliki tradisi berbeda. Sebagian penduduk Cireundeu, sejak ratusan tahun silam (sejak tahun 1918), tidak pernah menggunakan beras lagi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi kehidupan penuh kedamaian dan kerukunan “silih asah, silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga“. Mereka memegang teguh pepatah Karuhun Cireundeu: “Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare. Teu nanaon teu boga pare gi asal boga beas Teu nanaon teu boga bias ge asal bisa ngejo Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu. Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal bisa hirup.”
Masyarakat Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan, Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awal dan bagi mereka agama bukan sarana penyembahan namun sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu mereka memegang teguh tradisi dan jarang sekali ditemukan situs-situs penyembahan. Pangeran Haji Ali Madrais yang diakui sebagai nenek moyang masyarakat Cireundeu mungkin mendapat gelar Haji bukan karena dia benar-benar pergi memenuhi rukun Islam tetapi mendapat sebutan Haji karena dianggap sebagai pemimpin atau imam, kata Undang Ahmad Darsa yang juga banyak menulis buku tentang sejarah dan perkembangan Sunda. Aliran kepercayaan Sunda Wiwitan masih eksis bertahan dan memiliki penganut setia di di Kampung Cireundeu. Namun dari segi keunikannya, warga kampung ini masih mengonsumsi singkong sebagai makanan pokok dan mayoritas masih menjalankan ajaran Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan itu. Secara fisik Cireundeu memang kampung biasa, namun karena ketatnya menjalankan tradisi karuhun, kampung ini akhirnya dikukuhkan secara de facto sebagai kampung adat. Kepercayaan ini dikenal juga sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Mereka percaya pada Tuhan, dan teguh menjaga kepercayaan serta menjaga jatidiri Sunda mereka agar tidak berubah. Falsafah hidup masyarakat Cireundeu belum banyak berubah sejak puluhan tahun lalu, dan mereka masih memegang ajaran moral tentang bagaimana membawa diri dalam hidup ini. Ritual 1 Sura yang rutin digelar sejak kala, merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara suraan, demikian warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. “Karena itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk hidup lain rasakan”. Selain itu masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan singkong. Pangeran Madrais pernah berkata, jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung memikirkan harga beras yang makin naik, warga sini adem ayem saja karena singkongnya pun hasil kebun sendiri.
Kampung Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap insan warga kampung, mencintai lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih terjaga dan terpelihara, sebagian masyarakatnya masih mempertahankan adat leluhurnya .
Pengembangan suatu wilayah menjadi Kampung Wisata, artinya memprioritaskan keberdayaan masyarakat lokal untuk menumbuhkan rasa percaya diri terhadap kemampuan sendiri untuk keluar dari keterpurukan dan jerat kemiskinan.
Tidak mudah menjadikan suatu kawasan menjadi lokasi yang bisa bernilai pariwisata. Diperlukan sarana dan prasarana pendukung yang akan menjadikan kawasan ini menarik bagi para wisatawan untuk berkunjung. Namun yang lebih penting adalah penyiapan masyarakat dalam menghadapi kunjungan orang luar agar budaya mereka yang menjadi ciri khas itu akan semakin kuat, dan bukan sebaliknya malah tergerus oleh budaya-budaya lain yang dengan deras masuk sebagai konsekwensi dari layaknya sebuah kawasan wisata sebagai tempat para wisatawan lokal dan internasional berkunjung.
MELIHAT LEBIH DEKAT CIREUNDEU
Di Kampung Cireundeu, dimana dulu lebih dikenal dengan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Leuwi Gajah, kita jangan berharap akan melihat pemandangan lahan sawah yang menghijau atau padi yang menguning, seolah ingin mengubur dalam-dalam peristiwa longsornya gunungan sampah tanggal 21 Februari 2005 yang merenggut 157 nyawa, kini ditempat yang dulu gunungan sampah itu, kita akan banyak dimanjakan dengan pemandangan kebun singkong yang terbentang luas. Ya, tempat ini adalah tempatnya masyarakat kita yang dinobatkan sebagai “Pahlawan Pangan” karena masyarakat disini makanan pokoknya bukan nasi tetapi singkong. Kampung Cireudeu adalah sebuah bukit kecil yang dihuni oleh 50 KK atau 800 jiwa yang memiliki tradisi berbeda. Sebagian penduduk Cireundeu, sejak ratusan tahun silam (sejak tahun 1918), tidak pernah menggunakan beras lagi sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Kampung Cireundeu merupakan suatu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar. Situasi kehidupan penuh kedamaian dan kerukunan “silih asah, silih asih, silih asuh, tata, titi, duduga peryoga“. Mereka memegang teguh pepatah Karuhun Cireundeu: “Teu nanaon teu boga huma ge asal boga pare. Teu nanaon teu boga pare gi asal boga beas Teu nanaon teu boga bias ge asal bisa ngejo Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu. Teu nanaon teu bisa nyatu ge asal bisa hirup.”
Masyarakat Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan, Sunda Wiwitan sendiri mengandung arti Sunda yang paling awal dan bagi mereka agama bukan sarana penyembahan namun sarana aplikasi dalam kehidupan, karena itu mereka memegang teguh tradisi dan jarang sekali ditemukan situs-situs penyembahan. Pangeran Haji Ali Madrais yang diakui sebagai nenek moyang masyarakat Cireundeu mungkin mendapat gelar Haji bukan karena dia benar-benar pergi memenuhi rukun Islam tetapi mendapat sebutan Haji karena dianggap sebagai pemimpin atau imam, kata Undang Ahmad Darsa yang juga banyak menulis buku tentang sejarah dan perkembangan Sunda. Aliran kepercayaan Sunda Wiwitan masih eksis bertahan dan memiliki penganut setia di di Kampung Cireundeu. Namun dari segi keunikannya, warga kampung ini masih mengonsumsi singkong sebagai makanan pokok dan mayoritas masih menjalankan ajaran Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan itu. Secara fisik Cireundeu memang kampung biasa, namun karena ketatnya menjalankan tradisi karuhun, kampung ini akhirnya dikukuhkan secara de facto sebagai kampung adat. Kepercayaan ini dikenal juga sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Mereka percaya pada Tuhan, dan teguh menjaga kepercayaan serta menjaga jatidiri Sunda mereka agar tidak berubah. Falsafah hidup masyarakat Cireundeu belum banyak berubah sejak puluhan tahun lalu, dan mereka masih memegang ajaran moral tentang bagaimana membawa diri dalam hidup ini. Ritual 1 Sura yang rutin digelar sejak kala, merupakan salah satu simbol dari falsafah tersebut. Upacara suraan, demikian warga Cireundeu menyebutnya, memiliki makna yang dalam. Bahwa manusia itu harus memahami bila ia hidup berdampingan dengan mahluk hidup lainnya. Baik dengan lingkungan, tumbuhan, hewan, angin, laut, gunung, tanah, air, api, kayu, dan langit. “Karena itulah manusia harus mengenal dirinya sendiri, tahu apa yang dia rasakan untuk kemudian belajar merasakan apa yang orang lain dan mahluk hidup lain rasakan”. Selain itu masyarakat Cireundeu menghormati leluhur mereka dengan tidak memakan nasi melainkan singkong. Pangeran Madrais pernah berkata, jika orang Cireundeu tidak mau terkena bencana maka pantang makan nasi. Sekarang terbukti, dimana orang lain bingung memikirkan harga beras yang makin naik, warga sini adem ayem saja karena singkongnya pun hasil kebun sendiri.
Kampung Cireundeu mempunyai filosofi kehidupan yang sangat unik, dimana nuansa hidup yang santun dalam nafas setiap insan warga kampung, mencintai lingkungan, budaya sunda dan kesenian khas masih terjaga dan terpelihara, sebagian masyarakatnya masih mempertahankan adat leluhurnya .
http://kampungadatcireundeu.wordpress.com/
http://www.cireundeu.org/
[URL="http://www.S E N S O Rt=a.3064589647929.2129142.1059122178&type=3"]tkp[/URL]
Diubah oleh devitapra 06-02-2013 08:10
0
8.2K
Kutip
49
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan