Eitss, jangan asal tersinggung dulu, gan masuk di trit ini. kalau belum baca, jangan marah ya. Nanti bisa OOT.
Berita ini ane cari nggak ada di Kaskus, jadi, no tapi nggak tau juga kalau pakai judul beda.
Ini berita udah lama. Tapi bagi ane, ini bermanfaat. Ingat, jangan hanya kasusnya yang dipermasalahin, tapi coba simak permasalahan yang juga dibahas. woles yo rek. =) Berhubung sedikit panjang, lanjut di komen, dan ane spoil.
Orang Indonesia rame-rame menuduh Malaysia sebagai bangsa maling. Menjulukinya sebagai “Malingsia,” dan “Maling Asia.” Karena negara tersebut dianggap telah mengklaim beberapa seni budaya asal Indonesia, seperti kerajinan tangan, tari-tarian, lagu, dan sejenisnya sebagai seni budaya Malaysia. Tetapi apakah Indonesia sendiri bukan bangsa maling? Jawabnya, Indonesia juga bangsa maling, kok! Jadi, maling teriak maling, nih!?
Spoiler for contoh 1:
Tidak percaya? Ini salah satu contohnya: Remy Silado, seorang pengamat musik, dramawan, dan penulis novel, mengatakan bahwa lagu yang selama ini diklaim sebagai hasil karya orang Indonesia, Kulihat Ibu Pertiwi Sedang Bersusah Hati, 100 persen hasil jiplakan atas lagu gereja yang berjudul What a Friend We Have in Jesus. Lagu himne ini aslinya diciptakan oleh Horatius Bonar pada lirik dan Charles Crozat Converse pada musik, dan dicatat hak ciptanya pada 1876 lewat Biglow & Main.
Selain itu Remy juga menulis beberapa hasil karya seni yang diklaim sebagai karya orang Indonesia, ternyata merupakan karya jiplakan. Maka Remy pun memberi saran, terutama kepada yang terlalu bersemangat meneriaki bangsa lain sebagai bangsa maling seni dan budaya Indonesia: “Sesama pencuri jangan saling mendahului” (Kompas, 06 September 2009). Lagu What a Friend We Have in Jesus memang 100 persen sama dengan Kulihat Ibu Pertiwi Sedang Bersusah Hati yang selama ini diakui sebagai hasil ciptaan dan merupakan salah satu kekayaan seni suara Indonesia.Bedanya hanya di syairnya saja Untuk meyakinkan anda, silakan simak lagu gereja dimaksud dengan mengklik ini:
Spoiler for Spoiler 1:
Reaksi terhadap apa yang disebut pengklaiman Malaysia terhadap beberapa budaya asli Indonesia sebagai miliknya — yang terakhir tarian Pendet asal Bali, masih berlangsung sampai sekarang. Umumnya reaksi yang ada adalah reaksi yang bersifat keras, seperti kecaman-kecaman pedas, demonstrasi-demonstrasi, makian-makian (seperti mengplesetkan “Malaysia” dengan “Malingsia”), pembakaran bendera Malaysia, sweeping warga negara Malaysia, seruan pemutusan hubungan diplomatik, sampai seruan untuk perang dengan Malaysia! Yang terakhir ini termasuk seruan favorit dalam reaksi keras terhadap Malaysia.
Tak lupa dengan seruan “ganyang Malaysia!” yang begitu populer di masa konfrontasi dengan negara serumpun itu di era pemerintahan Soekarno. DPR termasuk kalangan yang (selalu) bereaksi keras menghadapi perilaku Malaysia ini. Termasuk rajin menyerukan kepada pemerintah agar segera putus hubungan diplomatik dan menyatakan perang kepada Malaysia. Sebegitu gampangkan suatu negara menyatakan perang terhadap negara lain? Tanpa memperhitungkan segala akibatnya terhadap negara dan rakyat banyak yang tanpa perang saja sudah hidup serba susah? Dan, apakah Indonesia benar-benar sudah siap untuk itu? Yakin bisa menang perang, sekalipun misalnya, Malaysia itu termasuk anggota negara-negara persemakmuran — persatuan negara-negara bekas koloni/jajahan Inggris (Commonwealth of Nations), bersama Australia, New Zealand, Papua Nugini, Singapore, dan lain-lain, yang siap membantu sesama negara persemakmuran itu apabila salah satunya diserang negara lain? Bagaimana dengan perlengkapan perang utama (alutsista) yang dimiliki Indonesia? Yang sebagian besar sudah uzur, pesawat tempur pun tanpa rudal, dan sejenisnya? Bagi Permadi, politikus dari Gerindra, hal itu bukan masalah. Pernyataan perang dengan Malaysia, katanya, tak usah memperdulikan kesiapan alat utama sistem senjata Indonesia.
Spoiler for cuma bisa pamer otot, bukan otak:
“Tentara Malaysia itu tidak pernah perang kaya tentara Indonesia,” beber Permadi. … “Saya berani taruhan, dengan pisau dan bambu, tentara kita pasti menang,” imbuhnya. Selain tentara, Permadi melanjutkan, pasukan untuk menyerang Malaysia tersedia dari jutaan sukarelawan, mahasiswa hingga paranormal.(Tempo Interaktif, 31 Agustus 2009) Ini pernyataan serius atau guyonan, ya? Dalam menyikapi perilaku Malaysia tersebut kenapa sikap memamerkan otot lebih menonjol daripada otak? Apakah dengan sikap reaktif seperti ini akan membuat kita bangga, dan dunia internasional akan terkagum-kagum? Dunia internasional akan lebih menghargai sikap siapa? Indonesia yang pamer otot, atau Malaysia yang pamer otak? Kenapa otak tidak dibalas dengan otak saja?
Tidak dapat dipungkiri bahwa Malaysia dengan mengutamakan otak memanfaatkan hampir semua aspek yang ada (di negaranya) rata-rata telah lebih maju dan makmur daripada Indonesia. Potensi obyek wisatanya yang jauh lebih sedikit daripada Indonesia, tetapi karena lebih banyak menggunakan otak dengan mengoptimalkannya, maka devisa yang dihasilkannya dari sektor pariwisata jauh lebih besar daripada Indonesia. Salah satu contohnya adalah negara tersebut telah sukses menciptakan dan mengoptimalkan bidang medisnya, yang kemudian dijadikan salah satu tujuan wisawatan asing — terutama dari Indonesia — di mana orang-orang dari luar negerinya datang untuk berobat, sekaligus berwisata dan berbelanja. Malaysia sukses meniru Singapore.
Spoiler for hasilnya kalau mau pakai otak:
Kini banyak orang Indonesia yang kalau mau berobat ke luar negeri sudah banyak yang memilih Malaysia, tidak melulu Singapore lagi. Kesuksesan tersebut tercermin pula pada data jumlah wisatawan antara kedua negara. Dari tahun ke tahun selisihnya semakin jauh.Data sampai 2007 menunjukkan jumlah wisatawan dari Indonesia ke Malaysia sebanyak 2.428.605, sedangkan dari Malaysia ke Indonesia hanya 890.903 (Kompas, 31 Agustus 2009) Paling ironis jika kita bandingkan dengan Singapore. Negara mini ini yang luas wilayahnya ratusan kali lebih kecil daripada Indonesia dengan potensi alamnya sebagai obyek pariwisata yang bisa dihitung dengan jari tangan, dibandingkan dengan Indonesia yang seolah tak terhitung potensi alamnya sebagai obyek pariwisata, yang tersebar dari ujung barat sampai ke timur, tetapi dalam hal menghasilkan devisa dari sektor pariwisata Indonesia kalah jauh! Itu karena mereka dengan segala keterbatasan sumber alamnya menggunakan otak untuk mengolahnya sedemikian rupa sehingga apa yang sebenarnya biasa-biasa saja, menjadi sangat menarik dan berhasil menyedot wisatawan asing dalam jumlah yang signifikan banyaknya. Indonesia sebaliknya.
Sumber alam potensi obyek wisata mancanegara yang begitu melimpah-ruah. Tetapi potensinya yang dimanfaatkan sangat minim sekali. Selain Bali, nyaris tidak ada obyek wisata lain yang dapat diandalkan sebagai penghasil devisa negara. Kenapa tidak melakukan introspeksi, mengapa sampai Indonesia bisa tertinggal dengan negara-negara tetangganya seperti Singapore dan Malaysia? Penyebab utamanya adalah bahwa di dalam negeri sendiri para pejabatnya lebih sibuk memperkaya diri sendiri dengan aneka kreasi korupsi dan manipulasi ketimbang mengurus negara, banyaknya oportunis politik yang saling menjegal untuk mendapat kursi empuk di eksekutif, legislatif,maupun yudikatif, hukum dan agama yang dipolitisir untuk kepentingan politik masing-masing, ketimbang mencari dan memanfaatkan sepenuhnya potensi-potensi yang dimiliki negara untuk membangun negeri ini.
Spoiler for salah satu permasalahannya:
Tingkat disiplin yang rendah, konflik-konflik yang kerap terjadi di dalam masyarakat dengan berbagai isu absurd seperti agama, sukuisme, dan lain-lain, dan rasa memiliki yang sangat minim. Rasa memiliki yang sangat minim inilah yang sebenarnya menjadi sumber masalah. Indonesia memang sangat kaya. Termasuk sangat kaya dengan beraneka ragam seni budayanya. Tetapi apakah orang Indonesia sendiri menghargai dan memanfaatkannya seoptimal mungkin untuk kepentingan bangsa dan negaranya sendiri? Jawabnya tidak. Terhadap orang-orang yang pada ramai-ramai berdemo dan mencaci-maki Malaysia sebagai maling seni budaya Indonesia, terakhir memaki Malaysia karena katanya mengklaim tari Pendet sebagai budayanya. Saya duga sebagian besar dari mereka justru baru tahu bahwa tari Pendet itu asalnya dari Baliketika muncul permasalahan ini.Kalu tidak ada permasalahan ini, barangkali sampai hari ini mereka tidak tahu kalau tari Pendet itu dari Bali.