- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
(INSPIRATIF INDONESIA) Kisah Dwi Cahya Ningsih Memerangi Kebodohan Di Air Kelubi


TS
pnavigator
(INSPIRATIF INDONESIA) Kisah Dwi Cahya Ningsih Memerangi Kebodohan Di Air Kelubi
Quote:
MAAF JIKA THREAD INI 

Quote:
Bermodal Ijazah SD, Membuka Cakrawala Desa Tertinggal
Quote:

Air Kelubi merupakan salah satu desa tertinggal dan terisolir di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Desa yang terletak di gugusan Pulau Buton ini merupakan salah satu pemukiman Suku Laut di Kabupaten Bintan. Selama berabad-abad mereka hidup berpindah-pindah di lautan lepas di atas perahu yang mereka sebut kajang sepanjang 4 meter dan lebar 2 meter.
Oleh Pemerintah Kabupaten Bintan yang dulu masih bernama Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau pada awal tahun 1990-an suku laut ini dibuatkan rumah panggung agar mereka pindah ke darat. Program pemindahan ke darat ini baru berhasil efektif sekitar awal 2000-an. Namun masih ada diantara mereka yang memilih tinggal di laut.
Untuk mencapai desa ini perlu waktu yang cukup lama. Itu pun tergantung kondisi cuaca dan air laut. Jika cuaca lagi baik dan air laut pasang (naik, pen) tinggi, untuk mencapai Tanjungpinang, ibukota Provinsi Kepulauan Riau, menghabiskan waktu sekitar 6 jam. Dan untuk menuju kota terdekat, yakni Kijang, ibukota Kecamatan Bintan Timur dibutuhkan waktu sekitar 3 sampai 5 jam. Sebaliknya jika angin bertiup kencang, penduduk di desa ini lebih memilih tidak berpergian karena ombaknya sering tidak bersahabat.
Tidak mengherankan, jika sekarang desa ini masih jauh tertinggal dan terisolir dibandingkang desa-desa lainnya di Kabupaten Bintan. Dari sekitar 250 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di desa tersebut yang sebagian adalah penduduk asal Suku Laut, hanya satu orang yang tamat SLTA. Tamat SD atau SLTP dapat dihitung dengan jari saking sedikitnya. Di desa itu hanya ada satu SD. Dan, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTP dan SLTA, anak-anak di desa ini harus keluar ke desa terdekat dengan menyeberangi laut yang cukup luas.
Tidak mengherankan jika banyak anak usia sekolah yang putus sekolah atau tidak pernah sekolah sama sekali karena mereka masih memandang hidup di laut lebih enak daripada belajar di bangku sekolah.
Di desa terisolir inilah Dwi Cahya Ningsih mengabdikan diri mengajar anak-anak tempatan. Bermodal ijazah SD yang diperolehnya dari SD Negeri 003 Kramat 3 Magelang, Jawa Tengah tahun 1984. Pada tahun 2004 dia membentuk kelompok belajar bagi anak-anak dan kelompok pengajian bagi ibu-ibu yang dipusatkan di Mesjid Nurul Iman. Secara rutin kelompok belajar dan pengajian tersebut mengundang ustadz untuk memberikan siraman rohani. Kalau ustadz tak datang, Ningsih menyiasatinya dengan mendengarkan ceramah melalui radio di handphonenya.
“Handphone saya taruh dekat speaker agar suaranya besar. Dari situlah kami mendengarkan suara ustadz yang memberikan ceramah,” ujar Ningsih sapaan akrabnya.
Namun setelah berjalan tiga tahun, kelompok belajar dan pengajian yang didirikannya itu mulai dipertanyakan keberadaannya oleh masyarakat. “Waktu itu saya nyaris putus asa. Rasanya saya mau menangis dan berhenti mengajar,” kenang Ningsih.
Di tengah keputusasaan itulah sang suami tercinta Rustono memberikan dorongan agar jangan terlalu lama larut dengan kesedihan. Suaminya waktu itu adalah satu-satunya orang yang tamat SLTA di desa tersebut. “Dia bilang begini. Kalau tidak ibu yang mengajar anak-anak dan ibu-ibu di sini siapa lagi yang bisa diharapkan. Ibulah yang diharapkan mampu memberikan pencerahan dan penerangan agar desa ini keluar dari kegelapan yang menimpa selama ini. Ayo Bu bangkit! Jika kita berjuang dengan niat yang tulus, niscaya Tuhan membantu kita,” kata Ningsih.
Atas inisiatif suaminya yang bekerja sebagai pencari kayu dan nelayan tradisional tersebut pada tahun 2007, proses pembelajaran dipindahkan ke rumahnya yang berjarak 2,5 Km dari Mesjid Nurul Iman. Jadilah rumah panggung berukuran 8 X 6 meter milik mereka sebagai tempat belajar. Karena ruang kelas belajar tak ada, sekat-sekat ruang tamu dan dua kamar itu dibuka sehingga menjadi plong dan digunakan sebagai ruang kelas belajar.

Karena tidak punya dana untuk membeli alat peraga, Ningsih mengolah bahan-bahan yang mudah didapatkan di sekitar tempat tinggalnya sebagai alat peraga. Jadilah kardus, kulit kerang, gonggong, ranga, daun-daun, serbuk kayu, serbuk kelapa, dan lainnya sebagai alat peraganya. “Habis belajar, alat peraga sederhana itu dicampakkan anak-anak ke laut. Ya, bagaimana lagi, rumah panggung saya berdiri di atas laut,” ujar Ningsih sembari tersenyum.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, sekolah PAUD yang didirikan Ningsih mengalami kendala, terutama soal perizinannya. Sebab, salah satu syarat untuk mendirikan sekolah itu adalah pengelola dan pengajar harus memiliki ijazah minimal setingkat SLTA. Ningsih tak punya ijazah sebagaimana yang dipersyaratkan karena dia hanya memiliki ijazah SD. Ini problem serius untuk kelangsungan proses belajar dan mengajar di lembaga yang dirintisnya dengan susah payah.
Lagi-lagi atas dorongan suami tercinta, Ningsih ikut Paket B dan C di PKBM Karang Bertuah di Desa Kelong yang berjarak sekitar 2 Km dari desanya. Perjuangannya ikut paket itu cukup melelahkan karena dia harus menyeberangi lautan. Sekali dalam seminggu, jika tidak ada angkutan perahu bermotor atau pompong, dia diantar oleh suaminya dengan menggunakan perahu menyeberangi lautan menuju tempatnya belajar.
Berkat kegigihan, akhirnya Ningsih berhasil lulus Paket B tahun 2009 dan Paket C tahun 2011. “Setelah lulus Paket C saya sebenarnya ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di Univeritas Terbuka. Namun ada sedikit persoalan yang mengganjal. Sampai sekarang ijazah Paket B dan C belum saya ambil karena secara administrasi saya belum melunasi biaya selama mengikuti kedua Paket tersebut,” ujarnya dengan raut dan mimik sedih.
Menurut Ningsih untuk menebus kedua ijazahnya itu perlu biaya sekitar Rp4 juta dengan rincian Rp1,5 juta untuk mengambil ijazah Paket B dan Rp2,5 juta untuk Paket C. Uang tersebut merupakan akumulasi dari jumlah biaya yang harus diselesaikannya selama mengikuti Paket ditambah administrasi saat ujian.
Merasa keberatan dengan biaya sebanyak itu, selulus Paket B tahun 2009 dibantu guru SD 005 Air Kelubi yang peduli dengan pendidikan, Ningsih nekad membuka Paket A, B, dan C di kampung halamannya itu. Warga belajar yang ikut Paket di lembaganya tidak dikenakan biaya alias gratis. Dan kerja kerasnya kini sudah membuahkan hasil. Pada tahun 2012 Paket yang diselenggarakannya sudah meluluskan 68 orang warga belajar dengan rincian 15 orang Paket A, 22 orang Paket B dan 23 orang Paket C.
“Sekarang 107 warga belajar sedang mengikuti proses pembelajaran di lembaga yang kami kelola,” ujar Ningsih bersemangat.
Aktifitas Ningsih mengajar tanpa pamrih itu, rupanya terdengar sampai ke Dinas Pendidikan Kabupaten Bintan. Tahun 2008, tim yang dipimpin Pengawas Sekolah Taman Kanak-kanak (TK), Jamilah turun mengecek proses pembelajaran yang dilakukan Ningsih. Betapa terkejutnya mereka ternyata proses pembelajaran itu berlangsung di rumah panggung dan tenaga pengajarnya hanya lulusan SD.
Perlahan, proses pembelajaran dibenahi. Tim dari Bappeda Kabupaten Bintan pun menyusun program pembangunan gedung sekolah PAUD. Alhamdulillah, gedung PAUD bantuan Pemerintah Kabupaten Bintan kini sudah berdiri walau baru hanya satu ruangan kelas belajar. Anak-anak yang semula berdesakan belajar di rumah panggung milik Ningsih, kini sudah pindah ke gedung yang baru itu.
Dan, Ningsih pun mulai mendapat perhatian. Sejak 2008 s/d 2010 Ningsih menerima insentif Rp300 ribu setiap bulannya dari Pemerintah Kabupaten Bintan. Kemudian sejak 2011 s/d sekarang insentif naik menjadi Rp400 ribu setiap bulannya. Sejak 2011 dari Provinsi Kepulauan Riau, Ningsih menerima Rp1 juta setahun yang diterima Rp500 ribu per-enam bulan.
Oleh Ningsih, insentif yang diterimanya disisihkan Rp150 ribu setiap bulannya untuk dua orang temannya yang membantunya mengajar PAUD yang dikelolanya. “Teman saya, Halimah dan Tri Yulianti yang sekarang sedang mengikuti Paket C belum mendapatkan insentif dari Pemerintah Kabupaten Bintan. Saya dan suami berinisiatif, insentif yang saya peroleh disisihkan untuk mereka,” ujar Ningsih.
Kemudian bantuan dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau pun mengalir ke PAUD yang dikelola Ningsih sebesar Rp21 juta. Dana itu digunakannya untuk membeli alat peraga dan pakaian seragam anak PAUD.
Kini dukungan masyarakat Air Kelubi terus mengalir. “Dulu orang boleh tertawa dengan apa yang saya lakukan, sekarang masyarakat melihat apa yang saya lakukan juga untuk anak-anak mereka. Saya ingin hidup saya ini terasa ada di mana saya berada, bukan sebaliknya. Saya tak pernah berhenti mengabdi untuk anak-anak Air Kelubi yang saya cintai ini,” jelasnya seraya mengatakan dulu sempat dicurugai, sekarang alhamdulillah mulai dihargai.***
Quote:
Quote:
Sungguh mulia niat ibu ningsih ini untuk memerangi kebodohan,semoga semua kebaikan yang beliau lakukan atas dasar ikhlas tanpa ada embel2 dan maksud tertentu,LANJUTKAN PERJUANGANMU BUK..
Quote:
KASKUSER YANG BAIK ADALAH KASKUSER YANG MEMBUDAYAKAN KOMENTAR dan MEMBERI
,juga MEMBERI 


0
2.4K
Kutip
15
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan