TS
parfaitkun
Si Peniup Terompet
cerita yang ga jadi aku submit ke NusLit karena tarsok dan merasa lebih mirip dongeng ala Barat dibandingkan cerita rakyat Indonesia
btw akhirnya kelar 16 halaman lebih dikit dari templatenya, jadi kalopun ga tarsok tetap aja ga memenuhi syarat
silakan dibaca, dan ditunggu komen atau cendolnya
Tuba adalah seorang petani di sebuah desa di tepi Kerajaan Musika. Pekerjaannya tiap hari adalah bergulat melawan lumpur, hama, dan gulma di lahan miliknya. Kadang ketika pekerjaan di lahannya sudah selesai—dan karena tekanan ekonomi sebenarnya, dia bekerja serabutan di tanah milik petani atau tuan tanah lain, memotong daun pisang, menyiangi tanaman, dan pekerjaan buruh lainnya.
“Kenapa aku lahir di keluarga seperti ini?” keluhnya siang itu, sama seperti hari-hari sebelumnya. Bukannya dia tidak bekerja, dia bekerja tiap hari—giat malah, tapi tampaknya itu saja tidak cukup membantunya lepas dari situasi tersebut.
Seakan menjawab keluhannya, suara terompet mengalun keras dan menggema ke seluruh desa. Suara tanda akan dilakukannya pengumuman oleh pembawa pesan Kerajaan. Setelah beberapa saat, akhirnya lagu yang dibawakan selesai, dan si pembawa pesan menggunakan pengeras suara yang suaranya bisa mencapai ke pinggir hutan di tepi desa untuk mengumumkan bahwa akan ada pengumuman yang dilakukan di tanah lapang depan balai desa, dan seluruh warga diharapkan datang ke sana.
“Kenapa tidak langsung diumumkan pake pengeras suara itu langsung?” kata Tuba sinis.
Awalnya Tuba enggan pergi ke tanah lapang itu; semua pengumuman biasanya tentang lomba atau pesta di istana. Dia tidak memiliki kemampuan yang biasa dilombakan, biasanya berpedang, memanah, atau kemampuan kesatria lainnya, dan dia tidak punya baju yang layak untuk pesta-pesta di istana. Tetapi melihat sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan di lahannya, dan kemungkinan besar pemilik tanah lain juga “meliburkan” pekerja mereka karena pengumuman ini, dia berpikir bahwa tidak ada salahnya mendengar apa yang akan diumumkan hari ini.
Lapangan sudah dipadati warga ketika Tuba tiba. Dia tidak bisa maju lebih jauh dari satu meter dari gerbang ke tanah lapang—dan dia memang tidak berniat maju. Yang terlihat dari si pembawa pesan dari tempat Tuba berada hanyalah kepalanya, meskipun si pembawa pesan sudah berdiri di atas panggung kayu kecil.
Setelah beberapa tiupan terompet dan pengulangan pengumuman melalui pengeras suara, akhirnya tibalah waktu bagi si pembawa pesan untuk mengumumkan pesan yang dibawanya. Dia membuka gulungan perkamen dengan segel kerajaan dengan khidmat dan mulai membacakan isinya.
“Warga Kerajaan Musika, semoga kemakmuran terus menyelimuti kita.
Aku, Baginda Raja, ingin merayakan ulang tahunku dan putriku yang jatuh pada tanggal yang sama. Karena ini, aku mengundang seluruh warga untuk berpartisipasi dalam pesta yang akan diadakan minggu depan di Istana.”
Sorak sorai warga terdengar riuh, beberapa bersiul dengan suara melengking. Si pembawa pesan menunggu hingga ketenangan kembali, lalu kembali melanjutkan pengumuman.
“Selain pesta, juga diadakan lomba-lomba yang boleh diikuti siapa saja. Dari lomba-lomba itu, yang paling utama adalah lomba alat musik tiup. Pemenang lomba ini akan dipekerjakan sebagai pembawa pesan kerajaan dan berkesempatan untuk meminang putriku. Pendaftaran dibuka sejak diumumkan dan berakhir satu hari sebelum hari-H.
Warga Kerajaan Musika, semoga kemakmuran terus menyelimuti kita.
Aku dan keluargaku dengan senang hati menunggu kalian di Istana minggu depan.”
Ketika si pembawa pesan mulai menggulung kembali pesan dari Sang Raja, tidak ada sorak sorai atau bahkan sedikit suara pun. Semua warga, terutama lelaki yang masih lajang, terbengong dan melongo mendengar pengumuman barusan. Hanya setelah si pembawa pesan turun dari panggung dan menaiki kuda putihnya baru mereka mulai sadar dari keterkejutan mereka.
Bagaimana tidak, jika lomba-lomba sebelum ini hanya memberikan uang atau tanah sekali saja, lomba kali ini memberikan kesempatan untuk merubah nasib siapa saja: Si pemenang dipekerjakan oleh Kerajaan, dan jika beruntung bahkan bisa menjadi keluarga Kerajaan.
Bahkan Tuba yang tidak pernah tertarik dengan pengumuman dari Kerajaan pun mulai memutar otaknya. Dia tidak bisa melewatkan kesempatan ini begitu saja. Aku harus memenangkan ini, pikirnya.
Tapi apa yang bisa dilakukan Tuba? Dia hanyalah petani yang sama sekali tidak memiliki kemampuan bermusik; dia bahkan belum pernah menyentuh alat musik apa pun.
“Saat seperti ini, aku harus meminta bantuan dari Magia si Penyihir.”
btw akhirnya kelar 16 halaman lebih dikit dari templatenya, jadi kalopun ga tarsok tetap aja ga memenuhi syarat
silakan dibaca, dan ditunggu komen atau cendolnya
Spoiler for :
Tuba adalah seorang petani di sebuah desa di tepi Kerajaan Musika. Pekerjaannya tiap hari adalah bergulat melawan lumpur, hama, dan gulma di lahan miliknya. Kadang ketika pekerjaan di lahannya sudah selesai—dan karena tekanan ekonomi sebenarnya, dia bekerja serabutan di tanah milik petani atau tuan tanah lain, memotong daun pisang, menyiangi tanaman, dan pekerjaan buruh lainnya.
“Kenapa aku lahir di keluarga seperti ini?” keluhnya siang itu, sama seperti hari-hari sebelumnya. Bukannya dia tidak bekerja, dia bekerja tiap hari—giat malah, tapi tampaknya itu saja tidak cukup membantunya lepas dari situasi tersebut.
Seakan menjawab keluhannya, suara terompet mengalun keras dan menggema ke seluruh desa. Suara tanda akan dilakukannya pengumuman oleh pembawa pesan Kerajaan. Setelah beberapa saat, akhirnya lagu yang dibawakan selesai, dan si pembawa pesan menggunakan pengeras suara yang suaranya bisa mencapai ke pinggir hutan di tepi desa untuk mengumumkan bahwa akan ada pengumuman yang dilakukan di tanah lapang depan balai desa, dan seluruh warga diharapkan datang ke sana.
“Kenapa tidak langsung diumumkan pake pengeras suara itu langsung?” kata Tuba sinis.
Awalnya Tuba enggan pergi ke tanah lapang itu; semua pengumuman biasanya tentang lomba atau pesta di istana. Dia tidak memiliki kemampuan yang biasa dilombakan, biasanya berpedang, memanah, atau kemampuan kesatria lainnya, dan dia tidak punya baju yang layak untuk pesta-pesta di istana. Tetapi melihat sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan di lahannya, dan kemungkinan besar pemilik tanah lain juga “meliburkan” pekerja mereka karena pengumuman ini, dia berpikir bahwa tidak ada salahnya mendengar apa yang akan diumumkan hari ini.
Lapangan sudah dipadati warga ketika Tuba tiba. Dia tidak bisa maju lebih jauh dari satu meter dari gerbang ke tanah lapang—dan dia memang tidak berniat maju. Yang terlihat dari si pembawa pesan dari tempat Tuba berada hanyalah kepalanya, meskipun si pembawa pesan sudah berdiri di atas panggung kayu kecil.
Setelah beberapa tiupan terompet dan pengulangan pengumuman melalui pengeras suara, akhirnya tibalah waktu bagi si pembawa pesan untuk mengumumkan pesan yang dibawanya. Dia membuka gulungan perkamen dengan segel kerajaan dengan khidmat dan mulai membacakan isinya.
“Warga Kerajaan Musika, semoga kemakmuran terus menyelimuti kita.
Aku, Baginda Raja, ingin merayakan ulang tahunku dan putriku yang jatuh pada tanggal yang sama. Karena ini, aku mengundang seluruh warga untuk berpartisipasi dalam pesta yang akan diadakan minggu depan di Istana.”
Sorak sorai warga terdengar riuh, beberapa bersiul dengan suara melengking. Si pembawa pesan menunggu hingga ketenangan kembali, lalu kembali melanjutkan pengumuman.
“Selain pesta, juga diadakan lomba-lomba yang boleh diikuti siapa saja. Dari lomba-lomba itu, yang paling utama adalah lomba alat musik tiup. Pemenang lomba ini akan dipekerjakan sebagai pembawa pesan kerajaan dan berkesempatan untuk meminang putriku. Pendaftaran dibuka sejak diumumkan dan berakhir satu hari sebelum hari-H.
Warga Kerajaan Musika, semoga kemakmuran terus menyelimuti kita.
Aku dan keluargaku dengan senang hati menunggu kalian di Istana minggu depan.”
Ketika si pembawa pesan mulai menggulung kembali pesan dari Sang Raja, tidak ada sorak sorai atau bahkan sedikit suara pun. Semua warga, terutama lelaki yang masih lajang, terbengong dan melongo mendengar pengumuman barusan. Hanya setelah si pembawa pesan turun dari panggung dan menaiki kuda putihnya baru mereka mulai sadar dari keterkejutan mereka.
Bagaimana tidak, jika lomba-lomba sebelum ini hanya memberikan uang atau tanah sekali saja, lomba kali ini memberikan kesempatan untuk merubah nasib siapa saja: Si pemenang dipekerjakan oleh Kerajaan, dan jika beruntung bahkan bisa menjadi keluarga Kerajaan.
Bahkan Tuba yang tidak pernah tertarik dengan pengumuman dari Kerajaan pun mulai memutar otaknya. Dia tidak bisa melewatkan kesempatan ini begitu saja. Aku harus memenangkan ini, pikirnya.
Tapi apa yang bisa dilakukan Tuba? Dia hanyalah petani yang sama sekali tidak memiliki kemampuan bermusik; dia bahkan belum pernah menyentuh alat musik apa pun.
“Saat seperti ini, aku harus meminta bantuan dari Magia si Penyihir.”
0
1K
Kutip
6
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan