TS
kenyot10
5 Oktober 2012, TNI di Ujung Putaran Titik Balik Represi
KontraS dan Imparsial, mengucapkan Dirgahayu ke-67 TNI pada 5 Oktober 2012. Memasuki usia tersebut TNI sebagai tentara kebangsaan diharapkan dapat lebih profesional dalam mempertahankan negara. Sejumlah prestasi telah tercatat, namun demikian masih terdapat sejumlah permasalahan yang menuntut perbaikan. Untuk itu, adalah penting bagi kami untuk memberikan sejumlah catatan bagi institusi TNI, terutama pada masa satu tahun terakhir.
Pertama, Kontrol Sipil terhadap TNI
Kontrol sipil terhadap militer, dalam hal ini TNI, adalah sebuah syarat penting dalam demokratisasi. Catatan kami hal ini tidak berjalan dengan baik. Kontrol sipil terhadap TNI sangat lemah dan cenderung tidak berjalan. Meski Undang-Undang telah memberikan kepastian secara hukum. Dalam UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara ditegaskan bahwa Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan Parlemen memegang penuh kontrol terhadap TNI. Faktanya, terjadi sikap afirmatif yang acapkali ditunjukkan Kemhan terhadap TNI dan menjadikan Kemhan lemah, dan cenderung menjadi corong suara TNI. Lebih gawatnya, Kemhan yang seharusnya melakukan kontrol efektif terhadap TNI, malah berupaya memberikan tempat eksisnya TNI ke ruang sipil dan politik. Hal itu bisa dilihat dari sejumlah RUU yang coba didorong dan dipaksakan Kemhan untuk dibahas di parlemen meski bermasalah. Misalnya lewat RUU Keamanan Nsional dan RUU Komponen Cadagngan Pertahanan Negara (KCPN).
Setali tiga uang dengan Kemhan, Parlemen pun lunglai. Meski parlemen memiliki fungsi pengawasan dan kontrol melalui anggaran dan legislasi, tetapi fungsi tersebut tidak dilakukan secara efektif dan maksimal dalam mendorong agenda reformasi dan kontrol institusi yang signifikan. Parlemen sebaliknya acapkali menjadi bagian dari aktor yang turut menghambat dengan tidak menjalankan agenda reformasi TNI yang telah ditetapkan. Misalnya, terkait pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM, tranparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan alutsista, serta terhadap kebijakan pemerintah di bidang pertahanan yang membuka peluang terjadinya pelanggaran HAM. Bahkan, parlemen hingga kini masih memiliki hutang terkait agenda reformasi peradilan militer yang sebagaimana diketahui menjadi sarang impunitas dari pelanggaran HAM oleh anggota TNI.
Kedua, Pengadaan Alutsista
Pengembangan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) sebagai bagian dari upaya modernisasi dan penguatan pertahanan Indonesia tidak berjalan transparan dan tidak akuntabel, serta cenderung menyimpang dari kebijakan pembangunan postur pertahanan yang tetap ditetapkan. Hal itu bisa dilihat dalam dua kasus yang menjadi sorotan publik, yakni terkait pengadaan jet Sukhoi 30 MK2 dari Rusia dan Main Battle Tank Leopard dari Jerman.
Dalam pengadaan Jet Sukhoi 30 MK2 produksi PT Rosoboronexport Rusia mengindikasikan terjadinya ketidakwajaran dalam harga. Hal itu tidak lepas dari langkah Kemhan yang dalam pengadaannya lebih memilih menggunakan fasilitas komersial kredit daripada state credit, sehingga membuka ruang bagi masuknya pihak ketiga, yakni agen atau broker dalam pengadaan Sukhoi (PT Trimarga Rekatama). Adanya keterlibatan pihak ketiga ini diduga telah membuat harga jet tempur Sukhoi menjadi tidak wajar. Sikap dan langkah Kemhan yang ngotot untuk menggunakan kredit komersial ini juga membuktikan bahwa pemerintah memang terus membuka ruang bagi hadirnya broker dalam pengadaan Alutsista, yang jelas-jelas keterlibatannya menimbulkan banyak masalah.
Kasus berikutnya adalah pengadaan Main Battle Tank (MBT) Leopard yang awalnya akan dilakukan dari Belanda tetapi kemudian beralih ke Jerman. Dalam buku Postur Pertahanan yang diterbitkan Kemhan tahun 2007, diketahui bahwa pembelian MBT tidak termasuk dalam rencana kebijakan hingga tahun 2025. Oleh karena itu, langkah membeli MBT Leopard ini jelas memperlihatkan wujud inkonsistensi dan penyimpangan dari kebijakan yang dibuat oleh Kemhan. Apalagi pembelian MBT ini juga tidak mendesak dan terkesan dipaksakan. Selain itu secara teknis, keberadaan alutsista tersebut memiliki kendala operasional untuk digunakan di Indonesia, baik itu kendala geografis, infrastruktur dan doktrin, serta komponen pendukung lainnya.
Parahnya, berbagai kritik yang dilontarkan oleh masyarakat sipil terkait pengadaan Alutsista ini justru direspons secara tidak proporsional oleh Kemhan. Sikap Kemhan cenderung arogan dan anti kritik di dalam merespons kritik masyarakat sipil. Hal itu dapat dilihat dalam kasus yang dialami oleh Al-Araf, yang hanya karena mengkritik kebijakan pembelian Jet tempur Sukhoi dan MBT Leopard melalui tulisan di media massa, Kementerian Pertahanan melalui Universitas Pertahanan Indonesia memberhentikannya dari kegiatan belajar mengajar, baik sebagai dosen maupun pembimbing tesis.
Ketiga, Legislasi Represi
Reformasi TNI melalui sektor legislasi juga bermasalah karena dalam kenyataannya legislasi ini tidak digunakan sebagai instrumen membangun akuntabilitas dan penuntasan agenda reformasi TNI, seperti mendorong reformasi Peradilan Militer atau regulasi lain yang telah dimandatkan. Sebaliknya, proses legislasi melahirkan sejumlah regulasi yang bukan hanya mengembalikan TNI ke ranah sipil dan politik, tetapi juga memunculkan regulasi yang bersifat represif. Hal itu bisa dilihat dari munculnya UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS) di tengah kritik dan penolakan masyarakat sipil. Disaat bersamaan, pemerintah kembali mengajukan RUU Keamanan Nasional yang bermasalah yang dahulu oleh parlemen telah dikembalikan untuk diperbaiki. RUU ini sama sekali tidak mengalami perubahan substantif sebagaimana rekomendasi parlemen terdahulu. Baik UU PKS dan RUU Keamanan Nasional tersebut bernuansa sekuritisasi dan memberikan ruang bagi TNI untuk kembali masuk ke dalam ranah kontrol sipil dan politik.
Selain berbagai permasalahan di atas, catatan lain yang penting untuk diingatkan bahwa hingga saat ini sejumlah agenda reformasi TNI lainnya yang dimandatkan masih banyak terbengkalai. Selain revisi UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mandek, juga ada agenda restrukturisasi komando teritorial, belum tuntasnya penghapusan bisnis militer, termasuk pengungkapan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI di masa lalu. Selain itu, peningkatan kesejahteraan prajurit TNI juga tidak menjadi perhatian besar baik oleh parlemen atau pemerintah, meski anggaran pertahanan di APBN 2013 meningkat menjadi menjadi Rp 77,7 triliun yang 50% dari total keseluruhan akan dialokasinya untuk Alutsista.
Keempat, Kekerasan (Anggota) TNI
Terhitung dari Oktober 2011-September 2012, KontraS mencatat sekitar 81 peristiwa kekerasan dilakukan oleh anggota TNI diberbagai tempat, antara lain; Papua, Aceh, Surabaya, Padang, Kalimantan Barat, dan daerah lainnya, termasuk DKI Jakarta. Motif kekerasannya beragam, mulai dari persoalan pribadi seperti tersinggung atau merasa tidak dihargai, atau juga karena pengaruh alkohol (mabuk), bentuk solidaritas bela korps yang berlebihan, kekerasan terhadap pekerja pers, dan kekerasan saat operasi militer atau saat sedang bertugas. Pola-pola kekerasan, seperti penganiayaan, penyiksaan, penembakan, pembunuhan, perampasan, pembakaran dan pengerusakan masih lazim dilakukan dalam menjalankan aksinya.
Di bawah ini adalah uraian peristiwa kekerasan aparat TNI yang dilakukan dalam konteks masa bertugas atau sebuah operasi militer. Selain itu, dalam laporan ini juga menguraikan kekerasan yang dilakukan karena persoalan personal tentara.
1. Kekerasan di Papua
Kami mencatat 5 orang tewas, 39 orang luka serius dalam operasi militer dan penyerangan di Papua. Jumlah tersebut diambil dari beberapa peristiwa kekerasan di Papua. Antara lain pembubaran Kongres III Rakyat Papua di Abepura, 19 Oktober 2011. Dalam pembubaran tersebut, pasukan gabungan Kopassus, TNI AL, AD dan Polisi menembak, dan menyiksa peserta kongres. Akibatnya 3 orang tewas, 3 orang luka tembak, 11 orang mengalami penyiksaan dengan popor senjata, pukulan dan benda tumpul. Pada 2 Nov 2012, di Kabupaten Jayawijaya, anggota TNI Yonif 756 Kurulu, menangkap dan menyiksa 12 warga dengan pisau bayonet. Dalam operasi yang lain, 25 November 2011, pasukan gabungan TNI/Polri menembak mati Kendiman Wenda di Mulia, Puncak Jaya. Pada 6 Juni 2012, puluhan personel TNI Yonif 756/Wamena melakukan aksi balas dendam atas pengeroyokan teman mereka oleh warga Kampung Honay Lama, Wamena; 1 warga tewas, 13 orang luka tusuk, 31 rumah penduduk, 9 kios, 24 rumah sehat, 3 mobil, 8 motor dibakar serta 23 rumah sehat dirusak. Pada 21 Agustus 2012, anggota TNI bersama personil Brimob menganiaya pasien dengan mencabut selang infus di RSUD Paniai. Mengancam petugas rumah sakit dan menyuruh meninggalkan rumah sakit, merusak fasilitas umum, membakar 5 rumah warga dan 2 speedboot milik warga.
2. Kekerasan terhadap jurnalis
Kekerasan terhadap jurnalis terjadi di Sumatra Barat dan Kepulauan Riau. Di Sumatra Barat, tepatnya Kelurahan Gates Nan XX, Kecamatan Lubuk Begalung, Kota Padang, puluhan personil TNI AL menganiaya 6 orang jurnalis dan merusak kamera saat sedang meliput penggusuran pondok mesum di sepanjang kawasan Bungus oleh Satpol PP. Keenam jurnalis itu mengalami luka-luka serius karena dipukul, ditendang. Sementara di Kepulauan Riau, anggota TNI menganiaya seorang jurnalis Pos Metro Batam dan merusak kamera milik korban saat mengambil gambar di sebuah SPBU Villa Mukakuning Paradise Batuaji, Batam. Pelaku melarang jurnalis mengambil gambar di area tersebut.
Pertama, Kontrol Sipil terhadap TNI
Kontrol sipil terhadap militer, dalam hal ini TNI, adalah sebuah syarat penting dalam demokratisasi. Catatan kami hal ini tidak berjalan dengan baik. Kontrol sipil terhadap TNI sangat lemah dan cenderung tidak berjalan. Meski Undang-Undang telah memberikan kepastian secara hukum. Dalam UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara ditegaskan bahwa Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan Parlemen memegang penuh kontrol terhadap TNI. Faktanya, terjadi sikap afirmatif yang acapkali ditunjukkan Kemhan terhadap TNI dan menjadikan Kemhan lemah, dan cenderung menjadi corong suara TNI. Lebih gawatnya, Kemhan yang seharusnya melakukan kontrol efektif terhadap TNI, malah berupaya memberikan tempat eksisnya TNI ke ruang sipil dan politik. Hal itu bisa dilihat dari sejumlah RUU yang coba didorong dan dipaksakan Kemhan untuk dibahas di parlemen meski bermasalah. Misalnya lewat RUU Keamanan Nsional dan RUU Komponen Cadagngan Pertahanan Negara (KCPN).
Setali tiga uang dengan Kemhan, Parlemen pun lunglai. Meski parlemen memiliki fungsi pengawasan dan kontrol melalui anggaran dan legislasi, tetapi fungsi tersebut tidak dilakukan secara efektif dan maksimal dalam mendorong agenda reformasi dan kontrol institusi yang signifikan. Parlemen sebaliknya acapkali menjadi bagian dari aktor yang turut menghambat dengan tidak menjalankan agenda reformasi TNI yang telah ditetapkan. Misalnya, terkait pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM, tranparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan alutsista, serta terhadap kebijakan pemerintah di bidang pertahanan yang membuka peluang terjadinya pelanggaran HAM. Bahkan, parlemen hingga kini masih memiliki hutang terkait agenda reformasi peradilan militer yang sebagaimana diketahui menjadi sarang impunitas dari pelanggaran HAM oleh anggota TNI.
Kedua, Pengadaan Alutsista
Pengembangan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) sebagai bagian dari upaya modernisasi dan penguatan pertahanan Indonesia tidak berjalan transparan dan tidak akuntabel, serta cenderung menyimpang dari kebijakan pembangunan postur pertahanan yang tetap ditetapkan. Hal itu bisa dilihat dalam dua kasus yang menjadi sorotan publik, yakni terkait pengadaan jet Sukhoi 30 MK2 dari Rusia dan Main Battle Tank Leopard dari Jerman.
Dalam pengadaan Jet Sukhoi 30 MK2 produksi PT Rosoboronexport Rusia mengindikasikan terjadinya ketidakwajaran dalam harga. Hal itu tidak lepas dari langkah Kemhan yang dalam pengadaannya lebih memilih menggunakan fasilitas komersial kredit daripada state credit, sehingga membuka ruang bagi masuknya pihak ketiga, yakni agen atau broker dalam pengadaan Sukhoi (PT Trimarga Rekatama). Adanya keterlibatan pihak ketiga ini diduga telah membuat harga jet tempur Sukhoi menjadi tidak wajar. Sikap dan langkah Kemhan yang ngotot untuk menggunakan kredit komersial ini juga membuktikan bahwa pemerintah memang terus membuka ruang bagi hadirnya broker dalam pengadaan Alutsista, yang jelas-jelas keterlibatannya menimbulkan banyak masalah.
Kasus berikutnya adalah pengadaan Main Battle Tank (MBT) Leopard yang awalnya akan dilakukan dari Belanda tetapi kemudian beralih ke Jerman. Dalam buku Postur Pertahanan yang diterbitkan Kemhan tahun 2007, diketahui bahwa pembelian MBT tidak termasuk dalam rencana kebijakan hingga tahun 2025. Oleh karena itu, langkah membeli MBT Leopard ini jelas memperlihatkan wujud inkonsistensi dan penyimpangan dari kebijakan yang dibuat oleh Kemhan. Apalagi pembelian MBT ini juga tidak mendesak dan terkesan dipaksakan. Selain itu secara teknis, keberadaan alutsista tersebut memiliki kendala operasional untuk digunakan di Indonesia, baik itu kendala geografis, infrastruktur dan doktrin, serta komponen pendukung lainnya.
Parahnya, berbagai kritik yang dilontarkan oleh masyarakat sipil terkait pengadaan Alutsista ini justru direspons secara tidak proporsional oleh Kemhan. Sikap Kemhan cenderung arogan dan anti kritik di dalam merespons kritik masyarakat sipil. Hal itu dapat dilihat dalam kasus yang dialami oleh Al-Araf, yang hanya karena mengkritik kebijakan pembelian Jet tempur Sukhoi dan MBT Leopard melalui tulisan di media massa, Kementerian Pertahanan melalui Universitas Pertahanan Indonesia memberhentikannya dari kegiatan belajar mengajar, baik sebagai dosen maupun pembimbing tesis.
Ketiga, Legislasi Represi
Reformasi TNI melalui sektor legislasi juga bermasalah karena dalam kenyataannya legislasi ini tidak digunakan sebagai instrumen membangun akuntabilitas dan penuntasan agenda reformasi TNI, seperti mendorong reformasi Peradilan Militer atau regulasi lain yang telah dimandatkan. Sebaliknya, proses legislasi melahirkan sejumlah regulasi yang bukan hanya mengembalikan TNI ke ranah sipil dan politik, tetapi juga memunculkan regulasi yang bersifat represif. Hal itu bisa dilihat dari munculnya UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS) di tengah kritik dan penolakan masyarakat sipil. Disaat bersamaan, pemerintah kembali mengajukan RUU Keamanan Nasional yang bermasalah yang dahulu oleh parlemen telah dikembalikan untuk diperbaiki. RUU ini sama sekali tidak mengalami perubahan substantif sebagaimana rekomendasi parlemen terdahulu. Baik UU PKS dan RUU Keamanan Nasional tersebut bernuansa sekuritisasi dan memberikan ruang bagi TNI untuk kembali masuk ke dalam ranah kontrol sipil dan politik.
Selain berbagai permasalahan di atas, catatan lain yang penting untuk diingatkan bahwa hingga saat ini sejumlah agenda reformasi TNI lainnya yang dimandatkan masih banyak terbengkalai. Selain revisi UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mandek, juga ada agenda restrukturisasi komando teritorial, belum tuntasnya penghapusan bisnis militer, termasuk pengungkapan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI di masa lalu. Selain itu, peningkatan kesejahteraan prajurit TNI juga tidak menjadi perhatian besar baik oleh parlemen atau pemerintah, meski anggaran pertahanan di APBN 2013 meningkat menjadi menjadi Rp 77,7 triliun yang 50% dari total keseluruhan akan dialokasinya untuk Alutsista.
Keempat, Kekerasan (Anggota) TNI
Terhitung dari Oktober 2011-September 2012, KontraS mencatat sekitar 81 peristiwa kekerasan dilakukan oleh anggota TNI diberbagai tempat, antara lain; Papua, Aceh, Surabaya, Padang, Kalimantan Barat, dan daerah lainnya, termasuk DKI Jakarta. Motif kekerasannya beragam, mulai dari persoalan pribadi seperti tersinggung atau merasa tidak dihargai, atau juga karena pengaruh alkohol (mabuk), bentuk solidaritas bela korps yang berlebihan, kekerasan terhadap pekerja pers, dan kekerasan saat operasi militer atau saat sedang bertugas. Pola-pola kekerasan, seperti penganiayaan, penyiksaan, penembakan, pembunuhan, perampasan, pembakaran dan pengerusakan masih lazim dilakukan dalam menjalankan aksinya.
Di bawah ini adalah uraian peristiwa kekerasan aparat TNI yang dilakukan dalam konteks masa bertugas atau sebuah operasi militer. Selain itu, dalam laporan ini juga menguraikan kekerasan yang dilakukan karena persoalan personal tentara.
1. Kekerasan di Papua
Kami mencatat 5 orang tewas, 39 orang luka serius dalam operasi militer dan penyerangan di Papua. Jumlah tersebut diambil dari beberapa peristiwa kekerasan di Papua. Antara lain pembubaran Kongres III Rakyat Papua di Abepura, 19 Oktober 2011. Dalam pembubaran tersebut, pasukan gabungan Kopassus, TNI AL, AD dan Polisi menembak, dan menyiksa peserta kongres. Akibatnya 3 orang tewas, 3 orang luka tembak, 11 orang mengalami penyiksaan dengan popor senjata, pukulan dan benda tumpul. Pada 2 Nov 2012, di Kabupaten Jayawijaya, anggota TNI Yonif 756 Kurulu, menangkap dan menyiksa 12 warga dengan pisau bayonet. Dalam operasi yang lain, 25 November 2011, pasukan gabungan TNI/Polri menembak mati Kendiman Wenda di Mulia, Puncak Jaya. Pada 6 Juni 2012, puluhan personel TNI Yonif 756/Wamena melakukan aksi balas dendam atas pengeroyokan teman mereka oleh warga Kampung Honay Lama, Wamena; 1 warga tewas, 13 orang luka tusuk, 31 rumah penduduk, 9 kios, 24 rumah sehat, 3 mobil, 8 motor dibakar serta 23 rumah sehat dirusak. Pada 21 Agustus 2012, anggota TNI bersama personil Brimob menganiaya pasien dengan mencabut selang infus di RSUD Paniai. Mengancam petugas rumah sakit dan menyuruh meninggalkan rumah sakit, merusak fasilitas umum, membakar 5 rumah warga dan 2 speedboot milik warga.
2. Kekerasan terhadap jurnalis
Kekerasan terhadap jurnalis terjadi di Sumatra Barat dan Kepulauan Riau. Di Sumatra Barat, tepatnya Kelurahan Gates Nan XX, Kecamatan Lubuk Begalung, Kota Padang, puluhan personil TNI AL menganiaya 6 orang jurnalis dan merusak kamera saat sedang meliput penggusuran pondok mesum di sepanjang kawasan Bungus oleh Satpol PP. Keenam jurnalis itu mengalami luka-luka serius karena dipukul, ditendang. Sementara di Kepulauan Riau, anggota TNI menganiaya seorang jurnalis Pos Metro Batam dan merusak kamera milik korban saat mengambil gambar di sebuah SPBU Villa Mukakuning Paradise Batuaji, Batam. Pelaku melarang jurnalis mengambil gambar di area tersebut.
0
6.1K
26
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan