Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

doyojogjaAvatar border
TS
doyojogja
Dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) industri strategis kembali menggeliat.
Denyut Anyar Proyek Berkibar


Dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) industri strategis kembali menggeliat. Komitmen pemerintah menjadi sandaran utama.
Hanggar besar berukuran hampir seratus hektare terhampar di kompleks pabrik PT. Dirgantara Indonesia (PT DI). Suara mesin yang menderu, mata bor yang menembus baja, dan logamlogam yang saling beradu, seakan menjadi irama bagi dua ratusan pekerja di dalam gedung itu.

Selasa pekan lalu itu, mereka tengah bekerja menyiapkan komponen sayap pesanan Airbus SAS, produsen pesawat komersial yang berbasis di Toulouse, Prancis. Sejak 2002, PT DI menjadi satu-satunya pemasok komponen sayap pesawat Airbus A380 di dunia ini.

Dengan kapasitas produksi satu unit setiap bulannya, hingga saat ini PT DI telah mengirimkan lebih dari 135 unit. “Kita kirim ke Inggris untuk kemudian dirakit di Toulouse,” kata Rakhendi Triatna, staf Humas PT DI kepada Prioritas Selasa pekan lalu.

Kesibukan para pekerja PT DI tidak hanya terlihat di gedung pertama kompleks pabrik yang terletak di Pajajaran, Bandung, Jawa Barat, tersebut. Memasuki gedung lainnya, para pekerja unit pengendalian mutu misalnya, tampak menyisir satu per satu komponen yang telah selesai dibuat. “Sekarang kewalahan, dulu tidak sesibuk ini,” ujar salah seorang pekerja di bagian itu.

Tahun ini, kata Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, PT DI sangat bergairah. “Sangat hidup dan pekerjaannya luar biasa banyak,” kata dia kepada Prioritas, Kamis pekan lalu. Menurut Dahlan, sejak pertama kali PT DI berdiri pada 1976 hingga kini, belum pernah mengerjakan proyek dengan nilai sebesar saat ini.

Sonny Saleh Ibrahim, Asisten Direktur Utama Bidang Sistem Manajemen Mutu Perusahaan yang merangkap Asisten Direktur Umum bidang Komunikasi, menyebutkan tahun ini PT DI telah mendapat kontrak dengan nilai Rp 8,27 triliun. “Ini di luar proyek yang selama ini sudah berjalan seperti produksi pesanan komponen- komponen pesawat dari Airbus, Helikopter Super Puma,” kata Sonny.

Geliat baru itu menjadi tanda bagi kebangkitan perusahaan tersebut. Sebelumnya, pada 1998, PT DI sempat terseok ketika krisis moneter melanda dan pemerintah Indonesia menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan International Monetary Fund (IMF). Dalam LoI tersebut, pemerintah Indonesia tidak diperkenankan untuk mengucurkan dana lagi ke perusahaan yang di masa lalu bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) itu. “PT DI harus dikorbankan untuk kepentingan nasional,” kata Sonny.

Sejak itu, kondisi PT DI seperti tak berhenti dirundung masalah. Beban keuangan masa lalu akibat proyek-proyek yang berhenti, menjadi hutang yang harus dipikul. Bahkan, PT DI sempat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta setelah sejumlah mantan karyawan menggugatnya.

Untuk bertahan, PT DI memberdayakan mesin-mesin dan insinyur yang mereka miliki untuk membuat cetakan panci dan parabola. Cetakan panci dijual seharga Rp 600 juta per unit. “Kita bikin cetakan 1-2 unit, tapi diomongin semua orang,” kata Sonny seraya tertawa.

Mereka juga menerima pesanan cetakan untuk memproduksi kopling Toyota Celica. Bahkan, mereka menjual tenaga kerja ke Prancis, Inggris, Jerman dan Amerika Serikat. “Mirip perusahaan outsourcing,” ujarnya.

Sejumlah upaya tersebut dipilih PT DI untuk bertahan di tengah gempuran krisis. Namun PT DI tetap tak berdaya. “Dari 15.600 karyawan, kita pensiun dinikan hingga (tersisa) 9000 karyawan,” kata Sonny. “Lalu ditambah merumahkan karyawan, hingga hanya tersisa 3000 orang.”

Menurut Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia PT DI Sukatwikanto, menggeliatnya kembali PT DI terjadi setelah program Restrukturisasi dan Revitalisas (R/R) disetujui oleh pemerintah dan DPR pada 2011. Program tersebut menyepakati penyediaan dana Rp 675 miliar yang digunakan untuk menutup defisit cashflow PT DI. “Ada kesadaran baik di pemerintah maupun di DPR bahwa bangsa ini harus mempertahankan industri strategis,” ujar Sukatwikanto.

PT DI tidak menggeliat sendirian. PT PINDAD, perusahaan milik negara yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista), menunjukkan gejala serupa. Baru-baru ini, pemerintah Irak dikabarkan tertarik menjalin kerja sama industri militer dengan PINDAD. “Mereka akan datang awal Oktober nanti sehingga bisa didefinisikan mereka tertarik barang kita apa saja,” kata Adik Avianto, Direktur Utama PINDAD.

Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin terhitung gencar memperkenalkan PINDAD ke luar negeri. “Setiap ada pertemuan militer, beliau selalu membawa kerjasama industri militer, bukan hanya kerjasama militer,” kata Adik.

Sjafrie menceritakan, pihaknya menggunakan kerja sama militer sebagai poros utama untuk menawarkan partisipasi produk militer Indonesia. Selain itu, Senapan Serbu generasi 2 (SS 2) produksi PINDAD dianggap yang terbaik di kelasnya dan menjadi standar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). “Saya yakinkan Irak dengan kualitas dan harga bersaing, (juga) dengan (kesamaan) latar penduduk yang mayoritas muslim,” ujarnya.

Menurut Adik, geliat baru ini seharusnya diiringi dengan perbaikan banyak hal. Perhatian pemerintah terhadap industri strategis seperti PINDAD telah cukup baik. Namun Adik kerap merasa disulitkan oleh panjangnya birokrasi dan proses administrasi. “Ini makan biaya dan memberatkan,” katanya.

sumber berita
0
2.1K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan