Sharp Jepang Gadaikan Mayoritas Gedung dan Pabriknya
TS
Fx-Zero
Sharp Jepang Gadaikan Mayoritas Gedung dan Pabriknya
KOMPAS.com - Perusahaan elektronik Sharp Jepang menggadaikan mayoritas gedung dan pabriknya untuk mengamankan pinjaman dana segar perbankan. Di Jepang, pasokan LCD tengah berlimpah. Hal itulah yang membuat Sharp Negeri Sakura keteteran keuangan.
Sharp Jepang menggadaikan gedung kantor pusatnya di Osaka dan pabrik utamanya di Kota Kameyama di Prefektorat Mie. Pabrik tersebut adalah andalan Sharp untuk produksi panel LCD. Total nilai jaminan gedung itu mencapai 150 miliar yen atau sekitar 1,92 miliar dollar AS. Sharp Jepang berharap jaminan itu bisa meloloskan skema kredit dari Mizuho Financial Group dan Mitsubishi UFJ Financial Group. Pihak perbankan menerima permohonan itu pada akhir bulan silam, tulis media lokal sebagaimana dilansir Xinhua pada Kamis (6/9/2012).
Sementara itu, Sharp Jepang juga tengah menantikan suntikan dana segar dari mitra bisnisnya asal Taiwan, Hon Hai Precision Industry Co. Sayangnya, kedua perusahaan masih belum menemukan kata sepakat soal permodalan bersama. Beberapa catatan menunjukkan pihak Hon Hai menekan untuk mengubah termin persetujuan mengambil alih 9,9 persen saham senilai 67 miliar yean atau setara dengan 840 juta dollar AS milik Sharp. Usai pengumuman kerugian bulan lalu, saham Sharp melorot 200 yen.
Sinking Sharp mortgages Japanese factories to stay afloat
Japanese electronics maker Sharp has come upon some hard times, and it has mortgaged almost all of its factories in its home country to get a $1.92 billion (150 billion yen) line of credit while it waits for a deal with Foxconn parent Hon Hai to come through, Reuters reports. Company spokesperson Miyuki Nakayama revealed that almost all the business sites owned by Sharp in Japan had been put up as collateral for the loan from Muzho Financial Group and Mitsubishi UFJ Financial Group.
Sharp has 11 factories in the country, including the Kameyama plant that produces displays for Apples iPhone. It also operates a headquarters in Osaka and office buildings in Tokyo. The company reportedly owes almost $16 billion (1.25 trillion yen) with hundreds of billions of yen in loans that it needs to pay. It is reportedly looking to sell off over $1 billion in assets to slim down and keep creditors away.
Poor quarterly results and job cuts have resulted in investor uncertainty about Sharps prospects and sent the companys stock into a nosedive. The drop in value further destabilized the company as it jeopardized an agreement that Sharp had reached with Hon Hai to sell 9.9 percent of the company to the manufacturer. Taiwanese authorities have criticized the deal as being a little pricey now that Sharps stock has declined.
Sharp and Hon Hai announced plans to team up back in March, with Hon Hai agreeing to pay more than $800 million for the minority stake in Sharp. Hon Hai CEO Terry Gou was in Japan last week and had hoped to reach an agreement, but the finalized deal never materialized. Sharps president is now believed to be planning to visit Taiwan to court the company. Though Sharp has offered to fix the agreement at a lower rate, reports suggest that Gou is now vying for a management position within the company as part of the deal.
After leading the global display industry for years, Japanese makers have faced increasing pressure from Korean and Taiwanese competitors. Sony, Hitachi and Toshiba have sought to stem the tide by teaming up to create a Japan Display. Samsung has been shaking up the display industry on its own. In April, the company spun off its LCD business to form Samsung Display. The newly formed companys size was enough to make it the worlds biggest display manufacturer.
Original Posted By nie.shop►Kemarin sempet baca artikel dimari :
Spoiler for "Artikel Sharp":
Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam, pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.
Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo bahkan harus rela menjual dirinya lantaran sudah hampir kolaps. Sharp berencana menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).
Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.
Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.
What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita petik sebagai pelajaran.
Faktor 1 : Harmony Culture Error. Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengangungkan harmoni dan konsensus.
Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.
Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).
Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan tumbal demi menjaga keindahan budaya harmoni. Ouch.
Faktor 2 : Seniority Error. Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan.
Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.
Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.
Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.
Faktor 3 : Old Nation Error. Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia diatas 50 tahun.
Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.
Disini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.
Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.
Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal pada tiga elemen diatas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada dalam bayang-bayang kematian.
yang sedikit ane tangkep, proses inovasi di suatu perusahaan masih lambat, dan masih adanya senioritas, jadi para pekerja yang muda masih belum terlalu diperhitungkan..