Ulasan Khas Bahaya di Balik Antibiotik
Efek Tersembunyi Antibiotik: Dari Gigi Kuning Sampai Vagina Gatal
Jakarta, Semua obat punya efek sampingnya, termasuk antibiotik. Antibiotik menjadi perhatian karena penggunaannya tidak boleh sembarangan. Jika dosisnya kurang atau kebanyakan maka ada bahaya yang tersembunyi.
"Penggunaan antibiotik yang tidak bijaksana dikhawatirkan terjadi resistensi atau kekebalan dari bakteri terhadap antibiotik," ujar dr Sandra Utami Widiastuti, SpPD dari RS Siloam Kebun Jeruk saat dihubungi detikHealth dan ditulis Rabu (5/9/2012).
Antibiotik membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri yang peka. Tapi kadang salah satu bakteri dapat bertahan hidup karena mampu menetralisir atau menghindar dari efek antibiotik. Bakteri yang semula hanya peka bisa menjadi kebal melalui perubahan genetik di dalam selnya sehingga menjadi resisten terhadap antibiotik.
Jika antibiotik digunakan dengan tidak tepat bisa membahayakan kesehatan masyarakat secara global maupun individual, ini karena berisiko memicu masalah resistensi yang cukup serius.
"Untuk efek samping antibiotik macam-macam, tergantung dari jenis antibiotiknya," ujar Maura Linda Sitanggang, Apt, PhD selaku Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes.
Maura menuturkan hal tersebut bukan disebut sebagai kerugian, karena sama seperti obat lainnya bahwa tiap obat jelas memiliki efek samping. Namun selama dosis dan penggunaannya tepat maka antibiotik tidak memiliki masalah.
Seperti dikutip dari eMedicinehealth.com dan About.com, diketahui ada beberapa efek samping dari antibiotik yang bisa muncul yaitu:
Spoiler for "efek samping":
1. Diare
Ini biasa terjadi jika mengonsumsi antibiotik jangka panjang karena obat ini juga turut membunuh bakteri baik yang ada di dalam saluran pencernaan.
2. Mual, muntah atau kram perut
3. Vagina terasa gatal atau keputihan
Ini karena antibiotik juga membunuh flora baik di rongga vagina sehingga bakteri yang tidak seharusnya ada jadi tumbuh berlebih.
4. Gigi menjadi kuning
5. Muncul ruam
6. Masalah pada pernapasan seperti sesak napas
7. Gangguan detak jantung seperti jantung berdebar-debar, detak jantung abnormal, sakit kepala.
8. Reaksi alergi, sama seperti obat lainnya antibiotik juga bisa memicu reaksi alergi. Jika mengalami gatal-gatal, sesak napas, pembengkakan di bibir, wajah atau lidah, sebaiknya segera hubungi dokter untuk penanganan lebih lanjut.
"Reaksi alergi harus diperhatikan, dan bisa terjadi pada semua obat. Jika memang alergi terhadap suatu obat sebaiknya catat dan ingat-ingat agar tidak mengonsumsinya lagi," ujar dr Sandra.
5 jenis antibiotik yang paling sering dipakai
Agar pasien juga tidak rewel ataupun salah pakai karena tidak tahu jenis-jenis antibiotik, ada baiknya kenali 5 jenis antibiotik yang paling sering dipakai di masyarakat berikut ini:
Spoiler for "jenis antibiotik":
1. Amoxicillin
Amoxicillin merupakan antibiotik golongan penicillin, lebih spesifik lagi termasuk kelompok aminopenicillin seperti halnya jenis antibiotik populer lainnnya yakni ampicilin. Penggunaannya sangat luas, mulai dari untuk obati infeksi kulit, gigi, telinga, saluran napas dan saluran kemih.
2. Cefadroxil
Cefadroxil merupakan generasi pertama antibiotik golongan Cephalosphorin, yang cara kerjanya hampir sama dengan Amoxicillin dan antibiotik lain di golongan penicillin. Penggunaannya juga sama luas, mulai untuk mengobati dari infeksi kulit hingga saluran kemih.
3. Erythromicyn
Erythromicin merupakan antibiotika golongan makrolid yang sering diberikan pada pasien yang alergi penicillin. Penggunaannya lebih luas dari penicillin maupun cephalosphorin, sehingga sering dipakai sebagai pilihan pertama untuk pengobatan pneumonia atipik.
4. Ciprofloxacin
Ciprofloxacin merupakan antibiotik golongan floroquinolon, salah satu jenis antibiotik paling mutakhir saat ini. Penggunaannya antara lain untuk mengobati infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas (sinusitis, pneumonia, bronkitis) dan juga infeksi kulit.
5. Tetrasiklin
Di kalangan pekerja seks, tetrasiklin cukup populer karena jenis antibiotika ini paling sering jadi pilihan utama untuk mengobati infeksi kelamin seperti chlamydia dan gonorrhea atau kencing nanah. Penggunaan antibiotik jenis ini mulai dibatasi, karena memicu masalah resistensi yang membuat kuman gonorrhea jadi kebal antibiotik.
Ulasan Khas Bahaya di Balik Antibiotik
Memangnya Kenapa Kalau Antibiotik Tidak Dihabiskan?
Spoiler for "Antibiotik Harus dihabiskan":
Jakarta, Kalau makan nasi tidak habis, sisanya bisa diberikan pada ayam. Ayamnya senang karena dapat makan, manusianya juga terhindar dari risiko gemuk akibat makan berlebihan. Tapi kenapa kalau minum antibiotik tidak boleh ada yang disisakan?
Meski tidak dianjurkan dan bahkan dilarang keras oleh dokter dan apoteker, beberapa pasien punya kebiasaan buruk menyisakan antibiotik yang seharusnya diminum sampai habis. Memang bukan untuk diberikan pada ayam seperti halnya sisa nasi, melainkan dibuang atau disimpan untuk jaga-jaga kalau nanti sakit lagi atau malas minumnya karena merasa sudah sembuh.
"Minum antibiotik tidak boleh ada sisa. Hindari juga menggunakan antibiotik sisa sakit sebelumnya, karena belum tentu efektif," tegas ahli mikrobiologi Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Prof Dr Maksum Radji, M.Biomed saat dihubungi detikHealth seperti ditulis Rabu (5/9/2012).
Imbauan ini diberikan Prof Maksum terkait adanya kecenderungan sebagian pasien untuk menghentikan pemakaian antibiotik saat merasa keluhannya mulai membaik. Karena merasa sembuh, antibiotik yang diberikan oleh dokter tidak dihabiskan lalu sisanya disimpan atau dibuang.
Padahal saat badan mulai terasa enak, kuman penyebab penyakit belum tentu semuanya mati. Sebagian mungkin baru sekarat atau pingsan, lalu saat pemakaian antibiotik dihentikan akan hidup lagi dan menjadi lebih kebal jika kelak diberikan antibiotik yang sama dengan dosis yang sama pula.
Masih terkait kecenderungan untuk tidak menghabiskan antibiotik, ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Drs M Dany Pratomo, MM, Apt menilainya sebagai bagian dari 'kreativitas' pasien. Kreativitas yang salah kaprah itu memiliki beberapa kemungkinan latar belakang.
"Bisa karena tidak tahu (aturan pakai antibiotik), bisa juga karena sedang mencoba untuk berhemat," kata Drs Dany.
Bisa jadi, mahalnya harga obat dan belum meratanya sistem jaminan kesehatan mendorong pasien kurang mampu untuk coba-coba menyiasati ongkos pengobatan. Kalau merasa keluhannya sudah membaik, antibiotik tidak dihabiskan lalu disimpan untuk persediaan agar kelak kalau sakit tidak perlu beli lagi.
semoga bs menambah info buat agan2, klo ada yg mau share pengalaman juga monggo...