Ane mau berbagi pengetahuan lagi gan buat sesama muslim..
tolong jgn

ane gan,kasih

itu yg ane harapkan..
Langsung aja gan:
Selama ini Hadits ttg doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
AllahuYa Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.
Ternyata Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sedangkan pada doa yg tidak mengandung lafadz wabika aamantu pada doa di atas, maka sanadnya berkisar antara lemah/lemah sekali.
nb: doa berbuka puasa yg benar, terdapat dalam hadits:
Biasanya Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
(Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah) Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah [HR. Abu Daud 2357, Ad Daruquthni II/401]
semoga thread ini bermanfaat bagi kita semua..amiin..
ini sumbernya gan:
http://arhamvhy.blogspot.com/2012/07...-ramadhan.html
Berhubung banyak perselisihan tentang hukum boleh tidaknya menggunakan hadist dla'if dan palsu dalam beramal,.maka ane kasih tambahan keterangannya:
HUKUM MENGGUNAKAN HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU DALAM KEUTAMAAN AMAL:
Quote:
Berkata Syaikh Muhadits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah: Di kalangan ahli ilmu dan para penuntut ilmu ini telah masyhur bahwa hadits dlaif boleh diamalkan dalam fadlailul amal . Mereka menyangka bahwa perkara ini tidak diperselisihkan. Bagaimana tidak Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam berbagai kitab beliau bahwa hal ini telah disepakati. Tetapi pernyataan beliau itu terbantah krn perselisihan dalam hal ini maruf.
Sebagian besar para muhaqiq berpendapat bahwa hadits dlaif tidak boleh diamalkan secara mutlak baik dalam perkara-perkara hukum maupun keutamaan-keutamaan. Syaikh Al-Qasimi rahimahullah dalam kitab Qawaid At-Tahdits hal: 94 mengatakan bahwa pendapat tersebut diceritakan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam Uyunul Atsar dari Yahya bin Main dan Fathul Mughits beliau menyandarkannya kepada Abu Bakr bin Arabi.
Pendapat ini juga merupakan pendapat Bukhari Muslim dan Ibnu Hajm. Saya katakan bahwa inilah yg benar menurutku tidak ada keraguan padanya krn bebarapa perkara:
pertama: Hadits dlaif hanya mendatangkan sangkaan yg salah . Tidak boleh beramal dengannya berdasarkan kesepakatan. Barangsiapa mengecualikan boleh beramal dengan hadits dlaif dalam keutamaan amal hendaknya dia mendatangkan bukti sungguh sangat jauh!.
Kedua: Yang aku pahami dari ucapan mereka tentang keutamaan amal yaitu amal-amal yg telah disyariatkan berdasarkan hadits shahih kemudian ada hadits lemah yg menyertainya yg menyebutkan pahala khusus bagi orang yg mengamalkannya. Maka hadits dlaif dalam keadaan semacam ini boleh diamalkan dalam keutamaan amal krn hal itu bukan pensyariatan amal itu tetapi semata-mata sebagai keterangan tentang pahala khusus yg diharapkan oleh pelakunya.
Oleh krn itu ucapan sebagaian ulama dimasukkan seperti ini. Seperti Syaikh Ali Al-Qari rahimahullah dalam Al-Mirqah 2/381 mengatakan bahwa hadits lemah diamalkan dalam perkara keutamaan amal walaupun tidak didukung secara ijma sebagaimana keterangan Imam An-Nawawi yaitu pada amal yg shahih berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Maka dgn dasar inilah maka beramal dgn hadits dlaif diperbolehkan jika telah adanya hadits shahih yg menunjukkan disyariatkannya amal itu.
Akan tetapi kebanyakan orang yg berpendapat seperti itu tidak dimaksudkan makna seperti itu. Buktinya kita menyaksikan mereka beramal dgn hadits-hadits dlaif yang tidak terkandung dalam hadits-hadits shahih seperti Imam An-Nawawi dan yang mengikutinya menganggap sunnah
Padahal perkara sunnah adl salah satu hukum diantara kelima hukum {yakni: wajib sunnah mubah makruh dan haram} yg harus ditetapkan berdasarkan dalil. Betapa banyak perkara-perkara yg mereka anggap disyariatkan dan disunnahkan bagi manusia hanya didasari dgn hadits-hadits lemah yg tidak ada asal pensyariatannya dalam hadits shahih.
Akan tetapi disini tidak mungkin untuk mencantumkan sebagai contoh cukuplah salah satu contoh yg telah aku sebutkan. Adapun yg terpenting disini adl hendaklah orang-orang yg menyelisihi hal ini mengetahui bahwa beramal dgn hadits dlaif dalam perkara keutamaan amal tidak mutlak menurut orang-orang yg berpendapat dengannya. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam Tabyanul Ujab hal: 3-4 bahwa para ahli ilmu telah bermudah-mudah dalam membawakan hadits-hadits tentang keutamaan amal walaupun memiliki kelemahan selama tidak maudlu/palsu .
Seharusnya hal ini diberi syarat yaitu orang yg beramal dengannya menyakini bahwa hadits itu lemah dan tidak memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan hadits dlaif dan mensyariatkan apa yg tidak disyariatkan atau sebagian orang-orang jahil menyangka bahwa hadits itu adl shahih. Hal ini juga ditegaskan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad bin Abdus Salam dan lain- lain. Hendaknya tiap orang khawatir jika termasuk dalam ancaman Rasulullah Shalallahu alaihi wa salam: Barangsiapa menceritakan dariku satu hadits yg dianggap hadits itu dusta maka dia termasuk seorang pendusta (Untuk lbh jelasnya lihat permasalahn ini pada kitab Syarh Shahih Muslim juz: 1 bagian muqadimah. Imam An-Nawawi Ad- Damsiqi rahimahullah.) Maka bagaimana orang yg mengamalkannya?!. Tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam perkara keutamaan amal sebab semuanya adl syariat.
Inilah tiga syarat penting diperbolehkannya beramal dgn hadits-hadits hlaif dalam keutamaan amal;
- Hadits itu tidak maudlu/palsu .
- Orang yg mengamalkannya mengetahui bahwa hadits itu adl dhaif.
- Tidak memasyhurkan utk beramal dengannya. Akan tetapi sangat disayangkan kita menyaksikan kebanyakan ulama lebih-lebih orang awam meremehkan syarat-syarat ini. Mereka mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kelemahannya mereka tidak mengetahui apakah kelemahannya ringan atau sangat parah sehingga tersebut tidak boleh diamalkan. Kemudian mereka memasyhurkannya sebagaimana halnya beramal dgn hadits shahih!.
Inilah yg haq krn hadits dlaif yg tidak ada penguatnya kemungkinan adalah maudlu bahkan umumnya palsu dan mungkar. Hal ini ditegaskan oleh sebagian ulama. Orang yg membawakan hadits dlaif termasuk dalam ucapan Nabi Shalallahu alaihi wa salam:
yang dianggap hadits itu dusta yaitu dengan menampakkan demikian. Orang yang membolehkannya harus memperhatikan syarat-syarat itu ketika mengamalkan hadits dlaif Wallahu Muwaffiq. Demikian perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. (Tamamul Minah Fii Taliq Fiqh Sunnah hal: 34-38. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Dinukil dari majalah Salafy edisi: XXIII/Ramadlan/1418H/1996 hal: 23-25.)
sumber : Kitab Hisnul Muslim - Kumpulan Doa dan Dzikir Dari Al Quran dan As Sunnah, Said bin Ali Al Qathani dalam ebook DzikirWirid.chm oleh akhukum fillah La Adri At Tilmidz