Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bayi99Avatar border
TS
bayi99
Hanya mengingat kan kembali (yg beragama islam masuk yah)
DETIK-DETIK KEWAFATAN RASULULLAH

Ketika merasa bahwa ajalnya sudah dekat, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabat di kediaman isteri tercintanya, Sayyidah Aisyah RA. Setelah semua berkumpul, beliau memandang mereka dengan tatapan mata yang sendu. Air mata beliau menitis tiada berhenti.

Di tengah tangisnya beliau bersabda, “Marhaban bikum, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kamu. Aku berwasiat kepada kamu, bertaqwalah kepada Allah SWT. Telah dekat perpisahan dan telah hampir waktu pulang kepada Allah Ta?ala. Hendaklah Ali memandikanku, sedangkan Fadlal bin Abbas dan Usamah bin Zaid yang menuangkan air. Kemudian kafanilah aku dengan kainku jika kamu menghendaki, atau dengan kain putih buatan Yaman. Jika kamu selesai memandikanku, letakkan jenazahku di tempat tidur di rumahku ini, diatas pinggir lubang kuburku. Kemudian bawalah aku keluar sesaat. Maka yang pertama kali berselawat kepadaku adalah Allah Azza wa Jalla, lalu Jibril, Mikail, Israfil, Izrail bersama pasukannya, kemudian segenap malaikat. Sesudah itu barulah kamu masuk rombongan demi rombongan, dan sembahyangkanlah aku.”

Begitu mendengar wasiat Nabi, para sahabat tidak kuasa menahan tangis. Mereka menjerit…..”Ya Rasulullah, Tuan adalah rasul kami, penghimpun dan pembina kekuatan kami, serta penguasa segala urusan kami. Jika Tuan pergi, kepada siapakah kami kembali?”

Rasulullah SAW bersabda, “Aku tinggalkan kamu di jalan yang terang. Aku tinggalkan untuk kamu dua juru nasihat yang berbicara dan yang diam. Penasehat yang berbicara ialah Al-Quran, penasihat diam ialah maut. Jika kamu menghadapi persoalan yang musykil, kembalilah kepada Al-Quran dan sunnah; dan jika hati kamu kusut, tuntunlah dengan mengambil i?tibar tentang peristiwa maut.”

Sejak itu, akhir bulan Shafar, Rasulullah SAW jatuh sakit. Semakin lama penyakitnya semakin berat. Suatu saat, ketika para sahabat berkumpul di kediaman Sayyidah Aisyah RA untuk menjaga Rasulullah SAW secara bergantian, Rasulullah SAW bangun dari tempat tidurnya dengan mengenakan ikat kepala, pertanda sakitnya masih berat.

Didepan para sahabat, beliau bersabda, “Wahai para sahabatku….. Sungguh, demi Allah, saat ini telah kulihat Telaga Haudh di hadapanku. Demi Allah, aku tidak takut syirik akan menimpa kamu setelah aku wafat. Tetapi yang kutakutkan, kamu saling berebut dunia, saling hantam memperebutkan kekayaan. Itu yang aku takutkan.” Haudh adalah salah satu telaga di syurga.

Dari hari ke hari, kesehatan Nabi semakin memburuk, dan para sahabat mulai cemas. Suatu hari, Isnin Subuh, sahabat Bilal mengumandangkan adzan di Masjid Nabawi. Tapi hingga beberapa waktu Nabi belum juga hadir. Ia lalu menyusul ke rumah beliau. Didepan pintu rumah, ia mengucapkan salam, “Assalamu’alaika, ya Rasulullah.”

Nabi tidak menjawab, tapi Sayyidah Fatimah RA keluar sambil menjawab salam, “Alaikassalam….. Kalau ada perlu lain kali saja. Rasulullah sedang demam.”

Mendengar jawaban itu, Bilal tidak faham. Ia lalu kembali ke masjid, menunggu kedatangan Nabi sampai langit disebelah timur mulai menguning. Kerana waktu subuh hampir habis, Bilal kembali kerumah Rasulullah SAW.

“Assalamu’alaika, ya Rasulullah…. para makmum sudah menunggu dan langit sudah pula menguning,” katanya.

Saat itu, Nabi agak sedar. Dengan tersendat-sendat beliau membalas salam Bilal, lantas bersabda, “Ya Bilal, aku tahu fajar telah mulai tiba. Beri tahu Abu Bakar supaya menjadi imam sembahyang Subuh. Aku sedang sakit, tidak mampu bangun.”

Mendengar jawaban itu Bilal menangis. Dengan langkah terburu-buru tetapi lunglai, ia bergegas kembali ke masjid. Disampaikannya pesan rasulullah SAW kepada Abu Bakar. Begitu melihat mihrab kosong, Abu Bakar menangis. Di mihrab itulah Rasulullah SAW selalu memimpin sholat, mengumandangkan ayat-ayat Al-Quran dengan suara yang nyaring dan fasih. Pribadinya agung, parasnya berwibawa. Kini mihrab itu kosong. Abu Bakar menangis juga seluruh sahabat, sehingga suasana subuh itu menjadi murung.

Sampai siang, para sahabat berkumpul di masjid menanti berita dari kediaman Rasulullah SAW. Ternyata, Rasululah SAW minta dipapah untuk menuju masjid. Dengan langkah terseok-seok, Nabi keluar rumah dipapah kedua sahabat itu.

Tiba di masjid, Nabi sembahyang sunnah dua rakaat lalu menuju mimbar. Kakinya terasa berat ketika mendaki tangga. Tubuhnya tampak lemah, tangannya bertelekan. Tak lama kemudian beliau menyampaikan khutbah singkat, namun isinya meresap dan menggetarkan hati. Para sahabat bercucuran air mata…..

“Wahai kaum muslimin, kita hidup di bawah kekuasaan Allah dan kasih sayang-Nya. Maka bertaqwalah kepada-Nya dan taatilah perintah-perintah-Nya”. Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW berwasiat, “Wahai segenap umat manusia, api neraka sudah dinyalakan, fitnah-fitnah telah datang seperti datangnya malam yang gelap. Demi Allah, kamu tidak akan berpegang kepadaku dengan suatu apa pun. Sesungguhnya aku tidak pernah menghalalkan sesuatu melainkan apa yang dihalalkan oleh Al-Qur?an, dan tidak pula mengharamkan sesuatu melainkan apa yang diharamkan oleh Al-Quran”.

Abu Bakar tersedu sedan sementara Umar bin Khattab menahan napas dan tangis hingga dadanya naik turun. Sedangkan Utsman bin Affan menghela napas panjang, dan Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala dalam-dalam. Dalam hati semua sahabat berkata, “Rasulullah akan meninggalkan kita.”

Lelaki agung itu hampir selesai menunaikan tugasnya. Tanda-tanda itu semakin nyata, sehingga dengan tangkas Ali dan Fadhal segera tampil membantu Rasulullah turun dari mimbar. Sangat pelan kerana lemah.

Segera setelah itu beliau dipapah untuk kembali pulang ke rumah kediaman. Sejak itu beliau tidak mampu lagi bangkit dari tempat tidur. Keadaan beliau semakin gawat, sampai-sampai kain pengikat beliau pun terasa panas. Panas yang sangat tinggi menyebabkan beliau sering tak sedarkan diri.

Melihat keadaan ayahandanya, Sayyidah Fatimah RA terus menangis, “Ya Allah, alangkah berat penderitaan ayahku. Alangkah beratnya, ya Allah….”

Mendengar tangis putri kesayangannya itu, Rasulullah SAW sempat bersabda, “Bersabarlah anakku sayang. Tidak ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini…” Nabi SAW berusaha menghibur putrinya agar tidak bersedih hati. Namun sabda Beliau itu juga merupakan pertanda bahwa tinggal pada hari itu beliau merasakan penderitaan. Dan setelah itu, meninggalkan keluarga dan segenap kaum muslimin.

Tepat pada waktu dhuha, datanglah Malaikat Izrail yang diutus oleh Allah Ta?ala untuk menjemput Rasul SAW. Perintah Allah Ta?ala kepada Izrail, “Masuklah kalau diizinkan olehnya. Kalau tidak, kembalilah engkau kemari. Berangkatlah dan muncullah di hadapannya dalam wujud seorang lelaki yang sopan dan rapi. “Maka muncullah Malaikat Izrail sebagai seorang lelaki berpakaian putih-putih dengan aroma yang harum mewangi.

“Assalamualaikum, wahai penghuni rumah kenabian….”

“Wa’alaikumussalam. Maaf Rasulullah sedang payah. Datanglah lain kali,” jawab Sayyidah Fatimah RA.

“Assalamu?alaika, ya Rasulullah. Salam sejahtera untukmu selamanya. Bolehkah saya masuk?” ujar Izrail lagi.

Mendengar salam khusus itu, Nabi membuka mata beliau lalu bertanya kepada Fatimah, “Anakku, ada tamu ya? Siapa yang berada di pintu, hai Fatimah?”

“Seorang laki-laki yang bersih sopan, rapi, dan wangi. Ia memanggil-manggil ayah dan minta izin untuk masuk. Saya bilang, Ayah sedang payah. Saya minta dia dia untuk kembali lain kali.”

Tiba-tiba Nabi SAW memandangi putri tercintanya itu dengan tatapan yang menembus jauh, dengan cahaya pekat yang mengabut.

Sayyidah Fatimah RA menggigil kerana hatinya tergetar

“Izinkan tamu itu masuk, Fatimah. Tahukah engkau siapa dia, anakku?” sabda Rasulullah SAW.

“Tidak”

“Dialah penjemput kenikmatan, pemutus nahsu syahwat, dan pemisah pertemuan. Dia adalah malakul maut.”
0
2.5K
36
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan