- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- Gosip Nyok!
[SALUT] Seharusnya Mahasiswa Indonesia Seperti Ini
TS
mirza3m
[SALUT] Seharusnya Mahasiswa Indonesia Seperti Ini
Patut dicontoh gan!
Ini bukti HT#2 ane gan
Cek sumber
Beberapa tanggapan dari kaskuser
Ini bukti HT#2 ane gan
Spoiler for HT:
Quote:
Hari ini, saya hadiahkan apresiasi tertinggi kepada seorang mahasiswi. Ia tampil sangat elegan menghadapi lima dosen penguji. Ia pertahankan karya ilimiahnya dengan penuh spirit, tiada ketakutan yang tergambar di wajahnya. Iapun tak segan-segan minta pertanyaan diulangi kepada seorang professor. Maaf Prof. Apa pertanyaannya boleh diulangi?
Tiada perlulah saya ceritakan bagaimana debat ilmiah itu dimulai. Saya terkesima saat sang professor berucap tegas: Mestinya Anda merujuk ke teori yang ada. Dengan sigap sang kandidat menjawab: Saya jenuh dengan teori orang lain Prof. Saya justru ingin membuat teori. Kian terkesima saya mendengar langsung sanggahan mahasiswiku ini.
Saya amati, mahasiswi ini sangat ekspresif. Ia bangga ungkapkan apa yang dia inginkan. Calon sarjana ini sungguh memukau di mata saya. Pertama kalinya, saya sebagai penguji kagum dengan anak ini. Saya perhatikan, tak ada ucapan berlebihan dan subyektif akan jawaban-jawaban mahasiswi ini.
Hari ini cita-cita saya tergapai, lama sudah saya rindukan sebuah ujian skripsi berlangsung debat ilmiah. Bukan sebuah formalitas yang membuat suasana ujian jauh dari atmosfir akademik. Skripsi adalah buatan murni seorang mahasiswa akhir. Saya sangat percaya, mahasiswi ini membuat skripsi dengan penuh naluri keilmuwan, roh skeptisnya terhadap sebuah perkembangan keilmuan benar-benar tampak dari hasil karya dalam penguasaannya. Potret ini sangat berbeda ekstrim jika seorang mahasiswa akhir yang skripsinya dibuatkan orang lain. Wajahnya penuh ketegangan, ketakutan, dan terhantui rasa non akademis dan rasa bersalah.
Hari ini, durasi ujian berlangsung alot dan menyita waktu dua jam. Bukan basa-basi, perdebatan benar-benar sarat keilmiahan. Bahkan ada penguji yang dibuatnya grogi, karena pemandangan ilmiah ini pertama terjadi di kampus ini. Apalagi setingkat ujian skripsi, yang identik dengan manut-manutnya seorang kandidat. Angguk-angguk kepala bukan sepenuhnya menunjukkan sebuah kesopanan tetapi tak lebih dari sebuah rasa takut ketidaklulusan alias UJIAN ULANG.
Saya sering terheran-heran, seorang kandidat di ujian thesis malah tak sanggup mempertahankan karya ilmiahnya, padahal yang lebih menguasai thesis buatannya itu adalah dirinya sendiri. Bukan dosen penguji.
Ketakutan apakah yang sebetulnya di diri setiap kandidat?. Sungguh saya sayangkan sebab ajang ujian skripsi, thesis, bahkan disertasi kadang menjadi momok non teknis, terjatuh bukan lantaran nuansa akademik tapi karena faktor lain yang di luar marka-marka akademik.
Di akhir ujian skripsi sang mahasiswi ini, kami berlima sebagai penguji melakukan rapat penentuan kelulusan/ketidaklulusan. Dimintalah sang mahasiswi ini berdiri di depan meja ujian. Sang profesor menyampaikan rekapitulasi hasil ujian, penuh ketegasan profesor ini membacanya: Saudari kandidat. Setelah memperhatikan proses ujian, nilai dari setiap penguji serta sikap Saudari selama ujian berlangsung. Maka dengan ini, Saudari dinyatakan tidak lulus.
Pembacaan hasil keputusan ini tak membuat sang kandidat goyah, sedih, apalagi menangis. Ia malah berucap: Terima kasih Prof. Saya tidak terima ketidaklulusan ini. Saya mohon tunjukkan dimana kesalahan jawaban saya sehingga nilai saya rendah. Jika terbukti secara ilmiah, jawaban saya salah. Saya terima hasil keputusan ketidaklulusan saya.
Sang profesor diam sejenak, beliau lalu berkata: Andai semua mahasiswaku seperti Anda, sayalah orang yang paling bangga di dunia ini. Anda benar-benar memperjuangkan hak-hak akademik Anda. Budaya debat ilmiah dari Anda membuat saya kagum. Kami nyatakan Anda LULUS dengan Cum Laude.
Tiada perlulah saya ceritakan bagaimana debat ilmiah itu dimulai. Saya terkesima saat sang professor berucap tegas: Mestinya Anda merujuk ke teori yang ada. Dengan sigap sang kandidat menjawab: Saya jenuh dengan teori orang lain Prof. Saya justru ingin membuat teori. Kian terkesima saya mendengar langsung sanggahan mahasiswiku ini.
Saya amati, mahasiswi ini sangat ekspresif. Ia bangga ungkapkan apa yang dia inginkan. Calon sarjana ini sungguh memukau di mata saya. Pertama kalinya, saya sebagai penguji kagum dengan anak ini. Saya perhatikan, tak ada ucapan berlebihan dan subyektif akan jawaban-jawaban mahasiswi ini.
Hari ini cita-cita saya tergapai, lama sudah saya rindukan sebuah ujian skripsi berlangsung debat ilmiah. Bukan sebuah formalitas yang membuat suasana ujian jauh dari atmosfir akademik. Skripsi adalah buatan murni seorang mahasiswa akhir. Saya sangat percaya, mahasiswi ini membuat skripsi dengan penuh naluri keilmuwan, roh skeptisnya terhadap sebuah perkembangan keilmuan benar-benar tampak dari hasil karya dalam penguasaannya. Potret ini sangat berbeda ekstrim jika seorang mahasiswa akhir yang skripsinya dibuatkan orang lain. Wajahnya penuh ketegangan, ketakutan, dan terhantui rasa non akademis dan rasa bersalah.
Hari ini, durasi ujian berlangsung alot dan menyita waktu dua jam. Bukan basa-basi, perdebatan benar-benar sarat keilmiahan. Bahkan ada penguji yang dibuatnya grogi, karena pemandangan ilmiah ini pertama terjadi di kampus ini. Apalagi setingkat ujian skripsi, yang identik dengan manut-manutnya seorang kandidat. Angguk-angguk kepala bukan sepenuhnya menunjukkan sebuah kesopanan tetapi tak lebih dari sebuah rasa takut ketidaklulusan alias UJIAN ULANG.
Saya sering terheran-heran, seorang kandidat di ujian thesis malah tak sanggup mempertahankan karya ilmiahnya, padahal yang lebih menguasai thesis buatannya itu adalah dirinya sendiri. Bukan dosen penguji.
Ketakutan apakah yang sebetulnya di diri setiap kandidat?. Sungguh saya sayangkan sebab ajang ujian skripsi, thesis, bahkan disertasi kadang menjadi momok non teknis, terjatuh bukan lantaran nuansa akademik tapi karena faktor lain yang di luar marka-marka akademik.
Di akhir ujian skripsi sang mahasiswi ini, kami berlima sebagai penguji melakukan rapat penentuan kelulusan/ketidaklulusan. Dimintalah sang mahasiswi ini berdiri di depan meja ujian. Sang profesor menyampaikan rekapitulasi hasil ujian, penuh ketegasan profesor ini membacanya: Saudari kandidat. Setelah memperhatikan proses ujian, nilai dari setiap penguji serta sikap Saudari selama ujian berlangsung. Maka dengan ini, Saudari dinyatakan tidak lulus.
Pembacaan hasil keputusan ini tak membuat sang kandidat goyah, sedih, apalagi menangis. Ia malah berucap: Terima kasih Prof. Saya tidak terima ketidaklulusan ini. Saya mohon tunjukkan dimana kesalahan jawaban saya sehingga nilai saya rendah. Jika terbukti secara ilmiah, jawaban saya salah. Saya terima hasil keputusan ketidaklulusan saya.
Sang profesor diam sejenak, beliau lalu berkata: Andai semua mahasiswaku seperti Anda, sayalah orang yang paling bangga di dunia ini. Anda benar-benar memperjuangkan hak-hak akademik Anda. Budaya debat ilmiah dari Anda membuat saya kagum. Kami nyatakan Anda LULUS dengan Cum Laude.
Quote:
Bagi yang tertarik dg artikel tsb, tlg di atau kasih
Cek sumber
Beberapa tanggapan dari kaskuser
Quote:
Original Posted By denisatriawan►Saya beranggapan biasa saja terhadap mahasiswanya. karena memang begitulah seharusnya.
Yg saya salutkan adalah profesionalisme profesornya serta para penguji.
Logikanya begini, mahasiswa bisa bersikap seperti itu karena memang dibimbing dengan baik oleh para pendidiknya. Hal2 terkait sikap mahasiswa dalam menempuh ilmu berbanding lurus dengan keprofesionalismean para dosen.
Dosen Profesional = Mahasiswa Idealis
Dosen NonProfesional = Mahasiswa Skeptis
Yang jadi permasalahan di Indonesia adalah sangat jarang ditemukan dosen yg benar2 profesional. padahal dosenlah yg menjadi CONTOH PALING BAIK pembentukan sikap mahasiswa.
Real Story: Temen ane pernah disuruh buatin Tesis dosen ane (mungkin sekitar 50%). temen ane ngerjainnya cuma bermodalkan googling di Internet dan berpetualang di beberapa perpus yg ada di kota ane. Temen ane terpaksa ngerjain tu Tesis karena dilema akan posisinya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Kalau dia tidak ngerjain tu tesis, dia bakal lama lulus. N kalau kejadian tersebut dilaporkan k dekan, atw rektor malah pasti akan menyusahkan mahasiswa 1 jurusan.
Maka dari itu, perbaiki sikap pengajar agar diajar gak kurang ajar.
Yg saya salutkan adalah profesionalisme profesornya serta para penguji.
Logikanya begini, mahasiswa bisa bersikap seperti itu karena memang dibimbing dengan baik oleh para pendidiknya. Hal2 terkait sikap mahasiswa dalam menempuh ilmu berbanding lurus dengan keprofesionalismean para dosen.
Dosen Profesional = Mahasiswa Idealis
Dosen NonProfesional = Mahasiswa Skeptis
Yang jadi permasalahan di Indonesia adalah sangat jarang ditemukan dosen yg benar2 profesional. padahal dosenlah yg menjadi CONTOH PALING BAIK pembentukan sikap mahasiswa.
Real Story: Temen ane pernah disuruh buatin Tesis dosen ane (mungkin sekitar 50%). temen ane ngerjainnya cuma bermodalkan googling di Internet dan berpetualang di beberapa perpus yg ada di kota ane. Temen ane terpaksa ngerjain tu Tesis karena dilema akan posisinya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Kalau dia tidak ngerjain tu tesis, dia bakal lama lulus. N kalau kejadian tersebut dilaporkan k dekan, atw rektor malah pasti akan menyusahkan mahasiswa 1 jurusan.
Maka dari itu, perbaiki sikap pengajar agar diajar gak kurang ajar.
Quote:
Original Posted By Alexa.N90►Biasa gan ane dulu jg gt, tapi jg perlu lihat situasi dan kondisi krn dosen/penguji di indonesia msh primodial. Saya sangat setuju mestinya riset yg kita lakukan kitalah yg lebih mengerti bukan dosen/penguji. Tidak jarang dosen/penguji pun bahkan tidak membaca thesis/desertasi kita ya dia hanya menanyakan apa yg kita paparkan saja. kenyataanya spt itu.
tapi apapun ujian thesis/desertasi itu hanya bagian kecil yg lebih penting adalah buah dari itu, harus terus berkarya yg bermanfaat bagi masyarakat itu lbh penting
ane pernah membimbing msh s1 dia membuat metoda baru dalam penenalan digital (kebetulan dosen di fakultas dia blum ada yg mendalami hal tsb) namun sama dosen di fakultas dia belajar malah jadi lelucon termasuk dekan disitu krn kebetulan desertasi dosen disitu yg dianggap paling pintar bahkan belum sampai tahap itu. Sampai saat ini pun fakultas tersebut belum jg menelorkan metoda2 baru meski kategori fakultas sains.
kecenderungan skg di banyak pendidikan tinggi msh saja spt tukang menerapkan apa yg sudah ganti2 sedikit. sebenarnya yg spt ini hanya level praktikum bukan tugas akhir/skripsi bahkan tesis pun tidak jarang demikian. pernah jg mendapati desertasi orangnya bahkan tidak paham dg apa yg dikerjakan semua dilakukan berdasarkan logika dia/serampangan.
tapi apapun ujian thesis/desertasi itu hanya bagian kecil yg lebih penting adalah buah dari itu, harus terus berkarya yg bermanfaat bagi masyarakat itu lbh penting
ane pernah membimbing msh s1 dia membuat metoda baru dalam penenalan digital (kebetulan dosen di fakultas dia blum ada yg mendalami hal tsb) namun sama dosen di fakultas dia belajar malah jadi lelucon termasuk dekan disitu krn kebetulan desertasi dosen disitu yg dianggap paling pintar bahkan belum sampai tahap itu. Sampai saat ini pun fakultas tersebut belum jg menelorkan metoda2 baru meski kategori fakultas sains.
kecenderungan skg di banyak pendidikan tinggi msh saja spt tukang menerapkan apa yg sudah ganti2 sedikit. sebenarnya yg spt ini hanya level praktikum bukan tugas akhir/skripsi bahkan tesis pun tidak jarang demikian. pernah jg mendapati desertasi orangnya bahkan tidak paham dg apa yg dikerjakan semua dilakukan berdasarkan logika dia/serampangan.
Quote:
Original Posted By vikvampier►hal-hal seperti ini sangat membanggakan. sejujurnya, di negara ini, memperjuangkan hak seperti yang dilakukan si mahasiswi diatas sangat lah sulit dilakukan. Benar sperti TS bilang, skripsi, thesis, karya ilmiah, seharusnya si pembuatnya lah yang paling mengerti, baik dasar teori, tehnik pengujiannya, hingga hasilnya. maka dari itu, apabila pihak penguji, mau dia sekaliber profesor sekalipun, apabila tidak melandasi setiap ucapannya dalam persidangan dengan landasan teori yang memadai, tidak bisa dianggap lebih benar. tapi kita semua tau, tidak semua akademisi dalam dunia pendidikan di indonesia dapat bersikap demikian. apalagi orang-orang dengan titel lengkap, ditambah jabatan yang memadai. berat masssss. dalam kasus diatas, si mahasiswi juga beruntung karena orang-orang yang mengujinya dapat bersikap "fair", coba kalo kaek dikampus ane, susah maaaasss.. berdasarkan apa saya mengatakan demikian, berdasarkan pengalaman saya sendiri...
Quote:
Original Posted By petjodz►Gan, ini mahasiswi Universitas Hasanuddin. Maksud ane kasih tau asal universitasnya karna ane temen angkatannya di kampus. Ini membuktikan kalau mahasiswa unhas itu tidak cuma bisanya demo, melakukan tindak anarkis. Tapi buktinya bisa juga debat sama profesor buat pertahankan skipsinya. Kan kasihan alumni dari unhas yang gak peernah ikut demi ikut2an kena blacklist dari beberapa instansi pemerintah maupun dari perusahaan swasta akibat dari mahasiswa unhas sering demo. Namanya juga mahasiswa gan masih punya idealisme sendiri tentang bagaimana pemerintahan jaman sekarang.
pajang di pejwan dong gan. Biar yang lain baca kalau anak unhas tidak cuma pinternya cuma demo.
pajang di pejwan dong gan. Biar yang lain baca kalau anak unhas tidak cuma pinternya cuma demo.
anasabila memberi reputasi
1
111.7K
Kutip
1.9K
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan